Universitas Indonesia
26 mereka tidak terlepas dari struktur masyarakat dan struktur negara itu sendiri. Dalam
struktur masyarakat yang bersifat paternalistik, orang yang mempunyai pengaruh cenderung akan dihormati masyarakat. Sedangkan struktur negara memungkinkan
terciptanya satu kondisi bagi muncul, bertahan, dan berhasilnya bos lokal tersebut. Di Sumatera Utara, kemunculan bos lokal itu berasal dari salah satu organisasi yang sering
melakukan praktik kekerasan dalam aktivitasnya diantaranya adalah Pemuda Pancasila. Namun, bos lokal itu tidak dapat mengandalkan kekuatan individu semata karena
sumber-sumber kekuasaan tersebar di antara kelompok-kelompok masyarakat lainnya. Fenomena munculnya bos lokal di Sumatera Utara terkait dengan kekuatan kelompok
yang mampu membentuk jaringan kepada sumber-sumber daya di tingkat lokal. Dari kerangka tersebut, penelitian ini akan menjelaskan cara individu dan tokoh
di Sumatera Utara dapat muncul sebagai bos lokal dalam kekuatan kelompok kekerasan. Penelitian ini akan membuktikan asumsi bahwa fenomena munculnya bos lokal di
Sumatera Utara tidak terkait dengan lemahnya negara, tetapi terkait dengan, dalam bahasa Sidel, beroperasi dalam bayangan rezim daerah yang dicirikan oleh persekutuan
bos-bos partai, pengusaha, militer, dan preman. Mereka ini memiliki kontrol monopolistik terhadap kekuatan pemaksaan dan sumberdaya ekonomi dalam wilayah
teritorial tertentu. Teori itu akan menganalisis kasus peran Pemuda Pancasila dalam pemilihan Gubernur Provinsi Sumatera Utara tahun 2008.
1.6.2. Patrimonialisme dan Klientelisme
Patrimonialisme merujuk pada paham mengenai bentuk-bentuk hubungan yang menganggap seseorang patron menjadi pemimpin kelompok yang didasarkan atas kaitan
personal. Nathan Quimpo memperjelas istilah patrimonialisme “as a type rule in which the ruler does not distinguish between personal and public patrimony and treats matter
and resources of state as his personal affair”
53
sebagai jenis aturan di mana penguasa tidak membedakan antara warisan pribadi dan publik dan memperlakukan masalah dan
sumber daya negara sebagai urusan pribadi. Dalam hubungan kekuasaan, patrimonialisme menjadi bentuk hubungan timbal balik antara pemimpin patron dan
bawahan klien yang loyal kepadanya.
53
Nathan G. Quimpo. 2007. “Trapo Parties and Corruption”. dalam KASAMA. Vol. 21 No. 1. Januari- March.
Universitas Indonesia
27 Bentuk-bentuk hubungan patron klien dijelaskan oleh James C. Scott sebagai
berikut, “The patron-client relationship–an exchange relationship between roles–may be
defined as a special case of dyadic two person ties involving a largely instrumental friendship in which an individual of higher socioeconomic status
patron uses his own influence and resources to provide protection or benefit, or both, for a person of lower status client who, for his part, reciprocates by
offering general support and assistance, including personal, to the patron”
54
hubungan patron-klien, suatu hubungan pertukaran antara peran yang dapat didefinisikan sebagai suatu kasus khusus dari dua orang yang melibatkan
sebagian besar hubungan persahabatan yang saling menolong di mana seorang individu dari status sosial ekonomi yang lebih tinggi patron menggunakan
pengaruhnya dan sumber daya sendiri untuk menyediakan perlindungan atau manfaat, atau keduanya, kepada seorang yang lebih rendah statusnya klien,
untuk bagian diri klien itu, membalas dengan menawarkan dukungan dan bantuan, termasuk pelayanan pribadi kepada patron.
Dalam konteks hubungan patron-klien, posisi seorang patron memiliki sumber yang melebihi baik secara langsung maupun tidak langsung dari seorang klien. Posisi
itu menyebabkan seorang patron mampu mempengaruhi sikap dan prilaku klien. Sebaliknya, klien mengakui dan menerima sumber yang dimiliki patron sehingga bila
mempengaruhi klien, maka klien akan menerima dan mengakui pengaruh tersebut secara sadar atau sukarela. Sifat hubungan patron-klien didasarkan atas pertukaran yang
tidak seimbang karena adanya perbedaan status di antara keduanya. Hubungan yang tidak seimbang tersebut membuat klien merasa berhutang budi dan membalas jasa baik
kepada patron. Hubungan yang bersifat personal itu kemudian akan menciptakan loyalitas, kepercayaan dan kasih sayang yang diberikan di antara mereka serta bersifat
fleksibel dan tanpa batas waktu. Scott kemudian menjelaskan bahwa kelompok patron-klien bisa berbentuk
gugus patron-client cluster yaitu seorang patron dengan beberapa orang klien. Kelompok patron-klien bisa juga berbentuk gabungan dari berbagai gugus patron-klien
yang dipimpin oleh seorang patron sebagai patron tertinggi patron-client pyramid. Di
54
James C. Scott. 1972. “Patron-Client Politics and Political Change in Southeast Asia”. dalam The American Political Science Review. Vo. 6. No. 1 Mar. 1972. hal. 92.
Universitas Indonesia
28 bawah patron tertinggi itu, terdapat sejumlah klien yang merupakan patron kecil bagi
sejumlah klien. Seorang klien dari patron tertinggi juga menjadi seorang patron bagi beberapa orang klien. Dalam bentuk piramid itu, ada beberapa patron kecil yang
menjadi klien patron tertinggi dan mempunyai beberapa klien sendiri.
55
Maswadi Rauf menjelaskan tentang faktor penting dalam kelompok patron-klien adalah hubungan kekuasaan. Patron memiliki sumber daya berupa kekuasaan, materi,
maupun kemampuan yang tidak dimiliki oleh para klien. Kemampuan patron untuk memberikan perlindungan dan kebutuhan hidup kepada orang lain menjadi penyebab
orang lain itu bersedia menjadi kliennya. “Patron adalah seorang yang mempunyai kedudukan yang tinggi dan terpandang
dalam masyarakat dan pemerintahan sehingga mempunyai pengaruh terhadap sejumlah besar orang lain dalam masyarakat. Di samping itu mempunyai
sejumlah harta benda dan kuat secara finansial. Dengan modal ini seorang patron dapat menarik sejumlah klien yang membutuhkan bantuannya. Sebaliknya para
klien membalas pemberian patron dengan memberikan dukungan dan pelayanan kepada patron”.
Dalam relasi kekuasaan, patrimonialisme tidak hanya berlangsung atas dasar ekonomi atau kekayaan tetapi juga berdasarkan hubungan yang bersifat inklusif dari
semua bidang kehidupan. Pada awalnya yang menjadi patron adalah tuan tanah yang memiliki tanah yang luas untuk pertanian. Sedangkan para kliennya adalah para petani
yang menggarap tanah tersebut dan memperoleh perlindungan serta sumber kebutuhan hidup dari patron. Sebaliknya, para petani memberikan dukungan fisik kepada patron
termasuk berperang melawan musuh patron. Pada masa modern, sumber kekuasaan patron telah bergeser dari kepemilikan
tanah kepada kekuasaan bidang pemerintahan dan politik. Jabatan pemerintahan dan politik menjadi sumber patron untuk memberikan pengaruh dan penguasaan sumber-
sumber daya dalam jumlah besar kepada pejabat pemerintah dan tokoh-tokoh politik. Pengaruh itu digunakan oleh mereka untuk menarik sejumlah orang menjadi kliennya.
Seorang patron akan memberikan atau membantu mendapatkan jabatan pemerintahan dan politik kepada para klien yang membutuhkannya. Atas bantuan itu, para klien
diharuskan memberikan
dukungan politik
dan membantu
patron untuk
55
Ibid. hal 96. Lihat juga penjelasan Maswadi Rauf. “Konsensus Politik….”. hal. 99.
Universitas Indonesia
29 mempertahankan, memperkuat kekuasaan dan kedudukan politik mereka. Bentuk
hubungan ini disebut sebagai patrimonialisme baru new patrimonialism.
56
Kecenderungan hubungan patron-klien dalam masyarakat Indonesia masih sangat kuat. Dwight King menjelaskan praktik new patrimonialism pada masa
pemerintahan Orde Baru yang dijabarkannya dalam konsep rejim otoriter bercirikan tingkat korporatisme yang begitu tinggi. King menjelaskan, berbagai kelompok di
dalam institusi negara dan masyarakat sipil selalu dihubungkan dengan para pemimpin negara yang dianggap sebagai patron besar. Bentuk korporasi kelompok-kelompok
masyarakat selau merujuk kepada seorang pemimpin dan representasi kepentingan kelompok masyarakat itu berada kuat berada di bawah pengaruh Presiden Soeharto
yang paternalistik.
57
Ikatan-ikatan patron-klien yang masih kuat di Indonesia pada akhirnya menjadi landasan bagi pembentukan kekuasaan politik. Untuk kepentingan penelitian ini, teori
Scott tentang hubungan patron-klien dan Maswadi Rauf mengenai patrimonialisme baru itu akan digunakan untuk melihat bentuk jaringan patronase yang dilakukan oleh tokoh
Pemuda Pancasila Sumatera Utara. Jaringan patronase yang dimaksud adalah pola relasi antara tokoh Pemuda Pancasila dengan para anak buahnya dan relasi antara tokoh
Pemuda Pancasila dengan kelompok lain seperti pejabat pemerintah, partai politik, anggota legislatif, pengusaha, dan media massa untuk mendapatkan akses sumber daya
lokal di Sumatera Utara. Pola itu akan dilihat dalam kasus peran Pemuda Pancasila dalam mendukung calon Gubernur Sumatera Utara yang ingin dimenangkan.
1.6.3. Teori Kekuasaan