Analisis Wacana Argumentasi Deskripsi Teoretik

Jika mengacu pada pendapat Chang dan Chiu, maka pengertian argumen dan argumentasi yang dikemukakan oleh Inch tergolong jenis informal. Menurut Inch, et al. argumen memiliki tiga karakteristik, yaitu: Karakteristik pertama “a claim is an expressed opinion or a conclusion that the arguer wants accepted klaim adalah pendapat yang dikemukakan atau kesimpulan yang diinginkan oleh pemberi argumen untuk diterima ”. Karakteristik kedua “claims are supported by evidence and by the reasoning or inferences that connect the evidence to the claim klaim didukung oleh fakta dan alasan atau inferensi yang menghubungkan fakta ke klaim ”. Karakteristik ketiga “the third and last characteristic of arguments is that they are attempts to influence someone in a context where people disagree with each other karakteristik ketiga dan yang terakhir dari argumen adalah bahwa argumen mencoba untuk mempengaruhi seseorang dalam situasi yang mana orang tersebut tidak setuju dengan yang lainnya ”. 33 Tiga kriteria tersebut yaitu klaim, pendukung klaim, dan usaha mempengaruhi menjadi ciri sebuah argumen informal. Kriteria pertama dari argumen yaitu klaim, klaim merupakan sebuah opini atau pendapat yang dikemukakan oleh seseorang atau sebuah kesimpulan yang ingin diterima oleh orang lain. Kriteria kedua dari argumen adalah dukungan yang disediakan untuk klaim baik berupa bukti dan penalaran atau inferensi yang menghubungkan bukti dengan klaim. Bukti merupakan sesuatu yang dapat membuat audien menerima dan dapat digunakan untuk mendukung klaim yang tidak diterima. Kriteria ketiga dari argumen adalah berusaha untuk mempengaruhi seseorang yang berada dalam ketidaksetujuan. “Berusaha untuk mempengaruhi” adalah sangat penting menentukan sukses dan tidaknya pendapat seseorang. Berdasarkan kriteria ini sebuah argumentasi akan terjadi jika terdapat pihak yang berlawanan atau pihak yang menyanggah. Selama tidak ada pihak yang 33 Edward S. Inch, Barbara Warnick, and Danielle Endres, op. cit., p. 9-11. berlawanan tidak akan dihasilkan argumen. Pada contoh percakapan di bawah ini tidak ada argumen: John: Akankah kita pergi ke bioskop malam ini? Meri: Boleh, film apa yang akan kita lihat? John: Bagaimana kalau film “Sang Pemimpi”? Meri: Ok, apakah kita akan melihat pertunjukan yang jam 7? John: Baiklah 34 Ada beberapa pola atau model argumen, di antaranya adalah Silogisme, Toulmin, dan Co-Oriental. Model yang paling lengkap yang dapat menggambarkan ketiga kriteria argumen informal yang dikemukakan oleh Inch klaim, pendukung klaim, dan usaha mempengaruhi adalah model argumentasi Toulmin. Model argumentasi Toulmin mengungkapkan bahwa argumen bentuk dasarnya terdiri dari tiga kategori yaitu: data D, klaim K, dan penjamin warrantW. Secara sederhana model argumentasi Toulmin dapat digambarkan pada gambar 2.2 berikut ini: Gambar 2.2 Model Argumentasi Toulmin 35 Bagi Toulmin komponen klaim K merupakan suatu keputusan yang harus dikembangkan, dan mempunyai implikasi terhadap data D dan penjamin warrantW. Toulmin dalam Freeley berpendapat bahwa suatu argumen dapat mengandung klaim K, data D, penjamin warrantW, pendukung backingB, kualifikasi qualifierQ, dan 34 Ibid., p. 12. 35 Nelson Siregar, Penelitian Kelas: Teori, Metodologi, dan Analisis, Bandung: IKIP Bandung Press, 1998, h. 120. Data, D Disimpulkan, K Karena, W sanggahan rebuttalR. 36 Secara lengkap model argumentasi Toulmin dapat digambarkan pada gambar 2.3 berikut ini: Gambar 2.3 Model Lengkap Argumentasi Toulmin 37 Klaim K adalah kesimpulan, pendapat, atau pernyataan yang kuat; data D adalah fakta yang mendukung klaim; penjamin warrantW adalah penjelasan tentang hubungan antara klaim dengan data; pendukung backingB adalah asumsi dasar untuk mendukung penjamin; kualifikasi qualifierQ adalah kondisi dimana klaim meyakinkan atau tidak; dan sanggahan rebuttalR adalah pernyataan yang menyanggah sebuah klaim, data, dan penjamin yang bertentangan. 38 Osborne, et al. telah mengembangkan kualitas argumentasi berdasarkan model argumentasi Toulmin. Kualitas argumentasi berdasarkan kerangka kerja analisis dari Osborne, et al. yaitu sebagai berikut: “Osborne, et al.’s 2004 analytical framework classified students’ argument at Level 1 claim versus a counter-claim or a claim versus a claim, Level 2 claims with either data, warrants, or backings, but no rebuttals, Level 3 series of claims or counter-claims with either data, warrants, or backings with the occasional weak rebuttal, Level 4 claim or claims and counter-claims with a clearly identifiable rebuttal, and finally Level 5 extended argument with more than one rebuttal”. 39 36 Austin J. Freeley, Argumentation and Debate: Rational Decision making, California: Wadsworth Publishing Co., Inc., 1966, p. 139. 37 Stephen E. Toulmin, The Uses of Argument, New York: Cambridge University Press, 2003, p. 97. 38 Vaille Dawson, and Grady Jane Venville, op. cit., pp. 1421-1445. 39 Ibid. D Maka Q, K Karena W Berdasarkan B Kecuali R Kutipan di atas mengandung arti bahwa kerangka kerja analisis dari Osborne, et al. 2004 mengklasifikasikan level argumentasi siswa sebagai berikut: Level 1 klaim berlawanan dengan counter klaim atau klaim berlawanan dengan klaim, Level 2 klaim disertai dengan data, penjamin, atau pendukung, tetapi tidak mengandung sanggahan, Level 3 serangkaian klaim atau counter klaim disertai dengan data, penjamin, atau pendukung dengan sanggahan yang lemah, Level 4 klaim dan counter klaim dengan sanggahan yang dapat diidentifikasi dengan jelas, dan terakhir Level 5 argumen yang lebih luas dengan lebih dari satu sanggahan. Pentingnya argumentasi dalam pembelajaran tidak diragukan lagi. Upaya membangun argumentasi di kelas didasarkan pada keyakinan bahwasanya pembelajaran merupakan fenomena wacana. Hal ini sejalan dengan pemikiran Vygotsky yang memandang bahwa proses membangun pengetahuan ini sangat dipengaruhi oleh faktor bahasa. 40 Bahasa di sini, tentu meliputi pembicaraan dan lebih spesifik lagi adalah argumentasi. Hal ini juga berlaku untuk pembelajaran sains. Pada saat pembelajaran sains guru menyampaikan pesan dan siswa menangkap serta merespon pesan tersebut, siswa dapat memberi tanggapan terhadap pesan yang tanggapan dari siswa tersebut dapat ditanggapi lagi oleh siswa lainnya. Isi pesan, penyampaian pesan, dan penanggapan terhadap pesan yang terjadi dalam kelas merupakan fenomena wacana. Wacana merupakan rekaman kebahasaan yang utuh tentang peristiwa komunikasi. Syamsudin dalam Sumartini mengidentifikasikan ciri-ciri wacana sebagai berikut: a. Wacana dapat berupa rangkaian ujar secara lisan dan tulisan atau rangkaian tindak tutur. b. Wacana mengungkapkan suatu hal atau subyek. 40 Tatang Suratno, Mengembangkan Argumentasi dalam Pembelajaran Biologi, Jurnal EDUSAINS, Vol. 1 No. 1, Juni 2008, h. 3. c. Penyajiannya teratur, sistematis, koheren, lengkap dengan situasi pendukungnya. d. Memiliki satu kesatuan misi dalam rangkaian itu. e. Dibentuk oleh unsur segmental dan non segmental. 41 Wacana yang terjadi dalam pembelajaran sains merupakan wacana argumentasi, karena pada pembelajaran sains disampaikan serangkaian teori, konsep, atau prinsip yang merupakan sebuah klaim. Klaim yang disampaikan tersebut akan didukung oleh serangkaian fakta ilmiah yang dapat diuji kebenarannya. Isi pesan dalam pembelajaran sains berupa penjelasan, pembuktian, alasan, maupun ulasan obyektif dimana disertakan contoh, analogi, dan sebab akibat.

B. Hasil Penelitian yang Relevan

Penelitian yang telah dilakukan berkaitan dengan kualitas argumentasi siswa, di antaranya adalah Yanti Herlanti, dkk., mengenai kualitas argumentasi pada diskusi isu sosiosaintifik mikrobiologi melalui weblog. Hasil analisis terhadap kualitas argumentasi menunjukkan secara sosial partisipan mampu mencapai argumentasi level 5, adapun secara individual skor rata-rata kualitas argumentasi adalah 3. Pengembangan kerangka “scaffolding” diperlukan untuk mempertahankan kualitas argumentasi secara sosial dan meningkatkan kualitas argumentasi secara individual. 42 Hasil penelitian yang dilakukan oleh Indra Fardhani, mengenai analisis kualitas argumentasi siswa kelas VII SMP pada materi ekosistem dengan metode debat, menunjukkan bahwa level argumentasi yang paling banyak muncul selama pelaksanaan pembelajaran adalah argumentasi level 2. Kebanyakan siswa juga sudah bisa menyusun argumen dengan struktur tertentu. Kualitas argumentasi siswa dalam penelitian ini ditentukan 41 Entin Sumartini, “Pengembangan dan Analisis Wacana Argumentatif Teks untuk Hiperteks pada Topik Kesetimbangan Kimia ”, Skripsi pada UPI Bandung, Bandung, 2005, h. 18, tidak dipublikasikan. 42 Yanti Herlanti, dkk. Kualitas Argumentasi pada Diskusi Isu Sosiosaintifik Mikrobiologi Melalui Weblog, Jurnal Pendidikan IPA Indonesia JPII, Vol. 1 No. 2, Oktober 2012, h. 168. berdasarkan Pola Argumentasi ToulminToulmin Argumentation Pattern TAP dan berdasarkan kriteria level yang dikembangkan Erduran, et al. 43 Adapun penelitian yang dilakukan oleh Jane Maloney dan Shirley Simon, mengenai pemetaan bukti ilmiah dalam diskusi siswa dalam pembelajaran sains untuk menilai kolaborasi dan argumentasi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa siswa mampu mengevaluasi bukti ilmiah untuk mendukung keputusan yang dibuatnya. Bukti-bukti ilmiah dapat mereka gunakan untuk mendukung kesimpulan yang mereka buat. Selanjutnya, aktivitas pembelajaran kolaboratif yang berfokus pada diskusi bukti ilmiah dapat dikembangkan untuk melatih kemampuan siswa untuk berargumentasi ilmiah secara efektif dalam pengambilan keputusan. 44 Terdapat juga penelitian yang dilakukan oleh Vaille Dawson dan Grady Jane Venville, mengenai penjelasan informal dan argumentasi siswa sekolah menengah tentang bioteknologi: indikator literasi sains? Didapat hasil bahwa dari 179 respon siswa 59 kelas 8, 68 kelas 10, dan 52 kelas 12 menunjukkan bahwa siswa di Australia menanggapi proses bioteknologi menggunakan tipe penalaran informal: 36 intuitif I, 33 emotif E, dan 26 rasional R. Dinyatakan sangat berbeda dengan hasil penelitian serupa di Amerika Serikat dengan tipe 25 I, 47 E, dan 88 R. Sedangkan level argumentasinya: level 1 = 22, level 2 = 56, level 3 = 17 , dan level 4 = 5. Data ini dianggap mirip dengan Israel yang memiliki data sebagian besar 90 siswanya mampu memformulasi argumentasi level 2 ke atas. Penalaran informal rasional hanya muncul pada siswa yang mampu memformulasi argumentasi level 4. Sebagian besar siswa di Australia tidak bisa diklasifikasikan sebagai siswa yang tidak mengerti akan sains. 45 43 Indra Fardhani, “Analisis Kualitas Argumentasi Siswa Kelas VII SMP pada Materi Ekosistem dengan Metode Debat ”, Skripsi pada UPI Bandung, Bandung, 2011, h. i, tidak dipublikasikan. 44 Jane Maloney, and Shirley Simon, Mapping Children’s Discussions of Evidence in Science to Assess Collaboration and Argumentation, International Journal of Science Education, Vol. 28 No. 15, December 2006, pp. 1817-1841. 45 Vaille Dawson, and Grady Jane Venville, op. cit., pp. 1421-1445. Selanjutnya, penelitian yang dilakukan oleh Demetris Lazarou, mengenai belajar pada TAP: sebuah upaya untuk membangun argumentasi siswa dalam sains. Temuan dari penelitian menunjukkan bahwa adanya peningkatan yang positif dari keterampilan argumentasi siswa Sekolah Dasar dapat diamati melalui pengajaran yang jelas dengan memanfaatkan Pola Argumentasi Toulmin dan dengan upaya membangun argumentasi siswa. Hal ini tampaknya sesuai dengan apa yang peneliti lain telah sarankan, bahwa melalui pengajaran yang jelas, keterampilan argumentasi siswa dapat ditingkatkan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Pola Argumentasi Toulmin dapat dianggap sebagai sebuah pembangun mental yang signifikan untuk siswa, sebagai bentuk terstruktur dengan baik yang dapat menjadi sebuah mediator yang signifikan dari upaya argumentasi siswa. Hal ini juga mengusulkan bahwa melalui penggunaan TAP, para siswa menjadi mampu untuk menilai argumen mereka dan tetap memantau pengembangan keterampilan argumentasi mereka; sesuatu yang bisa menjadi motivasi intrinsik bagi mereka sendiri. 46 Berikutnya penelitian yang dilakukan oleh Marina Castells, et al. mengenai argumentasi dan konsepsi ilmiah dalam diskusi sesama: sebuah perbandingan antara katalan dan bahasa Inggris siswa. Penelitian ini bertujuan untuk membandingkan argumen yang digunakan oleh layanan bahasa Inggris siswa dan pra-dasar katalan guru dalam diskusi sesama mengenai dua tugas ilmiah. Perbandingan ini didasarkan pada skema argumentatif dari argumen mereka serta ide-ide, konsep-konsep dan keyakinan yang ada di dasar mereka. Hasil penelitian ini menggambarkan bahwa argumen yang dihasilkan oleh siswa cukup sama pada kedua sampel, dalam hal ini jumlah argumen dan frekuensi jenis argumen, tetapi ada beberapa perbedaan dalam urutan frekuensi yang terkait dengan tugas-tugas tertentu. Lebih relevan lagi adalah perbedaan kualitatif yang dibuat untuk memberikan bukti dan teori, 46 Demetris Lazarou, Learning to TAP: an Effort to Scaffold Students’ Argumentation in Science, Contemporary Science Education Research: Scientific Literacy and Social Aspects of Science ESERA Conference, 2009, p. 49-50. identifikasi aset dan skema argumentatif, hal ini merupakan pemahaman yang baik tentang pengetahuan ilmiah. 47 Kemudian, penelitian yang dilakukan oleh Tanja Riemeier, et al. mengenai kualitas argumentasi siswa dan pemahaman konsep mereka- keterkaitan eksplorasi mereka. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana kualitas argumentasi siswa berdasarkan pada pemahaman konseptual mereka. Model argumentasi Toulmin digunakan untuk menggambarkan proses dan kualitas argumentasi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa setiap argumentasi tunggal biasanya mengandung unsur yang sedikit berbeda dan elemen yang dianggap “berkualitas tinggi” itu jarang. Argumentasi yang terdiri dari kualitas struktur konseptual yang tinggi terjadi ketika siswa mampu menggunakan pengalaman khusus yang mereka lakukan selama pembelajaran. Jadi, dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa dalam masalah ilmiah yang kompleks terdapat ide-ide ilmiah dalam argumentasi mereka. 48

C. Kerangka Pikir

Pentingnya argumentasi dalam pembelajaran tidak diragukan lagi. Hal ini juga berlaku untuk pembelajaran sains. Pada saat pembelajaran sains guru menyampaikan pesan dan siswa menangkap serta merespon pesan tersebut, siswa dapat memberi tanggapan terhadap pesan yang tanggapan dari siswa tersebut dapat ditanggapi lagi oleh siswa lainnya, sehingga terjadilah interaksi sosial antar siswa dan antara siswa dengan guru dalam pembelajaran. Salah satu model pembelajaran yang memungkinkan terjadinya interaksi multiarah pada saat pembelajaran berlangsung adalah model pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw. 47 Marina Castells, et al. Argumentation Scientific Conceptions in Peer Discussions: a Comparison Between Catalan English Students , Contemporary Science Education Research: Scientific Literacy and Social Aspects of Science ESERA Conference, 2009, p. 51. 48 Tanja Riemeier, et al. The Quality of Students’ Argumentation and Their Conceptual Understanding – An Exploration of Their Interrelationship , Contemporary Science Education Research: Scientific Literacy and Social Aspects of Science ESERA Conference, 2009, p. 71.

Dokumen yang terkait

Penerapan pembelajaran kooperatif tipe jigsaw untuk meningkatkan hasil belajar siswa pada konsep gaya bernuansa nilai (penelitian tindakan kelas di MTs Hidayatul Islamiyah Karawang)

0 8 223

Perbandingan antara model pembelajaran cooperative learning tipe stad dengan pembelajaran konvensional dalam rangka meningkatkan hasil belajar PAI (eksperimen kelas XI SMA Negeri 3 Tangerang)

2 14 159

Upaya meningkatkan belajar siswa melalui strtegi pembelajaran kooperatif teknik jigsaw pada konsep hidrokarbon: penelitian tindakan kelas (classroom Action Research) di Madrasah Aliyah Annajah Pettukangan selatan Jakartach

4 24 102

PENGERUH MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF TIPE JIGSAW TERHADAP HASIL BELAJAR IPA SISWA PADA KONSEP CAHAYA (KUASI EKSPERIMEN DI SDN CIRENDEU III, TANGERANG SELATAN)

1 5 177

Pengaruh model pembelajaran kooperatif tipe jigsaw terhadap hasil belajar siswa pada konsep rangka dan panca indera manusia: penelitian kuasi eksperimen di Kelas IV MI Al-Washliyah Jakarta

0 5 172

Upaya meningkatkan aktivitas belajar siswa dalam pembelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) kelas II dengan menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe jigsaw di Mi Al-Amanah Joglo Kembangan

0 6 103

Perbedaan Peningkatan Hasil Belajar Antara Siswa Yang Diajar Melalui Pembelajaran Kooperatif Tipe Jigsaw Dengan Pembelajaran Konvensional Pada Konsep Protista

0 18 233

Penerapan model pembelajaran kooperatif tipe kepala bernomor struktur dalam meningkatkan hasil belajar IPS pada siswa SMPN 3 kota Tangerang selatan

1 12 173

pengaruh model pembelajaran kooperatif tipe jigsaw terhadap tingkat pemahaman siswa tentang materi zakat pada mata pelajaran pendidikan agama islam (Penelitian Quasi Eksperimen di Kelas VIII SMP Sulthan Bogor Tahun Ajaran 2015/2016)

1 10 154

PENGARUH PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF TIPE JIGSAW TERHADAP HASIL BELAJAR SISWA KELAS X SMA PADA POKOK BAHASAN PERHITUNGAN KIMIA.

0 2 17