2.3. Kebijakan Pemerintah Terhadap Input dan Output Komoditas
Daging Sapi
Kebijakan pemerintah ditetapkan dengan tujuan untuk meningkatkan ekspor ataupun sebagai usaha dalam melindungi produk dalam negeri agar dapat
bersaing dengan produk luar negeri. Kebijakan tersebut biasanya diberlakukan untuk input dan output yang menyebabkan terjadinya perbedaan antara harga
input dan harga output yang diminta produsen harga privat dengan harga yang sebenarnya terjadi jika dalam kondisi perdagangan bebas harga sosial.
Kebijakan subsidi terdiri dari subsidi positif dan subsidi negatif pajak, sedangkan hambatan perdagangan berupa tarif dan kuota. Menurut Monke dan
Pearson 1995 perbedaan kebijakan perdagangan dengan subsidi berbeda dalam tiga aspek yaitu pada budget pemerintah, tipe alternatif kebijakan yang dilakukan,
dan tingkat kemampuan penerapan kebijakannya.
2.3.1. Kebijakan Output Daging Sapi
Pada perekonomian modern, pemerintah memiliki tiga fungsi utama yaitu sebagai peningkat efisiensi produksi, pencipta pemerataan dan keadilan, serta
sebagai pemicu pertumbuhan dan stabilitas ekonomi. Isu yang paling relevan dalam hubungan antar negara adalah bagaimana menata kembali sistem produksi
dan perdagangan sehingga dapat lebih bermanfaat bagi pembangunan ekonomi secara keseluruhan. Kebijakan pada bidang produksi seharusnya dikembalikan
pada keunggulan komparatif suatu negara, seperti halnya negara Indonesia yang memiliki keunggulan pada sektor agribisnis dan agroindustri. Kebijakan pada
bidang perdagangan sebaiknya mengacu pada aturan yang terdapat dalam
Perjanjian Umum tentang tarif dan Perdagangan General Agreement of Tariff and Trade
GATT Mayrita, 2007. Ketidakseimbangan antara konsumsi dan produksi daging nasional akan
mengakibatkan tidak terpenuhinya kebutuhan akan daging di Indonesia, yang cenderung dari tahun ke tahun mengalami peningkatan yang cukup serius.
Beberapa upaya yang dilakukan untuk mengantisipasi kekurangan produksi daging nasional telah dilakukan langkah-langkah Direktorat Jenderal Bina
Produksi Peternakan : 1 meningkatkan produktivitas sapi, dimana produktivitas maksimal masih sulit tercapai karena pola pemeliharaan yang masih tradisional,
2 melarang pemotongan sapi betina yang masih produktif. Pemerintah melalui Menteri Dalam Negeri dan Menteri Pertanian, mengeluarkan instruksi bersama
yaitu Nomor 18 Tahun 1979 dan Nomor 05lnsUm1979 tentang pencegahan dan larangan pemotongan ternak sapi atau kerbau betina bunting atau betina bibit, 3
pencegahan, pemberantasan dan pengobatan terhadap berbagai penyakit hewan menular. Hal ini termuat dalam PP Nomor 15 Tahun 1977 dan SK. Menteri
Pertanian Nomor 407 KptsUm61981, dan 4 pengembangan sistem budidaya sapi atau kerbau dengan sistem Mini Ranch.
Kebijakan dalam memacu pertumbuhan usaha peternakan secara nasional tidak dapat mengimbangi laju permintaan akan kebutuhan daging. Maka
pemerintah melakukan kebijakan impor daging untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri. Impor daging sapi sudah dimulai sejak tahun 1974, dan jumlah impor
cenderung mengalami peningkatan setiap tahunnya. Dengan adanya peningkatan yang tajam dalam impor daging sapi menimbulkan kekhawatiran terutama oleh
Direktorat Jenderal Peternakan, karena harga yang dijual oleh importir jauh lebih
murah dari daging lokal. Hal ini akan sangat mempengaruhi perkembangan usaha peternakan rakyat. Untuk mengantisipasi keadaan tersebut maka Ditjen
Peternakan menetapkan suatu kebijaksanaan dalam pengaturan kebutuhan daging pada tahun 1995, dalam pertemuan tahunan Ditjen Peternakan dengan seluruh
Dinas Peternakan Provinsi serta kedua Asosiasi yaitu Asosiasi Produsen daging dan Feedlot Indonesia APFINDO dan Asosiasi Pengimpor Daging Indonesia
ASPIDI di Lampung yang dikenal dengan konsep Tiga Ung Gaung yakni : 1 peternakan rakyat tetap merupakan tulang punggung, 2 industri peternakan
rakyat menjadi pendukung, dan 3 impor daging sebagai penyambung penawaran dan permintaan.
Berdasarkan kebijakan tersebut maka pemerintah membuat suatu batasan mengenai jumlah daging yang dapat diimpor setiap tahunnya atau yang dikenal
dengan kuota yaitu hanya pada batas kekurangan yang tidak dapat diproduksi secara lokal. Dalam upaya untuk membatasi impor daging sapi yang berlebihan,
salah satu upaya adalah melalui pembebanan tarif impor daging sapi yang masuk ke dalam negeri yang diberlakukan oleh Departemen Keuangan Direktorat
Jenderal Bea dan Cukai melalui keputusan Menteri Keuangan. Kebijakan pengenaan bea masuk berupa tarif impor pada komoditas daging sapi bertujuan
untuk melindungi produsen domestik. Secara bertahap, pemerintah Indonesia telah bertekad untuk melakukan penyesuaian terhadap tarif impor sebagaimana
yang telah diusulkan dalam Asian Vision Toward 2020 yang sepenuhnya konsisiten terhadap World Trade Organization WTO melalui kebijakan
deregulasi untuk meningkatkan daya saing dan produktivitas lini subsistem agribisnis.
Tarif impor untuk komoditas daging sapi pernah dikenakan sampai sebesar 30 persen. Tarif ini telah diturunkan secara bertahap. Pada tahun 1990 tarif impor
daging sapi sebesar 30 persen, tahun 1995 turun menjadi 25 persen, dan tahun 1997 turun menjadi 20 persen. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 10 tahun
1995 tentang Kepabeaan untuk periode 1 Januari 1997 sampai dengan 31 Desember 2003 kesepakatan AFTA, tarif impor daging sapi akan diturunkan
menjadi 5 persen Dirgantoro, 2004. Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 132.PMK.0.102005 tentang Program Harmonisasi Tarif 2005-2010
menetapkan tarif impor daging sapi dari tahun 2005-2010 sebesar 5 persen. Untuk merangsang perkembangan investasi dalam usaha industri
peternakan sapi potong yang menggunakan sapi impor, maka sejalan dengan maksud SK. Mentan Nomor 3621990, dikeluarkan kebijakan oleh Menteri
Keuangan Nomor 5221991 salah satu butir PAKJUN 1991, yang berisikan antara lain tentang penurunan tarif impor sapi bakalan dari 15 persen menjadi
0 persen. Inpres No.B-089Setbang21994 tanggal 19 Pebruasi 1994 berisi tentang pengaturan penataan segmentasi pasar daging dan jerohan. SK. Dirjen
Peternakan yang berkaitan dengan perijinan impor sapi bakalan mensyaratkan minimal 10 persen dari sapi bakalan yang diimpor dikerjasamakan dengan
peternak sebagai plasma. Dirgantoro 2004 mengemukakan beberapa argumen untuk melakukan
pembatasan atau pelarangan impor antara lain: 1 melindungi produsen dalam negeri dari persaingan yang tidak jujur misalnya praktek dumping, 2 melindungi
industri yang baru muncul infant industry, 3 tujuan tertentu yang terkait
dengan kepentingan dan keamanan nasional, 4 memperbaiki neraca perdagangan, dan 5 redistribusi pendapatan.
Dirjen Peternakan Departemen Pertanian mengemukakan bahwa pemerintah tidak bisa mengintervensi naiknya harga daging karena daging bukan
merupakan komoditi khusus yang penentuan harganya dilakukan melalui kebijakan harga tetapi mengikuti mekanisme pasar. Jadi pemerintah hanya
memfasilitasi tersedianya stok sapi hidup yang siap potong, sehat, dan bebas dari penyakit hewan menular Portal Nasional Republik Indonesia, 2008.
2.3.2. Kebijakan Input Pakan Ternak