Universitas Indonesia
17
1.6. Kerangka Teori
Untuk  mengkaji  peran  Pemuda  Pancasila  dalam  pemilihan  Gubernur  Sumatera Utara, penelitian ini menggunakan teori kelompok kekerasan yang ditulis oleh Masaaki
dan  Rozaki.  Setiap  kelompok  kekerasaan  akan  selalu  menampilkan  tokoh  yang  sangat berpengaruh  bagi  anggota  atau  komunitas  kelompok  tersebut.  Untuk  menjelaskan  hal
tesebut,  penelitian  ini  menggunakan  teori  Bossism  yang  ditulis  oleh  John  T.  Sidel. Selain dua teori utama tersebut, penelitian ini juga menggunakan teori-teori pendukung
lainnya  yaitu  teori  yang  berkaitan  dengan  teori  kekuasaan,  teori  politik  lokal,  teori otonomi  daerah,  demokrasi  dan  pilkada  langsung.  Teori-teori  tersebut  menjelaskan
adanya  kelompok  tertentu  yang  selalu  saja  dominan  dalam  setiap  penentuan  kebijakan yang  mendasar  untuk  kepentingan  mereka  bukan  untuk  kepentingan  publik.  Kendati
berbeda,  teori-teori  tersebut  sepakat  memahami,  bahwa  partisipasi  masyarakat  harus dilibatkan dalam proses kebijakan demi kesejahteraan tanpa harus mengerti bahwa satu
kelompok tertentu, dengan kekuatan yang dimilikinya, akan memiliki agenda tersendiri agar  mendominasi  kebijakan  yang  penting  terutama  menyangkut  pengelolaan  dan
pembagian sumber-sumber ekonomi negara pada skala yang lebih kecil.
1.6.1. Gejala Munculnya Kelompok Kekerasan dan Bos Lokal
Studi  ilmu  politik  tentang  kelompok  kekerasan  menjadi  tema  yang  menarik belakang  ini  terutama  sejak  keruntuhan  rezim-rezim  otoritarian  di  kawasan  Asia  dan
Afrika.  Di  Indonesia  sendiri,  studi  tersebut  banyak  dilakukan  untuk  melihat  model demokrasi  baru  Indonesia  pasca  jatuhnya  pemerintah  Orde  Baru.  Proses  demokratisasi
melalui  desentralisasi  dan  otonomi  daerah  yang  sedang  berlangsung  menghasilkan keleluasaan  daerah  untuk  mengembangkan  inisiatif-inisiatif  perubahan  yang  berbasis
keunggulan  lokal.  Meskipun  berbagai  deretan  persoalan  dan  tantangan  sekaligus ancaman  juga  bermunculan.  Salah  satu  diantaranya  adalah  maraknya  kelompok-
kelompok  kekerasan  di  perkotaan  dan  pedesaan  sebagai  kelompok  penekan  yang cenderung  mengedepankan  prilaku  intoleran  terhadap  kelompok  masyarakat  lain  yang
berbeda paham dan kepentingan. Teori  tentang  kelompok  kekerasan  berkembang  disebabkan  oleh  dinamika
masyarakat  yang  berubah  secara  terus  menerus.  Menurut  Masaaki  dan  Rozaki,  yang menjelaskan  kasus  Indonesia,  bahwa  pada  masa  Orde  Baru  segala  bentuk  kelompok
Universitas Indonesia
18 penekan  yang  ada  di  masyarakat  dapat  dirangkul  oleh  pemerintah  dengan  cara
melembagakan mereka serta mendapatkan dukungan dari tentara dan polisi atau dengan cara  penindasan.  Namun,  pasca  Orde  Baru,  beragam  komponen  masyarakat  menuntut
keadilan yang ditafsirkannya sendiri atas dasar kepentingan etnis, agama, adat, politik, ekonomi,  kelas,  dan  lain  sebagainya.  Tuntutan  tersebut  dilakukan  untuk  memenuhi
beragam  kepentingan  melalui  cara  berkelompok  dan  dengan  memanfaatkan  instrumen kekerasan  untuk  menebar  ancaman  kelompok  yang  berbeda  kepentingannya.  Masaaki
dan  Rozaki  menyebut  kelompok  yang  berperan,  setelah  rezim  Orde  Baru,  sebagai kelompok  yang  bersaing  memperebutkan  posisi  untuk  menjadi  Tuhan  struggle  of
Gods.
34
Maraknya  kelompok-kelompok  kekerasan  di  tengah  masyarakat  menjadi  salah satu  ciri  yang  menonjol  di  Indonesia  pasca  jatuhnya  pemerintah  Orde  Baru.  Mereka
hadir  dengan  memanfaatkan  ketidakstabilan  negara  dalam  mengatur  politik  keamanan masyarakat.  Disamping  itu,  bukan  hanya  menghiasi  ruang  publik  dengan  aksi-aksi
jalanan  yang  brutal,  namun  juga  memanfaatkan  arus  demokratisasi  dengan  cara  tak sedikit  para  tokohnya  berhasil  masuk  di  jabatan  formal  pemerintahan.  Kehadiran
mereka  tak  jarang  menebar  teror  dan  ancaman,  namun  kerap  pula  dibutuhkan  dan diperebutkan oleh kalangan tertentu yang berkepentingan.
Pada  saat  kebijakan  otonomi  daerah  diberlakukan,  peran  para  kelompok kekerasan seolah mengganti peran negara dalam pengaturan politik keamanan di tengah
masyarakat. Jaringan yang mereka miliki melewati batas kuasa politik di ranah negara dan  masyarakat.  Sejak  Indonesia  modern  belum  lahir,  kelompok  kekerasan  memiliki
akar tradisi dan dinamikanya sendiri tergantung konstelasi politik yang berkembang. Di dalam kelompok kekerasan itu selalu saja muncul aktor utama yang saling silih berganti
dalam ritus kekerasan dengan fase zaman yang terus bergerak. Praktek negara modern modern state di Indonesia, baik negara kolonial colonial state maupun negara bangsa
nation state  selalu  memberi  ruang  gerak  yang  luas  kepada  kelompok  kekerasan  non- negara  non state violence.  Boleh  disebut  bahwa  negara  Indonesia  selalu  membiarkan
tumbuh  kembangnya  kekerasan  non-negara  walau  terkadang  mencoba  mengendalikan kekerasan  tersebut.  Jago,  warok,  blater,  jawara,  dan  preman  tidak  pernah  hilang  dari
kancah  sejarah  Indonesia,  malah  mereka  kadang  kala  menjadi  pemain  politik  yang mempesona dan menarik perhatian banyak peneliti.
34
Okamoto Masaaki  Abdur Rozaki. Ed.. 2006. Kelompok…….  Op. Cit. hal. xvi.
Universitas Indonesia
19 Selanjutnya,  Masaaki  dan  Rozaki  menjelaskan  bahwa  keberadaan  kelompok
kekerasan  non-negara  terjadi  bukan  karena  negara  yang  mengizinkannya  tetapi  karena negara  yang  tidak  bisa  menolak  keberadaannya,  atau  lebih  tepatnya,  negara  yang
membutuhkannya.  Kehadiran  kelompok  masyarakat  seperti  itu,  menghambat  jalannya laju demokratisasi dan desentralisasi bahkan terancam menjadi beku frozen democracy
karena  peran  kaum  reformis  kalah  kekuatannya  dengan  kelompok  kepentingan  yang mengandalkan kekerasan dengan jejaringnya berurat akar di dalam tubuh partai politik.
Kondisi  ini  berimbas  pula  pada  adanya  potret  buram  lembaga  DPRD  yang  belum mampu  mengejawantahkan  sebagai  koridor  penampung  aspirasi  masyarakat.  Proses
penegakan  hukum  yang  lemah,  tentu  saja,  menjadi  modal  politik  bagi  mereka  yang memiliki  akses  dan  kapasitas  di  dalam  memanfaatkan  kekerasan  dan  ancaman
kekerasan sehingga sangat berguna untuk merebut kekuasaan di tingkat lokal.
35
Konsep governance yang didalamnya mengandaikan adanya peran negara yang tidak  lagi  dominan,  namun  hanya  menjadikan  pemerintah  sebagai  fasilitator.  Oleh
karena  itu,  memberikan  kesempatan  dan  ruang  yang  sama  bagi  kelompok  masyarakat sebagai  stake  holders.  Kesempatan  itu  kemudian  dimanfaatkan  untuk  mengendorkan
peran  perlindungan  negara  atas  warganya  dan  sebaliknya  kelompok  masyarakat  yang memiliki modal politik penguasaan kekerasan menjadi bagian dari pemain utama.
36
Dalam  konteks  penelitian  ini,  teori  Masaaki  dan  Rozaki  akan  digunakan  untuk membantu  merumuskan  kerangka  berpikir  ketika  melihat  keberadaan  organisasi
Pemuda  Pancasila  dengan  segala  aktivitas  yang  cenderung  melakukan  kekerasan  dan represif  dalam  kasus  pemilihan  gubernur  secara  langsung.  Melalui  organisasi  Pemuda
Pancasila  di  Sumatera  Utara,  para  anggota  dan  kadernya  bisa  muncul  menjadi  tokoh yang  turut  berpengaruh  dalam  aktivitas  politik  seperti  pemilihan  gubernur  meskipun
keterlibatannya  terkait  pada  soal  perlindungan  keamanan  dan  kekuatan  uang.  Saat  ini, Pemuda  Pancasila  mendapatkan  kesempatan  untuk  memelihara  dan  memperluas
kekuasaannya  di  masyarakat  dengan  cara  membangun  jaringan  akses  kepada  lembaga politik lokal seperti partai politik, legislatif, dan eksekutif.
Eksistensi  kelompok  kekerasan  dalam  masyarakat  tidak  terlepas  dari  para aktornya yang silih berganti dan menjadikan mereka sebagai orang kuat atau bos dalam
komunitasnya sendiri. Istilah bos lokal atau bossism kembali menjadi pembahasan pada
35
Ibid.
36
Ibid.
Universitas Indonesia
20 saat  John  T.  Sidel,  profesor  Ilmu  Politik  di  University  of  London,  menjelaskan
fenomena munculnya bos lokal di Filipina, Thailand, dan Indonesia dalam kaitan relasi negara  dan  masyarakat  pada  tingkat  lokal.
37
Sebelumnya,  fenomena  munculnya  orang kuat lokal tersebut telah dijelaskan oleh Migal, yaitu setiap kelompok dalam masyarakat
mempunyai  pemimpin,  di  mana  pemimpin  itu  relatif  otonom  dari  negara.  Setiap masyarakat  memiliki  social capacity  yang  memungkinkan  mereka  menerapkan  aturan
main  mereka  tanpa  dapat  diintervensi  oleh  negara.  Ketika  kapasitas  negara  untuk mengontrol  melemah,  maka  para  strongmen  menapakkan  kekuasaannya  dalam
tingkatan lokal atau wilayah yang lebih kecil. Selanjutnya, menurut Migdal, orang kuat lokal memperoleh pengaruh signifikan yang jauh melampaui para pemimpin formal dan
birokrat lokal disebabkan berkembangnya struktur masyarakat yang mirip jaringan.
38
Dalam  struktur  masyarakat  seperti  ini,  terdapat  kombinasi  antara  kumpulan organisasi-organisasi  sosial  yang  hampir  mandiri  dan  kontrol  sosial  yang  efektif  dan
terpecah-pecah. Selain itu, orang kuat lokal berkembang karena kebutuhan masyarakat terhadap  mereka  sebagai  patron  yang  mempertukarkan  kebaikan  personal  orang  kuat
lokal untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka dengan kesetiaan yang mereka berikan. Migdal juga menyimpulkan bahwa keberadaan orang kuat lokal membatasi otonomi dan
melemahkan  kapasitas  negara,  sehingga  pada  akhirnya  keberadaan  bos  lokal  tersebut akan menghambat pembangunan.
39
Migdal  mencoba  menerangkan  tentang  orang  kuat  lokal  yang  berhasil melakukan kontrol sosial. Dalam konteks ini Migdal mengatakan:
“They  have  succeeded  in  having  themselves  or  their  family  members  placed  in critical  state  posts  to  ensure  allocation  of  resources  according  to  their  own
rules,  rather  than  the  rules  propounded  in  the  official  rhetoric,  policy statements, and legislation generated in the capital city or those put forth by a
strong implementor.”
40
Mereka  berhasil  menempatkan  dirinya  sendiri  atau  menaruh  anggota  keluarga mereka  pada  sejumlah  jabatan  penting  demi  menjamin  alokasi  sumber-sumber
37
Istilah local strongmen tersebut dipopulerkan oleh Migdal, sedangkan Sidel menggunakan istilah local bossism. John T. Sidel. 2005. “Philippine…..” Op. Cit.  Lihat John T. Sidel. 2005. “Bosisme….” Op. Cit.
38
Lihat Joel S. Migdal. 1988. Strong .. Op. Cit. dan Joel S. Migdal. 2001. State in Society: Studying How States  and  Societies  Transform  and  Capabilities  in  the  Third  World.  Princenton  University  Press.
Meskipun  di  buku  yang  terakhir  pembahasan  mengenai  orang  kuat  lokal  agak  terbatas,  namun  intinya tetap sama.
39
Joel S. Migdal. 1988. Strong ..Ibid. hal. 9.
40
Ibid. hal. 256.
Universitas Indonesia
21 daya  berjalan  sesuai  dengan  aturan  mereka  sendiri  ketimbang  menurut  aturan-
aturan  yang  dilontarkan  dalam  retorika  resmi,  pernyataan  kebijakan,  dan peraturan  perundang-undangan  yang  dibuat  di  ibukota  atau  yang  dikeluarkan
oleh penguasa yang kuat. Selanjutnya, Migdal menjelaskan fenomena munculnya orang kuat lokal sebagai
berikut.  Pertama,  orang  kuat  lokal  tumbuh  subur  di  dalam  masyarakat  mirip  jaringan yang  digambarkan  sebagai  sekumpulan  campuran  melange  organisasi-organisasi
sosial  yang  nyaris  mandiri  dengan  kontrol  sosial  yang  efektif  terpecah  belah.  Berkat struktur  masyarakat  mirip  jaringan  membuat  orang  kuat  lokal  memperoleh  pengaruh
signifikan jauh melampaui pengaruh para pemimpin negara dan para birokrat lokal yang digambarkan sebagai “segitiga penyesuaian.
41
Kedua, orang kuat lokal melakukan kontrol sosial dengan menyertakan beberapa komponen  penting  yang  dinamakan  ”strategi  bertahan  hidup”  penduduk  setempat.
Dengan  kondisi  seperti  itu,  orang  kuat  lokal  bukan  saja  memiliki  legitimasi  dan memperoleh  banyak  dukungan  di  antara  penduduk  lokal,  tetapi  juga  hadir  untuk
memenuhi  kebutuhan  pokok  dan  tuntutan  para  pemilih  atas  jasa  yang  diberikan.  Para penulis  yang  diilhami  Migdal  cenderung  membingkai  diskusi  mereka  dengan  istilah
”personalisme”,  ”klientisme”,  dan  ”hubungan  patron-klien”.  Pola  ini  kemudian  juga terjadi  karena  orang  kuat  lokal  ditempatkan  sebagai  patron  yang  memberi  kebaikan
personal bagi klien yang melarat dan para pengikut di daerah kekuasaan mereka.
42
Ketiga,  berhasilnya  orang  kuat  lokal  ”menangkap”  lembaga-lembaga  dan sumber  daya  negara,  merintangi  atau  menyetujui  upaya  pemimpin  negara  dalam
melaksanakan  pelbagai  kebijakan.  Secara  keseluruhan,  orang  kuat  lokal  membatasi otonomi  dan  kapasitas  negara,  penyebab  kelemahan  negara  dalam  menjalankan  tujuan
yang berorientasi pada perubahan sosial. Sepanjang keberhasilan strategi industrialisasi dan pertumbuhan amat bergantung pada strategi penyusunan dan pelaksanaan kebijakan
negara  yang  saling  bertautan  efektif,  orang  kuat  lokal  dengan  demikian,  menjadi penghambat pembangunan ekonomi di Dunia Ketiga.
43
Penjelasan yang berbeda dari Migdal dikemukakan oleh John T. Sidel, dari hasil penelitiannya  di  Filipina,  Thailand,  dan  Indonesia.  Dari  penelitian  itu,  Sidel  menyebut
41
Ibid. hal. 235-238.
42
Ibid. hal. 9
43
Ibid.
Universitas Indonesia
22 istilah bossism yang merefleksikan strong state dibandingkan strong society. Ia melihat
bosisme  menunjukkan  peran  elit  lokal  sebagai  predatory broker  politik  yang  memiliki kontrol  monopolistik  terhadap  kekuatan  paksaan  dan  sumber  daya  ekonomi  dalam
wilayah  teritorial  mereka.  Bosisme  beroperasi  dalam  bayangan  rezim  daerah  yang dicirikan oleh persekutuan birokrat, bos-bos partai, pengusaha, militer, dan preman.
44
Dalam  kasus  di  Filipina,  Sidel  menyimpulkan  bahwa  ukuran  dan  pentingnya luas kepemilikan tanah pribadi bukan sumber utama kekuasaan dan kekayaan. Sumber-
sumber  negara  dan  modal  perdagangan  lebih  menonjol.  Banyak  orang  kuat  lokal  yang menjadi  kaya  justru  setelah  memangku  jabatan.  Kekayaan  tersebut  diperoleh  melalui
akses ekonomi, berupa bermacam-macam keistimewaan yang diberikan pejabat terpilih, yang  ‘berhutang  budi’  atas  jasa  mereka  dalam  memobilisasi  dukungan  melalui
penggunaan kekerasan dan intimidasi, pembelian suara pemilih, dan kecurangan dalam pemilihan.
Mengakarnya  orang  kuat  lokal  di  Filipina  lebih  mewakili  keganjilan  struktur kelembagaan  negara,  bukan  hubungan  patron-klien  atau  kekuasaan  dan  oligarki
berdasarkan  kepemilikan  tanah.  Ini  berkembang  sejak  diperkenalkannya  perubahan politik  pada  awal  abad  ke-20,  berupa  pemilihan  kepala  daerah  maupun  anggota
parlemen  di  tingkat  nasional  maupun  lokal,  memberikan  kesempatan  para  pejabat terpilih untuk tetap dapat menggunakan diskresi atas penegakan hukum lokal, pekerjaan
umum,  perpajakan,  dan  sebagainya.  Berbeda  dengan  kesimpulan  Migdal,  orang  kuat lokal di Filipina menurut Sidel, justru terbukti mendukung perkembangan kapitalisme,
antara lain ditandai dengan tumbuhnya kegiatan-kegiatan ekonomi di tingkat lokal.
45
Sementara  itu,  cikal-bakal  bosisme  lokal  di  Thailand  pada  masa  pemerintahan militer  dan  berlakunya  bureaucratic  polity  hingga  1970-an  secara  kelembagaan
mendapat  hambatan  untuk  tumbuh.  Bosisme  lokal  tumbuh  subur  ketika  terdapat pergeseran  dari  parlemen  yang  lemah,  yang  ditandai  oleh  dominasi  militer,  menuju
parlemen  yang  lebih  kuat.  Perkembangan  ini  menarik  para  tokoh  Bangkok  terkemuka yang  memiliki  sumber  daya  keuangan  besar  dan  basis  dukungan  di  pedesaan  untuk
masuk  ke  ranah  politik.  Ditandai  oleh  suburnya  chao  pao  jao  poh,  mereka memonopoli kegiatan ekonomi di daerah kekuasaannya yang ditetapkan dengan longgar
dari sisi akumulasi pemilik kekayaan, pendapatan konsensi, kontrak dan waralaba, yang
44
Dikutip dari John T. Sidel. “Bosisme ......” Op. Cit. hal. 72-74.
45
Dikutip dari John T. Sidel. “Bosisme ......” Op. Cit. hal. 76-80.
Universitas Indonesia
23 diperoleh dari negara dan keterlibatan dalam kegiatan-kegiatan illegal. Mereka menjadi
pialang  suara  hua khanaen  dalam  pemilu,  memobilisasi  suara  pemilih  kepada  patron yang berbasis di Bangkok, klien-klien lokal, atau diri mereka sendiri melalui gabungan
koersi,  pembelian  suara  dan  kecurangan  pemilihan.  Chao  pho  ini  mempunyai kemampuan  memonopoli  secara  efektif  dalam  organisasi  kekerasan,  baik  di  dalam
maupun di luar negara.
46
Hambatan  bagi  berkembangnya  bos  lokal  di  Indonesia  bertahan  selama kekuasaan Soeharto. Pemerintah Orde Baru melakukan rotasi pejabat sipil dan militer di
daerah  secara  teratur,  sehingga  mencegah  para  pejabat  di  tingkat  lokal  ini  untuk membangun wilayah kekuasaan lokal tersendiri yang otonom terhadap pusat. Otonomi
daerah yang diterapkan, terutama berdasarkan UU Nomor 5 Tahun 1974 sesungguhnya bersifat  sentripetal.  Meskipun  demikian,  kebutuhan  pusat  terhadap  aktor-aktor  lokal
untuk  memelihara  kekuasaannya  pada  praktiknya  telah  memunculkan  mafia-mafia lokal,  dengan  otonomi  terbatas,  terutama  preman-preman  dari  kelompok  yang  erat
kaitannya  dengan  rezim.  Kesempatan  yang  demikian  luas  hadir  ketika  Indonesia mengalami  transisi  dari  pemerintahan  otoritarian  Orde  Baru  pada  tahun  1998.  Pemilu
1999  dan  desentralisasi  memperlebar  kemungkinan  akumulasi  kekuasaan  oleh  mafia, jaringan dan marga.
47
Temuan  penelitian  Sidel  mengenai  berkembangnya  bos  lokal  di  Asia  Tenggara menjelaskan  beberapa  catatan  penting  berikut.  Pertama,  orang  kuat  lokal  memperoleh
kekuasaan  dan  kekayaan  bukan  dari  kepemilikan  tanah  atau  kekayaan  pribadi, melainkan dari sumber-sumber negara yang diakumulasi setelah memegang kekuasaan.
Hubungan  patron-klien  bukan  lagi  penyangga  utama  kekuasaan  mereka.  Perluasan kekerasan  dan  kontrol  terhadap  pejabat  politik  yang  dipilih  adalah  sumber  kekuasaan
mereka. Kontrol tersebut merupakan kunci bagi akumulasi sumber daya manusia, alam, dan keuangan setempat, melalui diskriminasi penegakan hukum dan aturan, diskresi ijin
monopoli,  kontrak,  penggunaan  lahan,  dan  sebagainya.  Berbeda  dengan  Migdal,  dari kepialangan  politik  lah  kekuasaan  diperoleh  serta  dapat  memberikan  kesempatan  bagi
akumulasi kekayaan, dan bukan sebaliknya.
48
Kedua,  hubungan  antara  orang  kuat  dengan  masyarakat  luas  di  daerah kekuasaannya  bukan  ditentukan  oleh  “sisi  permintaan”,  yakni  kebutuhan  klien  atas
46
Ibid. hal. 81-83.
47
Ibid. hal. 86-89.
48
Sidel. “Philippine .....”. 1997. hal. 962.
Universitas Indonesia
24 patron.  Hubungan  lebih  ditentukan  oleh  “sisi  persediaan”  berupa  struktur  negara  di
tingkat nasional dan ekonomi tingkat lokal. Ketiga,  berbagai  praktik  pembelian  suara,  kecurangan  dalam  pemilihan,  atau
pengumpulan  kekayaan  pribadi  melalui  cara-cara  illegal  dilakukan  dengan  cara pemaksaan,  dibandingkan  hubungan  timbal-balik  paternalistik  atau  klientelistik.
Kepentingan orang kuat lokal menjadi sandaran dalam hubungan antara mereka dengan masyarakat luas.
49
Tabel 1.1 Ciri-ciri Bosisme di Asia Tenggara Menurut Sidel
Variabel Ciri-ciri Bosisme di Asia Tenggara
Sumber Kekayaan Berasal dari sumber negara
Pola hubungan Hubungan patron klien bukan penyangga utama
Hubungan dengan pejabat politik
Melakukan  kontrol  dan  pengendalian  terhadap pejabat politik
Votingpemilu Pembelian suara
Posisi Negara Negara kuat
Perilaku Kekuasaan Kekerasan
Kontrol Pemerintah Pusat Kontrol lemah
Sumber:  diolah  dari  buku  John  T.  Sidel    2005.  “Bosisme  dan  Demokrasi  di  Filipina,  Thailand,  dan Indonesia”,  dalam  John  Harris,  Kristian  Stokke,  dan  Olle  Tornquist  ed..  Politisasi Demokrasi: Politik
Lokal Baru. Jakarta: Demos.
Tentang  perkembangan  bossism  di  Indonesia,  Sidel  melihat  bahwa  itu  terjadi seiring  dengan  melemahnya  kontrol  pusat  terhadap  daerah  pasca  jatuhnya  pemerintah
Orde  Baru.  Kebijakan  desentralisasi  telah  mengakhiri  kontrol  efektif  pusat  yang mencegah  pejabat-pejabat  sipil  dan  perwira-perwira  menengah  militer  untuk
membangun  wilayah  kekuasaan  lokal  tersendiri  yang  mandiri.  Kondisi  tersebut  telah memberikan ruang yang sangat leluasa bagi para pialang politik ini untuk memperoleh
dan mengakumulasi kekuasaan dan kekayaan.
50
Berkembangnya  bosisme  lokal,  menunjukkan  ketiadaan  salah  satu  nilai-nilai demokrasi  yang  hendak  dicapai  dengan  penerapan  kebijakan  desentralisasi,  yaitu
political equality. Konsep ini menyangkut tiga macam hubungan yaitu antarpemerintah intergovernmental relation, antara negara dan masyarakat state society relation; dan
antara masyarakat dan masyarakat society-society relation. Hubungan antarpemerintah meliputi  kesetaraan  antarlevel  pemerintahan,  baik  secara  vertikal  maupun  horizontal,
49
Sidel. “Bosisme….. Op. Cit. hal. 101.
50
Ibid. hal. 85.
Universitas Indonesia
25 dalam  kewenangan  mengatur  dan  mengurus.  Penyelenggaraan  pemerintahan  daerah
akan  semakin  kuat  jika  ada  kesetaraan  antara  kewenangan  dengan  sumber  keuangan yang  dimiliki,  kejelasan  kewenangan  antarberbagai  tingkat  pemerintahan,  dan
sebagainya. Hubungan antarnegara dan masyarakat merupakan refleksi dari daya tawar masyarakat terhadap berbagai keputusan yang diambil lembaga pemerintahan.
Otonomi  daerah  sejatinya  bukan  hanya  memberikan  kewenangan  kepada pemerintah  daerah.  Tetapi  juga  harus  memperkuat  peran  dan  kedudukan  masyarakat,
sebagai pemilik kedaulatan dan pemilik kewenangan, dalam pengambilan keputusan di tingkat  lokal.  Sedangkan  hubungan  antara  negara  dan  masyarakat  menunjukkan  akses
yang  sama  dalam  ikut  serta  mempengaruhi  proses  kebijakan.
51
Romli  misalnya menjelaskan  kasus  Jawara  di  Banten  sebagai  pola  hubungan  birokrat,  bos-bos  partai,
pengusaha,  dan  aparat  dalam  mengusai  politik  lokalnya  didasarkan  atas  dua,  yaitu hubungan patron klien dan berdasarkan hubungan simbiosis mutualisme. Kontrol yang
dilakukan  oleh  tokoh  Jawara  di  Banten  dilakukan  terhadap  pejabat  publik  dan  civil society.  Teori  ”Bossisme  Plus”  yang  dikemukakan  Romli  menjelaskan  bahwa  sumber
kekuasaan  berupa  magi,  kesaktian,  dan  ilmu  silat  menyebabkan  jawara  memiliki pengaruh  di  masyarakat.  Berbeda  dengan  Sidel  di  mana  sumber-sumber  kekuasaan
diperoleh  saat  ia  mendapat  fasilitas  dari  negara.  Bosisme  ala  Sidel  hanya  memiliki kontrol  terhadap  pejabat  publik,  tetapi  bosisme  plus  pada  kasus  jawara  selain
mengontrol pejabat publik juga mengontrol masyarakat civil society.
52
Dalam  menganalisa  peran  Pemuda  Pancasila  di  Sumatera  Utara  dalam penguasaan  politik  lokal,  teori  yang  digunakan  adalah  teori  yang  dikemukakan  oleh
Sidel. Teori Sidel tentang local bossism membantu merumuskan kerangka berpikir yang akan  digunakan  dalam  penelitian  ini,  terutama  terkait  dengan  sumber  kekuasaan  dan
cara-cara  penggunaan  kekuasaan  yang  dilakukan  oleh  para  tokoh  Pemuda  Pancasila. Fenomena  munculnya  kelompok  kekerasan  dan  bos  lokal  pada  panggung  politik  di
Sumatera Utara justru terkait dengan kebijakan otonomi daerah. Mereka adalah orang- orang, yang pada masa Orde Baru, memperoleh banyak keberuntungan.
Bos lokal tersebut adalah para pebisnis, termasuk dalam kelompok yang sering melakukan  praktik  kekerasan,  kemudian  menjadi  tokoh  dan  memiliki  pengaruh  pada
lembaga  politik  lokal  seperti  partai  politik,  legislatif,  dan  eksekutif.  Kemunculan
51
Ketiga  nilai  tersebut  adalah  political  equality,  accountability,  dan  responsiveness.  Lihat  dalam  B.C. Smith. 1985. Op. Cit. hal. 24-30.
52
Lili Romli. “Jawara ......”  Op. Cit. hal. 254-257.
Universitas Indonesia
26 mereka  tidak  terlepas  dari  struktur  masyarakat  dan  struktur  negara  itu  sendiri.  Dalam
struktur  masyarakat  yang  bersifat  paternalistik,  orang  yang  mempunyai  pengaruh cenderung  akan  dihormati  masyarakat.  Sedangkan  struktur  negara  memungkinkan
terciptanya  satu  kondisi  bagi  muncul,  bertahan,  dan  berhasilnya  bos  lokal  tersebut.  Di Sumatera Utara, kemunculan bos lokal itu berasal dari salah satu organisasi yang sering
melakukan praktik kekerasan dalam aktivitasnya diantaranya adalah Pemuda Pancasila. Namun,  bos  lokal  itu  tidak  dapat  mengandalkan  kekuatan  individu  semata  karena
sumber-sumber  kekuasaan  tersebar  di  antara  kelompok-kelompok  masyarakat  lainnya. Fenomena  munculnya  bos  lokal  di  Sumatera  Utara  terkait  dengan  kekuatan  kelompok
yang mampu membentuk jaringan kepada sumber-sumber daya di tingkat lokal. Dari kerangka tersebut, penelitian ini akan menjelaskan cara individu dan tokoh
di Sumatera Utara dapat muncul sebagai bos lokal dalam kekuatan kelompok kekerasan. Penelitian  ini  akan  membuktikan  asumsi  bahwa  fenomena  munculnya  bos  lokal  di
Sumatera  Utara  tidak  terkait  dengan  lemahnya  negara,  tetapi  terkait  dengan,  dalam bahasa Sidel, beroperasi dalam bayangan rezim daerah yang dicirikan oleh persekutuan
bos-bos  partai,  pengusaha,  militer,  dan  preman.  Mereka  ini  memiliki  kontrol monopolistik  terhadap  kekuatan  pemaksaan  dan  sumberdaya  ekonomi  dalam  wilayah
teritorial  tertentu.  Teori  itu  akan  menganalisis  kasus  peran  Pemuda  Pancasila  dalam pemilihan Gubernur Provinsi Sumatera Utara tahun 2008.
1.6.2. Patrimonialisme dan Klientelisme