TINJAUAN UMUM USAHA PETERNAKAN SAPI POTONG DI INDONESIA

V. TINJAUAN UMUM USAHA PETERNAKAN SAPI POTONG DI INDONESIA

Pada periode 2005-2008, Departemen Pertanian melaksanakan tiga program utama pembangunan pertanian, yaitu: 1 peningkatan ketahanan pangan, 2 pengembangan agribisnis, dan 3 peningkatan kesejahteraan petani. Pembangunan peternakan merupakan rangkaian kegiatan yang berkesinambungan untuk mengembangkan kemampuan masyarakat petani khususnya masyarakat petani peternak, agar mampu melaksanakan usaha produktif dibidang peternakan secara mandiri. Usaha tersebut dilaksanakan bersama oleh petani peternak, pelaku usaha dan pemerintah sebagai fasilitator yang mengarah kepada berkembangnya usaha peternakan yang efisien dan memberi manfaat bagi petani peternak. Pembangunan peternakan di Indonesia ditujukan kepada upaya peningkatan produksi peternakan yang sekaligus untuk meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan petani peternak, memenuhi kebutuhan pangan dan gizi, menciptakan kesempatan kerja dan kesempatan berusaha, mendorong pengembangan agroindustri dan agribisnis dan mengembangkan sumber daya peternakan. Program pengembangan agribisnis diarahkan untuk memfasilitasi kegiatan yang berorientasi agribisnis dan memperluas kegiatan ekonomi produktif petani, serta meningkatkan efisiensi dan daya saing. Upaya peningkatan daya saing usaha ternak sapi potong rakyat secara teknis dapat dilakukan dengan meningkatkan produktivitas sehingga produknya dapat dijual pada tingkat harga yang cukup murah tanpa mengurangi keuntungan peternak. Konsep agribisnis memandang suatu usaha pertanian termasuk peternakan secara menyeluruh holistik, mulai dari subsistem penyediaan sarana produksi, produksi, pengolahan hingga pemasaran. Menurut Syafa’at 2003, konsep agribisnis atau strategi pembangunan sistem agribisnis mempunyai ciri antara lain: 1 berbasis pada pendayagunaan keragaman sumber daya yang ada di masing- masing daerah domestic resource based, 2 akomodatif terhadap kualitas sumber daya manusia yang beragam dan tidak terlalu mengandalkan impor dan pinjaman luar negeri yang besar, 3 berorientasi ekspor selain memanfaatkan pasar domestik, dan 4 bersifat multifungsi, yaitu mampu memberikan dampak ganda yang besar dan luas. Pembangunan pertanian dan peternakan berdasarkan konsep agribisnis perlu memperhatikan dua hal penting : pertama, berupaya memperkuat subsistem dalam satu sistem yang terintegrasi secara vertikal dalam satu kesatuan manajemen, dan kedua menciptakan perusahaan-perusahaan agribisnis yang efisien pada setiap subsistem. Jika hal ini dapat terwujud maka daya saing produk peternakan daging, susu, dan telur akan meningkat, terutama dalam menghadapi pasar global. Agribisnis sapi potong diartikan sebagai suatu kegiatan usaha yang menangani berbagai aspek siklus produksi secara seimbang dalam suatu paket kebijakan yang utuh melalui pengelolaan, pengadaan, penyediaan, dan penyaluran sarana produksi, kegiatan budidaya, pengelolaan pemasaran dengan melibatkan semua pemangku kepentingan stakeholders, dengan tujuan untuk mendapatkan keuntungan yang seimbang dan proporsional bagi kedua belah pihak petani peternak dan perusahaan swasta. Sistem agribisnis sapi potong merupakan kegiatan yang mengintegrasikan pembangunan sektor pertanian secara simultan dengan pembangunan sektor industri dan jasa yang terkait dalam suatu kluster industri sapi potong. Kegiatan tersebut mencakup empat subsistem, yaitu subsistem agribisnis hulu, subsistem agribisnis budidaya, subsistem agribisnis hilir, dan subsistem jasa penunjang Suwandi, 2005. Menurut Siregar dan Ilham 2003, agar pengembangan sistem usaha agribisnis tersebut dapat mengakomodasi tujuan untuk meningkatkan daya saing produk dan sekaligus melibatkan peternak skala menengah ke bawah, ada tiga alternatif kegiatan yang dapat dilakukan, yaitu: 1 integrasi vertikal yang dikelola secara profesional oleh suatu perusahaan swasta, 2 integrasi vertikal yang dilakukan peternak secara bersama-sama yang tergabung dalam wadah koperasi atau organisasi lainnya, dan 3 kombinasi keduanya atau dikenal dengan sistem usaha kemitraan. Tulang punggung penyediaan daging sapi di Indonesia adalah peternak berskala kecil, karena hanya sedikit peternak yang berskala menengah atau besar. Peternakan rakyat berskala kecil biasanya merupakan usaha sambilan atau cabang usaha, dan ternak tersebar secara luas mengikuti persebaran penduduk. Berdasarkan data yang ada, dalam periode tahun 2003-2007 pangsa daging sapi asal impor mengalami peningkatan dari 10 671.4 ton 2003 meningkat menjadi 39 400 ton 2007 atau meningkat rata-rata 41.36 persen pertahun. Pangsa daging sapi asal impor tersebut saat ini sudah mencapai lebih dari 30 persen dibandingkan dengan produksi daging domestik. Relatif cepatnya pertumbuhan impor daging dan sapi bakalan menunjukkan bahwa pertumbuhan produksi daging sapi domestik seolah tidak mampu mengikuti pertumbuhan konsumsi daging sapi nasional. Impor daging atau sapi bakalan saat ini justru dapat mengganggu perkembangan agribisnis sapi potong lokal yang saat ini dikembangkan masyarakat. Populasi ternak sapi selama kurun waktu 2005 hingga 2009 mengalami kenaikan yaitu rata-rata sebesar 4.4 persen. Kenaikan populasi sapi meningkat tajam pada tahun 2007 dan 2008 yakni masing-masing 5.5 persen dan 6.9 persen. Kenaikan populasi ternak sapi disajikan pada Tabel 7. Tabel 7. Populasi Sapi Potong Indonesia Tahun 2005-2009 juta ekor Tahun Populasi Trend 2005 10.6 - 2006 10.9 2.8 2007 11.5 5.5 2008 12.3 6.9 2009 12.6 2.4 Rata-rata 11.6 4.4 Sumber: Direktorat Jenderal Peternakan, 2009b Populasi sapi potong per bangsa tahun 2009 disajikan pada Tabel 9. Komposisi sapi potong tiga terbesar adalah sapi Bali, sapi PO Peranakan Ongole, dan sapi persilangan hasil IB dengan sapi Limousin, atau sering disebut sapi Liomusin. Sapi lokal lainnya terdiri atas sapi Aceh, sapi Madura, dan sapi SO Sumba Ongole. Populasi Sapi Potong per Bangsa Tahun 2009 dan Proyeksi sampai Tahun 2014 dapat dilihat pada Tabel 8. Tabel 8. Populasi Sapi Potong per Bangsa Tahun 2009 dan Proyeksi sampai Tahun 2014 Bangsa Sapi 2009 2010 2011 2012 2014 Sapi Bali 4 185 016 4 313 415 4 482 041 4 652 146 4 837 140 Sapi PO 2 469 807 2 541 829 2 615 950 2 692 234 2 770 741 Sapi Brahman 699 838 717 546 877 041 1 025 426 1 204 525 Sapi Lokal lainnya 1 961 253 2 029 709 2 100 555 2 173 873 2 249 751 Sapi Simmental 1 217 133 1 257 380 1 298 958 1 341 911 1 386 284 Sapi Limousine 2 131 750 2 210 948 2 293 089 2 378 282 2 466 639 Sumber: Direktorat Jenderal Peternakan, 2009b Data yang ada menunjukkan bahwa populasi sapi potong diproyeksikan akan meningkat dengan adanya berbagai program yang sudah dilaksanakan dan yang akan dilaksanakan. Pada periode tiga tahun terakhir, sejak 2007 sampai dengan 2009, laju pertumbuhan penyediaan daging dari produksi lokal lebih rendah dibandingkan konsumsi. Impor ternak sapi dan daging yang semakin besar dan melebihi kebutuhan konsumsi dalam negeri akan meningkatkan ketergantungan bangsa Indonesia terhadap bangsa lain dan dapat mengancam kedaulatan pangan sumber protein hewani. Penyediaan dan konsumsi daging dapat dilihat pada Tabel 9. Tabel 9. Penyediaan Daging Sapi Lokal, Ex-Bakalan dan Impor Tahun 2005- 2009. Tahun 000 ton No Uraian 2005 2006 2007 2008 2009 1 Produksi Lokal 217.4 259.5 210.8 233.6 250.8 2 Impor Bakalan 55.1 57.1 60.8 80.4 72.8 3 Impor Daging 56.2 62.0 64.0 70.0 70.0 4 Total Produksi Lokal dan Impor 328.6 378.7 335.6 384.1 393.6 5 Konsumsi Daging Sapi - - 314.0 313.3 325.9 6 Selisih Produksi Lokal dan Konsumsi - - 103.3 79.7 75.0 Sumber: Direktorat Jenderal Peternakan, 2009b Berdasarkan tren penyediaan daging seperti pada Tabel 9, terlihat bahwa sejak tahun 2007-2009 terjadi kelebihan impor bakalan dan daging, sehingga diperlukan kebijakan untuk pengaturan volume impor. Pemasukan dan pengeluaran daging sapi dapat dilakukan dengan mengacu pada Permentan No. 20PermentanOT.14042009 tentang Pemasukan dan Pengawasan Peredaran Karkas, Daging, danatau Jeroan Dari Luar Negeri, tanggal 8 April 2009. Peraturan ini mencakup tujuh ruang lingkup pengaturan yang meliputi: 1 jenis karkas, daging danatau jeroan yang dapat dimasukkan ke dalam wilayah negara Republik Indonesia, 2 persyaratan pemasukan yang mengatur tentang pelaku pemasukan, 3 kriteria negara danatau zona asal, 4 persyaratan unit usaha di negara asal dan persyaratan kemasanlabel dan pengangkutan, 5 tatacara pemasukan, 6 tindakan karantina hewan, serta 7 pengaturan tentang pengawasan peredarannya dan sanksi bagi pelanggaran peraturan. Untuk pengeluaran ternak dari wilayah RI, Undang-Undang No. 182009 tentang PKH menyatakan bahwa pengeluaran benih, bibit dan atau bakalan dari wilayah negara kesatuan Republik Indonesia dapat dilakukan apabila kebutuhan dalam negeri telah dapat dicukupi dan kelestarian ternak lokal dapat terjamin. Dalam operasionalisasinya sesungguhnya hal ini telah diatur dengan Permentan No. 07PermentanOT.14012008 tentang Syarat dan Tatacara Pemasukan dan Pengeluaran Benih, Bibit Ternak dan Ternak Potong, tanggal 30 Januari 2008. Peraturan ini mengatur tentang: 1 syarat dan tatacara pemasukan serta pengeluaran benih, bibit ternak dan sapi potong, 2 mengenai pengemasan dan pengangkutan, 3 pengawasan dan ketentuan sanksi bagi pelanggaran yang terjadi. Sedangkan kebijakan pengeluaran untuk ternak bibit dapat dilakukan sepanjang kebutuhan dalam negeri telah dapat dipenuhi berdasarkan kajian teknis yang dilakukan oleh Dirjen Peternakan setelah mendapat saran dan pertimbangan dari Komisi Bibit Ternak Nasional Kombitnak dan Komisi Nasional Sumber Daya Genetik Komnas SDG. Pemasukan dan pengeluaran daging dan sapi hidup dari dan ke wilayah NKRI telah diatur dalam berbagai peraturan perundangan dan kebijakan.

VI. GAMBARAN WILAYAH, KARAKTERISTIK PETERNAKAN SAPI POTONG DAN RESPONDEN PENELITIAN