Universitas Indonesia
17
1.6. Kerangka Teori
Untuk mengkaji peran Pemuda Pancasila dalam pemilihan Gubernur Sumatera Utara, penelitian ini menggunakan teori kelompok kekerasan yang ditulis oleh Masaaki
dan Rozaki. Setiap kelompok kekerasaan akan selalu menampilkan tokoh yang sangat berpengaruh bagi anggota atau komunitas kelompok tersebut. Untuk menjelaskan hal
tesebut, penelitian ini menggunakan teori Bossism yang ditulis oleh John T. Sidel. Selain dua teori utama tersebut, penelitian ini juga menggunakan teori-teori pendukung
lainnya yaitu teori yang berkaitan dengan teori kekuasaan, teori politik lokal, teori otonomi daerah, demokrasi dan pilkada langsung. Teori-teori tersebut menjelaskan
adanya kelompok tertentu yang selalu saja dominan dalam setiap penentuan kebijakan yang mendasar untuk kepentingan mereka bukan untuk kepentingan publik. Kendati
berbeda, teori-teori tersebut sepakat memahami, bahwa partisipasi masyarakat harus dilibatkan dalam proses kebijakan demi kesejahteraan tanpa harus mengerti bahwa satu
kelompok tertentu, dengan kekuatan yang dimilikinya, akan memiliki agenda tersendiri agar mendominasi kebijakan yang penting terutama menyangkut pengelolaan dan
pembagian sumber-sumber ekonomi negara pada skala yang lebih kecil.
1.6.1. Gejala Munculnya Kelompok Kekerasan dan Bos Lokal
Studi ilmu politik tentang kelompok kekerasan menjadi tema yang menarik belakang ini terutama sejak keruntuhan rezim-rezim otoritarian di kawasan Asia dan
Afrika. Di Indonesia sendiri, studi tersebut banyak dilakukan untuk melihat model demokrasi baru Indonesia pasca jatuhnya pemerintah Orde Baru. Proses demokratisasi
melalui desentralisasi dan otonomi daerah yang sedang berlangsung menghasilkan keleluasaan daerah untuk mengembangkan inisiatif-inisiatif perubahan yang berbasis
keunggulan lokal. Meskipun berbagai deretan persoalan dan tantangan sekaligus ancaman juga bermunculan. Salah satu diantaranya adalah maraknya kelompok-
kelompok kekerasan di perkotaan dan pedesaan sebagai kelompok penekan yang cenderung mengedepankan prilaku intoleran terhadap kelompok masyarakat lain yang
berbeda paham dan kepentingan. Teori tentang kelompok kekerasan berkembang disebabkan oleh dinamika
masyarakat yang berubah secara terus menerus. Menurut Masaaki dan Rozaki, yang menjelaskan kasus Indonesia, bahwa pada masa Orde Baru segala bentuk kelompok
Universitas Indonesia
18 penekan yang ada di masyarakat dapat dirangkul oleh pemerintah dengan cara
melembagakan mereka serta mendapatkan dukungan dari tentara dan polisi atau dengan cara penindasan. Namun, pasca Orde Baru, beragam komponen masyarakat menuntut
keadilan yang ditafsirkannya sendiri atas dasar kepentingan etnis, agama, adat, politik, ekonomi, kelas, dan lain sebagainya. Tuntutan tersebut dilakukan untuk memenuhi
beragam kepentingan melalui cara berkelompok dan dengan memanfaatkan instrumen kekerasan untuk menebar ancaman kelompok yang berbeda kepentingannya. Masaaki
dan Rozaki menyebut kelompok yang berperan, setelah rezim Orde Baru, sebagai kelompok yang bersaing memperebutkan posisi untuk menjadi Tuhan struggle of
Gods.
34
Maraknya kelompok-kelompok kekerasan di tengah masyarakat menjadi salah satu ciri yang menonjol di Indonesia pasca jatuhnya pemerintah Orde Baru. Mereka
hadir dengan memanfaatkan ketidakstabilan negara dalam mengatur politik keamanan masyarakat. Disamping itu, bukan hanya menghiasi ruang publik dengan aksi-aksi
jalanan yang brutal, namun juga memanfaatkan arus demokratisasi dengan cara tak sedikit para tokohnya berhasil masuk di jabatan formal pemerintahan. Kehadiran
mereka tak jarang menebar teror dan ancaman, namun kerap pula dibutuhkan dan diperebutkan oleh kalangan tertentu yang berkepentingan.
Pada saat kebijakan otonomi daerah diberlakukan, peran para kelompok kekerasan seolah mengganti peran negara dalam pengaturan politik keamanan di tengah
masyarakat. Jaringan yang mereka miliki melewati batas kuasa politik di ranah negara dan masyarakat. Sejak Indonesia modern belum lahir, kelompok kekerasan memiliki
akar tradisi dan dinamikanya sendiri tergantung konstelasi politik yang berkembang. Di dalam kelompok kekerasan itu selalu saja muncul aktor utama yang saling silih berganti
dalam ritus kekerasan dengan fase zaman yang terus bergerak. Praktek negara modern modern state di Indonesia, baik negara kolonial colonial state maupun negara bangsa
nation state selalu memberi ruang gerak yang luas kepada kelompok kekerasan non- negara non state violence. Boleh disebut bahwa negara Indonesia selalu membiarkan
tumbuh kembangnya kekerasan non-negara walau terkadang mencoba mengendalikan kekerasan tersebut. Jago, warok, blater, jawara, dan preman tidak pernah hilang dari
kancah sejarah Indonesia, malah mereka kadang kala menjadi pemain politik yang mempesona dan menarik perhatian banyak peneliti.
34
Okamoto Masaaki Abdur Rozaki. Ed.. 2006. Kelompok……. Op. Cit. hal. xvi.
Universitas Indonesia
19 Selanjutnya, Masaaki dan Rozaki menjelaskan bahwa keberadaan kelompok
kekerasan non-negara terjadi bukan karena negara yang mengizinkannya tetapi karena negara yang tidak bisa menolak keberadaannya, atau lebih tepatnya, negara yang
membutuhkannya. Kehadiran kelompok masyarakat seperti itu, menghambat jalannya laju demokratisasi dan desentralisasi bahkan terancam menjadi beku frozen democracy
karena peran kaum reformis kalah kekuatannya dengan kelompok kepentingan yang mengandalkan kekerasan dengan jejaringnya berurat akar di dalam tubuh partai politik.
Kondisi ini berimbas pula pada adanya potret buram lembaga DPRD yang belum mampu mengejawantahkan sebagai koridor penampung aspirasi masyarakat. Proses
penegakan hukum yang lemah, tentu saja, menjadi modal politik bagi mereka yang memiliki akses dan kapasitas di dalam memanfaatkan kekerasan dan ancaman
kekerasan sehingga sangat berguna untuk merebut kekuasaan di tingkat lokal.
35
Konsep governance yang didalamnya mengandaikan adanya peran negara yang tidak lagi dominan, namun hanya menjadikan pemerintah sebagai fasilitator. Oleh
karena itu, memberikan kesempatan dan ruang yang sama bagi kelompok masyarakat sebagai stake holders. Kesempatan itu kemudian dimanfaatkan untuk mengendorkan
peran perlindungan negara atas warganya dan sebaliknya kelompok masyarakat yang memiliki modal politik penguasaan kekerasan menjadi bagian dari pemain utama.
36
Dalam konteks penelitian ini, teori Masaaki dan Rozaki akan digunakan untuk membantu merumuskan kerangka berpikir ketika melihat keberadaan organisasi
Pemuda Pancasila dengan segala aktivitas yang cenderung melakukan kekerasan dan represif dalam kasus pemilihan gubernur secara langsung. Melalui organisasi Pemuda
Pancasila di Sumatera Utara, para anggota dan kadernya bisa muncul menjadi tokoh yang turut berpengaruh dalam aktivitas politik seperti pemilihan gubernur meskipun
keterlibatannya terkait pada soal perlindungan keamanan dan kekuatan uang. Saat ini, Pemuda Pancasila mendapatkan kesempatan untuk memelihara dan memperluas
kekuasaannya di masyarakat dengan cara membangun jaringan akses kepada lembaga politik lokal seperti partai politik, legislatif, dan eksekutif.
Eksistensi kelompok kekerasan dalam masyarakat tidak terlepas dari para aktornya yang silih berganti dan menjadikan mereka sebagai orang kuat atau bos dalam
komunitasnya sendiri. Istilah bos lokal atau bossism kembali menjadi pembahasan pada
35
Ibid.
36
Ibid.
Universitas Indonesia
20 saat John T. Sidel, profesor Ilmu Politik di University of London, menjelaskan
fenomena munculnya bos lokal di Filipina, Thailand, dan Indonesia dalam kaitan relasi negara dan masyarakat pada tingkat lokal.
37
Sebelumnya, fenomena munculnya orang kuat lokal tersebut telah dijelaskan oleh Migal, yaitu setiap kelompok dalam masyarakat
mempunyai pemimpin, di mana pemimpin itu relatif otonom dari negara. Setiap masyarakat memiliki social capacity yang memungkinkan mereka menerapkan aturan
main mereka tanpa dapat diintervensi oleh negara. Ketika kapasitas negara untuk mengontrol melemah, maka para strongmen menapakkan kekuasaannya dalam
tingkatan lokal atau wilayah yang lebih kecil. Selanjutnya, menurut Migdal, orang kuat lokal memperoleh pengaruh signifikan yang jauh melampaui para pemimpin formal dan
birokrat lokal disebabkan berkembangnya struktur masyarakat yang mirip jaringan.
38
Dalam struktur masyarakat seperti ini, terdapat kombinasi antara kumpulan organisasi-organisasi sosial yang hampir mandiri dan kontrol sosial yang efektif dan
terpecah-pecah. Selain itu, orang kuat lokal berkembang karena kebutuhan masyarakat terhadap mereka sebagai patron yang mempertukarkan kebaikan personal orang kuat
lokal untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka dengan kesetiaan yang mereka berikan. Migdal juga menyimpulkan bahwa keberadaan orang kuat lokal membatasi otonomi dan
melemahkan kapasitas negara, sehingga pada akhirnya keberadaan bos lokal tersebut akan menghambat pembangunan.
39
Migdal mencoba menerangkan tentang orang kuat lokal yang berhasil melakukan kontrol sosial. Dalam konteks ini Migdal mengatakan:
“They have succeeded in having themselves or their family members placed in critical state posts to ensure allocation of resources according to their own
rules, rather than the rules propounded in the official rhetoric, policy statements, and legislation generated in the capital city or those put forth by a
strong implementor.”
40
Mereka berhasil menempatkan dirinya sendiri atau menaruh anggota keluarga mereka pada sejumlah jabatan penting demi menjamin alokasi sumber-sumber
37
Istilah local strongmen tersebut dipopulerkan oleh Migdal, sedangkan Sidel menggunakan istilah local bossism. John T. Sidel. 2005. “Philippine…..” Op. Cit. Lihat John T. Sidel. 2005. “Bosisme….” Op. Cit.
38
Lihat Joel S. Migdal. 1988. Strong .. Op. Cit. dan Joel S. Migdal. 2001. State in Society: Studying How States and Societies Transform and Capabilities in the Third World. Princenton University Press.
Meskipun di buku yang terakhir pembahasan mengenai orang kuat lokal agak terbatas, namun intinya tetap sama.
39
Joel S. Migdal. 1988. Strong ..Ibid. hal. 9.
40
Ibid. hal. 256.
Universitas Indonesia
21 daya berjalan sesuai dengan aturan mereka sendiri ketimbang menurut aturan-
aturan yang dilontarkan dalam retorika resmi, pernyataan kebijakan, dan peraturan perundang-undangan yang dibuat di ibukota atau yang dikeluarkan
oleh penguasa yang kuat. Selanjutnya, Migdal menjelaskan fenomena munculnya orang kuat lokal sebagai
berikut. Pertama, orang kuat lokal tumbuh subur di dalam masyarakat mirip jaringan yang digambarkan sebagai sekumpulan campuran melange organisasi-organisasi
sosial yang nyaris mandiri dengan kontrol sosial yang efektif terpecah belah. Berkat struktur masyarakat mirip jaringan membuat orang kuat lokal memperoleh pengaruh
signifikan jauh melampaui pengaruh para pemimpin negara dan para birokrat lokal yang digambarkan sebagai “segitiga penyesuaian.
41
Kedua, orang kuat lokal melakukan kontrol sosial dengan menyertakan beberapa komponen penting yang dinamakan ”strategi bertahan hidup” penduduk setempat.
Dengan kondisi seperti itu, orang kuat lokal bukan saja memiliki legitimasi dan memperoleh banyak dukungan di antara penduduk lokal, tetapi juga hadir untuk
memenuhi kebutuhan pokok dan tuntutan para pemilih atas jasa yang diberikan. Para penulis yang diilhami Migdal cenderung membingkai diskusi mereka dengan istilah
”personalisme”, ”klientisme”, dan ”hubungan patron-klien”. Pola ini kemudian juga terjadi karena orang kuat lokal ditempatkan sebagai patron yang memberi kebaikan
personal bagi klien yang melarat dan para pengikut di daerah kekuasaan mereka.
42
Ketiga, berhasilnya orang kuat lokal ”menangkap” lembaga-lembaga dan sumber daya negara, merintangi atau menyetujui upaya pemimpin negara dalam
melaksanakan pelbagai kebijakan. Secara keseluruhan, orang kuat lokal membatasi otonomi dan kapasitas negara, penyebab kelemahan negara dalam menjalankan tujuan
yang berorientasi pada perubahan sosial. Sepanjang keberhasilan strategi industrialisasi dan pertumbuhan amat bergantung pada strategi penyusunan dan pelaksanaan kebijakan
negara yang saling bertautan efektif, orang kuat lokal dengan demikian, menjadi penghambat pembangunan ekonomi di Dunia Ketiga.
43
Penjelasan yang berbeda dari Migdal dikemukakan oleh John T. Sidel, dari hasil penelitiannya di Filipina, Thailand, dan Indonesia. Dari penelitian itu, Sidel menyebut
41
Ibid. hal. 235-238.
42
Ibid. hal. 9
43
Ibid.
Universitas Indonesia
22 istilah bossism yang merefleksikan strong state dibandingkan strong society. Ia melihat
bosisme menunjukkan peran elit lokal sebagai predatory broker politik yang memiliki kontrol monopolistik terhadap kekuatan paksaan dan sumber daya ekonomi dalam
wilayah teritorial mereka. Bosisme beroperasi dalam bayangan rezim daerah yang dicirikan oleh persekutuan birokrat, bos-bos partai, pengusaha, militer, dan preman.
44
Dalam kasus di Filipina, Sidel menyimpulkan bahwa ukuran dan pentingnya luas kepemilikan tanah pribadi bukan sumber utama kekuasaan dan kekayaan. Sumber-
sumber negara dan modal perdagangan lebih menonjol. Banyak orang kuat lokal yang menjadi kaya justru setelah memangku jabatan. Kekayaan tersebut diperoleh melalui
akses ekonomi, berupa bermacam-macam keistimewaan yang diberikan pejabat terpilih, yang ‘berhutang budi’ atas jasa mereka dalam memobilisasi dukungan melalui
penggunaan kekerasan dan intimidasi, pembelian suara pemilih, dan kecurangan dalam pemilihan.
Mengakarnya orang kuat lokal di Filipina lebih mewakili keganjilan struktur kelembagaan negara, bukan hubungan patron-klien atau kekuasaan dan oligarki
berdasarkan kepemilikan tanah. Ini berkembang sejak diperkenalkannya perubahan politik pada awal abad ke-20, berupa pemilihan kepala daerah maupun anggota
parlemen di tingkat nasional maupun lokal, memberikan kesempatan para pejabat terpilih untuk tetap dapat menggunakan diskresi atas penegakan hukum lokal, pekerjaan
umum, perpajakan, dan sebagainya. Berbeda dengan kesimpulan Migdal, orang kuat lokal di Filipina menurut Sidel, justru terbukti mendukung perkembangan kapitalisme,
antara lain ditandai dengan tumbuhnya kegiatan-kegiatan ekonomi di tingkat lokal.
45
Sementara itu, cikal-bakal bosisme lokal di Thailand pada masa pemerintahan militer dan berlakunya bureaucratic polity hingga 1970-an secara kelembagaan
mendapat hambatan untuk tumbuh. Bosisme lokal tumbuh subur ketika terdapat pergeseran dari parlemen yang lemah, yang ditandai oleh dominasi militer, menuju
parlemen yang lebih kuat. Perkembangan ini menarik para tokoh Bangkok terkemuka yang memiliki sumber daya keuangan besar dan basis dukungan di pedesaan untuk
masuk ke ranah politik. Ditandai oleh suburnya chao pao jao poh, mereka memonopoli kegiatan ekonomi di daerah kekuasaannya yang ditetapkan dengan longgar
dari sisi akumulasi pemilik kekayaan, pendapatan konsensi, kontrak dan waralaba, yang
44
Dikutip dari John T. Sidel. “Bosisme ......” Op. Cit. hal. 72-74.
45
Dikutip dari John T. Sidel. “Bosisme ......” Op. Cit. hal. 76-80.
Universitas Indonesia
23 diperoleh dari negara dan keterlibatan dalam kegiatan-kegiatan illegal. Mereka menjadi
pialang suara hua khanaen dalam pemilu, memobilisasi suara pemilih kepada patron yang berbasis di Bangkok, klien-klien lokal, atau diri mereka sendiri melalui gabungan
koersi, pembelian suara dan kecurangan pemilihan. Chao pho ini mempunyai kemampuan memonopoli secara efektif dalam organisasi kekerasan, baik di dalam
maupun di luar negara.
46
Hambatan bagi berkembangnya bos lokal di Indonesia bertahan selama kekuasaan Soeharto. Pemerintah Orde Baru melakukan rotasi pejabat sipil dan militer di
daerah secara teratur, sehingga mencegah para pejabat di tingkat lokal ini untuk membangun wilayah kekuasaan lokal tersendiri yang otonom terhadap pusat. Otonomi
daerah yang diterapkan, terutama berdasarkan UU Nomor 5 Tahun 1974 sesungguhnya bersifat sentripetal. Meskipun demikian, kebutuhan pusat terhadap aktor-aktor lokal
untuk memelihara kekuasaannya pada praktiknya telah memunculkan mafia-mafia lokal, dengan otonomi terbatas, terutama preman-preman dari kelompok yang erat
kaitannya dengan rezim. Kesempatan yang demikian luas hadir ketika Indonesia mengalami transisi dari pemerintahan otoritarian Orde Baru pada tahun 1998. Pemilu
1999 dan desentralisasi memperlebar kemungkinan akumulasi kekuasaan oleh mafia, jaringan dan marga.
47
Temuan penelitian Sidel mengenai berkembangnya bos lokal di Asia Tenggara menjelaskan beberapa catatan penting berikut. Pertama, orang kuat lokal memperoleh
kekuasaan dan kekayaan bukan dari kepemilikan tanah atau kekayaan pribadi, melainkan dari sumber-sumber negara yang diakumulasi setelah memegang kekuasaan.
Hubungan patron-klien bukan lagi penyangga utama kekuasaan mereka. Perluasan kekerasan dan kontrol terhadap pejabat politik yang dipilih adalah sumber kekuasaan
mereka. Kontrol tersebut merupakan kunci bagi akumulasi sumber daya manusia, alam, dan keuangan setempat, melalui diskriminasi penegakan hukum dan aturan, diskresi ijin
monopoli, kontrak, penggunaan lahan, dan sebagainya. Berbeda dengan Migdal, dari kepialangan politik lah kekuasaan diperoleh serta dapat memberikan kesempatan bagi
akumulasi kekayaan, dan bukan sebaliknya.
48
Kedua, hubungan antara orang kuat dengan masyarakat luas di daerah kekuasaannya bukan ditentukan oleh “sisi permintaan”, yakni kebutuhan klien atas
46
Ibid. hal. 81-83.
47
Ibid. hal. 86-89.
48
Sidel. “Philippine .....”. 1997. hal. 962.
Universitas Indonesia
24 patron. Hubungan lebih ditentukan oleh “sisi persediaan” berupa struktur negara di
tingkat nasional dan ekonomi tingkat lokal. Ketiga, berbagai praktik pembelian suara, kecurangan dalam pemilihan, atau
pengumpulan kekayaan pribadi melalui cara-cara illegal dilakukan dengan cara pemaksaan, dibandingkan hubungan timbal-balik paternalistik atau klientelistik.
Kepentingan orang kuat lokal menjadi sandaran dalam hubungan antara mereka dengan masyarakat luas.
49
Tabel 1.1 Ciri-ciri Bosisme di Asia Tenggara Menurut Sidel
Variabel Ciri-ciri Bosisme di Asia Tenggara
Sumber Kekayaan Berasal dari sumber negara
Pola hubungan Hubungan patron klien bukan penyangga utama
Hubungan dengan pejabat politik
Melakukan kontrol dan pengendalian terhadap pejabat politik
Votingpemilu Pembelian suara
Posisi Negara Negara kuat
Perilaku Kekuasaan Kekerasan
Kontrol Pemerintah Pusat Kontrol lemah
Sumber: diolah dari buku John T. Sidel 2005. “Bosisme dan Demokrasi di Filipina, Thailand, dan Indonesia”, dalam John Harris, Kristian Stokke, dan Olle Tornquist ed.. Politisasi Demokrasi: Politik
Lokal Baru. Jakarta: Demos.
Tentang perkembangan bossism di Indonesia, Sidel melihat bahwa itu terjadi seiring dengan melemahnya kontrol pusat terhadap daerah pasca jatuhnya pemerintah
Orde Baru. Kebijakan desentralisasi telah mengakhiri kontrol efektif pusat yang mencegah pejabat-pejabat sipil dan perwira-perwira menengah militer untuk
membangun wilayah kekuasaan lokal tersendiri yang mandiri. Kondisi tersebut telah memberikan ruang yang sangat leluasa bagi para pialang politik ini untuk memperoleh
dan mengakumulasi kekuasaan dan kekayaan.
50
Berkembangnya bosisme lokal, menunjukkan ketiadaan salah satu nilai-nilai demokrasi yang hendak dicapai dengan penerapan kebijakan desentralisasi, yaitu
political equality. Konsep ini menyangkut tiga macam hubungan yaitu antarpemerintah intergovernmental relation, antara negara dan masyarakat state society relation; dan
antara masyarakat dan masyarakat society-society relation. Hubungan antarpemerintah meliputi kesetaraan antarlevel pemerintahan, baik secara vertikal maupun horizontal,
49
Sidel. “Bosisme….. Op. Cit. hal. 101.
50
Ibid. hal. 85.
Universitas Indonesia
25 dalam kewenangan mengatur dan mengurus. Penyelenggaraan pemerintahan daerah
akan semakin kuat jika ada kesetaraan antara kewenangan dengan sumber keuangan yang dimiliki, kejelasan kewenangan antarberbagai tingkat pemerintahan, dan
sebagainya. Hubungan antarnegara dan masyarakat merupakan refleksi dari daya tawar masyarakat terhadap berbagai keputusan yang diambil lembaga pemerintahan.
Otonomi daerah sejatinya bukan hanya memberikan kewenangan kepada pemerintah daerah. Tetapi juga harus memperkuat peran dan kedudukan masyarakat,
sebagai pemilik kedaulatan dan pemilik kewenangan, dalam pengambilan keputusan di tingkat lokal. Sedangkan hubungan antara negara dan masyarakat menunjukkan akses
yang sama dalam ikut serta mempengaruhi proses kebijakan.
51
Romli misalnya menjelaskan kasus Jawara di Banten sebagai pola hubungan birokrat, bos-bos partai,
pengusaha, dan aparat dalam mengusai politik lokalnya didasarkan atas dua, yaitu hubungan patron klien dan berdasarkan hubungan simbiosis mutualisme. Kontrol yang
dilakukan oleh tokoh Jawara di Banten dilakukan terhadap pejabat publik dan civil society. Teori ”Bossisme Plus” yang dikemukakan Romli menjelaskan bahwa sumber
kekuasaan berupa magi, kesaktian, dan ilmu silat menyebabkan jawara memiliki pengaruh di masyarakat. Berbeda dengan Sidel di mana sumber-sumber kekuasaan
diperoleh saat ia mendapat fasilitas dari negara. Bosisme ala Sidel hanya memiliki kontrol terhadap pejabat publik, tetapi bosisme plus pada kasus jawara selain
mengontrol pejabat publik juga mengontrol masyarakat civil society.
52
Dalam menganalisa peran Pemuda Pancasila di Sumatera Utara dalam penguasaan politik lokal, teori yang digunakan adalah teori yang dikemukakan oleh
Sidel. Teori Sidel tentang local bossism membantu merumuskan kerangka berpikir yang akan digunakan dalam penelitian ini, terutama terkait dengan sumber kekuasaan dan
cara-cara penggunaan kekuasaan yang dilakukan oleh para tokoh Pemuda Pancasila. Fenomena munculnya kelompok kekerasan dan bos lokal pada panggung politik di
Sumatera Utara justru terkait dengan kebijakan otonomi daerah. Mereka adalah orang- orang, yang pada masa Orde Baru, memperoleh banyak keberuntungan.
Bos lokal tersebut adalah para pebisnis, termasuk dalam kelompok yang sering melakukan praktik kekerasan, kemudian menjadi tokoh dan memiliki pengaruh pada
lembaga politik lokal seperti partai politik, legislatif, dan eksekutif. Kemunculan
51
Ketiga nilai tersebut adalah political equality, accountability, dan responsiveness. Lihat dalam B.C. Smith. 1985. Op. Cit. hal. 24-30.
52
Lili Romli. “Jawara ......” Op. Cit. hal. 254-257.
Universitas Indonesia
26 mereka tidak terlepas dari struktur masyarakat dan struktur negara itu sendiri. Dalam
struktur masyarakat yang bersifat paternalistik, orang yang mempunyai pengaruh cenderung akan dihormati masyarakat. Sedangkan struktur negara memungkinkan
terciptanya satu kondisi bagi muncul, bertahan, dan berhasilnya bos lokal tersebut. Di Sumatera Utara, kemunculan bos lokal itu berasal dari salah satu organisasi yang sering
melakukan praktik kekerasan dalam aktivitasnya diantaranya adalah Pemuda Pancasila. Namun, bos lokal itu tidak dapat mengandalkan kekuatan individu semata karena
sumber-sumber kekuasaan tersebar di antara kelompok-kelompok masyarakat lainnya. Fenomena munculnya bos lokal di Sumatera Utara terkait dengan kekuatan kelompok
yang mampu membentuk jaringan kepada sumber-sumber daya di tingkat lokal. Dari kerangka tersebut, penelitian ini akan menjelaskan cara individu dan tokoh
di Sumatera Utara dapat muncul sebagai bos lokal dalam kekuatan kelompok kekerasan. Penelitian ini akan membuktikan asumsi bahwa fenomena munculnya bos lokal di
Sumatera Utara tidak terkait dengan lemahnya negara, tetapi terkait dengan, dalam bahasa Sidel, beroperasi dalam bayangan rezim daerah yang dicirikan oleh persekutuan
bos-bos partai, pengusaha, militer, dan preman. Mereka ini memiliki kontrol monopolistik terhadap kekuatan pemaksaan dan sumberdaya ekonomi dalam wilayah
teritorial tertentu. Teori itu akan menganalisis kasus peran Pemuda Pancasila dalam pemilihan Gubernur Provinsi Sumatera Utara tahun 2008.
1.6.2. Patrimonialisme dan Klientelisme