ternaknya dengan sistem bagi hasil 66.67 persen, dan yang milik sendiri lebih sedikit 33.33 persen. Sedangkan peternak di Kecamatan Tilatang kamang lebih
dominan dengan pengelolaan milik sendiri 70 persen, dan sisanya 30 persen adalah sistem bagi hasil atau gaduh. Sistem bagi hasil disamping mengandung
unsur kerjasama bagi hasil, juga merupakan salah satu upaya dalam mengatasi kekurangan modal bagi peternak.
Tabel 13. Pola Penguasaan Ternak sapi Potong oleh Peternak responden di Kabupaten Agam
Kec. Sungai Puar Kec. Tilatang Kamang
Pola Penguasaan Ternak Sapi Potong
Jumlah Jumlah
Milik Sendiri 10
33.33 21
70.00 Sistem Bagi Hasil gaduh
20 66.67
9 30.00
Jumlah 30
100.00 30
100.00 Sistem bagi hasil ini ada dua variasi yaitu sistem bagi hasil berdasarkan
hasil penjualan sapi dengan pembagian 50-50 persen, dan sistem bagi hasil dengan 60-40 persen, dimana 60 persen hasil untuk peternak, dan 40 persen untuk
pemilik modal, dalam hal ini yang menyediakan sapi bakalan. Simatupang et al. 1994 menyatakan bahwa faktor pendorong timbulnya sistim gaduhan adalah :
1 belum berkembangnya lembaga keuangan desa, 2 bentuk usaha ternak masih bersifat usaha keluarga, 3 masih banyaknya keluarga yang berpenghasilan
rendah, dan 4 wilayah bersangkutan punya potensi produksi.
6.2.4. Pemeliharaan Ternak Sapi Potong
Sistem pemeliharaan pada usaha penggemukan sapi potong di wilayah penelitian dilakukan dengan cara kereman, dimana sapi dikandangkan secara
terus-menerus. Pemberian pakan diberikan oleh peternak langsung di dalam kandang. Semua aktivitas sapi dilakukan di dalam kandang, mulai dari pemberian
makan, minum, istirahat, pembersihan kandang dan pengendalian penyakit. Periode pemeliharaan sapi bervariasi diantara peternak. Perbedaan periode
pemeliharaan diantara peternak disebabkan oleh perbedaan umur bakalan yang digunakan serta terkait dengan tujuan utama peternak memelihara sapi potong
yaitu sebagai sumber pendapatan utama atau hanya sebagai tabungan, dimana peternak yang orientasi pemeliharaan sebagai tabungan melakukan pemeliharaan
relatif lebih lama. Tabel 14. Sebaran Periode Pemeliharaan Sapi Potong oleh Peternak Responden di
Kabupaten Agam Kec. S. Puar
Kec. T. Kamang
Periode Pemeliharaan
bulan Jumlah
Jumlah 6
1 3.33
4 13.33
6 – 12 9
30.00 16
53.33 13 – 18
12 40.00
6 20.00
19 – 24 8
26.67 4
13.33 Tabel 14 menunjukkan bahwa periode pemeliharaan oleh peternak di
Kecamatan Sungai Puar relatif lebih lama dibanding peternak di Tilatang kamang. Sebagian besar peternak 66.67 persen di Kecamatan Sungai Puar
menggemukkan sapi diatas 12 bulan, sementara di Kecamatan Tilatang Kamang sebanyak 66.67 persen peternak menggemukkan sapi hanya selama ≤ 12 bulan.
Menurut Sugeng 2006, berdasarkan umur sapi yang akan digemukkan, lama penggemukan dibedakan menjadi tiga yaitu: 1 untuk sapi bakalan dengan umur
kurang dari 1 tahun, lama penggemukan berkisar antara 8-9 bulan, 2 untuk sapi bakalan umur 1-2 tahun, lama penggemukan 6-7 bulan, dan 3 untuk sapi
bakalan umur 2-2.5 tahun, lama penggemukan 4-6 bulan. Keberhasilan usaha penggemukan sapi potong tergantung dari beberapa
faktor yaitu bibit breeding, pakan feeding, dan pengelolaan management.
Menurut Siregar 2008, sistem penggemukan ada tiga, yakni sistem kereman, sistem pasture fattening, dan sistem dry lot fattening. Penggemukan sistem
kereman dilakukan dengan cara menempatkan sapi-sapi dalam kandang secara terus-menerus selama beberapa bulan. Sistem ini masih sangat sederhana, dimana
pakan yang diberikan terdiri dari hijauan dan konsentrat dengan perbandingan tergantung ketersediaan pakan hijauan dan konsentrat, dan bahkan ada juga yang
hanya memberikan pakan berupa hijauan saja. Penggemukan memerlukan waktu berkisar antara 3-6 bulan. Sapi bakalan yang digunakan dalam kereman umumnya
sapi – sapi jantan yang berumur sekitar 1-2 tahun dalam kondisi kurus dan sehat. Sistem pasture fattening merupakan sistem penggemukan sapi yang dilakukan
dengan cara menggembalakan sapi di padang penggembalaan, dimana memerlukan waktu yang relatif lama, yaitu sekitar 8-10 bulan. Sapi bakalan yang
digunakan pada pasture fattening adalah sapi jantan atau betina dengan umur minimal sekitar 2.5 tahun. Sapi jantan mempunyai pertumbuhan relatif cepat
dibandingkan sapi betina sehingga waktu penggemukannya relatif lebih singkat. Sistem dry lot fattening adalah sistem penggemukan dimana sapi berada terus-
menerus dalam kandang dengan pemberian ransum atau pakan yang mengutamakan biji-bijian, dan bahkan sudah diformulasi dari berbagai jenis
bahan pakan konsentrat. Sedangkan pemberian hijauan dengan proporsi yang lebih sedikit. Sapi bakalan yang dipergunakan pada dry lot fattening umumnya
sapi – sapi jantan yang telah berumur lebih dari 1 tahun dengan lama penggemukan sekitar 2-6 bulan.
Usaha ternak sapi potong di daerah penelitian, dalam hal ini adalah usaha penggemukan sapi, bakalan yang digunakan diperoleh dari bakalan yang dibeli,
bukan bakalan hasil pembibitan sendiri. Pada umumnya sapi bakalan yang digemukkan berasal hasil perkawinan alam dan sistem Inseminasi Buatan IB.
Jenis ternak sapi yang dipelihara adalah sapi peranakan Simental. Jenis sapi sudah menjadi perhatian bagi peternak, dimana peternak cenderung menggunakan sapi
hasil persilangan dibanding sapi lokal. Hal ini karena sapi hasil persilangan menunjukkan produksi yang lebih baik, terlihat dari pertambahan bobot badan
yang lebih tinggi dibanding sapi lokal. Ditinjau dari umur sapi bakalan yang digunakan, maka dapat dibagi menjadi dua, yaitu sapi bakalan yang berumur 1.0-
2.5 tahun, dan sapi bakalan yang masih berumur 1 tahun. Tabel 15. Umur Sapi Bakalan pada Usaha Penggemukan Sapi Potong di
Kabupaten Agam Kec. Sungai Puar
Kec. Tilatang Kamang
Umur Sapi Balakan Jumlah
Jumlah 1 tahun belum cukup umur
21 70.00
11 36.67
1 – 2.5 tahun cukup umur 9
30.00 19
63.33 Jumlah
30 100.00
30 100.00
Tabel 15 menunjukkan bahwa peternak di Kecamatan Sungai Puar sebagian besar 70 persen menggunakan sapi bakalan yang masih berumur di
bawah satu tahun, sementara peternak di Kecamatan Tilatang kamang lebih banyak 63.33 persen menggunakan sapi bakalan yang berumur 1-2.5 tahun.
Pertimbangan peternak dalam memilih umur sapi bakalan yang akan dipelihara didasarkan pada berbagai pertimbangan. Pada umumnya peternak yang membeli
bakalan dengan umur dibawah 1 tahun adalah karena faktor terbatasnya modal yang dimiliki, dimana sapi dengan umur yang lebih kecil lebih murah. Disamping
itu juga dengan alasan bahwa usaha ternak sapi yang dilakukan bertujuan sebagai tabungan. Konsekuensi dari ternak dengan umur bakalan yang masih muda adalah
pemeliharaan umumnya lebih lama hingga sapi tersebut layak dijual yaitu berkisar antara 1.5-2.5 tahun pemeliharaan.
Kecenderungan berbeda
pada usaha
penggemukan sapi
yang menggunakan bakalan umur 1.0-2.5 tahun, umumnya melakukan pemeliharaan
dengan jangka waktu yang lebih pendek yaitu berkisar 4-12 bulan. Hal ini selain karena pertumbuhan ternak mencapai tingkat optimum, efisiensi penggunaan
pakannya pun cukup tinggi. Hal ini sesuai dengan yang dikemukakan oleh Sugeng 2006 bahwa penggemukan sebaiknya dilakukan pada ternak sapi usia
12-18 bulan atau paling tua umur 2.5 tahun. Pembatasan usia ini dilakukan atas dasar bahwa pada usia tersebut ternak tengah mengalami fase pertumbuhan dalam
pembentukan kerangka maupun jaringan daging, sehingga bila pakan yang diberikan itu jumlah kandungan protein, mineral dan vitaminnya mencukupi, sapi
dapat cepat menjadi gemuk.
6.2.5. Pertambahan Bobot Badan Sapi