Kebijakan Alternatif terhadap Peningkatan Daya Saing Usaha Penggemukan Sapi Potong

adalah peningkatan efisiensi teknis tehnical efficiency, perubahan teknologi tehnical change, dan skala usaha economic of scale.

7.2.8. Kebijakan Alternatif terhadap Peningkatan Daya Saing Usaha Penggemukan Sapi Potong

Berdasarkan hasil analisis yang dilakukan menunjukkan bahwa secara umum peran pemerintah dalam usaha penggemukan sapi potong masih belum sepenuhnya memberikan perlindungan terhadap peternak. Usaha ternak sapi potong hanya akan berkembang dan maju bila didukung dengan kebijakan yang kondusif. Berdasarkan analisis PAM dan sensitivitas yang dilakukan, penurunan harga sapi potong dan kenaikan harga pakan menyebabkan penurunan daya saing usaha peternakan sapi potong di Kabupaten Agam. Oleh karena itu pemerintah harus melindungi peternak sapi potong dalam negeri dengan mendorong peningkatan produktivitas, penurunan harga pakan ternak serta meningkatkan harga jual sapi potong ditingkat peternak. Sejalan dengan komitmen pemerintah dalam menyukseskan swasembada daging sapi di Indonesia, maka program-program yang disusun dalam rangka program Pencapaian Swasembada Daging Sapi PSDS 2014 diharapkan mampu untuk memacu produktivitas dan daya saing usaha ternak sapi potong dalam negeri. Program PSDS tersebut mencakup lima kegiatan pokok, yaitu 1 penyediaan bakalan dan daging sapi lokal, 2 peningkatan produktivitas dan reproduktivitas ternak sapi lokal, 3 pencegahan pemotongan sapi betina produktif, 4 penyediaan bibit sapi lokal, dan 5 pengaturan stok daging sapi dalam negeri. Kebijakan pemerintah dalam peningkatan jumlah impor daging dan sapi bakalan pada dasarnya bertujuan meningkatkan populasi sapi potong di dalam negeri. Karena pada konsep awalnya, impor sapi bakalan dan daging sapi sebenarnya bertujuan untuk memproteksi dan meningkatkan produktivitas sapi lokal di dalam negeri. Namun kenyataannya peningkatan impor sapi bakalan dan daging sapi juga mengakibatkan penurunan populasi sapi di dalam negeri. Konsekuensi dari kebijakan penyatuan pasar lokal dengan pasar global adalah besarnya kebutuhan devisa untuk membeli sapi dan daging. Disamping itu jika kebijakan ini berjalan tanpa kendali, tentu tidak akan memberi rangsangan bagi peternak sapi lokal, karena peternak di dalam negeri hanya menikmati keuntungan yang lebih kecil. Bila tidak ada perlindungan dari berbagai kebijakan pemerintah, dikhawatirkan sebagian besar pelaku bisnis usaha peternakan sapi potong rakyat akan menghentikan usahanya. Akibat dari seluruh kondisi tersebut, pada tingkat harga produsen dalam negeri peternak tidak akan mampu memenuhi kebutuhan daging, sesuai dengan harga global yang terbentuk. Pada posisi ini daging dan sapi impor akan menjadi price leader dalam pembentukan harga daging sapi di dalam negeri. Agar peternak di dalam negeri dapat menikmati lebih besar lagi nilai surplus ekonominya, harus dilakukan upaya dengan cara menggeser suplai sapi lokal ke arah pemenuhan kebutuhan yang selama ini diisi oleh daging dan sapi indukan impor. Prinsip dasar kebijakan pemerintah terkait dengan proteksi dan promosi. Usaha peternakan domestik perlu dilindungi proteksi dari ancaman banjir impor murah yang terjadi karena kebijakan subsidi domestik yang berlebihan di berbagai negara. Praktek perdagangan dunia produk sapi potong domestik patut mendapatkan proteksi dari pemerintah. Proteksi terhadap usaha peternakan sapi potong dapat dilakukan melaui tarif dan non-tarif. Namun mengingat mulai diberlakukannya pasar bebas, maka hambatan perdagangan terutama berupa tarif akan semakin sulit untuk dilakukan. Untuk itu pemerintah bisa fokus pada kebijakan non-tarif ataupun pemberian subsidi terhadap peternak domestik. Jika pemerintah mampu melindungi pasar dalam negeri, produksi peternakan sapi potong rakyat akan dapat mensuplai daging sapi dengan lebih kompetitif. Kebijakan yang ada saat ini justru membuka peluang impor untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri. Artinya, kebijakan yang ada belum memberi perlakuan yang sama kepada usaha peternakan dalam negeri dan industri peternakan pesaing di luar negeri. Hal ini dapat dilihat dengan adanya SK Mentan No. 745 tentang pemisahan daging dan jeroan, kebijakan zona bebas PMK, serta larangan penggunaan hormon dalam usaha sapi potong. Pada kenyataanya daging yang diimpor yang menggunakan hormon pertumbuhan masih diizinkan masuk pasar dalam negeri. Untuk itu berbagai kebijakan yang ada perlu diinventarisasi, mulai dari Undang-Undang No. 61967 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan, Peraturan Pemerintah, SK Mentan, SK Dirjen Peternakan, hingga Peraturan Daerah yang berkaitan dengan pengembangan peternakan sapi potong Tawaf dan Kuswaryan 2006. Kompetisi antara sapi lokal dengan produk impor berupa sapi maupun daging akan terus terjadi. Pada kompetisi ini yang sangat memegang peranan adalah daya saing, khususnya dalam pengadaan feeder cattle dan proses penggemukan yang lebih cepat dan efisien. Dengan kondisi industri peternakan saat ini, memang masih diperlukan impor sapi dari luar negeri. Akan tetapi, sebaiknya dilakukan pembatasan terhadap jenis sapi yang akan diimpor. Sapi yang diimpor sebaiknya merupakan sapi indukan sapi sumberdaya. Kebijakan ini dilakukan untuk memberikan motivasi kepada industri bibit dan indukan dalam negeri. Pembatasan ini juga berfungsi agar indukan atau bibit sapi impor dapat menjadi indukan genetik yang dapat disilangkan dengan bibit lokal sehingga dihasilkan indukan dan bibit yang potensial. Bibit atau indukan tersebut merupakan hasil persilangan dengan beberapa keunggulan, seperti bobot sapi yang relatif lebih gemuk dan sesuai dengan iklim di Indonesia. Kebijakan lainnya yang perlu diperhatikan adalah masalah pakan ternak sapi potong. Pemberlakuan kembali subsidi untuk pakan ternak perlu dipertimbangkan kembali, mengingat dengan harga pakan ternak yang lebih murah maka surplus yang diperoleh peternak akan lebih tinggi.

VIII. KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN

8.1. Kesimpulan

Berdasarkan tujuan penelitian, beberapa hal yang dapat disimpulkan melalui penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Variabel yang berpengaruh nyata terhadap produksi dalam usaha penggemukan sapi potong adalah jumlah hijauan, konsentrat, umur bakalan, dan penguasaan ternak. Variabel jumlah penggunaan tenaga kerja dan obat- obatan walaupun tidak nyata namun menunjukkan tanda sesuai dengan yang diharapakan. Mengingat variabel konsentrat dan umur bakalan berpengaruh positif dan sangat nyata, maka peternak perlu menambah penggunaan konsentrat dan memperhatikan umur sapi bakalan yang digunakan untuk mencapai produksi yang optimal. 2. Rata-rata peternak penggemukan sapi potong di Kabupaten Agam belum efisien secara teknis dengan tingkat efisiensi teknis yang dicapai rata-rata adalah sebesar 0.764 dan relatif merata. Variabel yang menjadi sumber inefsiensi teknis usaha penggemukan sapi potong adalah variabel umur dan status usaha ternak. Sementara variabel pendidikan dan pengalaman tidak berpengaruh nyata. 3. Usaha penggemukan sapi potong di Kabupaten Agam memiliki daya saing, yang ditunjukkan bahwa usaha tersebut memiliki keunggulan kompetitif PCR 1 dan komparatif DRC 1 serta masih mampu membiayai input domestiknya, walaupun memiliki kecenderungan menurun jika tidak diimbangi dengan harga jual yang memadai.