Keunggulan Kompetitif dan Komparatif Usaha Penggemukan Sapi Potong di Kabupaten Agam

non efisiensi akan menghambat terjadinya alokasi sumberdaya yang efisien dan dengan sendirinya akan menimbulkan divergensi. Misalnya tarif impor daging yang ditetapkan untuk meningkatkan pendapatan peternak dan meningkatkan produksi daging sapi dalam negeri, namun dilain pihak akan menimbulkan kerugian efisiensi bila harga daging sapi yang digantikannya ternyata lebih murah dari biaya domestik yang digunakan untuk memproduksi daging sapi di dalam negeri, sehingga akan timbul trade-off Pearson, 2005. Secara teori, kebijakan yang paling efisien dapat dicapai jika pemerintah mampu menciptakan kebijakan yang mampu menghapuskan kegagalan pasar dan jika pemerintah mampu mengabaikan tujuan non efisiensi serta menghapuskan kebijakan yang distorsif. Apabila tindakan menciptakan kebijakan yang efisien dan menghilangkan kebijakan yang distorsif tersebut mampu dilaksanakan, maka divergensi dapat dihilangkan. Sebagaimana telah diuraikan sebelumnnya bahwa baik di Tilatang Kamang maupun di Sungai Puar, keduanya memiliki keuntungan privat dan sosial yang lebih besar dari nol. Hal ini berarti bahwa ada atau tidak adanya intervensi pemerintah pengusahaan penggemukan sapi potong masih menguntungkan secara finansial dan ekonomi atau memiliki daya saing dan tingkat efisiensi yang baik.

7.2.4. Keunggulan Kompetitif dan Komparatif Usaha Penggemukan Sapi Potong di Kabupaten Agam

Alokasi sumberdaya pada kegiatan perekonomian senantiasa diarahkan untuk mencapai tingkat efisiensi ekonomi yang tinggi sehingga produksi dan produktivitas yang tinggi dapat tercapai. Ukuran yang biasa digunakan untuk melihat efisiensi finansial dan ekonomi yang sekaligus sebagai indikator keunnggulan kompetitif dan komparatif adalah Privat Cost Ratio PCR dan Domestic Resources Cost Ratio DRC. Efisiensi finansial dan Keunggulan kompetitif suatu komoditas ditentukan oleh nilai keuntungan privat dan nilai Privat Cost Ratio PCR. PCR merupakan rasio antara biaya input non tradable dengan nilai tambah atau selisih antara penerimaan dan input tradable pada tingkat harga aktual. Harga yang digunakan dalam analisis ini adalah harga aktual yang terjadi di pasar dimana harga tersebut telah dipengaruhi oleh intervensi pemerintah. Nilai keuntungan privat yang lebih besar dari nol tersebut menunjukkan bahwa usaha penggemukan sapi potong untuk menghasilkan komoditi daging lokal menguntungkan secara privat dan dapat bersaing pada tingkat harga privat. Berdasarkan nilai PCR dapat dikatakan bahwa komoditas sapi potong efisien secara finansial dan mempunyai keunggulan kompetitif, karena untuk menghasilkan satu unit nilai tambah pada harga-harga privat hanya memerlukan kurang dari satu unit input domestik. Semakin kecil nilai PCR yang diperoleh, maka semakin tinggi tingkat efisiensi finansial dan keunggulan kompetitif yang dimiliki. Tabel 28. Privat Cost Ratio PCR dan Domestic Resources Cost Ratio DRC Usaha Penggemukan Sapi Potong di Kabupaten Agam No Indikator Kec. Sungai Puar Kec. Tilatang Kamang Gabungan 1 Privat Cost Ratio PCR 0.856 0.725 0.767 2 Domestic Resources Cost Ratio DRC 0.947 0.812 0.853 Nilai PCR yang diperoleh pada usaha penggemukan sapi potong di Kabupaten Agam secara keseluruhan adalah 0.767. Sedangkan untuk masing- masing Kecamatan adalah 0.856 untuk Kecamatan Sungai Puar dan 0.725 untuk Kecamatan Tilatang Kamang. Hal ini berarti bahwa untuk mendapatkan nilai tambah output sebesar satu satuan pada harga privat diperlukan tambahan biaya faktor domestik masing-masing sebesar 0.856 dan 0.725. Keunggulan kompetitif akan meningkat jika biaya faktor domestik dapat diminimumkan dan atau memaksimumkan nilai tambahnya. Sesuai dengan hasil analisis produksi, bahwa pada tingkat penggunaan input yang ada produktivitas yang dicapai pada usaha penggemukan sapi potong di Kabupaten Agam masih dapat ditingkatkan, yaitu sebesar 23.6 persen untuk mencapai produktivitas maksimum. Selain itu nilai tambah juga dapat ditingkatkan dengan peningkatan penggunaan teknologi yang dapat menurunkan biaya per unit output. Nilai PCR di Kecamatan Tilatang Kamang lebih kecil dibandingkan Kecamatan Sungai Puar, yang berarti bahwa pengusahaan penggemukan sapi potong di Kecamatan Tilatang Kamang lebih kompetitif dibanding Kecamatan Sungai Puar. Hal ini disebabkan biaya domestik yang harus dikeluarkan Kecamatan Sungai Puar lebih tinggi, terutama untuk biaya-biaya domestik yaitu biaya pakan berupa hijauan, biaya obat-obatan dan biaya tenaga kerja. Berdasarkan hasil penelitian pemberian pakan hijauan rata-rata 66.33 dan 65.83 kg per ekor per hari masing-masing di Kecamatan Sungai Puar dan Tilatang Kamang. Pemberian hijauan di Kecamatan Sungai Puar lebih tinggi dibandingkan Kecamatan Tilatang Kamang. Begitupula dengan penggunaan tenaga kerja, dimana di Sungai Puar jam kerja adalah 1.8 jam per ekor per hari, sedangkan di Tilatang Kamang 1.3 jam per ekor per hari. Hal ini terkait juga dengan efisiensi penggunaan faktor-faktor produksi, bahwa pengusahaan penggemukan sapi potong di Kecamatan Tilatang Kamang memiliki rata-rata tingkat efisiensi teknis yang lebih tinggi dibandingkan Kecamatan Sungai Puar. Keunggulan komparatif dan tingkat efisiensi ekonomi usaha penggemukan sapi potong ditunjukkan oleh nilai DRC yaitu rasio antara biaya domestik terhadap nilai tambah pada harga sosialnya. Nilai DRC menunjukkan kemampuan sistem produksi usaha penggemukan sapi potong dalam membiayai faktor domestiknya pada harga sosial, atau dengan kata lain menunjukkan jumlah sumberdaya domestik yang dapat dihemat untuk menghasilkan satu unit devisa. Secara keseluruhan di Kabupaten Agam nilai DRC sebesar 0.853. Sedangkan untuk masing-masing kecamatan nilai DRC adalah 0.947 untuk Kecamatan Sungai Puar dan 0.812 untuk Kecamatan Tilatang Kamang. Nilai tersebut berarti bahwa pada masing-masing Kecamatan, untuk menghasilkan satu satuan nilai tambah diperlukan 0.947 dan 0.812 satuan biaya input domestik pada harga sosialnya. Nilai tersebut juga mengandung arti bahwa setiap US1 yang dibutuhkan untuk impor sapi potong, jika diproduksi di Kabupaten Agam hanya membutuhkan biaya masing-masing US 0.947 dan US0.812, sehingga terjadi penghematan devisa negara sekitar US0.530-0.188. Hasil yang tidak jauh berbeda juga diperoleh oleh Adnyana 1997, dimana nilai DRC produksi daging sapi pada berbagai pola usaha kecuali usaha dengan pola PIR kredit adalah berkisar antara 0.806 sampai dengan 0.983. Sedangkan untuk usaha yang menerapkan pola PIR kredit lebih memiliki keunggulan komparatif dengan nilai DRC 0.547-0.656. Nilai DRC yang kurang dari satu menunjukkan bahwa pengusahaan penggemukan sapi efisien secara ekonomi dan mempunyai keunggulan komparatif serta mampu beroperasi tanpa bantuan atau intervensi pemerintah. Disamping itu juga mengindikasikan bahwa pemenuhan kebutuhan domestik akan komoditas sapi potong lebih baik diproduksi di dalam negeri dari pada harus mengimpor dari negara lain. Nilai DRC pada Kecamatan Sungai Puar lebih tinggi dari Kecamatan Tilatang Kamang mengindikasikan bahwa untuk memproduksi atau menghemat satu nilai tambah output di Kecamatan Sungai Puar membutuhkan biaya yang lebih besar devisa yang dihemat lebih kecil. Walaupun hasil yang diperoleh menunjukkan lebih baik memperoduksi sendiri, tetapi kenyataannya Indonesia masih harus mengimpor sapi potong karena kebutuhan dalam negeri hanya mampu memenuhi 70 persen dari kebutuhan nasional, sedangkan kekurangannya harus diimpor terutama dari Australia dan New Zealand. Nilai DRC pada usaha penggemukan sapi potong lebih besar dari nilai PCR DRC PCR menunjukkan bahwa terdapat kebijakan pemerintah yang memberikan insentif atau protektif terhadap produsen atau peternak sapi potong. Diantara kebijakan pemerintah terhadap usaha ternak sapi potong adalah adanya subsidi pupuk sehingga dapat menurunkan biaya produksi peternak dalam penyediaan hijauan sebagai pakan ternak. Kebijakan pemerintah lainnya terlihat dari adanya pembatasan jumlah impor untuk sapi potong dan pemberlakuan kriteria-kriteria untuk sapi yang boleh diimpor, diantaranya bobot badan sapi tidak boleh lebih dari 350 kg, dan peraturan pemasukan sapi hidup ke Indonesia harus berasal dari negara yang bebas dari Penyakit Hewan Menular Utama PHMU dan Zoonotic berbahaya. Walaupun kebijakan pemerintah yang ada masih memberikan insentif atau dukungan terhadap peternak, akan tetapi dukungan tersebut semakin berkurang. Berdasarkan hasil penelitian Nefri 2000 menemukan bahwa keunggulan komparatif atau nilai DRC usaha peternakan sapi potong adalah sebesar 0.52-0.56. Hal ini diperkirakan disebabkan oleh semakin berkurangnya kebijakan pemerintah yang memproteksi peternak. Semakin berkurangnya proteksi pemerintah terhadap peternak terlihat dari semakin menurunnya tarif impor sapi potong, yang saat ini sudah dihapuskan. Disamping itu juga semenjak tahun 2000 pemerintah telah mengahapus subsidi atas pakan ternak.

7.2.5. Dampak Kebijakan Pemerintah terhadap Usaha Penggemukan Sapi Potong di Kabupaten Agam