kebijakan subsidi pupuk diharapkan peternak dapat meningkatkan penyediaan kualitas dan kuantitas hijauan sebagai pakan ternak.
Disamping kebijakan yang ditetapkan oleh pemerintah pusat, pemerintah daerah juga menetapkan berbagai Peraturan Daerah terkait dengan tataniaga sapi
potong. Hal ini sejalan juga dengan Undang-Undang No. 22 tahun 1999 tentang Otonomi Daerah. Kebijakan Otonomi Daerah mendorong Pemerintah Daerah
meningkatkan pendapatan asli daerah sehingga muncul retribusi dalam kegiatan perdagangan sapi potong. Kebijakan pemerintan daerah Kabupaten Agam dalam
perdagangan sapi potong terdiri dari Peraturan Daerah Nomor 11 tahun 1998 tentang retribusi Rumah Potong Hewan RPH. Struktur dan besarnya tarif yang
ditetapkan adalah : 1 Pemeriksaan Kesehatan Ternak sebelum dipotong dengan tarif sebesar Rp. 10 000 per ekor, 2 tarif pemakain kandang sebesar Rp. 5 000
per ekor, 3 tarif pemakaian tempat pemotongan sebesar Rp. 10 000 per ekor, dan 4 pemakaian angkutan dengan tarif sebesar Rp. 1 500 per kilometer. Peraturan
lainnya yang ditetapkan pemerintah Kabupaten Agam adalah Peraturan Daerah Nomor 4 tahun 1999 tentang retribusi pasar grosir atau pertokoan yang juga
berlaku terhadap perdagangan sapi potong, dimana retribusi untuk pasar ternak adalah sebesar Rp. 5 000 per ekor sapi.
7.2.3. Profitabilitas Privat dan Sosial Usaha Penggemukan Sapi Potong di Kabupaten Agam
Analisis finansial dan ekonomi memberikan gambaran umum dan sederhana mengenai kelayakan usaha penggemukan sapi potong di Kabupaten
Agam. Komponen biaya merupakan aspek penting yang perlu diperhatikan dalam menjalankan suatu usaha. pengambilan keputusan tentang besarnya biaya perlu
menggunakan berbagai pertimbangan. Biaya yang dikeluarkan pada usaha penggemukan sapi potong terdiri dari biaya sapi bakalan, biaya pakan, biaya
tenaga kerja, biaya vitamin dan obat-obatan, biaya pupuk untuk hijauan, biaya transportasi, biaya penyusutan kandang dan peralatan, serta biaya sewa lahan.
Tabel 26. Penerimaan dan Komponen Biaya Rata-rata Usaha Penggemukan Sapi Potong di Kabupaten Agam
Kec. Sungai Puar Kec. Tilatang Kamang
Uraian Jumlah
Rpekor Proporsi
Jumlah Rpekor
Proporsi
Penerimaan
15 187 778 15 377 778
Biaya :
1. Sapi Bakalan
2. Pakan
3. Tenaga Kerja
4. Vitamin dan
Obat-obatan 5.
Urea 6.
Transportasi 7.
Penyusutan Kandang 8.
PenyusutanPeralatan 9.
Sewa Lahan
Total
8 722 666 2 920 473
1 300 042 83 245
54 178 58 613
327 407 121 556
58 889 13 647 069
63.9 21.4
9.5 0.6
0.4 0.4
2.4 0.9
0.4
100.0
9 624 596 1 870 340
397 775 49 035
72 593 109 133
204 141 85 924
84 848 12 498 385
77.0 14.9
3.2 0.4
0.6 0.9
1.6 0.7
0.7
100.0 Keuntungan
1 540 709 2 879 393
Berdasarkan Tabel 26, untuk setiap pemeliharaan satu ekor sapi potong di Kedua Kecamatan, biaya terbesarnya dialokasikan untuk biaya sapi bakalan yaitu
63.9 persen atau dengan nilai Rp. 8 722 666 untuk peternak di Kecamatan Sungai Puar dan 77.0 persen atau dengan nilai sebesar Rp. 9 624 596 untuk peternak di
Kecamatan Tilatang Kamang. Proporsi biaya berikutnya adalah biaya pakan sebesar 21.4 persen dengan
nilai sebesar Rp. 2 920 473 untuk peternak di Kecamatan Sungai Puar dan 14.9 persen dengan nilai sebesar Rp. 1 870 340 untuk peternak di Kecamatan Tilatang
Kamang. Selanjutnya untuk Kecamatan Sungai Puar adalah biaya tenaga kerja
9.5 persen, penyusutan kandang 2.4 persen, penyusutan peralatan 0.9 persen, dan terkecil adalah urea, transportasi dan sewa lahan dengan proporsi yang sama
yaitu masing-masing 0.4 persen. Sedangkan untuk Kecamatan Tilatang Kamang komponen biaya terkecil adalah biaya vitamin dan obat-obatan.
Perbedaan proporsi biaya antara dua Kecamatan terlihat jelas untuk komponen biaya sapi bakalan, dimana peternak di Kecamatan Tilatang Kamang
mengelurkan biaya lebih besar. Hal ini disebabkan peternak di Kecamatan Tilatang Kamang umumnya membeli sapi bakalan yang berumur di atas 1 tahun
sementara peternak di Sungai Puar lebih memilih sapi bakalan yang lebih muda, didasarkan pada modal yang dimilki.
Profitabilitas privat finansial adalah selisih penerimaan dan biaya total dengan dasar perhitungan harga output yang diterima dan harga input yang
dibayar peternak. Total biaya termasuk juga nilai sewa lahan dan upah tenaga kerja dalam keluarga. Profitabilitas privat finansial merupakan indikator
keunggulan kompetitif dari sistem komoditas berdasarkan teknologi, nilai output, biaya input dan transfer kebijakan yang ada. Sedangkan profitabilitas sosial
mengindikasikan keunggulan komparatif suatu komoditas dalam pemanfaatan sumberdaya yang langka di dalam negeri. Pada kondisi ini harga input dan output
diperhitungkan dalam kondisi persaingan sempurna, dimana segala bentuk subsidi dan proteksi yang bersifat mendistorsi pasar telah dihilangkan. Sistem komoditas
dengan tingkat profitabilitas sosial ekonomi yang makin tinggi maka menunjukkan tingkat keunggulan komparatif yang semakin besar.
Secara finansial maupun ekonomi usaha penggemukan sapi potong di Kabupaten Agam, baik Kecamatan Sungai Puar maupun Tilatang Kamang
menguntungkan. Hal ini terlihat dari keuntungan finansial dan ekonomi yang bernilai positif. Penerimaan finansial dan ekonomi usaha penggemukan sapi juga
memperlihatkan divergensi positif. Hal ini mengindikasikan bahwa harga yang diterima oleh peternak khususnya di Kabupaten Agam lebih tinggi dari barang
sejenis yang dijual di pasar internasional. Adanya perbedaan harga output juga karena konsumen cenderung lebih suka sapi lokal dibanding sapi impor. Hasil
analisis berdasarkan perhitungan PAM dapat dilihat pada Tabel 27. Tabel 27. Matriks Analisis Kebijakan Usaha Penggemukan Sapi potong di
Kabupaten Agam
Biaya Input Rpekor Uraian
Penerimaan Output
Rpekor Input
Tradable Input
Non Tradale Keuntungan
Kec. Sungai Puar Nilai Finansial
Nilai Ekonomi Dampak Kebijakan dan
Distorsi Pasar 15 187 778
13 621 857 1 565 921
4 479 439 4 201 291
278 148 9 167 630
8 917 480 250 150
1 540 709 503 086
1 037 623
Kec. Tilatang Kamang Nilai Finansial
Nilai Ekonomi Dampak Kebijakan dan
Distorsi Pasar 15 377 778
13 796 234 1 581 544
4 919 224 4 572 141
347 083 7 579 161
7 489 640 89 521
2 879 393 1 734 453
1 144 940
Keuntungan privat dan sosial dari usaha penggemukan sapi potong di Kecamatan Sungai Puar lebih rendah dibandingkan dengan keuntungan privat dan
sosial peternak di Kecamatan Tilatang Kamang. Hal ini karena tingkat produksi yang dicapai usaha penggemukan sapi potong di Kecamatan Tilatang Kamang
yang dilihat dari pertambahan bobot badan sapi 0.75 kghari lebih baik dibandingkan usaha penggemukan sapi potong di Kecamatan Sungai Puar 0.56
kghari. Salah satu penyebab terjadinya divergensi adalah kebijakan pemerintah
yang distorsif. Penerapan kebijakan distorsif untuk mencapai tujuan yang bersifat
non efisiensi akan menghambat terjadinya alokasi sumberdaya yang efisien dan dengan sendirinya akan menimbulkan divergensi. Misalnya tarif impor daging
yang ditetapkan untuk meningkatkan pendapatan peternak dan meningkatkan produksi daging sapi dalam negeri, namun dilain pihak akan menimbulkan
kerugian efisiensi bila harga daging sapi yang digantikannya ternyata lebih murah dari biaya domestik yang digunakan untuk memproduksi daging sapi di dalam
negeri, sehingga akan timbul trade-off Pearson, 2005. Secara teori, kebijakan yang paling efisien dapat dicapai jika pemerintah
mampu menciptakan kebijakan yang mampu menghapuskan kegagalan pasar dan jika pemerintah mampu mengabaikan tujuan non efisiensi serta menghapuskan
kebijakan yang distorsif. Apabila tindakan menciptakan kebijakan yang efisien dan menghilangkan kebijakan yang distorsif tersebut mampu dilaksanakan, maka
divergensi dapat dihilangkan. Sebagaimana telah diuraikan sebelumnnya bahwa baik di Tilatang
Kamang maupun di Sungai Puar, keduanya memiliki keuntungan privat dan sosial yang lebih besar dari nol. Hal ini berarti bahwa ada atau tidak adanya intervensi
pemerintah pengusahaan penggemukan sapi potong masih menguntungkan secara finansial dan ekonomi atau memiliki daya saing dan tingkat efisiensi yang baik.
7.2.4. Keunggulan Kompetitif dan Komparatif Usaha Penggemukan Sapi Potong di Kabupaten Agam