Dampak Kebijakan Pemerintah terhadap Usaha Penggemukan Sapi Potong di Kabupaten Agam

tersebut semakin berkurang. Berdasarkan hasil penelitian Nefri 2000 menemukan bahwa keunggulan komparatif atau nilai DRC usaha peternakan sapi potong adalah sebesar 0.52-0.56. Hal ini diperkirakan disebabkan oleh semakin berkurangnya kebijakan pemerintah yang memproteksi peternak. Semakin berkurangnya proteksi pemerintah terhadap peternak terlihat dari semakin menurunnya tarif impor sapi potong, yang saat ini sudah dihapuskan. Disamping itu juga semenjak tahun 2000 pemerintah telah mengahapus subsidi atas pakan ternak.

7.2.5. Dampak Kebijakan Pemerintah terhadap Usaha Penggemukan Sapi Potong di Kabupaten Agam

Usaha agribisnis peternakan hanya akan berkembang dan maju bila didukung dengan kebijakan yang kondusif. Pada kegiatan hulu harus dapat menjamin ketersediaan input produksi secara mudah, murah dan berkelanjutan. Kebijakan dalam hal budidaya on farm harus dapat memberi kepastian usaha, terkait dengan tata ruang, kebijakan dalam hal harga dan perdagangan harus dapat memberi kepastian kepada pelaku usaha agar harga daging tetap atraktif namun masih terjangkau. Kebijakan pemerintah dalam suatu aktivitas ekonomi dapat memberikan dampak positif maupun negatif, dimana dapat menurunkan atau meningkatkan produksi maupun produktivitas dari suatu aktivitas ekonomi. Saat ini peternak juga dihadapkan pada situasi dimana dengan diberlakukannya perdagangan bebas Free Trade Area yang akan mengurangi proteksi pemerintah terhadap peternak domestik. Dampak kebijakan pemerintah dapat diidentifikasi melalui identitas divergensi yang disajikan pada baris ketiga dari Tabel PAM. Divergensi menyebabkan harga privat berbeda dengan harga sosialnya. Divergensi meningkat karena adanya distorsi kebijakan yang mengakibatkan harga privat berbeda dengan harga efisiensinya, atau karena kekuatan pasar yang gagal.

7.2.5.1. Dampak Kebijakan

Pemerintah terhadap Output Usaha Penggemukan Sapi Potong di Kabupaten Agam Indikator untuk menentukan proteksi pemerintah terhadap output peternakan sapi potong domestik dalam Tabel PAM ditunjukkan oleh besaran nilai Output Transfer OT dan nilai Nominal Protection Coefficient on Output NPCO. Hasil Output Transfer OT usaha penggemukan sapi potong menunjukkan nilai yang positif, artinya harga output di pasar domestik lebih tinggi dibandingkan harga internasionalnya. Hal ini mengindikasikan bahwa ada kebijakan pemerintah yang bersifat protektif terhadap peternak sehingga menguntungkan peternak. Hal ini terlihat dengan adanya kebijakan pemerintah untuk membatasi kuota sapi impor maupun daging impor agar harga sapi domestik tidak jatuh. Pemerintah hanya memberikan izin impor dalam rangka mencukupi kebutuhan nasional. Disamping itu pemberlakukan kriteria-kriteria terhadap daging dan sapi impor seperti ASUH, SPS, dan bebas PHMU juga dapat melindungi produsen sapi potong domestik. Namun pemerintah masih harus memperhatikan kebijakan pengaturan volume impor, karena pada tahun 2007- 2009 masih terdapat kelebihan impor untuk bakalan dan daging sapi. Hasil OT didukung pula oleh nilai Nominal Protection Coefficient on Output NPCO. Nilai NPCO adalah rasio antara penerimaan yang dihitung berdasarkan harga domestik dengan penerimaan yang dihitung berdasarkan harga bayangan. Tabel 29. Output Transfer dan Nominal Protection coefficient on Output Usaha Penggemukan Sapi Potong di Kabupaten Agam No Indikator Kec. Sungai Puar Kec. Tilatang Kamang Gabungan 1 Output Transfer OT Rpekor 1 565 921 1 581 544 1 576 662 2 Nominal Protection coefficient on Output NPCO 1.1150 1.1146 1.1147 Nilai NPCO yang lebih besar dari satu NPCO 1 yaitu 1.1147 menunjukkan bahwa harga domestik lebih tinggi dari harga internasional atau nilai total output 11.47 persen lebih tinggi dari harga internasionalnya. Hasil yang diperoleh di dua Kecamatan hampir sama disebabkan oleh harga yang diterima peternak di Kedua Kecamatan tersebut tidak berbeda. Hasil ini juga tidak jauh berbeda dengan yang ditemukan oleh Perdana 2003, bahwa nialai NPCO pada usaha penggemukan sapi di Kabupaten Bandung adalah sebesar 1.21 untuk sapi yang berasal dari bakalan impor dan 1.23 untuk usaha yang menggunakan sapi bakalan lokal. Hal ini berarti terdapat kebijakan pemerintah yang menguntungkan peternak. Harga sapi potong domestik berkisar antara Rp. 22 000 sampai dengan Rp. 24 000 per kilogram. Sedangkan harga sapi impor berkisar antara Rp. 20 000 sampai Rp. 22 000 per kilogram. Berbeda dengan usaha sapi potong, usaha peternakan sapi perah menghasilkan NPCO 1, yang berarti adanya dampak kebijakan pemerintah dan distorsi pasar susu menyebabkan tingkat harga yang dibayar konsumen lebih murah dari harga susu impor. Dampak kebijakan dan distorsi pasar yang ada menyebabkan terjadinya transfer pendapatan dari produsen susu peternak ke konsumen susu Feryanto, 2010.

7.2.5.2. Dampak Kebijakan

Pemerintah terhadap Input Usaha Penggemukan Sapi Potong di Kabupaten Agam Kebijakan pemerintah juga berlaku untuk harga input dari usaha yang dijalankan. Berbagai kebijakan pemerintah biasanya diwujudkan melalui pemberian subsidi atau hambatan perdagangan tariff atau non tariff yang diberlakukan agar produsen dapat memanfaatkan sumberdaya secara optimal dan dapat melindungi produsen dalam negeri. Hal ini dilakukan dengan harapan agar peternak sebagai pengguna input dapat menerima harga input yang lebih rendah sehingga dapat menekan biaya produksi usaha ternaknya. Dampak kebijakan pemerintah terhadap input ditunjukkan oleh nilai Input Transfer IT, Factor Transfer FT dan Nominal Protection Coefficient on Input NPCI. Indikator dampak kebijakan pemerintah terhadap input dapat dilihat pada Tabel 30. Tabel 30. Input Transfer, Nominal Protection Coefficient on Input dan Factor Transfer Usaha Penggemukan Sapi Potong di Kabupaten Agam No Indikator Kec. Sungai Puar Kec. Tilatang Kamang Nilai Gabungan 1 Input Transfer IT Rpekor 278 148 347 083 358 295 2 Nominal Protection Coefficient on Input NPCI 1.066 1.076 1.081 3 Factor Transfer FT Rpekor 250 150 89 521 132 101 Nilai Input Transfer IT merupakan selisih antara biaya privat input tradable dengan biaya bayangannya atau dengan kata lain mengindikasikan perbedaan harga input yang harus dibayar peternak dengan harga impornya. Input Transfer yang bernilai positif menunjukkan biaya input tradable yang diterima peternak lebih mahal dari biaya input tradable pada tigkat harga dunia, dimana sistem seolah-olah dibebani pajak oleh kebijakan yang ada yang akan mengurangi tingkat keuntungan produsen atau dengan kata lain produsen tidak mendapat insentif. Sebaliknya, Input Transfer yang bernilai negatif menunjukkan adanya kebijakan subsidi terhadap input tradable. Subsidi pada harga input akan mengakibatkan biaya yang dikeluarkan untuk input pada tingkat privat lebih rendah dari pada tingkat harga sosial. Hal ini berarti kebijakan subsidi pada input tradable akan menguntungkan produsen lokal. Berdasarkan Tabel 30 diperoleh nilai Input Transfer yang menunjukkan divergensi positif. Penyebab terjadinya divergensi positif adalah adanya retribusi dan pajak yang dipungut terhadap input tradable sehingga harga privat untuk beberapa input tradable seperti sapi bakalan, dan obat-obatan, lebih tinggi dibandingkan harga sosialnya. Hal ini dapat dilihat dari kondisi empiris dilapangan yaitu berdasarkan Peraturan Daerah Nomor 4 tahun 1999 pemerintah setempat menetapkan adanya retribusi untuk setiap penjualan ternak. Disamping itu juga ada pemungutan untuk pemakaian angkutan, sehingga menambah biaya transportasi yang harus dibayar peternak. Walaupun sebenarnya juga ada subsidi terhadap beberapa input tradable, seperti subsidi pupuk dan Bahan Bakar Minyak BBM namun jumlah subsidi tersebut lebih kecil. Disamping itu kebijakan subsidi terhadap pupuk urea tidak berjalan efektif. Berdasarkan Peraturan Menteri Pertanian Nomor 32 Tahun 2010 tentang kebutuhan dan Harga Eceran Tertinggi HET pupuk bersubsidi untuk sektor pertanian menetapkan harga pupuk bersubsidi untuk pupuk urea adalah Rp. 1 600kg. Dalam hal ini berarti peternak dapat membeli pupuk dengan harga yang lebih rendah. Namun harga HET yang diterima peternak tidak sepenuhnya sesuai dengan yang sudah ditetapkan pemerintah, dimana peternak menerima harga diatas Rp. 1 600kg, walaupun masih dibawah harga pupuk yang tanpa subsidi. Harga pupuk rata-rata yang diterima peternak adalah Rp. 2 293kg. Sementara harga pupuk tanpa subsidi di lokasi penelitian adalah Rp. 3 500kg. Nominal Protection Coefficient on Input NPCI merupakan rasio antara biaya input tradable yang dihitung berdasarkan harga privat dengan input tradable yang dihitung berdasarkan harga bayangan dan merupakan indikasi adanya transfer input. Hasil NPCI yang diperoleh secara keseluruhan sebesar 1.081 menunjukkan bahwa biaya input privat lebih tinggi 8.1 persen dari biaya yang seharusnya dibayarkan. Berdasarkan Tabel 30 terlihat perbedaan biaya dengan yang seharusnya sangat kecil. Hal ini berarti pajak dan retribusi yang dibebankan terhadap input tradable dengan subsidi yang diterima hampir saling meniadakan, sehingga secara keseluruhan kebijakan subsidi yang diberikan pemerintah belum memberikan dampak yang besar terhadap usaha penggemukan sapi potong. Salah satu penyebabnya adalah belum efektifnya kebijakan-kebijakan subsidi yang telah dilakukan pemerintah selama ini. Hal ini terlihat dari subsidi pupuk yang diterapkan pemerintah, belum mampu menjamin ketersediaan pupuk yang memadai dengan HET yang telah ditetapkan. Beberapa kasus yang masih sering terjadi diataranya : 1 kelangkaan pasokan pupuk yang menyebabkan harga aktual melebihi HET, 2 margin pemasaran yang tinggi, 3 perencanaan alokasi pupuk yang belum sepenuhnya tepat serta pengawasan yang belum maksimal, dan 4 disparitas harga pupuk bersubsidi dan nonsubsidi yang cukup besar menyebabkan penyaluran pupuk bersubsidi belum tepat sasaran Rachman, 2009. Darwis dan Nurmanaf 2004 mengemukakan bahwa beberapa kebijakan strategis yang perlu dipertimbangkan pemerintah menyangkut masalah pupuk ditingkat usahatani, yaitu : 1 rasionalisasi penggunaan pupuk di tingkat petani, 2 rekomendasi pupuk berdasarkan analisis tanah spesifik lokasi, 3 peningkatan efektifitas penggunaan pupuk anorganik yang dikomplemen dengan pemanfaatan pupuk organik, 4 perbaikan pelaksanaan standarisasi dan sertifikasi pupuk, dan 5 pelaksanaan kebijakan ekspor dan impor pupuk yang kondusif bagi kontinuitas dan harga pupuk ditingkat petani. Penggunaan pupuk untuk kebun hijauan pakan ternak di wilayah penelitian sudah dikombinasikan dengan pupuk anorganik, sehingga kebutuhan terhadap pupuk organik urea tidak terlalu tinggi. Rata-rata pemakaian urea adalah 56 kg per hektar. Penggunaan pupuk ini masih berlebih dari yang dianjurkan, dimana kebutuhan pupuk hanya 50 kg per hektar.

7.2.5.3. Dampak Kebijakan Pemerintah terhadap Input-Output

Dampak kebijakan pemerintah terhadap input-output dapat dijelaskan melalui indikator-indikator yaitu Effective Protection Coefficient EPC, Net Transfer NT, Profitability Coefficient PC, dan Subsidy Ratio to Producers SRP. Tingkat proteksi simultan antara kebijakan input-output diindikasikan oleh besaran nilai Effective Protection Coefficient EPC. Indikator ini menggambarkan sejauh mana kebijakan pemerintah bersifat melindungi atau menghambat produksi domestik. Nilai EPC yang lebih dari satu menunjukkan bahwa kebijakan pemerintah terhadap output dan input dapat memberikan insentif kepada peternak sapi potong untuk berproduksi. Tabel 31. Effective Protection Coefficient, Net Transfer, Profitability Coefficient, dan Subsidy Ratio to Producers Usaha Penggemukan Sapi Potong di Kabupaten Agam No Indikator Kec. Sungai Puar Kec. Tilatang Kamang Gabungan 1 Effective Protection Coefficient EPC 1.137 1.134 1.131 2 Net Transfer NT 1 037 623 1 144 940 1 086 266 3 Profitability Coefficient PC 3.063 1.660 1.795 4 Subsidy Ratio to Producers SRP 0.076 0.083 0.079 Nilai EPC yang lebih besar dari satu disebabkan perbedaan harga jual sapi hidup yang berasal dari impor harga CIF dan harga aktual sapi yang dijual peternak, dimana harga jual sapi oleh peternak domestik lebih tinggi dari harga sapi yang didatangkan dari luar negeri. Hal ini diduga karena pemerintah memberikan perlindungan terhadap peternak sapi lokal dengan memanfaatkan instrumen non-tariff, seperti ASUH dan SPS. Disamping itu juga ada subsidi terhadap beberapa input tradable yaitu subsidi pupuk dan Bahan Bakar Minyak BBM. Kebijakan penghapusan tarif impor sebenarnya juga akan memberikan tantangan terhadap keberlanjutan usaha ternak sapi potong domestik. Penghapusan tarif impor terhadap sapi hidup menyebabkan harga sapi impor turun. Jika ini terus terjadi, maka juga akan berdampak pada pelaku bisnis usaha peternakan sapi potong rakyat. Jika kebijakan ini dibiarkan tanpa kendali, tentu tidak akan memberi rangsangan bagi peternak sapi lokal, karena peternak di dalam negeri hanya menikmati surplus ekonomi yang lebih kecil. Bila tidak ada perlindungan dari berbagai kebijakan pemerintah, dikhawatirkan sebagian besar pelaku bisnis usaha peternakan sapi potong rakyat akan menghentikan usahanya. Akibat dari seluruh kondisi tersebut, produsen dalam negeri peternak tidak akan mampu memenuhi kebutuhan daging, sesuai dengan harga global yang terbentuk. Pada posisi ini daging dan sapi impor akan menjadi price leader dalam pembentukan harga daging sapi di dalam negeri. Agar peternak di dalam negeri dapat menikmati lebih besar lagi nilai surplus ekonominya, harus dilakukan dengan cara menggeser suplai sapi lokal ke arah pemenuhan kebutuhan yang selama ini diisi oleh daging dan sapi indukan impor. Profitability Coefificient PC mengukur dampak seluruh transfer terhadap keuntungan privat. PC merupakan pengembangan dari EPC dengan memasukkan biaya faktor domestik. PC usaha penggemukan sapi potong secara keseluruhan adalah 1.795. Angka ini menunjukkan bahwa net transfer menyebabkan meningkatnya keuntungan privat dalam usaha penggemukan sapi potong. Kebijakan pemerintah menyebabkan keuntungan privat lebih besar dari keuntungan sosial. Nilai rasio subsidi bagi produsen merupakan indikator yang menunjukkan tingkat penambahan dan pengurangan penerimaan atas pengusahaan suatu komoditas karena adanya kebijakan pemerintah. Nilai SRP untuk kedua Kecamatan di Kabupaten Agam bernilai positif yaitu 0.076 pada Kecamatan Sungai Puar dan 0.083 pada Kecamatan Tilatang Kamang. Hal ini menunjukkan bahwa kebijakan pemerintah yang berlaku saat ini, hanya dapat memberikan insentif yang kecil terhadap peternak, dimana peternak penggemukan sapi potong di Kabupaten Agam mengeluarkan biaya produksi lebih kecil 7.6 persen dan 8.3 persen untuk masing-masing Kecamatan dari opportunity cost untuk produksi. Berdasarkan keseluruhan hasil indikator analisis dampak kebijakan tersebut menunjukkan bahwa kebijakan pemerintah sudah mulai memberikan perlindungan terhadap peternak sapi potong walaupun masih kecil. Hal ini sejalan juga dengan adanya program swasembada daging 2014 oleh pemerintah, dimana pemerintah telah melakukan berbagai upaya untuk mencapai tujuan tersebut. Orientasi swasembada daging sapi tidak semata-mata diarahkan kepada pemenuhan kebutuhan konsumen dengan pengendalian impor sapi dan daging tetapi lebih diarahkan dalam konteks peningkatan produksi, kesejahteraan peternak, dan kesinambungan usaha peternak sapi serta meningkatkan daya saing produksi, sehingga secara langsung maupun tidak langsung dampaknya akan mengurangi ketergantungan dari impor daging dan sapi bakalan. Program Pencapaian Swasembada Daging Sapi PSDS 2014 dituangkan dalam lima kegiatan pokok, yaitu 1 penyediaan bakalan atau daging sapi lokal, 2 peningkatan produktivitas dan reproduktivitas ternak sapi lokal, 3 pencegahan pemotongan sapi betina produktif, 4 penyediaan bibit sapi lokal, dan 5 pengaturan stok daging sapi dalam negeri. Kompetisi antara sapi lokal dengan produk impor berupa sapi maupun daging akan terus terjadi. Pada kompetisi ini yang sangat memegang peranan adalah daya saing, khususnya dalam pengadaan feeder cattle dan proses penggemukan yang lebih cepat dan efisien. Pada saat ini impor diperlukan karena produksi dalam negeri tidak mampu menghasilkan produk dalam jumlah yang cukup untuk memenuhi konsumsi masyarakat. Impor diperlukan juga untuk memberikan tambahan tekanan persaingan kepada produsen ternak lokal agar mereka dapat berproduksi efisien. Pengendalian impor dijalankan sesuai dengan aturan perdagangan internasional dengan memanfaatkan tariff maupun non-tariff barrier secara benar, tepat, dan adil. Mengingat pentingnya komoditas ternak sapi potong bagi masyarakat Indonesia, kebiasaan untuk pengendalian impor tersebut perlu dilakukan karena impor sapi potong dapat menguras devisa negara dan menimbulkan dampak negatif sehingga menghambat pendapatan ternak dalam negeri, menghilangkan kesempatan dalam menciptakan lapangan kerja baru. 7.2.6. Analisis Sensitivitas terhadap Daya Saing Usaha Penggemukan Sapi Potong di Kabupaten Agam Gittinger 1986 mengemukakan bahwa meneliti kembali suatu analisis dengan tujuan untuk melihat pengaruh yang akan terjadi sebagai akibat keadaan yang berubah-ubah disebut sebagai analisis kepekaan sensitivity analysis. Pada penelitian ini dilakukan analisis sensitivitas untuk mengantisipasi adanya perubahan lingkungan strategis, kebijakan pemerintah, struktur biaya produksi dan produktivitas terhadap daya saing usaha penggemukan sapi potong penting untuk dilakukan, sehingga dapat diketahui kebijakan yang efektif dalam peningkatan keuntungan dan daya saing usaha penggemukan sapi potong di Kabupaten Agam. Analisis sensitivitas diperlukan, karena analisis dalam metode PAM merupakan analisis yang bersifat statis. Analisis sensitivitas juga berguna untuk mengetahui kepekaan efisiensi dalam pengusahaan penggemukan sapi potong terhadap perubahan pada komponen-komponen yang sangat berpengaruh dalam produksi ternak, yang dalam hal ini yang berpengaruh sangat nyata yaitu input pakan ternak berupa hijauan dan konsentrat. Analisis sensitifitas terdiri dari 5 skenario yang mencakup perubahan harga pakan, perubahan harga output, perubahan harga output dan pakan secara bersamaan, perubahan harga pupuk, serta perubahan harga output dan pupuk secara bersamaan. Secara keseluruhan, dari 5 skenario kebijakan, kondisi yang paling tidak menguntungkan peternak di Kecamatan Sungai Puar maupun Tilatang Kamang adalah naiknya harga pakan sebesar 20 persen bersamaan dengan turunnya harga output sebesar 15 persen. Tabel 32. Nilai Keuntungan berdasarkan Analisis Sensitivitas Usaha Penggemukan Sapi Potong di Kabupaten Agam Profitabilitas Privat Social No Skenario Kec. SP Kec. TK Kec. SP Kec. TK 1 Harga pakan naik 20 persen 956 612 2 494 436 -38 372 1 351 606 2 Harga output turun 15 persen -737 460 572 726 -1 522 359 -334 982 3 Harga pupuk naik 15 persen 1 532 580 2 868 504 506 601 1 714 684 4 Harga pakan naik 20 persen dan harga output turun 15 persen -1 321 554 187 769 -2 081 651 -717 830 5 Harga output turun 15 persen dan pupuk naik 15 persen -745 586 561 837 -1 536 678 -354 751 Penurunan harga output 15 persen menyebabkan keuntungan privat maupun sosial menurun bahkan menjadi negatif kecuali untuk keuntungan privat di Kecamatan Tilatang kamang. Nilai negatif mengindikasikan bahwa peternak menderita kerugian dalam usaha penggemukan sapi potong yang dijalankan jika terjadi penurunan terhadap harga output. Keuntungan privat di Kecamatan Sungai Puar yang negatif menunjukkan bahwa peternak di Kecamatan Sungai Puar lebih sensitif terhadap perubahan kebijakan yang terjadi, terutama perubahan harga input pakan dan harga output per kilogram sapi hidup. Kondisi ini perlu mendapat perhatian serius, karena fakta yang ada, saat ini produsen sapi potong domestik terutama peternak sapi potong rakyat terdesak oleh masuknya sapi impor dengan harga yang jauh lebih murah. Impor daging dan sapi bakalan semula dimaksudkan hanya untuk mendukung dan menyambung kebutuhan daging sapi yang terus meningkat. Pada beberapa daerah ternyata daging dan sapi bakalan impor justru berpotensi mengganggu usaha agribisnis sapi potong lokal. Harga daging, jeroan dan sapi bakalan impor relatif sangat murah. Fenomena ini menuntut peternak untuk bersaing dengan harga sapi impor, yang akan menyebabkan peternak menderita kerugian. Kerugian yang diderita peternak ini mengindikasikan bahwa usaha ternak sapi potong rakyat belum mencapai efisiensi maksimum dalam berproduksi, sehingga biaya yang dikeluarkan masih relatif mahal dari biaya yang seharusnya dikelurkan pada kondisi produksi mencapai efisiensi maksimum. Pada periode tiga tahun terakhir, sejak 2007 sampai dengan 2009 terlihat bahwa terjadi kelebihan impor bakalan dan daging, sehingga diperlukan kebijakan untuk pengaturan volume impor. Walaupun pemerintah sudah melakukan beberapa upaya dalam pengaturan volume perdagangan sapi hidup dan daging sapi, melalui instrumen non-tariff seperti pembatasan berat bobot hidup sapi impor yang tidak lebih dari 350 kg, berbagai aturan keamanan pangan yaitu memenuhi kriteria ASUH Aman, Sehat, Utuh dan Halal dan pencegahan penyakit seperti SPS sanitary dan Phytosanitary, akan tetapi upaya tersebut belum sepenuhnya berhasil. Untuk itu pemerintah harus lebih memperhatikan angka kebutuhan sapi dan daging dalam negeri, sehingga impor benar-benar sesuai dengan kebutuhan. Disamping itu pemerintah juga harus mengupayakan peningkatan produktivitas usaha ternak sapi potong domestik, atau dengan kata lain pemerintah harus lebih memperkuat populasi sapi dari sumberdaya lokal, mengingat potensi sapi lokal cukup besar. Analisis sensitivitas juga dilakukan untuk melihat kondisi daya saing usaha penggemukan sapi potong di Kabupaten Agam apabila terjadi perubahan- perubahan faktor internal maupun eksternal usaha penggemukan sapi potong. Analisis sensitivitas terhadap indikator daya saing dapat dilihat pada Tabel 33. Tabel 33. Indikator Daya Saing Berdasarkan Analisis Sensitivitas Pada Usaha Penggemukan sapi Potong di Kabupaten agam Indikator Daya Saing PCR DRC No Skenario Kec. SP Kec. TK Kec. SP Kec. TK 1 Harga pakan naik 20 persen 0.911 0.761 1.004 0.853 2 Harga output turun 15 persen 1.087 0.930 1.206 1.047 3 Harga pupuk naik 15 persen 0.857 0.726 0.946 0.814 4 Harga pakan naik 20 persen dan harga output turun 15 persen 1.157 0.977 1.283 1.101 5 Harga output turun 15 persen dan pupuk naik 15 persen 1.088 0.931 1.208 1.050 Hasil analisis menunjukkan bahwa kebijakan yang menjadikan peternak berada pada kondisi paling tidak berdaya saing untuk Kecamatan Sungai Puar maupun Tilatang Kamang adalah ketika harga pakan naik 20 persen dan harga output turun 15 persen. Kondisi lain yang dapat ditunjukkan oleh analisis sensitivitas adalah bahwa yang paling sensitif terhadap perubahan daya saing adalah jika terjadi perubahan pada harga output, dimana penurunan harga output sebesar 15 persen saja menyebabkan usaha penggemukan sapi potong di kedua lokasi tidak memiliki keunggulan komparatif. Hal ini berarti bahwa komoditas sapi potong tidak lagi efisien untuk diproduksi di dalam negeri. Oleh karena itu pemerintah harus benar-benar memperhatikan kestabilan harga komoditas sapi potong dengan menerapkan kebijakan-kebijakan perdagangan terutama pengendalian impor komoditas sapi potong. Tidak jauh berbeda dengan hasil penelitian Nefri 2000 menghasilkan jika harga output turun sampai 25 persen akan menjadikan perusahaan tidak mungkin untuk beroperasi, dimana koefisien DRC 1 yaitu sebesar 1.2468. Hasil analisis sensitivitas juga menunjukkan bahwa secara keseluruhan yang memiliki keunggulan kompetitif dan komparatif yang lebih baik adalah Kecamatan Tilatang Kamang, yang terlihat dari nilai PCR dan DRC untuk semua analisis selalu lebih kecil dibandingkan Kecamatan Sungai Puar. Hal ini mengindikasikan bahwa peternak di Kecamatan Tilatang Kamang mempunyai kemampuan lebih dalam membiayai faktor domestiknya pada harga privat dan secara umum lebih efisien dalam pengusahaan ternaknya, yang terlihat dari kemampuannya untuk menghemat biaya faktor domestik pada harga sosial, serta lebih mampu bertahan tanpa bantuan pemerintah.

7.2.7. Analisis Tingkat Produktivitas dan Harga pada Kondisi DRC = 1