Analisis Wacana Argumentasi Siswa Pada Pembelajaran Kooperatif Tipe Jigsaw Konsep Virus Kelas X (Penelitian Deskriptif Di Sma Negeri 9 Kota Tangerang Selatan)

(1)

SKRIPSI

Diajukan kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan guna Memperoleh

Gelar Sarjana Pendidikan (S.Pd)

Oleh

RISA OKVIYANI

NIM. 107016100759

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BIOLOGI

JURUSAN PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

2013 M/1434 H


(2)

(3)

(4)

(5)

i

Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengungkap kualitas argumentasi siswa yang terjadi dalam pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw konsep virus. Penelitian ini dilakukan di SMA Negeri 9 Kota Tangerang Selatan. Metode yang digunakan pada penelitian ini adalah deskriptif, dengan teknik pengambilan subjek secara purposive sampling. Subjek pada penelitian ini adalah siswa di kelas X-5 SMA Negeri 9 Kota Tangerang Selatan, yang berjumlah 41 orang. Unit analisis pada penelitian ini adalah wacana argumentasi siswa yang terjadi pada saat pembelajaran. Kualitas argumentasi siswa ditentukan berdasarkan model argumentasi Toulmin dan penentuan level argumentasi siswa berdasarkan kerangka kerja analisis dari Osborne, et al. Hasil penelitian menunjukkan bahwa mayoritas kualitas argumentasi siswa berada pada level 1 (klaim berlawanan dengan counter klaim atau klaim berlawanan dengan klaim), argumen siswa kebanyakan berupa klaim, dan minoritas kualitas argumentasi siswa berada pada level 2 (klaim disertai dengan data, penjamin, atau pendukung, tetapi tidak mengandung sanggahan).

Kata Kunci: Analisis Wacana Argumentasi Siswa, Model Argumentasi Toulmin, Kerangka Kerja Analisis dari Osborne, et al. Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Jigsaw.


(6)

ii

Teaching Sciences, State Islamic University Syarif Hidayatullah Jakarta.

The purpose of this research is to reveal the quality of students' argumentation that occures in the Jigsaw cooperative learning on virus concept. This research is conducted in SMAN 9 South Tangerang City. The method that is used in this research is descriptive, with subject retrieval techniques by purposive sampling. The subject of this research is the students' in class X-5SMAN 9 South Tangerang City which has 41 students'. The analysis unit in this research is discourse of students' argumentation that occures in learning process. The quality of students' argumentation based on Toulmin’s Model of argumentation and the determination of students' argumentation level based on analysis framework of Osborne, et al. The result of this research shows that the majority of the quality of students' argumentation is in level 1 (claim versus a counter claim or a claim versus a claim), mostly of students' argumentation is in the form of claim, and the minority of students' argumentation is in level 2 (claims with either data, warrants, or backings, but no rebuttals).

Keywords: Discourse Analysis of Students' Argumentation, Toulmin’s Model of Argumentation, Analysis Framework of Osborne, et al. The Jigsaw Cooperative Learning.


(7)

iii

melimpahkan rahmat, hidayah, serta karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Analisis Wacana Argumentasi Siswa pada Pembelajaran Kooperatif Tipe Jigsaw Konsep Virus Kelas X”, yang disusun untuk memenuhi salah satu syarat dalam meraih gelar sarjana strata satu (S1) Jurusan Pendidikan Ilmu Pengetahuan Alam Program Studi Pendidikan Biologi Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Penulis berharap skripsi ini dapat memperkaya wawasan, pengetahuan dan pemahaman tentang wacana argumentasi siswa pada model pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw. Dalam menyelesaikan skripsi ini, penulis banyak mendapat bantuan berupa dukungan, sumbangan pikiran dan bimbingan yang sangat besar artinya. Untuk itu dalam kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. Ibu Nurlena Rifa'i, MA, Ph.D, Dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Ibu Baiq Hana Susanti, M.Sc, Ketua Jurusan Pendidikan IPA Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. 3. Ibu Dr. Zulfiani, M.Pd, Ketua Program Studi Pendidikan Biologi Fakultas

Ilmu Tarbiyah dan Keguruan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, sekaligus Dosen Pembimbing Akademik pada Program Studi Pendidikan Biologi Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, serta Dosen Pembimbing I yang telah mengarahkan dan membimbing penulis dalam menyusun skripsi ini.

4. Ibu Yanti Herlanti, M.Pd, Dosen Pembimbing II yang telah mengarahkan dan membimbing penulis dalam menyusun skripsi ini.

5. Ibu Dra. Neng Nurhemah, M.Pd, Kepala SMA Negeri 9 Kota Tangerang Selatan yang telah memberikan izin kepada penulis untuk melakukan penelitian dan memberikan bantuan selama penelitian, dan juga Ibu Vivin


(8)

iv

sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

7. Sahabat-sahabatku, Aryani, Dinna, Fifi, Nurhasanah, dan rekan-rekan mahasiswa Pendidikan Biologi angkatan 2007 yang telah memberikan semangat dan dukungan, serta banyak berbagi pengalaman dan ilmu. Teman seperjuangan dalam melakukan penelitian skripsi ini (Agnah, Arista, dan Yolanda), terima kasih atas kerja sama dan semangat kalian selama ini.

8. Semua pihak yang telah membantu baik secara langsung maupun tidak langsung dalam penulisan skripsi ini yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu.

Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis khususnya dan bagi para pembaca pada umumnya. Akhir kata penulis berharap semoga segala perbuatan dan amal baik dari berbagai pihak dapat dibalas oleh Allah SWT dengan pahala yang berlipat ganda. Aamiin.

Jakarta, Mei 2013


(9)

v

ABSTRAK ... i

KATA PENGANTAR ... iii

DAFTAR ISI ... v

DAFTAR TABEL ... vii

DAFTAR GAMBAR ... viii

DAFTAR LAMPIRAN ... ix

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Identifikasi Masalah ... 7

C. Pembatasan Masalah ... 8

D. Perumusan Masalah... 8

E. Tujuan Penelitian ... 9

F. Manfaat Penelitian ... 9

BAB II KAJIAN TEORETIK A. Deskripsi Teoretik ... 10

B. Hasil Penelitian yang Relevan ... 32

C. Kerangka Pikir ... 35

BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Tempat dan Waktu Penelitian ... 37

B. Subjek Penelitian ... 37

C. Metode dan Langkah-langkah Penelitian ... 37

D. Unit Analisis ... 40

E. Instrumen Penelitian ... 41

F. Teknik Pengumpulan Data ... 43


(10)

vi BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan ... 100

B. Saran ... 100

DAFTAR PUSTAKA ... 102


(11)

vii

Tradisional... 14 Tabel 2.2 Langkah-langkah Model Pembelajaran Kooperatif ... 19 Tabel 4.1 Jumlah Wacana Kelompok Ahli pada Pembelajaran Kooperatif

Tipe Jigsaw Konsep Virus ... 55 Tabel 4.2 Rincian Jumlah Kategori pada Percakapan yang Terjadi dalam

Kelompok Ahli ... 60 Tabel 4.3 Jumlah Wacana Kelompok Asal pada Pembelajaran Kooperatif

Tipe Jigsaw Konsep Virus ... 64 Tabel 4.4 Rincian Jumlah Kategori pada Percakapan yang Terjadi dalam

Kelompok Asal ... 77 Tabel 4.5 Jumlah Wacana Tahap Kuis pada Pembelajaran Kooperatif Tipe

Jigsaw Konsep Virus ... 82 Tabel 4.6 Rincian Jumlah Kategori pada Percakapan yang Terjadi pada Tahap

Kuis ... 84 Tabel 4.7 Cuplikan Potongan Percakapan Siswa yang Keluar dari Materi

Pembelajaran ... 87 Tabel 4.8 Wacana yang Dikemukakan Oleh Siswa di Setiap Kelompok Ahli


(12)

viii

Jigsaw ... 24

Gambar 2.2 Model Argumentasi Toulmin ... 29

Gambar 2.3 Model Lengkap Argumentasi Toulmin ... 30

Gambar 3.1 Skema Alur Penelitian ... 39

Gambar 3.2 Pengelompokkan Siswa pada Pembelajaran Kooperatif Tipe Jigsaw ... 41

Gambar 3.3 Peta Duduk untuk Diskusi Kelompok Siswa pada Pembelajaran Kooperatif Tipe Jigsaw ... 45

Gambar 3.4 Proses Sebelum Menganalisis Sampai Pada Proses Menganalisis Wacana Argumentasi Lisan Siswa ... 51

Gambar 4.1 Jumlah Wacana yang Terjadi Pada Kelompok Ahli ... 56

Gambar 4.2 Jumlah Wacana yang Terjadi Pada Kelompok Asal ... 65


(13)

ix

Lampiran 2 Lembar Kerja Siswa... 114 Lampiran 3 Transkripsi, Penghalusan Teks, dan Reduksi Wacana Kelompok

Ahli ... 127 Lampiran 4 Transkripsi, Penghalusan Teks, dan Reduksi Wacana Kelompok

Asal ... 176 Lampiran 5 Transkripsi, Penghalusan Teks, dan Reduksi Wacana Tahap Kuis .. 241 Lampiran 6 Rincian Jumlah Kategori Wacana Kelompok Ahli... 252 Lampiran 7 Rincian Jumlah Kategori Wacana Kelompok Asal ... 253 Lampiran 8 Rincian Jumlah Kategori Wacana Tahap Kuis ... 255 Lampiran 9 Penentuan Level Argumentasi Siswa (Berdasarkan Kerangka

Kerja Analisis dari Osborne, et al.) ... 256

Lembar Validasi Data Perekaman Lembar Validasi Data LKS

Surat Permohonan Bimbingan Skripsi Surat Permohonan Izin Penelitian


(14)

1 A. Latar Belakang Masalah

Menurut Undang-undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, pendidikan adalah:

“Usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan negara”.1

Pendidikan memegang peranan penting karena pendidikan merupakan wahana untuk meningkatkan dan mengembangkan kualitas Sumber Daya Manusia. Dalam keseluruhan proses pendidikan, kegiatan belajar dan mengajar merupakan kegiatan yang paling pokok. Hal ini berarti bahwa berhasil tidaknya pencapaian tujuan pendidikan banyak bergantung kepada bagaimana proses belajar mengajar dirancang dan dijalankan secara profesional.

Setiap kegiatan belajar mengajar selalu melibatkan dua pelaku aktif, yaitu guru dan siswa. Guru, dalam proses pembelajaran memegang peran yang sangat penting. Dalam proses pembelajaran guru bukanlah hanya berperan sebagai model atau teladan bagi siswa yang diajarnya, akan tetapi juga sebagai pengelola pembelajaran, oleh karena itu keberhasilan suatu proses pembelajaran sangat ditentukan oleh kualitas atau kemampuan guru. Proses pembelajaran adalah sebuah upaya bersama antara guru dan siswa untuk berbagi dan mengolah informasi, dengan harapan pengetahuan yang diberikan bermanfaat dalam diri siswa dan menjadi landasan belajar yang berkelanjutan. Proses pembelajaran merupakan suatu sistem. Sebuah proses pembelajaran yang baik akan membentuk kemampuan berpikir kritis, dan munculnya

1

Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional, (Bandung: Fokusindo Mandiri, 2012), h. 2-3.


(15)

kreativitas, serta kemampuan untuk berargumentasi. Dengan demikian, proses pembelajaran ini sangat penting dalam menentukan mutu pendidikan.

Mutu pendidikan di Indonesia semakin hari dituntut untuk lebih baik lagi, maka hal yang efektif dilakukan dalam meningkatkan mutu pendidikan adalah adanya upaya perbaikan kepada proses belajar dan mengajar. Hal itu sangat erat kaitannya dengan akses untuk menggunakan sarana belajar yang sesuai dan memadai, kualitas mengajar, strategi pembelajaran yang digunakan, dan pengembangan sistem penilaian. Upaya perbaikan pada proses belajar dan mengajar akan mempengaruhi individu secara langsung, terutama untuk melatih individu memiliki kemampuan berpikir logis, kritis, sistematis, penalaran yang mantap, kreatif, dan inovatif, serta kemampuan untuk berargumentasi atau mengemukakan pendapat (komunikasi).

Rencana atau program yang harus dijadikan sebagai pedoman dalam pelaksanaan proses belajar mengajar oleh guru adalah kurikulum. Kurikulum dan pembelajaran, merupakan dua hal yang tidak dapat dipisahkan. Tanpa kurikulum yang jelas sebagai acuan, maka pembelajaran tidak akan berlangsung secara efektif. Kurikulum merupakan salah satu komponen penting dari sistem pendidikan, karena kurikulum merupakan komponen pendidikan yang dijadikan acuan oleh setiap satuan pendidikan, baik oleh pengelola maupun penyelenggara, khususnya oleh guru dan kepala sekolah.2 Kurikulum berhubungan erat dengan usaha mengembangkan peserta didik sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai.3

Kurikulum yang berlaku di Indonesia dewasa ini adalah Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). Kurikulum ini disusun dalam rangka memenuhi amanat yang tertuang dalam Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar

2

Enco Mulyasa, Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan: Sebuah Panduan Praktis, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2008), h. 4.

3

Wina Sanjaya, Kurikulum dan Pembelajaran: Teori dan Praktik Pengembangan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2008), h. 3.


(16)

Nasional Pendidikan.4 Dalam Standar Nasional Pendidikan (SNP Pasal 1, ayat 15) seperti yang dikutip Mulyasa dikemukakan bahwa Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) adalah kurikulum operasional yang disusun dan dilaksanakan oleh masing-masing satuan pendidikan.5 Penyusunan KTSP dilakukan oleh satuan pendidikan dengan memperhatikan dan berdasarkan standar kompetensi serta kompetensi dasar yang dikembangkan oleh Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP).6 Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) menuntut kreativitas guru dalam menyelenggarakan kegiatan pembelajaran. Kreativitas tersebut di antaranya meliputi kreatif dalam memilih pendekatan dan model pembelajaran yang tepat dan sesuai dengan materi yang disajikan. Kegiatan pembelajaran Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) adalah pembelajaran yang berpusat pada siswa (Student Centered Learning). Siswa dituntut untuk aktif dan senantiasa ambil bagian dalam aktivitas belajar. Guru dapat berfungsi sebagai fasilitator dan membantu memecahkan masalah yang dihadapi oleh siswa selama belajar.

Salah satu inovasi model pembelajaran yang berorientasi kepada aktivitas siswa yang dapat meningkatkan kemampuan akademik, melatihkan keterampilan berbicara, sekaligus menanamkan moralitas kepada siswa adalah model pembelajaran kooperatif. Dewasa ini telah banyak digunakan model pembelajaran kooperatif, bahkan pembelajaran kooperatif ini merupakan suatu model pembelajaran yang banyak dikembangkan. Pembelajaran kooperatif adalah salah satu bentuk pembelajaran yang berdasarkan paham konstruktivis. Pembelajaran kooperatif merupakan strategi belajar dengan sejumlah siswa sebagai anggota kelompok kecil yang tingkat kemampuannya berbeda.7 Menurut Slavin dalam Isjoni, pembelajaran kooperatif adalah suatu model pembelajaran dimana sistem belajar dan bekerja dalam kelompok-kelompok kecil yang berjumlah 4-6 orang secara kolaboratif sehingga dapat merangsang

4

Ibid., h. 134.

5

Mulyasa, op. cit., h. 19-20.

6

Ibid., h. 20.

7

Isjoni, Cooperative Learning:Efektivitas Pembelajaran Kelompok, (Bandung: Alfabeta, 2010), h. 12.


(17)

siswa lebih bergairah dalam belajar.8 Lawrence dan Harvey dalam Afriadi mengemukakan bahwa pembelajaran kooperatif dapat memberikan dukungan bagi siswa untuk saling bertukar ide, memecahkan masalah, berpikir alternatif dan meningkatkan kecakapan berbahasa.9 Berdasarkan uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa pembelajaran kooperatif merupakan pembelajaran dimana siswa dikelompokkan dalam kelompok-kelompok kecil yang beranggotakan 4-6 orang dengan struktur kelompok heterogen untuk saling bekerja sama dan saling membantu dalam memahami materi pelajaran, serta memotivasi siswa berani mengemukakan pendapatnya, menghargai pendapat teman, berpikir kritis dan berkomunikasi yang berkualitas. Hal yang penting dari pembelajaran kooperatif adalah mengajarkan kepada siswa keterampilan kerja sama dan kolaborasi, sehingga membuat siswa terlibat aktif pada proses pembelajaran yang dapat memberikan dampak positif terhadap kualitas interaksi dan komunikasi yang berkualitas. Hubungan yang baik antar sesama teman dapat mengembangkan kemampuan akademis siswa. Jadi, pada pembelajaran kooperatif ini siswa belajar lebih banyak dari teman-teman mereka daripada guru, karena dalam menyelesaikan tugas kelompoknya setiap siswa anggota kelompok harus saling bekerja sama dan saling membantu untuk memahami materi pelajaran.

Dalam pembelajaran kooperatif terdapat beberapa variasi model yang dapat diterapkan, salah satu di antaranya adalah model Jigsaw. Pembelajaran kooperatif Jigsaw merupakan salah satu tipe pembelajaran kooperatif yang mendorong siswa aktif dan saling membantu dalam menguasai materi pelajaran untuk mencapai prestasi yang maksimal.10 Menggunakan Jigsaw, siswa-siswa di tempatkan ke dalam tim-tim belajar heterogen beranggota lima sampai enam orang.11 Setiap siswa bertanggung jawab untuk mempelajari dan

8

Ibid., h. 15.

9

Afriadi, Pembelajaran Kooperatif Model STAD dengan Model Jigsaw dan Pengaruhnya Terhadap Hasil Belajar dan Sikap Siswa SMA Negeri Malang pada Konsep Reproduksi Manusia,

Jurnal Pendidikan Serambi Ilmu, Vol. 3 No. 2, Maret 2006, h. 109.

10

Isjoni, op. cit., h. 54.

11

Richard I. Arends, Learning to Teach: Belajar untuk Mengajar, Terj. Helly Prajitno Soetjipto dan Sri Mulyantini Soetjipto, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007), h. 13.


(18)

menguasai satu porsi materi yang telah dipilih untuknya. Para anggota dari tim-tim yang berbeda, tetapi membicarakan topik yang sama (kelompok ahli) bertemu untuk belajar dan saling membantu dalam mempelajari dan menguasai topik tersebut (tahap ini dinamakan diskusi kelompok ahli). Setelah itu, siswa kembali ke tim asalnya dan mengajarkan sesuatu yang telah mereka pelajari dalam tahap diskusi kelompok ahli kepada anggota-anggota lain di timnya masing-masing (tahap ini dinamakan diskusi kelompok asal). Model pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw didesain untuk meningkatkan rasa tanggung jawab siswa terhadap pembelajarannya sendiri dan juga pembelajaran orang lain, sehingga setiap anggota kelompok memiliki rasa saling bergantung positif antar anggota kelompoknya. Salah satu kelebihan dari model pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw ini adalah terjadinya interaksi multiarah pada saat proses belajar mengajar berlangsung.

Model pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw dapat diterapkan pada hampir seluruh subyek mata pelajaran. Dalam hal ini peneliti memilih satu konsep yang ada pada mata pelajaran biologi yaitu virus, karena pada konsep virus ini banyak terdapat topik-topik yang menarik untuk dilakukan pembahasan lebih lanjut dengan cara berdiskusi kelompok, serta banyak permasalahan-permasalahan yang terdapat dalam topik-topik tersebut yang harus dipecahkan dengan cara berdiskusi bersama anggota kelompok. Selain itu, pembagian materi pada konsep virus juga mudah dilakukan, hal ini dikarenakan banyaknya topik-topik pada konsep virus yang menarik untuk diperbincangkan.

Pada model pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw ini guru memberikan kebebasan kepada siswa untuk saling berinteraksi dan mengemukakan pendapatnya, karena dalam pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw inilah komunikasi memegang peranan sangat penting. Tanpa adanya komunikasi, konstruksi pengetahuan secara sosial tidak akan terjadi. Pada saat berkomunikasi dalam pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw, siswa akan mengemukakan berbagai argumen, menganalisis dan menimbang argumen


(19)

tersebut, serta menyimpulkan dan mensintesis argumen yang akan menjadi argumen kesepakatan bersama.

Argumen yang terjadi selama pembelajaran dapat diidentifikasi polanya. Ada beberapa pola atau model argumen. Model argumentasi Toulmin lebih tepat digunakan, karena model ini yang paling lengkap yang dapat menggambarkan kriteria dari suatu argumen. Toulmin dalam Freeley berpendapat bahwa suatu argumen dapat mengandung klaim (K), data (D), penjamin (warrant/W), pendukung (backing/B), kualifikasi (qualifier/Q), dan sanggahan (rebuttal/R).12 Model ini pun lebih banyak dikembangkan, bahkan kualitas argumentasi siswa dapat dinilai secara kuantitatif mulai dari level 1-5 berdasarkan kerangka kerja analisis dari Osborne yang mengklasifikasikan level argumentasi siswa dimulai dari level 1-5.13

Penelitian berkaitan dengan efektivitas pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw terhadap aktivitas dan hasil belajar siswa sudah banyak dilakukan, di antaranya yaitu penelitian yang dilakukan oleh Yeti Sulastri dan Diana Rochintaniawati pada tahun 2009 mengenai pengaruh penggunaan pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw dalam pembelajaran Biologi di SMPN 2 Cimalaka,14 selanjutnya penelitian yang dilakukan oleh Aceng Haetami dan Supriadi pada tahun 2010 mengenai penerapan model pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw untuk meningkatkan aktivitas dan hasil belajar siswa pada materi kelarutan dan hasil kali kelarutan,15 serta penelitian yang dilakukan oleh H. M. Sirih dan Muhammad Ali pada tahun 2007 mengenai penerapan model pembelajaran tipe Jigsaw dengan tongkat estafet untuk meningkatkan aktivitas

12

Austin J. Freeley, Argumentation and Debate: Rational Decision making, (California: Wadsworth Publishing Co., Inc., 1966), p. 139.

13

Vaille Dawson, and Grady Jane Venville, High-school Students’ Informal Reasoning and Argumentation about Biotechnology: An Indicator of Scientific Literacy? International Journal of Science Education, Vol. 31 No. 11, July 2009, pp. 1421-1445.

14

Yeti Sulastri, dan Diana Rochintaniawati, Pengaruh Penggunaan Pembelajaran Kooperatif Tipe Jigsaw dalam Pembelajaran Biologi di SMPN 2 Cimalaka, Jurnal Pengajaran MIPA, Vol. 13 No. 1, April 2009, h. 15, tersedia online (http://fpmipa.upi.edu), diakses (9-12-2010).

15

Aceng Haetami, dan Supriadi, Penerapan Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Jigsaw

untuk Meningkatkan Aktivitas dan Hasil Belajar Siswa pada Materi Kelarutan dan Hasil Kali Kelarutan, Wakapendik, Vol. 6 No. 1, Februari 2010, h. 1, tersedia online (http://jurnal.pdii.lipi.go.id), diakses (15-07-2011).


(20)

siswa dalam proses belajar mengajar di SMP Negeri 2 Kendari,16 tetapi belum banyak penelitian yang mengungkap bagaimana kualitas argumentasi yang dibangun siswa selama pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw.

Pentingnya mengungkap kualitas argumentasi yang dibangun siswa selama pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw ini berlangsung adalah untuk perbaikan kepada proses pembelajaran selanjutnya, karena dengan diungkapnya kualitas argumentasi siswa tersebut maka guru menjadi tahu seberapa besar kemampuan siswanya dalam berargumentasi, sehingga guru dapat memperbaiki dan meningkatkan cara mengajar serta proses pembelajaran menjadi lebih baik lagi. Dengan terungkapnya kualitas argumentasi siswa ini maka guru akan mengetahui seberapa besar kemampuan siswa dalam berpikir rasional, karena seperti yang telah diketahui bahwa proses argumentasi merupakan dasar dalam berpikir rasional. Semakin tinggi level argumentasi siswa maka semakin baik pula pemahaman konsep siswa, karena siswa yang memiliki level argumentasi tinggi berarti tingkat pemahaman konsep siswa tersebut sangat baik.

Berdasarkan uraian di atas, penulis terdorong untuk melakukan penelitian dengan judul: “Analisis Wacana Argumentasi Siswa pada Pembelajaran Kooperatif Tipe Jigsaw Konsep Virus Kelas X”, penelitian ini akan dilakukan di kelas X SMA Negeri 9 Kota Tangerang Selatan. Hasil penelitian ini diharapkan dapat mengungkap kualitas argumentasi siswa yang terjadi dalam pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw konsep virus.

B. Identifikasi Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang masalah yang dikemukakan di atas, maka dapat diidentifikasi beberapa masalah yang ada. Beberapa identifikasi masalah tersebut yaitu sebagai berikut:

16

H. M. Sirih, dan Muhammad Ali, Penerapan Model Pembelajaran Tipe Jigsaw dengan Tongkat Estafet untuk Meningkatkan Aktivitas Siswa dalam Proses Belajar Mengajar di SMP Negeri 2 Kendari, MIPMIPA (Majalah Ilmiah Pendidikan Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam), Vol. 6 No. 1, Februari 2007, h. 19.


(21)

1. Banyaknya penelitian yang dilakukan berkaitan dengan efektivitas pembelajaran kooperatifterhadap aktivitas dan hasil belajar siswa.

2. Pembelajaran kooperatif kaya akan argumentasi, terutama ketika para siswa melakukan konstruksi pengetahuannya secara sosial, akan tetapi belum banyak penelitian yang mengungkap kualitas argumentasi yang dibangun siswa selama pembelajaran.

C. Pembatasan Masalah

Penelitian ini terbatas pada masalah sebagai berikut:

1. Kegiatan pembelajaran yang dilakukan dengan menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw.

2. Penelitian ini hanya terbatas pada konsep virus dengan Kompetensi Dasar, yaitu mendeskripsikan ciri-ciri, dan peran virus dalam kehidupan.

3. Kualitas argumentasi siswa ditentukan berdasarkan model argumentasi Toulmin dan penentuan level argumentasi siswa berdasarkan kerangka kerja analisis dari Osborne yang mengklasifikasikan level argumentasi siswa dimulai dari level 1-5.

4. Aspek yang akan dianalisis dengan teknik analisis wacana adalah wacana argumentasi lisan siswa yang terjadi dalam pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw, pada tahap diskusi kelompok ahli, diskusi kelompok asal, dan kuis. 5. Proses menganalisis wacana argumentasi siswa dilakukan melalui empat

tahap, yaitu tahap pembuatan transkripsi, penghalusan teks, reduksi, dan penentuan level argumentasi.

D. Perumusan Masalah

Berdasarkan identifikasi dan pembatasan masalah diatas, maka perumusan masalah penelitian ini adalah “Bagaimanakah kualitas argumentasi siswa pada pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw konsep virus?”


(22)

E. Tujuan Penelitian

Berdasarkan latar belakang dan perumusan masalah yang telah diuraikan sebelumnya, maka tujuan penelitian ini adalah untuk mengungkap kualitas argumentasi siswa yang terjadi dalam pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw konsep virus.

F. Manfaat Penelitian

Hasil dari pelaksanaan penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat, yaitu sebagai berikut:

1. Bagi peneliti, memperluas wawasan cara pembelajaran biologi dengan menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw untuk mengungkap kualitas argumentasi siswa.

2. Bagi guru, sebagai bahan acuan untuk menciptakan pembelajaran yang efektif dalam mengungkap kualitas argumentasi siswa dengan menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw.

3. Bagi sekolah, hasil penelitian ini dapat memberikan kontribusi yang baik dalam rangka peningkatan mutu proses pembelajaran dan mutu pendidikan, khususnya mata pelajaran biologi.

4. Bagi pembaca khususnya mahasiswa, penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai suatu kajian yang menarik untuk dijadikan acuan dalam penelitian selanjutnya.


(23)

10

BAB II

KAJIAN TEORETIK

A. Deskripsi Teoretik

1. Pembelajaran Kooperatif

a. Pengertian Pembelajaran Kooperatif

Pembelajaran kooperatif berasal dari kata cooperative yang artinya mengerjakan sesuatu secara bersama-sama dengan saling membantu satu sama lainnya sebagai satu kelompok atau satu tim.1 Sugiyanto mengatakan bahwa pembelajaran kooperatif adalah pendekatan pembelajaran yang berfokus pada penggunaan kelompok kecil siswa untuk bekerja sama dalam memaksimalkan kondisi belajar untuk mencapai tujuan belajar.2 Menurut Slavin dalam Isjoni, pembelajaran kooperatif adalah suatu model pembelajaran di mana sistem belajar dan bekerja dalam kelompok-kelompok kecil yang berjumlah 4-6 orang secara kolaboratif sehingga dapat merangsang siswa lebih bergairah dalam belajar.3 Pembelajaran kooperatif merujuk pada berbagai macam metode pengajaran dimana para siswa bekerja dalam kelompok-kelompok kecil untuk saling membantu satu sama lainnya dalam mempelajari materi pelajaran. Dalam kelas kooperatif, para siswa diharapkan dapat saling membantu, saling mendiskusikan dan berargumentasi, untuk mengasah pengetahuan yang mereka kuasai saat itu dan menutup kesenjangan dalam pemahaman masing-masing.

Menurut Nurhadi dan Senduk dalam Wena mengemukakan bahwa pembelajaran kooperatif adalah pembelajaran yang secara sadar menciptakan interaksi yang silih asah sehingga sumber belajar bagi

1

Isjoni, Cooperative Learning:Efektivitas Pembelajaran Kelompok, (Bandung: Alfabeta, 2010), h. 15.

2

Sugiyanto, Model-model Pembelajaran Inovatif, (Surakarta: Yuma Pustaka FKIP UNS, 2010), h. 37.

3


(24)

siswa bukan hanya guru dan buku ajar, tetapi juga sesama siswa.4 Anita Lie dalam Isjoni menyebut pembelajaran kooperatif dengan istilah pembelajaran gotong royong, yaitu sistem pembelajaran yang memberi kesempatan kepada peserta didik untuk bekerja sama dengan siswa lain dalam tugas-tugas yang terstruktur.5 Pembelajaran kooperatif hanya berjalan kalau sudah terbentuk suatu kelompok atau suatu tim yang di dalamnya siswa bekerja secara terarah untuk mencapai tujuan yang sudah ditentukan dengan jumlah anggota kelompok pada umumnya terdiri dari 4-6 orang saja. Pembelajaran kooperatif adalah suatu model pembelajaran yang saat ini banyak digunakan untuk mewujudkan kegiatan belajar mengajar yang berpusat pada siswa (Student Centered), terutama untuk mengatasi permasalahan yang ditemukan guru dalam mengaktifkan siswa, yang tidak dapat bekerja sama dengan orang lain, siswa yang agresif dan tidak peduli pada yang lain.

Pembelajaran kooperatif menurut Davidson dan Worsham dalam Zulfiani adalah model pembelajaran yang sistematis dengan mengelompokkan siswa untuk tujuan menciptakan pendekatan pembelajaran yang efektif yang mengintegrasikan keterampilan sosial yang bermuatan akademis.6 Pembelajaran kooperatif muncul dari konsep bahwa siswa akan lebih mudah menemukan dan memahami konsep yang sulit jika mereka saling berdiskusi dengan temannya. Siswa secara rutin bekerja dalam kelompok untuk saling membantu memecahkan masalah-masalah yang kompleks. Jadi, hakikat sosial dan penggunaan kelompok sejawat menjadi aspek utama dalam pembelajaran kooperatif.

4

Made Wena, Strategi Pembelajaran Inovatif Kontemporer: Suatu Tinjauan Konseptual Operasional, (Jakarta: PT. Bumi Aksara, 2009), h. 189.

5

Isjoni, op. cit., h. 16.

6

Zulfiani, Tonih Feronika, dan Kinkin Suartini, Strategi Pembelajaran Sains, (Jakarta: Lembaga Penelitian UIN Jakarta, 2009), h. 130.


(25)

Pembelajaran kooperatif menurut Johnson & Johnson dalam Zulfiani adalah cara belajar yang menggunakan kelompok kecil sehingga siswa bekerja dan belajar satu sama lain.7 Kauchak dan Eggen dalam Azizah seperti yang dikutip Isjoni dalam Isjoni berpendapat bahwa pembelajaran kooperatif merupakan strategi pembelajaran yang melibatkan siswa untuk bekerja secara kolaboratif dalam mencapai tujuan.8 Dalam belajar kooperatif siswa belajar bersama sebagai suatu tim dalam menyelesaikan tugas-tugas kelompok untuk mencapai tujuan bersama. Jadi, setiap anggota kelompok memiliki tanggung jawab yang sama untuk keberhasilan kelompoknya. Berdasarkan definisi dari beberapa ahli tersebut tentang pembelajaran kooperatif, maka dapat disimpulkan bahwa pembelajaran kooperatif merupakan pembelajaran yang sistematis dan melibatkan siswa dalam kelompok-kelompok kecil yang heterogen sehingga terjadi interaksi antar anggota kelompok tersebut. Pembelajaran kooperatif juga merupakan sebuah kelompok strategi pengajaran yang melibatkan siswa bekerja secara berkolaborasi untuk mencapai tujuan bersama. Pembelajaran kooperatif merupakan strategi pengajaran yang baik di dalam kelompok kecil dengan siswa yang memiliki tingkat keahlian berbeda, menggunakan ragam aktivitas untuk meningkatkan pemahaman mereka pada sebuah subyek (mata pelajaran). Pembelajaran kooperatif disusun dalam sebuah usaha untuk meningkatkan partisipasi siswa, memfasilitasi siswa dengan pengalaman sikap kepemimpinan dan membuat keputusan dalam kelompok, serta memberikan kesempatan pada siswa untuk berinteraksi dan belajar bersama-sama siswa yang berbeda latar belakangnya. Pembelajaran kooperatif ini merupakan sistem pembelajaran yang berusaha memanfaatkan teman sejawat (siswa lain) sebagai sumber belajar, disamping guru dan sumber belajar yang

7

Ibid.

8


(26)

lainnya. Jadi, dalam pembelajaran kooperatif siswa berperan ganda yaitu sebagai siswa ataupun sebagai guru. Dengan bekerja secara kolaboratif untuk mencapai sebuah tujuan bersama, maka siswa akan mengembangkan keterampilan berhubungan dengan sesama manusia yang akan sangat bermanfaat bagi kehidupan di luar sekolah.

Pembelajaran kooperatif memberikan lingkungan belajar dimana siswa bekerja sama dalam kelompok kecil yang kemampuannya berbeda-beda (heterogen) untuk menyelesaikan tugas-tugas akademik. Kegiatan dalam pembelajaran kooperatif akan membantu siswa-siswa yang lemah untuk dapat memahami materi. Siswa yang lemah bekerja secara individual cenderung akan menyerah jika menghadapi hambatan. Siswa yang pintar menjelaskan dan menguraikan materi kepada siswa yang kurang paham. Hal ini dapat memberikan penguatan kepada siswa yang pintar untuk dapat memahami materi. Belajar belum selesai jika salah satu teman dalam kelompoknya belum menguasai bahan pembelajaran.

Belajar secara kooperatif dalam kelompok kecil membantu siswa dan anggota dalam tim untuk menyelesaikan tugas secara bersama-sama. Dalam pembelajaran kooperatif, semua ahli harus memahami dan menyadari peranan masing-masing. Setiap siswa dalam kelompoknya berhak memberi pandangan atau saling bertukar ide dalam membuat penyelesaian masalah agar dapat dipahami dan diterima oleh semua siswa. Tujuan pembelajaran kooperatif tidak akan tercapai jika penyelesaian suatu masalah hanya dilakukan oleh seorang siswa saja.

Pada pembelajaran kooperatif siswa dikondisikan untuk bekerja dan belajar dalam kelompok. Aktivitas kerja dan belajar dalam kelompok belajar kooperatif berbeda dengan kelompok belajar tradisional. Kelompok tradisional adalah kelompok belajar yang sering diterapkan di sekolah, seperti kelompok diskusi, kelompok tugas dan kelompok belajar lainnya. Dalam pembelajaran tradisional dikenal


(27)

pula belajar kelompok, meskipun demikian, ada sejumlah perbedaan esensial antara kelompok belajar kooperatif dengan kelompok belajar tradisional. Perbedaan antara kelompok belajar kooperatif dengan kelompok belajar tradisional dikemukakan oleh Sugiyanto pada tabel 2.1 berikut:

Tabel 2.1 Perbedaan Kelompok Belajar Kooperatif dengan Kelompok Belajar Tradisional

Kelompok Belajar Kooperatif Kelompok Belajar Tradisional Adanya saling ketergantungan

positif, saling membantu dan saling memberikan motivasi sehingga ada interaksi promotif.

Guru sering membiarkan adanya siswa yang mendominasi kelompok atau menggantungkan diri pada kelompok.

Adanya akuntabilitas individual yang mengukur penguasaan materi

pelajaran tiap anggota kelompok. Kelompok diberi umpan balik tentang hasil belajar para anggotanya sehingga dapat saling mengetahui siapa yang memerlukan bantuan dan siapa yang dapat memberikan bantuan.

Akuntabilitas individual sering diabaikan sehingga tugas-tugas sering diborong oleh salah seorang anggota kelompok, sedangkan anggota kelompok lainnya hanya „enak-enak saja’ di atas keberhasilan temannya yang dianggap

„pemborong’. Kelompok belajar heterogen, baik

dalam kemampuan akademik, jenis kelamin, ras, etnik, dan sebagainya sehingga dapat saling mengetahui siapa yang memerlukan bantuan dan siapa yang dapat memberikan bantuan.

Kelompok belajar biasanya homogen.

Pimpinan kelompok dipilih secara demokratis atau bergilir untuk memberikan pengalaman memimpin bagi para anggota kelompok.

Pemimpin kelompok sering

ditentukan oleh guru atau kelompok dibiarkan untuk memilih

pemimpinnya dengan cara masing-masing.

Keterampilan sosial yang diperlukan dalam kerja gotong royong seperti kepemimpinan, kemampuan berkomunikasi, mempercayai orang lain, dan mengelola konflik secara langsung diajarkan.

Keterampilan sosial sering tidak diajarkan secara langsung.

Pada saat belajar kooperatif sedang berlangsung, guru terus melakukan pemantauan melalui observasi dan melakukan intervensi jika terjadi masalah dalam kerja sama antar anggota kelompok.

Pemantauan melalui observasi dan intervensi sering dilakukan oleh guru pada saat belajar kelompok sedang berlangsung.


(28)

Kelompok Belajar Kooperatif Kelompok Belajar Tradisional Guru memperhatikan secara

langsung proses kelompok yang terjadi dalam kelompok-kelompok belajar.

Guru sering tidak memperhatikan proses kelompok yang terjadi dalam kelompok-kelompok belajar.

Penekanan tidak hanya pada penyelesaian tugas tetapi juga hubungan interpersonal (hubungan antar pribadi yang saling

menghargai).

Penekanan sering hanya pada penyelesaian tugas.9

Model pembelajaran kooperatif tidak sama dengan sekadar belajar dalam kelompok. Ada unsur-unsur dasar pembelajaran kooperatif yang membedakannya dengan pembagian kelompok yang dilakukan asal-asalan. Pelaksanaan prosedur model pembelajaran kooperatif dengan benar akan memungkinkan pendidik mengelola kelas dengan lebih efektif.

b. Unsur Pembelajaran Kooperatif

Menurut Johnson & Johnson dan Sutton dalam Trianto, terdapat lima unsur penting dalam belajar kooperatif, yaitu:

1. Saling ketergantungan yang bersifat positif antara siswa. 2. Interaksi antara siswa yang semakin meningkat.

3. Tanggung jawab individual.

4. Keterampilan interpersonal dan kelompok kecil. 5. Proses kelompok.10

Zulfiani, Feronika, dan Suartini merinci lebih lanjut lima unsur penting tersebut dalam paparan berikut ini:

1. Saling ketergantungan positif (positive interdependence)

Setiap anggota kelompok memiliki rasa saling bergantung positif, mempunyai rasa untuk semua, merasa bahwa mereka akan sukses jika siswa yang lain juga sukses.

9

Sugiyanto, op. cit., h. 42-43.

10

Trianto, Mendesain Model Pembelajaran Inovatif-Progresif: Konsep, Landasan, dan Implementasinya pada Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2009), h. 60-61.


(29)

2. Interaksi langsung (face to face interaction)

Posisi siswa mengharuskan mereka bertatap muka satu sama lain dan berinteraksi secara langsung, saling berhadapan dan saling membantu dalam pencapaian belajar, serta menyumbangkan pikirannya dalam memecahkan masalah.

3. Pertanggung jawaban secara individual dan kelompok (individual and group accountability)

Setiap kelompok bertanggung jawab untuk mencapai tujuan dalam pembelajaran. Setiap anggota dalam tim diharuskan memberikan kontribusi untuk kelompoknya dan memberikan bantuan dorongan bagi siswa lain untuk menguasai bahan ajar.

4. Keterampilan berinteraksi antar individual dan kelompok (interpersonal and small group skill)

Keterampilan sosial sangat penting dalam belajar kooperatif yang harus diajarkan kepada siswa. Siswa harus dimotivasi untuk bekerja sama dalam memahami konsep-konsep yang sulit.

5. Proses kelompok (group processing)

Efektifitas dalam belajar kelompok ini dapat dilakukan dengan cara melakukan pembagian tugas untuk memimpin secara bergantian.11

Untuk memenuhi kelima unsur tersebut dibutuhkan proses yang melibatkan niat dan kiat para anggota kelompok. Para pembelajar harus mempunyai niat untuk bekerja sama dengan yang lainnya dalam kegiatan pembelajaran kooperatif yang saling menguntungkan. Selain itu, pembelajar juga harus menguasai kiat-kiat berinteraksi dan bekerja sama dengan orang lain. Dengan diterapkannya unsur-unsur di atas, maka akan tumbuh sikap tanggung jawab dari setiap anggota kelompok.

11


(30)

c. Karakteristik Pembelajaran Kooperatif

Secara umum pembelajaran kooperatif terdiri dari lima karakteristik, yaitu:

1. Siswa belajar bersama pada tugas-tugas umum atau aktivitas untuk menyelesaikan tugas atau aktivitas pembelajaran.

2. Siswa saling bergantung secara positif. Aktivitas diatur sehingga siswa membutuhkan siswa lain untuk mencapai hasil bersama. Pembelajaran yang baik ditangani jika melalui kerja kelompok. 3. Siswa belajar bersama dalam kelompok kecil yang terdiri dari 2

sampai 5 siswa.

4. Siswa menggunakan perilaku kooperatif, pro-sosial.

5. Setiap siswa secara mandiri bertanggung jawab untuk pekerjaan pembelajaran mereka.12

Selanjutnya, beberapa ciri dari pembelajaran kooperatif adalah: 1. Setiap anggota memiliki peran.

2. Terjadi hubungan interaksi langsung di antara siswa.

3. Setiap anggota kelompok bertanggung jawab atas belajarnya dan juga teman-teman sekelompoknya.

4. Guru membantu mengembangkan keterampilan-keterampilan interpersonal kelompok.

5. Guru hanya berinteraksi dengan kelompok saat diperlukan.13

d. Keterampilan-keterampilan Kooperatif

Agar pembelajaran kooperatif dapat berjalan sesuai dengan harapan, dan siswa dapat bekerja secara produktif dalam kelompok, maka siswa perlu diajarkan keterampilan-keterampilan kooperatif. Lundgren dalam Ratumanan seperti yang dikutip Trianto dalam Trianto menyusun keterampilan-keterampilan kooperatif tersebut secara terinci dalam tiga tingkatan keterampilan. Tingkatan tersebut,

12

Ibid., h. 131.

13


(31)

yaitu keterampilan kooperatif tingkat awal, tingkat menengah, dan tingkat mahir, pemaparannya akan disampaikan berikut ini:

1. Keterampilan kooperatif tingkat awal

(1) Berada dalam tugas, yaitu menjalankan tugas sesuai dengan tanggung jawabnya.

(2) Mengambil giliran dan berbagi tugas, yaitu menggantikan teman dengan tugas tertentu dan mengambil tanggung jawab tertentu dalam kelompok.

(3) Mendorong adanya partisipasi, yaitu memotivasi semua anggota kelompok untuk memberikan kontribusi.

(4) Menggunakan kesepakatan, yaitu menyamakan persepsi atau pendapat.

2. Keterampilan kooperatif tingkat menengah

(1) Mendengarkan dengan aktif, yaitu menggunakan pesan fisik dan verbal agar pembicara mengetahui anda secara energik menyerap informasi.

(2) Bertanya, yaitu meminta atau menanyakan informasi atau klarifikasi lebih lanjut.

(3) Menafsirkan, yaitu menyampaikan kembali informasi dengan kalimat berbeda.

(4) Memeriksa ketepatan, yaitu membandingkan jawaban, memastikan bahwa jawaban tersebut benar.

3. Keterampilan kooperatif tingkat mahir

Keterampilan kooperatif tingkat mahir ini antara lain: mengkolaborasi, yaitu memperluas konsep, membuat kesimpulan dan menghubungkan pendapat-pendapat dengan topik tertentu.14

e. Langkah-langkah Pembelajaran Kooperatif

Terdapat enam langkah utama atau tahapan di dalam pembelajaran yang menggunakan pembelajaran kooperatif.

14


(32)

langkah model pembelajaran kooperatif tersebut ditunjukkan pada tabel 2.2 berikut:

Tabel 2.2 Langkah-langkah Model Pembelajaran Kooperatif Fase Tingkah Laku Guru Fase-1

Menyampaikan tujuan dan memotivasi siswa

Guru menyampaikan semua tujuan pembelajaran yang ingin dicapai pada pelajaran tersebut dan memotivasi siswa belajar. Fase-2

Menyajikan informasi

Guru menyajikan informasi kepada siswa dengan jalan demonstrasi atau lewat bahan bacaan.

Fase-3

Mengorganisasikan siswa ke dalam kelompok kooperatif

Guru menjelaskan kepada siswa bagaimana caranya membentuk kelompok belajar dan membantu setiap kelompok agar melakukan transisi secara efisien.

Fase-4

Membimbing kelompok bekerja dan belajar

Guru membimbing kelompok-kelompok belajar pada saat mereka mengerjakan tugas mereka.

Fase-5 Evaluasi

Guru mengevaluasi hasil belajar tentang materi yang telah dipelajari atau masing-masing kelompok mempresentasikan hasil kerjanya. Fase-6

Memberikan penghargaan

Guru mencari cara-cara untuk menghargai baik upaya maupun hasil belajar individu dan kelompok.15

f. Manfaat Pembelajaran Kooperatif

Menurut Anita Lie dalam Zulfiani ada beberapa manfaat proses pembelajaran kooperatifyaitu:

1. Siswa dapat meningkatkan kemampuannya untuk bekerja sama dengan siswa yang lain.

2. Siswa mempunyai lebih banyak kesempatan untuk menghargai perbedaan.

3. Partisipasi siswa dalam proses pembelajaran meningkat. 4. Mengurangi kecemasan siswa (kurang percaya diri). 5. Meningkatkan motivasi, harga diri dan sikap positif. 6. Meningkatkan prestasi belajar siswa.16

15

Ibid., h. 66-67.

16


(33)

g. Peran Guru dalam Pembelajaran Kooperatif

Peran guru dalam pembelajaran kooperatif adalah sebagai berikut:

1. Merumuskan tujuan pembelajaran.

2. Menentukan jumlah anggota dalam kelompok belajar. 3. Menentukan tempat duduk siswa.

4. Merancang bahan untuk meningkatkan saling ketergantungan positif.

5. Menentukan peran siswa untuk menunjang saling ketergantungan positif.

6. Menjelaskan tugas akademik.

7. Menjelaskan kepada siswa mengenai tujuan dan keharusan bekerja sama.

8. Menyusun akuntabilitas individual. 9. Menyusun kerja sama antar kelompok. 10.Menjelaskan kriteria keberhasilan.

11.Menjelaskan perilaku siswa yang diharapkan. 12.Memantau perilaku siswa.

13.Memberikan bantuan kepada siswa dalam menyelesaikan tugas. 14.Melakukan intervensi untuk mengajarkan keterampilan bekerja

sama.

15.Menutup pelajaran.

16.Menilai kualitas pekerjaan atau hasil belajar siswa. 17.Menilai kualitas kerja sama antar anggota kelompok.17

h. Jenis-jenis Pembelajaran Kooperatif

Terdapat lima macam metode belajar kooperatif yang berhasil dikembangkan para peneliti pendidikan di John Hopkins University, yaitu: STAD (Student Teams Achievement Division), TGT (Team

17

Kunandar, Guru Profesional: Implementasi Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) dan Sukses dalam Sertifikasi Guru, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2007), h. 370-371.


(34)

Games Tournament), TAI (Team Accelerated Instruction), CIRC (Cooperative Integrated Reading & Composition), dan Jigsaw.18 Selain lima macam bentuk pembelajaran kooperatif tersebut, terdapat pula beberapa tipe pembelajaran kooperatif lain yakni Group Investigation, Learning Together dan lain sebagainya. Lie A. dalam Yusuf seperti yang dikutip Herlina dalam Herlina menyatakan bahwa Jigsaw merupakan salah satu tipe metode pembelajaran kooperatif yang fleksibel.19 Model pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw didesain untuk meningkatkan rasa tanggung jawab siswa terhadap pembelajarannya sendiri dan juga pembelajaran orang lain. Siswa tidak hanya mempelajari materi yang diberikan, tetapi mereka juga harus siap memberikan dan mengajarkan materi tersebut pada anggota kelompoknya.

2. Model Pembelajaran Jigsaw

Pembelajaran kooperatif model Jigsaw dikembangkan oleh Elliot Aronson dari Universitas Texas USA.20 Pembelajaran kooperatif Jigsaw merupakan salah satu tipe pembelajaran kooperatif yang mendorong siswa aktif dan saling membantu dalam menguasai materi pelajaran untuk mencapai prestasi yang maksimal.21 Menggunakan Jigsaw, siswa-siswa di tempatkan ke dalam tim-tim belajar heterogen beranggota lima sampai enam orang.22 Berbagai materi akademis disajikan kepada siswa dalam bentuk teks, masing-masing anggota kelompok bertanggung jawab untuk menguasai salah satu bagian materi belajar dan kemudian mengajarkan bagian itu kepada anggota-anggota lain di kelompoknya. Dalam teknik

18

Zulfiani, Tonih Feronika, dan Kinkin Suartini, op. cit., h. 137.

19

Herlina, Pembelajaran Konsep Ekosistem serta Perubahan Materi dan Energi dengan Menggunakan Pendekatan Pembelajaran Kooperatif Tipe Jigsaw pada Siswa Kelas X Madrasah Aliyah Negeri (MAN) 2 Model Palu, Jurnal Ilmu-ilmu Pendidikan, Vol. 1 No. 2-3, Agustus 2007, h. 94.

20

Made Wena, op. cit., h. 193.

21

Isjoni, op. cit., h. 54.

22

Richard I. Arends, Learning to Teach: Belajar untuk Mengajar, Terj. Helly Prajitno Soetjipto dan Sri Mulyantini Soetjipto, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007), h. 13.


(35)

Jigsaw, siswa bekerja dengan sesama siswa dalam suasana gotong royong dan mempunyai banyak kesempatan untuk mengolah informasi dan meningkatkan keterampilan berkomunikasi.23

Model pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw didesain untuk meningkatkan rasa tanggung jawab siswa terhadap pembelajarannya sendiri dan juga pembelajaran orang lain, sehingga setiap anggota kelompok memiliki rasa saling bergantung positif antar anggota kelompoknya. Dalam model pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw ini terdapat tahap-tahap dalam penyelenggaraannya, antara lain:

Tahap pertama siswa dikelompokkan dalam bentuk kelompok-kelompok kecil. Pembentukan kelompok-kelompok-kelompok-kelompok siswa tersebut dapat dilakukan guru berdasarkan pertimbangan tertentu. Untuk mengoptimalkan manfaat belajar kelompok, keanggotaan kelompok seyogyanya heterogen, baik dari segi kemampuannya maupun karakteristik lainnya. Jumlah siswa yang bekerja sama dalam masing-masing kelompok harus dibatasi, agar kelompok-kelompok yang terbentuk dapat bekerja sama secara efektif, karena suatu ukuran kelompok mempengaruhi kemampuan produktivitasnya. Jumlah tiap kelompok yang tepat adalah sekitar 4-6 orang dengan kondisi siswa yang heterogen baik dari segi kemampuan maupun karakteristik lainnya.

Tahap kedua dalam Jigsaw adalah setiap anggota kelompok ditugaskan untuk mempelajari materi tertentu. Kemudian, siswa-siswa atau perwakilan dari kelompoknya masing-masing bertemu dengan anggota-anggota dari kelompok lain yang mempelajari materi yang sama. Selanjutnya, materi tersebut didiskusikan mempelajari serta memahami setiap masalah yang dijumpai sehingga perwakilan tersebut dapat memahami dan menguasai materi tersebut. Para anggota dari tim-tim yang berbeda, tetapi membicarakan topik yang sama (kadang-kadang disebut expert group atau kelompok ahli).

23

Anita Lie, Cooperative Learning: Mempraktikkan Cooperative Learning di Ruang-ruang Kelas, (Jakarta: PT. Grasindo, 2010), h. 69.


(36)

Tahap ketiga, setelah masing-masing perwakilan tersebut dapat menguasai materi yang ditugaskannya, kemudian masing-masing perwakilan tersebut kembali ke kelompok masing-masing atau kelompok asalnya (home teams). Selanjutnya, masing-masing anggota tersebut saling menjelaskan pada teman satu kelompoknya sehingga teman satu kelompoknya dapat memahami materi yang ditugaskan guru.

Tahap keempat, siswa diberi tes atau kuis, hal tersebut dilakukan untuk mengetahui apakah siswa sudah dapat memahami suatu materi. Dengan demikian, secara umum penyelenggaraan model belajar Jigsaw dalam proses belajar mengajar dapat menumbuhkan tanggung jawab siswa sehingga terlibat langsung secara aktif dalam memahami suatu persoalan dan menyelesaikannya secara kelompok.24

Pada model pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw ini para siswa dibagi menjadi beberapa kelompok dan setiap anggota kelompok diberi satu bagian materi yang telah dipilih untuk dipelajari dan dikuasai. Selanjutnya, siswa dari masing-masing kelompok yang mendapatkan bagian materi yang sama berkumpul untuk berdiskusi (diskusi kelompok ahli), kemudian siswa dari kelompok ahli kembali ke kelompok asal untuk menjelaskan atau mempresentasikan materi yang menjadi keahliannya kepada anggota kelompok asalnya (diskusi kelompok asal). Pada model pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw ini terdapat kelompok asal (home teams) dan kelompok ahli (expert group). Alur dalam pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw ini dapat dilihat pada gambar 2.1 berikut:

24


(37)

Gambar 2.1 Alur Pengelompokkan pada Pembelajaran Kooperatif Tipe Jigsaw

Jigsaw adalah salah satu dari metode-metode kooperatif yang paling fleksibel. Kunci dari Jigsaw ini adalah interdependensi, yang artinya bahwa tiap siswa bergantung kepada teman satu timnya untuk dapat memberikan informasi yang diperlukan agar dapat berkinerja dengan baik.25 Para siswa akan termotivasi untuk mempelajari materi dengan baik dan bekerja keras dalam kelompok ahli mereka agar mereka dapat memberikan banyak informasi kepada anggota dalam kelompok asalnya. Kelebihan dari model pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw ini adalah dapat meningkatkan rasa tanggung jawab siswa terhadap pembelajarannya sendiri dan juga pembelajaran orang lain, karena siswa tidak hanya

25

Robert E. Slavin, Cooperative Learning: Teori, Riset dan Praktik, Terj. Narulita Yusron, (Bandung: Penerbit Nusa Media, 2005), h. 237.


(38)

mempelajari materi yang diberikan, tetapi mereka juga harus siap memberikan dan mengajarkan materi tersebut pada anggota kelompoknya yang lain. Kelebihan lain dari model pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw adalah terjadinya interaksi multiarah. Setiap siswa mendapat kesempatan untuk melakukan interaksi sosial antar siswa dan antara siswa dengan guru untuk membahas materi yang menjadi tugasnya. Dalam model pembelajaran biasa atau tradisional guru menjadi pusat semua kegiatan kelas. Sebaliknya, di dalam model belajar tipe Jigsaw, meskipun guru tetap mengendalikan aturan, guru tidak lagi menjadi pusat kegiatan kelas, tetapi siswalah yang menjadi pusat kegiatan kelas. Guru berperan sebagai fasilitator yang mengarahkan dan memotivasi siswa untuk belajar mandiri serta menumbuhkan rasa tanggung jawab siswa.

3. Analisis Wacana Argumentasi

Argumen adalah sebuah pernyataan yang berisi sebuah klaim yang didukung oleh data dan dikemukakan untuk mempengaruhi seseorang, hal ini diungkapkan oleh Inch, “an argument is a set of statements in which a claim is made, support is offered for it, and there is an attempt to influence someone in a context of disagreement (argumen adalah satu set pernyataan yang berisi sebuah klaim, dukungan ditawarkan untuk itu, dan ada upaya untuk mempengaruhi seseorang dalam konteks ketidaksetujuan).26 Sedangkan, Ennis mengemukakan bahwa “argument is an attempt to prove or establish a conclusion. It has two major parts: a conclusion and the reason or reasons offered in support of the conclusion (argumen adalah suatu usaha untuk membuktikan atau membentuk kesimpulan. Memiliki dua bagian utama: kesimpulan dan alasan atau alasan ditawarkan dalam mendukung kesimpulan).27 Adapun Kuhn dalam Dawson mendefinisikan argumen sebagai sebuah pernyataan dengan disertai pembenaran, “an argument as „an assertion with accompanying

26

Edward S. Inch, Barbara Warnick, and Danielle Endres, Critical Thinking and Communication: The Use of Reason in Argument, (Boston: Pearson Education, Inc., 2006), p. 9.

27


(39)

justification”, dan Means & Voss dalam Dawson menggambarkan argumen sebagai pendapat dari suatu kesimpulan didukung oleh setidaknya satu alasan, “an argument as „a conclusion supported by at leastone reason”.28

Eemeren berpendapat “argumentation is a verbal, social, and rational activity aimed at convincing a reasonable critic of the acceptability of a standpoint by putting forward a constellation of propositions justifying or refuting the proposition expressed in the standpoint (argumentasi adalah kegiatan verbal, sosial, dan rasional yang ditujukan untuk meyakinkan seorang kritikus dari penerimaan sudut pandang dengan mengedepankan konstelasi membenarkan atau menyangkal proposisi-proposisi yang diungkapkan dalam sudut pandang).29 Argumentasi bertujuan untuk meyakinkan pendengar atau pembaca mengenai penerimaan sudut pandang. Keraf mendefinisikan argumentasi sebagai suatu bentuk retorika yang berusaha untuk mempengaruhi sikap dan pendapat orang lain, agar percaya dan bertindak sesuai dengan apa yang diinginkan oleh pembicara. Melalui argumentasi, penulis (pembicara) berusaha merangkaikan fakta-fakta sedemikian rupa, sehingga ia mampu menunjukkan apakah suatu pendapat atau suatu hal tertentu itu benar atau tidak. Pendapat Keraf ini senada dengan Inch, “argumentation is the process of making arguments intended for justify beliefs, attitudes, and values, do as to influence others (argumentasi adalah proses pembuatan argumen ditujukan untuk membenarkan keyakinan, sikap, dan nilai-nilai, dilakukan untuk mempengaruhi orang lain).30 Dalam kamus umum bahasa Indonesia, argumentasi adalah pemberian

28

Vaille Dawson, and Grady Jane Venville, High-school Students’ Informal Reasoning and Argumentation about Biotechnology: An Indicator of Scientific Literacy? International Journal of Science Education, Vol. 31 No. 11, July 2009, pp. 1421-1445.

29

Frans H. Van Eemeren, and Rob Grootendorst, A Systematic Theory of Argumentation: The Pragma-Dialectical Approach, (New York: Cambridge University Press, 2004), p. 1.

30


(40)

alasan untuk memperkuat atau menolak suatu pendapat, pendirian atau gagasan.31

Berdasarkan definisi dari beberapa ahli tersebut tentang argumentasi, maka dapat disimpulkan bahwa argumentasi merupakan sebuah wacana yang berusaha meyakinkan atau membuktikan kebenaran suatu pernyataan, pendapat, sikap, atau keyakinan, dengan didukung oleh fakta-fakta, sehingga mampu meyakinkan dan membuktikan bahwa pendapat tersebut benar atau tidak. Argumentasi bertujuan mempengaruhi seorang pendengar untuk membenarkan pernyataan, pendapat, dan sikap yang diajukan. Dengan dikemukakannya sebuah argumentasi maka seorang pendengar akan menyetujui bahwa pendapat, keyakinan, dan sikap pembicara benar.

Chang dan Chiu membedakan argumentasi menjadi dua jenis yaitu argumentasi formal dan informal ditinjau dari sisi istilah dan struktur penalaran (reasoning). Berdasarkan istilah, argumentasi formal terdiri dari premis-premis yang baku, penambahan dan penghapusan isi premis tidak diperbolehkan. Adapun argumentasi informal mengandung fitur kognitif dan afektif, individu dapat mengubah premis berdasarkan pengetahuan dan keyakinan pribadi, informasi dari media massa, buku teks, atau pengalaman hidup, dan lain-lain. Berdasarkan perspektif struktur penalaran, penalaran formal umumnya menghasilkan sebuah struktur linier, yang biasanya tidak berkaitan dengan praktik kehidupan sehari-hari. Sedangkan pada kehidupan sehari-hari, umumnya setiap individu mengembangkan informasi dari berbagai sumber informasi yang terkategori sebagai penalaran informal dan menyimpulkan sesuatu secara tentatif sesuai kondisi. Hasilnya penalaran informal digambarkan sebagai sebuah pohon yang terdiri dari banyak cabang.32

31

W. J. S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 2010), h. 58.

32

S. N. Chang, and M. H. Chiu, Lactos’s Scientific Research: Programmes as a Framework for Analysing Informal Argumentation about Sosio-scientific Issues, International Journal of Science Education, Vol. 30 No. 17, 2008, pp. 1753-1773.


(41)

Jika mengacu pada pendapat Chang dan Chiu, maka pengertian argumen dan argumentasi yang dikemukakan oleh Inch tergolong jenis informal. Menurut Inch, et al. argumen memiliki tiga karakteristik, yaitu: Karakteristik pertama “a claim is an expressed opinion or a conclusion that the arguer wants accepted (klaim adalah pendapat yang dikemukakan atau kesimpulan yang diinginkan oleh pemberi argumen untuk diterima). Karakteristik kedua “claims are supported by evidence and by the reasoning or inferences that connect the evidence to the claim (klaim didukung oleh fakta dan alasan atau inferensi yang menghubungkan fakta ke klaim). Karakteristik ketiga “the third and last characteristic of arguments is that they are attempts to influence someone in a context where people disagree with each other (karakteristik ketiga dan yang terakhir dari argumen adalah bahwa argumen mencoba untuk mempengaruhi seseorang dalam situasi yang mana orang tersebut tidak setuju dengan yang lainnya).33 Tiga kriteria tersebut yaitu klaim, pendukung klaim, dan usaha mempengaruhi menjadi ciri sebuah argumen informal.

Kriteria pertama dari argumen yaitu klaim, klaim merupakan sebuah opini atau pendapat yang dikemukakan oleh seseorang atau sebuah kesimpulan yang ingin diterima oleh orang lain. Kriteria kedua dari argumen adalah dukungan yang disediakan untuk klaim baik berupa bukti dan penalaran atau inferensi yang menghubungkan bukti dengan klaim. Bukti merupakan sesuatu yang dapat membuat audien menerima dan dapat digunakan untuk mendukung klaim yang tidak diterima. Kriteria ketiga dari argumen adalah berusaha untuk mempengaruhi seseorang yang berada

dalam ketidaksetujuan. “Berusaha untuk mempengaruhi” adalah sangat

penting menentukan sukses dan tidaknya pendapat seseorang. Berdasarkan kriteria ini sebuah argumentasi akan terjadi jika terdapat pihak yang berlawanan atau pihak yang menyanggah. Selama tidak ada pihak yang

33


(42)

berlawanan tidak akan dihasilkan argumen. Pada contoh percakapan di bawah ini tidak ada argumen:

John: Akankah kita pergi ke bioskop malam ini? Meri: Boleh, film apa yang akan kita lihat?

John: Bagaimana kalau film “Sang Pemimpi”?

Meri: Ok, apakah kita akan melihat pertunjukan yang jam 7? John: Baiklah! 34

Ada beberapa pola atau model argumen, di antaranya adalah Silogisme, Toulmin, dan Co-Oriental. Model yang paling lengkap yang dapat menggambarkan ketiga kriteria argumen informal yang dikemukakan oleh Inch (klaim, pendukung klaim, dan usaha mempengaruhi) adalah model argumentasi Toulmin. Model argumentasi Toulmin mengungkapkan bahwa argumen bentuk dasarnya terdiri dari tiga kategori yaitu: data (D), klaim (K), dan penjamin (warrant/W). Secara sederhana model argumentasi Toulmin dapat digambarkan pada gambar 2.2 berikut ini:

Gambar 2.2 Model Argumentasi Toulmin35

Bagi Toulmin komponen klaim (K) merupakan suatu keputusan yang harus dikembangkan, dan mempunyai implikasi terhadap data (D) dan penjamin (warrant/W). Toulmin dalam Freeley berpendapat bahwa suatu argumen dapat mengandung klaim (K), data (D), penjamin (warrant/W), pendukung (backing/B), kualifikasi (qualifier/Q), dan

34

Ibid., p. 12.

35

Nelson Siregar, Penelitian Kelas: Teori, Metodologi, dan Analisis, (Bandung: IKIP Bandung Press, 1998), h. 120.

Data, D Disimpulkan, K


(43)

sanggahan (rebuttal/R).36 Secara lengkap model argumentasi Toulmin dapat digambarkan pada gambar 2.3 berikut ini:

Gambar 2.3 Model Lengkap Argumentasi Toulmin37

Klaim (K) adalah kesimpulan, pendapat, atau pernyataan yang kuat; data (D) adalah fakta yang mendukung klaim; penjamin (warrant/W) adalah penjelasan tentang hubungan antara klaim dengan data; pendukung (backing/B) adalah asumsi dasar untuk mendukung penjamin; kualifikasi (qualifier/Q) adalah kondisi dimana klaim meyakinkan atau tidak; dan sanggahan (rebuttal/R) adalah pernyataan yang menyanggah sebuah klaim, data, dan penjamin yang bertentangan.38 Osborne, et al. telah mengembangkan kualitas argumentasi berdasarkan model argumentasi Toulmin. Kualitas argumentasi berdasarkan kerangka kerja analisis dari Osborne, et al. yaitu sebagai berikut:

“Osborne, et al.’s (2004) analytical framework classified

students’ argument at Level 1 (claim versus a counter-claim or a claim versus a claim), Level 2 (claims with either data, warrants, or backings, but no rebuttals), Level 3 (series of claims or counter-claims with either data, warrants, or backings with the occasional weak rebuttal), Level 4 (claim or claims and counter-claims with a clearly identifiable rebuttal), and finally Level 5 (extended argument with

more than one rebuttal)”.39

36

Austin J. Freeley, Argumentation and Debate: Rational Decision making, (California: Wadsworth Publishing Co., Inc., 1966), p. 139.

37

Stephen E. Toulmin, The Uses of Argument, (New York: Cambridge University Press, 2003), p. 97.

38

Vaille Dawson, and Grady Jane Venville, op. cit., pp. 1421-1445.

39

Ibid.

D Maka Q, K

Karena W

Berdasarkan B


(44)

Kutipan di atas mengandung arti bahwa kerangka kerja analisis dari Osborne, et al. (2004) mengklasifikasikan level argumentasi siswa sebagai berikut: Level 1 (klaim berlawanan dengan counter klaim atau klaim berlawanan dengan klaim), Level 2 (klaim disertai dengan data, penjamin, atau pendukung, tetapi tidak mengandung sanggahan), Level 3 (serangkaian klaim atau counterklaim disertai dengan data, penjamin, atau pendukung dengan sanggahan yang lemah), Level 4 (klaim dan counter klaim dengan sanggahan yang dapat diidentifikasi dengan jelas), dan terakhir Level 5 (argumen yang lebih luas dengan lebih dari satu sanggahan).

Pentingnya argumentasi dalam pembelajaran tidak diragukan lagi. Upaya membangun argumentasi di kelas didasarkan pada keyakinan bahwasanya pembelajaran merupakan fenomena wacana. Hal ini sejalan dengan pemikiran Vygotsky yang memandang bahwa proses membangun pengetahuan ini sangat dipengaruhi oleh faktor bahasa.40 Bahasa di sini, tentu meliputi pembicaraan dan lebih spesifik lagi adalah argumentasi. Hal ini juga berlaku untuk pembelajaran sains. Pada saat pembelajaran sains guru menyampaikan pesan dan siswa menangkap serta merespon pesan tersebut, siswa dapat memberi tanggapan terhadap pesan yang tanggapan dari siswa tersebut dapat ditanggapi lagi oleh siswa lainnya. Isi pesan, penyampaian pesan, dan penanggapan terhadap pesan yang terjadi dalam kelas merupakan fenomena wacana.

Wacana merupakan rekaman kebahasaan yang utuh tentang peristiwa komunikasi. Syamsudin dalam Sumartini mengidentifikasikan ciri-ciri wacana sebagai berikut:

a. Wacana dapat berupa rangkaian ujar secara lisan dan tulisan atau rangkaian tindak tutur.

b. Wacana mengungkapkan suatu hal atau subyek.

40

Tatang Suratno, Mengembangkan Argumentasi dalam Pembelajaran Biologi, Jurnal EDUSAINS, Vol. 1 No. 1, Juni 2008, h. 3.


(45)

c. Penyajiannya teratur, sistematis, koheren, lengkap dengan situasi pendukungnya.

d. Memiliki satu kesatuan misi dalam rangkaian itu. e. Dibentuk oleh unsur segmental dan non segmental.41

Wacana yang terjadi dalam pembelajaran sains merupakan wacana argumentasi, karena pada pembelajaran sains disampaikan serangkaian teori, konsep, atau prinsip yang merupakan sebuah klaim. Klaim yang disampaikan tersebut akan didukung oleh serangkaian fakta ilmiah yang dapat diuji kebenarannya. Isi pesan dalam pembelajaran sains berupa penjelasan, pembuktian, alasan, maupun ulasan obyektif dimana disertakan contoh, analogi, dan sebab akibat.

B. Hasil Penelitian yang Relevan

Penelitian yang telah dilakukan berkaitan dengan kualitas argumentasi siswa, di antaranya adalah Yanti Herlanti, dkk., mengenai kualitas argumentasi pada diskusi isu sosiosaintifik mikrobiologi melalui weblog. Hasil analisis terhadap kualitas argumentasi menunjukkan secara sosial partisipan mampu mencapai argumentasi level 5, adapun secara individual skor rata-rata kualitas argumentasi adalah 3. Pengembangan kerangka

scaffolding” diperlukan untuk mempertahankan kualitas argumentasi secara sosial dan meningkatkan kualitas argumentasi secara individual.42

Hasil penelitian yang dilakukan oleh Indra Fardhani, mengenai analisis kualitas argumentasi siswa kelas VII SMP pada materi ekosistem dengan metode debat, menunjukkan bahwa level argumentasi yang paling banyak muncul selama pelaksanaan pembelajaran adalah argumentasi level 2. Kebanyakan siswa juga sudah bisa menyusun argumen dengan struktur tertentu. Kualitas argumentasi siswa dalam penelitian ini ditentukan

41

Entin Sumartini, “Pengembangan dan Analisis Wacana Argumentatif Teks untuk Hiperteks pada Topik Kesetimbangan Kimia”, Skripsi pada UPI Bandung, Bandung, 2005, h. 18, tidak dipublikasikan.

42

Yanti Herlanti, dkk. Kualitas Argumentasi pada Diskusi Isu Sosiosaintifik Mikrobiologi Melalui Weblog, Jurnal Pendidikan IPA Indonesia (JPII), Vol. 1 No. 2, Oktober 2012, h. 168.


(46)

berdasarkan Pola Argumentasi Toulmin/Toulmin Argumentation Pattern (TAP) dan berdasarkan kriteria level yang dikembangkan Erduran, et al.43

Adapun penelitian yang dilakukan oleh Jane Maloney dan Shirley Simon, mengenai pemetaan bukti ilmiah dalam diskusi siswa dalam pembelajaran sains untuk menilai kolaborasi dan argumentasi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa siswa mampu mengevaluasi bukti ilmiah untuk mendukung keputusan yang dibuatnya. Bukti-bukti ilmiah dapat mereka gunakan untuk mendukung kesimpulan yang mereka buat. Selanjutnya, aktivitas pembelajaran kolaboratif yang berfokus pada diskusi bukti ilmiah dapat dikembangkan untuk melatih kemampuan siswa untuk berargumentasi ilmiah secara efektif dalam pengambilan keputusan.44

Terdapat juga penelitian yang dilakukan oleh Vaille Dawson dan Grady Jane Venville, mengenai penjelasan informal dan argumentasi siswa sekolah menengah tentang bioteknologi: indikator literasi sains? Didapat hasil bahwa dari 179 respon siswa (59 kelas 8, 68 kelas 10, dan 52 kelas 12) menunjukkan bahwa siswa di Australia menanggapi proses bioteknologi menggunakan tipe penalaran informal: 36% intuitif (I), 33% emotif (E), dan 26% rasional (R). Dinyatakan sangat berbeda dengan hasil penelitian serupa di Amerika Serikat dengan tipe 25% I, 47% E, dan 88% R. Sedangkan level argumentasinya: level 1 = 22%, level 2 = 56%, level 3 = 17 %, dan level 4 = 5%. Data ini dianggap mirip dengan Israel yang memiliki data sebagian besar (90%) siswanya mampu memformulasi argumentasi level 2 ke atas. Penalaran informal rasional hanya muncul pada siswa yang mampu memformulasi argumentasi level 4. Sebagian besar siswa di Australia tidak bisa diklasifikasikan sebagai siswa yang tidak mengerti akan sains.45

43

Indra Fardhani, “Analisis Kualitas Argumentasi Siswa Kelas VII SMP pada Materi Ekosistem dengan Metode Debat”, Skripsi pada UPI Bandung, Bandung, 2011, h. i, tidak dipublikasikan.

44

Jane Maloney, and Shirley Simon, Mapping Children’s Discussions of Evidence in Science to Assess Collaboration and Argumentation, International Journal of Science Education, Vol. 28 No. 15, December 2006, pp. 1817-1841.

45


(47)

Selanjutnya, penelitian yang dilakukan oleh Demetris Lazarou, mengenai belajar pada TAP: sebuah upaya untuk membangun argumentasi siswa dalam sains. Temuan dari penelitian menunjukkan bahwa adanya peningkatan yang positif dari keterampilan argumentasi siswa Sekolah Dasar dapat diamati melalui pengajaran yang jelas dengan memanfaatkan Pola Argumentasi Toulmin dan dengan upaya membangun argumentasi siswa. Hal ini tampaknya sesuai dengan apa yang peneliti lain telah sarankan, bahwa melalui pengajaran yang jelas, keterampilan argumentasi siswa dapat ditingkatkan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Pola Argumentasi Toulmin dapat dianggap sebagai sebuah pembangun mental yang signifikan untuk siswa, sebagai bentuk terstruktur dengan baik yang dapat menjadi sebuah mediator yang signifikan dari upaya argumentasi siswa. Hal ini juga mengusulkan bahwa melalui penggunaan TAP, para siswa menjadi mampu untuk menilai argumen mereka dan tetap memantau pengembangan keterampilan argumentasi mereka; sesuatu yang bisa menjadi motivasi intrinsik bagi mereka sendiri.46

Berikutnya penelitian yang dilakukan oleh Marina Castells, et al. mengenai argumentasi dan konsepsi ilmiah dalam diskusi sesama: sebuah perbandingan antara katalan dan bahasa Inggris siswa. Penelitian ini bertujuan untuk membandingkan argumen yang digunakan oleh layanan bahasa Inggris siswa dan pra-dasar katalan guru dalam diskusi sesama mengenai dua tugas ilmiah. Perbandingan ini didasarkan pada skema argumentatif dari argumen mereka serta ide-ide, konsep-konsep dan keyakinan yang ada di dasar mereka. Hasil penelitian ini menggambarkan bahwa argumen yang dihasilkan oleh siswa cukup sama pada kedua sampel, dalam hal ini jumlah argumen dan frekuensi jenis argumen, tetapi ada beberapa perbedaan dalam urutan frekuensi yang terkait dengan tugas-tugas tertentu. Lebih relevan lagi adalah perbedaan kualitatif yang dibuat untuk memberikan bukti dan teori,

46

Demetris Lazarou, Learning to TAP: an Effort to Scaffold Students’ Argumentation in Science, Contemporary Science Education Research: Scientific Literacy and Social Aspects of ScienceESERA Conference, 2009, p. 49-50.


(48)

identifikasi aset dan skema argumentatif, hal ini merupakan pemahaman yang baik tentang pengetahuan ilmiah.47

Kemudian, penelitian yang dilakukan oleh Tanja Riemeier, et al. mengenai kualitas argumentasi siswa dan pemahaman konsep mereka-keterkaitan eksplorasi mereka. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana kualitas argumentasi siswa berdasarkan pada pemahaman konseptual mereka. Model argumentasi Toulmin digunakan untuk menggambarkan proses dan kualitas argumentasi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa setiap argumentasi tunggal biasanya mengandung unsur

yang sedikit berbeda dan elemen yang dianggap “berkualitas tinggi” itu

jarang. Argumentasi yang terdiri dari kualitas struktur konseptual yang tinggi terjadi ketika siswa mampu menggunakan pengalaman khusus yang mereka lakukan selama pembelajaran. Jadi, dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa dalam masalah ilmiah yang kompleks terdapat ide-ide ilmiah dalam argumentasi mereka.48

C. Kerangka Pikir

Pentingnya argumentasi dalam pembelajaran tidak diragukan lagi. Hal ini juga berlaku untuk pembelajaran sains. Pada saat pembelajaran sains guru menyampaikan pesan dan siswa menangkap serta merespon pesan tersebut, siswa dapat memberi tanggapan terhadap pesan yang tanggapan dari siswa tersebut dapat ditanggapi lagi oleh siswa lainnya, sehingga terjadilah interaksi sosial antar siswa dan antara siswa dengan guru dalam pembelajaran. Salah satu model pembelajaran yang memungkinkan terjadinya interaksi multiarah pada saat pembelajaran berlangsung adalah model pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw.

47

Marina Castells, et al. Argumentation & Scientific Conceptions in Peer Discussions: a Comparison Between Catalan & English Students, Contemporary Science Education Research: Scientific Literacy and Social Aspects of Science ESERA Conference, 2009, p. 51.

48

Tanja Riemeier, et al. The Quality of Students’ Argumentation and Their Conceptual Understanding – An Exploration of Their Interrelationship, Contemporary Science Education Research: Scientific Literacy and Social Aspects of Science ESERA Conference, 2009, p. 71.


(49)

Model pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw merupakan salah satu inovasi model pembelajaran yang berorientasi kepada aktivitas siswa. Pada model pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw ini guru memberikan kebebasan kepada siswa untuk saling berinteraksi dan mengemukakan pendapatnya, karena dalam pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw inilah komunikasi memegang peranan sangat penting. Tanpa adanya komunikasi, konstruksi pengetahuan secara sosial tidak akan terjadi. Pada saat berkomunikasi dalam pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw, siswa akan mengemukakan berbagai argumen, menganalisis dan menimbang argumen tersebut, serta menyimpulkan dan mensintesis argumen yang akan menjadi argumen kesepakatan bersama. Argumen yang terjadi selama pembelajaran ini dapat diidentifikasi polanya.

Penelitian berkaitan dengan efektivitas pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw terhadap aktivitas dan hasil belajar siswa sudah banyak dilakukan, akan tetapi belum banyak penelitian yang mengungkap bagaimana kualitas argumentasi yang dibangun siswa selama pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw, padahal model pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw ini kaya akan argumentasi, terutama pada saat para siswa melakukan konstruksi pengetahuannya secara sosial. Upaya membangun argumentasi di kelas ini didasarkan pada keyakinan bahwasanya pembelajaran merupakan fenomena wacana, oleh sebab itu analisisnya pun melibatkan fungsi analisis wacana yang mampu mengungkap proses membangun pengetahuan yang sebenarnya. Berdasarkan hal tersebut, maka dengan analisis wacana diharapkan mampu mengungkap kualitas argumentasi siswa yang terjadi dalam pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw.


(50)

37 A. Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian dilaksanakan di SMA Negeri 9 Kota Tangerang Selatan, yang beralamat di Jl. Hidup Baru 31, Serua Raya, Ciputat, Kota Tangerang Selatan 15414 Telp. (021) 74638445 Fax. (021) 74630701. Penelitian ini dilaksanakan pada semester ganjil tahun ajaran 2011/2012, yakni pada bulan September 2011.

B. Subjek Penelitian

Subjek penelitian adalah hal untuk variabel penelitian melekat, dan yang dipermasalahkan.1 Subjek pada penelitian ini adalah siswa di kelas X-5 SMA Negeri 9 Kota Tangerang Selatan, yang berjumlah 41 orang. Dalam penelitian ini, subjek penelitian disesuaikan dengan tujuan penelitian yaitu untuk mengungkap kualitas argumentasi siswa yang terjadi dalam pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw konsep virus. Teknik pengambilan subjek pada penelitian ini menggunakan teknik purposive sampling atau sampel bertujuan yang dilakukan dengan cara mengambil subjek bukan didasarkan atas strata, random atau daerah tetapi didasarkan atas adanya tujuan tertentu.2 Pemilihan subjek penelitian ini atas rekomendasi guru kelas berdasarkan kemampuan akademis, kesiapan dan keaktifan siswa dalam kelas tersebut.

C. Metode dan Langkah-langkah Penelitian

Berdasarkan tujuan penelitian ini yaitu untuk mengungkap kualitas argumentasi siswa yang terjadi dalam pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw konsep virus, maka metode penelitian yang digunakan adalah penelitian deskriptif. Penelitian deskriptif adalah suatu bentuk penelitian yang paling

1

Suharsimi Arikunto, Manajemen Penelitian, (Jakarta: Rineka Cipta, 2009), h. 88.

2

Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktik, (Jakarta: Rineka Cipta, 2006), h. 139.


(51)

dasar.3 Penelitian deskriptif merupakan penelitian yang dimaksudkan untuk mengumpulkan informasi mengenai status suatu gejala yang ada, yaitu keadaan gejala menurut apa adanya pada saat penelitian dilakukan.4 Penelitian deskriptif ditujukan untuk mendeskripsikan atau menggambarkan fenomena-fenomena yang ada. Penelitian ini tidak dimaksudkan untuk menguji hipotesis tertentu, tetapi hanya menggambarkan “apa adanya” tentang suatu variabel, gejala atau keadaan.5 Dalam penelitian ini, aspek yang akan diteliti adalah wacana argumentasi lisan siswa yang terjadi dalam pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw.

Langkah-langkah penelitian ini tertuang dalam bentuk bagan atau skema yang menjelaskan tentang bagaimana alur dalam penelitian ini. Skema alur dalam penelitian ini dapat dilihat pada gambar 3.1 berikut:

3

Nana Syaodih Sukmadinata, Metode Penelitian Pendidikan, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2011), h. 72.

4

Suharsimi Arikunto, Manajemen Penelitian, (Jakarta: Rineka Cipta, 2009), h. 234.

5


(52)

Gambar 3.1 Skema Alur Penelitian Diskusi dengan Pengajar (Guru Model) Tentang RPP

dan LKS yang Akan Digunakan Saat Penelitian

Judgment Dosen Pembimbing

Revisi

Diskusi dengan Pengajar (Guru Model) dalam Pembentukan Kelompok (Asal dan Ahli) Datang ke SMAN 9 Kota Tangsel untuk

Permohonan Izin Penelitian Menentukan Judul Penelitian

Analisis Wacana Argumentasi Siswa pada Pembelajaran Kooperatif Tipe Jigsaw

Konsep Virus Kelas X

Studi Literatur

Mendapatkan Izin Penelitian dari SMAN 9 Kota Tangsel

Perkenalan Mengenai Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Jigsaw dan Pemberitahuan Tugas untuk Membuat Makalah Mengenai Konsep

Virus Oleh Pengajar (Guru Model) Kepada Siswa yang Menjadi Subjek Penelitian

Pemilihan Subjek Penelitian Atas Rekomendasi Guru Mata Pelajaran Biologi Kelas X di SMAN 9 Kota Tangsel

Memperbanyak LKS dan Menyiapkan Semua Alat yang Dibutuhkan Saat Penelitian

Penelitian atau Pengambilan Data

Analisis


(53)

D. Unit Analisis

Unit analisis pada penelitian ini adalah wacana argumentasi siswa yang terjadi pada saat pembelajaran. Wacana argumentasi siswa ini dianalisis dengan menggunakan analisis wacana, yaitu dengan menganalisis wacana argumentasi lisan siswa yang terjadi dalam pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw. Analisis wacana argumentasi siswa dalam pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw pada penelitian ini difokuskan pada tahap diskusi kelompok ahli, diskusi kelompok asal, dan kuis, karena pada tahap diskusi kelompok ahli dan diskusi kelompok asal inilah terjadi diskusi siswa dan komunikasi yang intensif antar anggota kelompok sehingga dapat memicu siswa untuk berargumentasi, serta pada tahap kuis siswa juga mengemukakan argumennya dalam menjawab pertanyaan yang diberikan oleh pengajar sebagai penguatan terhadap materi.

Pada pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw yang digunakan dalam penelitian ini siswa dikelompokkan secara heterogen kedalam kelompok asal dan kelompok ahli, yang beranggotakan 5-6 orang pada kelompok asal. Siswa dikelompokkan menjadi 8 kelompok asal dan 5 kelompok ahli berdasarkan topik yang kontekstual pada pokok bahasan virus, yaitu virus cacar, polio, rabies, influenza, dan HIV-AIDS. Pengelompokkan siswa pada pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw dapat dilihat pada gambar 3.2 berikut:


(1)

256

Lampiran 9

Penentuan Level Argumentasi Siswa

(Berdasarkan Kerangka Kerja Analisis dari Osborne,

et al

.)

No. Level Kriteria

Tahap Diskusi Kelompok Ahli Diskusi Kelompok Asal Kuis

1. Level 1

Argumentasi mengandung klaim berlawanan dengan counterklaim

atau klaim berlawanan dengan klaim (claim versus a counter-claim or a counter-claim versus a counter-claim).

√ **) **)

2. Level 2

Argumentasi mengandung klaim disertai dengan data, penjamin, atau pendukung, tetapi tidak mengandung sanggahan (claims with either data, warrants, or backings, but no rebuttals).

√ *) *)

3. Level 3

Argumentasi mengandung serangkaian klaim atau counter klaim disertai dengan data, penjamin, atau pendukung dengan sanggahan yang lemah (series of claims or counter-claims with either data, warrants, or backings with the occasional weak rebuttal).

4. Level 4

Argumentasi mengandung klaim dan counterklaim dengan sanggahan yang dapat

diidentifikasi dengan jelas (claim or claims and counter-claims with a clearly identifiable rebuttal).

5. Level 5

Argumen menunjukan argumen yang lebih luas dengan lebih dari satu sanggahan (extended argument with more than one rebuttal).

Keterangan :

**)

: Mayoritas kualitas argumentasi siswa berada pada level 1.

*)

: Minoritas kualitas argumentasi siswa berada pada level 2.


(2)

(3)

(4)

(5)

(6)

Dokumen yang terkait

Penerapan pembelajaran kooperatif tipe jigsaw untuk meningkatkan hasil belajar siswa pada konsep gaya bernuansa nilai (penelitian tindakan kelas di MTs Hidayatul Islamiyah Karawang)

0 8 223

Perbandingan antara model pembelajaran cooperative learning tipe stad dengan pembelajaran konvensional dalam rangka meningkatkan hasil belajar PAI (eksperimen kelas XI SMA Negeri 3 Tangerang)

2 14 159

Upaya meningkatkan belajar siswa melalui strtegi pembelajaran kooperatif teknik jigsaw pada konsep hidrokarbon: penelitian tindakan kelas (classroom Action Research) di Madrasah Aliyah Annajah Pettukangan selatan Jakartach

4 24 102

PENGERUH MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF TIPE JIGSAW TERHADAP HASIL BELAJAR IPA SISWA PADA KONSEP CAHAYA (KUASI EKSPERIMEN DI SDN CIRENDEU III, TANGERANG SELATAN)

1 5 177

Pengaruh model pembelajaran kooperatif tipe jigsaw terhadap hasil belajar siswa pada konsep rangka dan panca indera manusia: penelitian kuasi eksperimen di Kelas IV MI Al-Washliyah Jakarta

0 5 172

Upaya meningkatkan aktivitas belajar siswa dalam pembelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) kelas II dengan menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe jigsaw di Mi Al-Amanah Joglo Kembangan

0 6 103

Perbedaan Peningkatan Hasil Belajar Antara Siswa Yang Diajar Melalui Pembelajaran Kooperatif Tipe Jigsaw Dengan Pembelajaran Konvensional Pada Konsep Protista

0 18 233

Penerapan model pembelajaran kooperatif tipe kepala bernomor struktur dalam meningkatkan hasil belajar IPS pada siswa SMPN 3 kota Tangerang selatan

1 12 173

pengaruh model pembelajaran kooperatif tipe jigsaw terhadap tingkat pemahaman siswa tentang materi zakat pada mata pelajaran pendidikan agama islam (Penelitian Quasi Eksperimen di Kelas VIII SMP Sulthan Bogor Tahun Ajaran 2015/2016)

1 10 154

PENGARUH PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF TIPE JIGSAW TERHADAP HASIL BELAJAR SISWA KELAS X SMA PADA POKOK BAHASAN PERHITUNGAN KIMIA.

0 2 17