Universitas Indonesia
36 memperoleh dan atau mempertahankan kekuasaan maka ia harus mempunyai atau
memiliki akses terhadap instrumen kekuasaan. Sedangkan cara kedua yaitu hegemoni, kekuasaan diperoleh dan dioperasikan melalui kepemimpinan moral dan intelektual. Ia
memperoleh dan mempraktikkan kekuasaan dengan jalan konsensus.
72
Dalam konteks penelitian ini, teori penggunaan kekuasaan dengan cara kekerasan dari Miriam Budiarjo akan digunakan untuk melihat praktik kekerasaan yang
dilakukan oleh Pemuda Pancasila pada saat pemilihan Gubernur Provinsi Sumatera Utara tahun 2008. Sedangkan penggunaan kekuasaan dengan cara koersif yang ditulis
oleh Charles F. Andrain juga akan digunakan untuk melihat bentuk kekuasaan koersif yang dilakukan Pemuda Pancasila Sumatera Utara. Untuk memperkuat bentuk
penggunaan kekerasaan yang dilakukan Pemuda Pancasila akan dilihat dari teori yang ditulis oleh Maswadi Rauf tentang cara menyelesaikan konflik melalui kekerasan fisik
atau ancaman fisik. Selain itu, teori Antonio Gramsci akan digunakan untuk melihat praktik penggunaan kekuasaan dengan cara-cara represi dan kekerasan yang dilakukan
oleh Pemuda Pancasila dalam kasus peran mereka pada saat pemilihan Gubernur Provinsi Sumatera Utara tahun 2008.
Dari praktik tersebut akan diketahui bentuk kekerasan dan koersif, tindakan paksaan, dan cara-cara represi yang dilakukan Pemuda Pancasila Sumatera Utara.
Prilaku tersebut merujuk pada tindakan mengancam, mengintimidasi, bahkan membunuh dengan menggunakan jaringan kekuatan dalam setiap aktivitas organisasi
dan menunjukkan identitas yang mirip atau menyerupai kekerasan atau tindakan premanisme. Kecenderungan praktek yang menyerupai prilaku kekerasan atau
demokratis itu akan dilihat antar tokoh Pemuda Pancasila sendiri dan antara tokoh Pemuda Pancasila dengan kelompok masyarakat lainnya di Sumatera Utara.
1.6.4. Teori Politik Lokal
Teori politik lokal menjelaskan bahwa politik di tingkat lokal bukan hanya berurusan pada soal-soal administrasi publik atau menekankan pada hubungan legal-
formal pemerintahan semata. Meskipun memiliki keterkaitan, namun pandangan legal- formal seperti itu memiliki keterbatasan-keterbatasan untuk memahami politik lokal
72
Antonio Gramsci. 1971. Selections from Prison Notebooks. London: Lawrence and Wishart. Dikutip dalam Muhadi Sugiono. 1999. Kritik Gramsci Terhadap Pembangunan Dunia Ketiga. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar. Lihat juga Roger Simon. 2000. Gagasan-gagasan Politik Gramsci. Yogyakarta: Insist Press.
Universitas Indonesia
37 secara lebih utuh. Politik lokal mencakup soal yang luas, misalnya aspek ekonomi,
politik, dan sosial. Karakteristiknya relatif terbuka, beragam, dan kompetitif.
73
Teori yang digunakan sebagai pendekatan analisis untuk studi ini adalah studi politik lokal yang memberikan perhatian pada perspektif mikro yaitu pemahaman
prilaku behaviour elit lokal ketika melaksanakan wewenang otonomi daerah dalam kehidupan sehari-hari. Pada tingkat realitas, implementasi politik lokal lebih banyak
diwarnai oleh tawar menawar bargaining dari koalisi antara elit lokal dan aktor-aktor tertentu di dalam masyarakat. Kekuasaan pemerintah lokal dilakukan lebih untuk
menjaga keseimbangan antara kebutuhan lokal dalam pelaksanaan peningkatan kesejahteraan publik, individu, dan kelompok dengan kemampuan pemerintah lokal
dalam mengakomodasi tuntutan tersebut. Studi ini memberikan pemahaman bahwa pemerintah lokal harus berada di antara semua kelompok yang memiliki kepentingan
dan keinginan yang beragam dan terkadang agak sulit untuk diberi ruang kebijakan. Studi politik lokal yang menguraikan tentang kerumitan hubungan antara
kepentingan dan kebijakan adalah pendekatan regim kota urban regime yang diistilahkan oleh Clarence Stone. Menurut Stone urban regim sebagai ”The informal
arrangements by which public bodies and private interest function together in order to be able to make and carry out governing decisions”.
74
Pengaturan informal di mana kepentingan badan-badan publik dan swasta berfungsi bersama untuk membuat dan
melaksanakan keputusan-keputusan pemerintah. Stone menjelaskan bahwa konsep regim kota bermula dari sebuah model
produksi sosial dari tata kelola pemerintahan kota, yaitu pekerjaan yang bukan berasal dari kontrol dan perlawanan, tetapi hasil dari satu keuntungan dan peleburan yang
didasari atas kapasitas untuk bertindak. Konsepsi yang penting dari Stone adalah bahwa regim kota merupakan hasil dari usaha-usaha yang terkoordinasi, kesepakatan yang
dihasilkan adalah buah dari kesepahaman yang tidak terucapkan secara diam-diam antara kepentingan publik dan kepentingan swasta tentang bagaimana keputusan akan
dilaksanakan. Dalam kenyataannya, formasi regim kota membutuhkan pengelolaan konflik dan penciptaan respon yang adaptif dalam perubahan sosial. Karena itu, faktor
73
Studi dengan pendekatan tersebut diantaranya lihat Gerry Stoker. 1991. The Politics of Local Government. London: MacMillan Press Ltd. hal. 232.
74
Clarence Stone. 1989. Regime Politics: Governing Atlanta, 1946-1988. Lawrance: University Press of Kansas. hal. 6. Lihat juga Chusnul Mariyah. 1998. “Urban Political Conflict in Australia: The
Redevelopment of Inner Sydney”. Thesis. Sydney: Department of Government The University of Sydney. hal. 31.
Universitas Indonesia
38 kuncinya adalah pengelolaan internal politik tentang bangunan koalisi antara sektor
publik dan swasta.
75
Sebagaimana juga yang dikatakan oleh Mollenkopf bahwa pemahaman interaksi sistem politik lokal harus dilihat sebagai interaksi kreasi yang
cerdas, bangunan koalisi yang sensitif terhadap kepentingan-kepentingan swasta dan pemerintah lokal untuk menampung peluang-peluang dalam sektor publik.
76
Terkait dengan penjelasan kepentingan, teori politik lokal jika dilihat dalam konteks Indonesia pada saat penerapan desentralisasi, sering terjadi semacam
kepentingan terselubung hidden autonomy dalam penyelenggaraan pemerintahan.
77
Sebagaimana yang dijelaskan Syarif Hidayat sebagai berikut, ”… secara umum kepentingan pemerintah daerah tersebut dibedakan dalam dua
kategori, yaitu kepentingan publik public interest dan kepentingan invidual individual interest. Kepentingan pertama berkaitan dengan peningkatan sektor
swasta dan mendukung program pemerintah pusat. Sedangkan yang kedua lebih kepada kepentingan individu elit lokal, kompleks, saling mengait, sangat relatif
dan sifatnya kontekstual. Sedikitnya ada tiga bentuk kepentingan individu elit lokal yang ikut mewarnai kebijakan pemerintah lokal yaitu, kepentingan
ekonomi seeking economics ends, kepentingan untuk pengembangan karir, kepentingan untuk sponsor politik polical sponsorship. Semua kepentingan itu
berlangsung dengan tujuan yang eksplisit explicit goals disertai tujuan implisit implicit goals”.
78
Praktik hidden autonomy yang dimaksudkan Hidayat terkait dengan perilaku elit pemerintah daerah dalam mempraktikkan kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah
itu sendiri pada masa Orde Baru. Meskipun secara legal-formal wewenang yang diberikan kepada pemerintah daerah sangat dibatasi, tetapi realitasnya ternyata kapasitas
elit pemerintah daerah dapat memaksimalkan atau bahkan memanipulasi kelemahan-
75
Ibid. hal. 31.
76
John Mollenkopf. 1992. “How to Study Urban Political Power from A Phoenix in the Ashes: The Rise and Fall The Koch Coalition in New York City Politics”. in The City Reader. 2000. Edited by Richard T.
LeGates Frederic Stout. 2
nd
ed. New York: Algimantas Kezys and Loyola University Press. hal. 228.
77
Syarif Hidayat menjelaskan hal tersebut dalam penelitian Disertasi Doktoral tahun 1999 dengan lokasi penelitian di Jawa Barat Bandung Utara mengenai Tata Ruang dan Proyek Properti dan Sumatera Barat
Pembangunan Jalan Padang By Pass. Lihat Syarif Hidayat. 1999. “Decentralised Politics in A Centralised Political System: A Study of Local State Power in West Java and West Sumatera in New
Order Indonesia.” Masyarakat Indonesia: Majalah Ilmu-Ilmu Sosial. Jakarta: LIPI. hal. 151-161.
78
Syarif Hidayat. “Desentralisasi dan Otonomi Daerah Masa Orde Baru 1966-1998”. dalam Soetandyo Wignosubroto dkk. 2000. Pasang Surut Otonomi Daerah: Sketsa Perjalanan 100 Tahun. Jakarta: Institute
for Local Development dan Yayasan Tifa. hal. 137.
Universitas Indonesia
39 kelemahan dari aturan formal yang ada. Untuk memahami hidden autonomy itu,
Hidayat, membagi dua kategori yaitu kepentingan publik public interest dan kepentingan individu individual interest.
79
Hidayat kemudian menjelaskan bahwa bentuk kepentingan individual terasa lebih rumit dibanding dengan kepentingan publik.
80
Kepentingan individu elit lokal selalu ikut serta berperan di arena publik baik secara terbuka maupun tersembunyi.
Individu elit lokal bukanlah suatu kekuatan utuh dengan kepentingan yang homogen. Berbagai kepentingan individu elit lokal acapkali memiliki konsekuensi yang tidak
mudah dipahami ketika satu kebijakan ditetapkan yang bertentangan dengan kepentingan publik. Bentuk kepentingan individu selalu bersifat sangat kompleks, kait
mengait satu dengan lainnya, dan sangat relatif serta konstkestual sifatnya. Dengan kata lain, meminjam rumusan Judith Goldstein, antara kepentingan dan kebijakan terdapat
ruang ”ketidakpastian”.
81
Jadi meskipun seorang pelaku mengetahui kepentingannya dengan baik belum tentu dia mengetahui kebijakan yang paling tepat untuk itu.
Untuk memfokuskan studi ini, berdasarkan teori yang dikemukakan Syarif Hidayat tentang hidden autonomy, maka yang akan digunakan adalah pendekatan
kepentingan individu untuk menganalisa kepentingan individu tokoh Pemuda Pancasila dalam pemilihan Gubernur Provinsi Sumatera Utara tahun 2008. Prilaku individu yang
diamati bukan berasal dari elit pemerintah daerah, tetapi individu elit lokal yang mengusai organisasi Pemuda Pancasila di Sumatera Utara. Dalam hal ini, kepentingan
individu dan kelompok berfungsi untuk memetakan pelaku yang mempertautkan antara kepentingan mereka dengan alat-alat pencapaian tujuan yang mungkin mereka
dapatkan. Para tokoh Pemuda Pancasila Sumatera Utara merupakan salah satu kelompok individu elit lokal yang berperan dalam pemilihan Gubernur Provinsi
Sumatera Utara yang dilakukan secara langsung tahun 2008. Untuk menghindari simplifikasi permasalahan, penelitian ini memfokuskan
perhatian pada bentuk-bentuk kepentingan individu yang relatif dapat diamati dan ditelesuri kebenarannya. Dari tiga bentuk kepentingan individu elit lokal yang ikut
mewarnai konstelasi pemilihan Gubernur Provinsi Sumatera Utara, penelitian ini ingin membahas dua di antara tiga kepentingan elit lokal tersebut, yaitu kepentingan ekonomi
79
Ibid. hal. 133.
80
Ibid. hal. 137.
81
Judith Goldstein. 1993. Ideas, Interests and American Trade Policy. Ithaca and London: Cornell University Press. hal. 10.
Universitas Indonesia
40 dan kepentingan sponsor politik. Kedua pendekatan tersebut dipilih untuk menguraikan
adanya kepentingan individu kader dan tokoh Pemuda Pancasila dalam memperoleh sumber-sumber daya lokal dengan cara ikut berperan dalam pemilihan Gubernur
Provinsi Sumatera Utara tahun 2008.
1.6.5. Teori Otonomi Daerah, Demokrasi, dan Pemilihan Kepala Daerah Langsung