Universitas Indonesia
40 dan kepentingan sponsor politik. Kedua pendekatan tersebut dipilih untuk menguraikan
adanya kepentingan individu kader dan tokoh Pemuda Pancasila dalam memperoleh sumber-sumber daya lokal dengan cara ikut berperan dalam pemilihan Gubernur
Provinsi Sumatera Utara tahun 2008.
1.6.5. Teori Otonomi Daerah, Demokrasi, dan Pemilihan Kepala Daerah Langsung
Memahami otonomi daerah di Indonesia sangat erat kaitannya dengan desentralisasi, bahkan keduanya diibaratkan dua sisi mata uang. Konsep desentralisasi
menjadi dasar pembentukan daerah otonom atas penyerahan wewenang tertentu dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah dan dapat pula berupa pelimpahan
kekuasaan pemerintah pusat ke daerah-daerah. Menurut UU No. 32 Tahun 2004, pengertian desentralisasi dan otonomi daerah memiliki perbedaan cakupannya.
Desentralisasi mencakup penyerahan kewenangan sedangkan otonomi daerah merujuk pada kewenangan di daerah tersebut. Desentralisasi adalah penyerahan wewenang
pemerintahan oleh pemerintah pusat kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Sedangkan otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat
setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
82
Dengan demikian pembahasan otonomi daerah tidak bisa terlepas dari konsep desentralisasi.
Kebijakan desentralisasi dipandang sebagai instrumen untuk memperbaiki kualitas demokrasi pada tingkat lokal karena dapat mendekatkan hubungan antara
pemerintah dengan para pemangku kepentingan yang ada di masyarakat. Meskipun banyak pendapat yang menyatakan desentralisasi dan demokrasi adalah dua konsep
yang berbeda. Secara umum, desentralisasi lebih merujuk pada relasi antara pemerintah pusat dengan daerah. Sedangkan demokrasi berkaitan dengan proses dan prosedur
berbagai kegiatan politik yang melibatkan rakyat, baik di tingkat pusat dan daerah. Secara empiris, di antara keduanya juga tidak selalu berseiringan. Desentralisasi,
misalnya, bisa ditemui di negara-negara yang pemerintahannya otoriter atau totaliter. Di sini, desentralisasi lebih dimaknai di dalam konteks desentralisasi administrasi. Crook
82
Lihat UU No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah, Bab I Ketentuan Umum Pasal 1 ayat 6 dan 7. Dari pengertian tersebut, maka istilah otonomi daerah lebih banyak digunakan dalam penelitian ini
karena membahas tentang kewenangan di daerah otonom.
Universitas Indonesia
41 dan Manor menjelaskan tentang desentralisasi pada akhirnya bukan berarti memiliki
makna demokrasi.
83
Agar keterkaitan di antara keduanya secara eksplisit ada, mereka lalu mengembangkan apa yang disebut sebagai democratic decentralization, yang lebih
dirujuk pada adanya desentralisasi kekuasaan atau devolusi dari pemerintah pusat kepada daerah.
84
Pandangan seperti ini tidak lepas dari pokok perhatian Rodinelli yang lebih terfokus pada desentralisasi administrasi daripada desentralisasi politik.
Pandangan Rodinelli itu berbeda dengan apa yang dikemukakan oleh Brian C. Smith yang melihat
peran penting desentralisasi di dalam proses demokratisasi. Dalam perspektif politik, Smith mengatakan desentralisasi adalah the transfer of power, from top level to lower
level, in a territorial hierarchy, which could be one of government within a state, or office within a large organization
85
, pengalihan kekuasaan, dari tingkat atas ke tingkat yang lebih rendah, dalam hierarki teritorial, yang bisa menjadi salah satu pemerintah
dalam sebuah negara, atau kantor dalam organisasi besar. Perspektif politik dari desentralisasi yang dikemukakan Smith tersebut telah
memberikan ide devolution of power sebagai substansi utama dari desentralisasi, kendati devolusi kekuasaan itu tidak hanya dibatasi pada struktur pemerintahan.
Desentralisasi sejatinya bukan hanya memberikan otonomi kepada pemerintah daerah, tetapi juga harus memperkuat peran dan kedudukan masyarakat sebagai pemilik
kedaulatan dan pemilik otonomi dalam pengambilan keputusan di tingkat lokal. Sedangkan hubungan antara masyarakat dan negara menunjukkan akses yang sama
dalam ikut serta dan mempengaruhi proses kebijakan. Interaksi di antara kelompok masyarakat lokal tersebut akan terjadi jika adanya jaminan political equality,
accountability dan responsiveness dalam penyelenggaraan politik desentralisasi.
86
Pandangan Smith semakin menguatkan kaitan antara desentralisasi dan demokratisasi. Di dalam literatur tentang demokrasi sendiri, desentralisasi politik sering
83
Lihat Richard C. Crook and James Manor. 2000. Op. Cit.
84
Perdebatan mengenai definisi desentralisasi lihat Syarif Hidayat. 2000. Realitas Otonomi Daerah dan Tantangan Masa Depan. Jakarta: Pustaka Quantum. Di bagian lain dari penjelasan desentralisasi ada
pembahasan mengenai desentralisasi fiskal atau yang menyangkut tentang keuangan antara pemerintah pusat dan daerah. Pandangan yang menyatakan tentang desentralisasi sebagai administrasi dapat dilihat
dalam Dennis A. Rodinelli. 1990. “Decentralization, Terriotorial Power and the State: a Critical Response”. Development and Change. 1 3. hal. 493. Baca juga G. Shabir Cheema dan Dennis A.
Rodinelli. Ed. 1983. Decentralization and Development. Policy Implementation in Developing Countries. Beverly Hills: Sage Publications. hal. 18.
85
Brian C. Smith. 1985. Decentralization: The Territorial Dimension of the State. London: Allen Unwin. hal. 21.
86
Ibid. hal. 24-30.
Universitas Indonesia
42 dipandang sebagai prasyarat bagi demokratisasi. Merujuk pada pandangan Alexis de
Tocqueville, Jan-Erik Lane dan Svante Ersson mengatakan bahwa demokrasi itu sangat mungkin kalau terdapat civil society, desentralisasi politik, dan adanya perdamaian
dengan negara-negara tetangga.
87
Pandangan demikian menegaskan bahwa otonomi daerah merupakan unsur penting di dalam demokrasi. Pandangan bahwa otonomi
daerah itu memiliki relasi yang kuat dengan demokratisasi didasarkan pada asumsi bahwa otonomi daerah dapat membuka ruang yang lebih besar kepada masyarakat
untuk terlibat dalam menentukan pejabat publik.
88
Merujuk pada pandangan Smith tentang persaman hak politik political equality dalam pelaksanaan desentralisasi, diharapkan akan membuka kesempatan bagi
masyarakat untuk berpartisipasi dalam berbagai aktivitas politik di tingkat lokal. Masyarakat di daerah dapat dengan elegan mempraktikkan bentuk-bentuk partisipasi
politik, misalnya menjadi anggota partai politik dan kelompok kepentingan. Selain itu, mendapatkan kebebasan dalam mengekspresikan kepentingan dan aktif dalam proses
pengambilan keputusan.
89
Pemilihan secara langsung kepala daerah local government heads dan para anggota DPRD local representative council merupakan salah satu
syarat utama bagi terwujudnya pemerintahan daerah yang akuntabel dan responsif serta terbangunnya political equality di tingkat lokal.
Pendapat Smith tersebut, sejalan dengan pemikiran Daniel Arghiros yang menjelaskan tentang “... decentralization is one tool for creating good governance, and
democratic decentralization as a goal to reforms in the local
90
” desentralisasi adalah suatu alat untuk menciptakan pemerintahan yang baik, dan demokratis di tingkat lokal
sebagai tujuan untuk reformasi di tingkat lokal. Pelaksanaan pemilihan kepala daerah secara langsung merupakan paket yang tidak terpisahkan dari dua konsep tersebut.
Melalui kebijakan desentralisasi dapat dikurangi sentralisasi kekuasaan di tangan pemerintah pusat. Sementara, melalui pemilihan kepala daerah langsung akan tercipta
87
Jan-Erik Lane and Svante Ersson. 2003. Democracy: A Comparative Approach. Routledge: Taylor Francis Group. hal. 10.
88
Lihat Robert A. Dahl. 1971. Poliarchy: Participation and Oppsition. New Haven: Yale University Press. hal. 2-4; Arend Lijphart. 1999. Pattern of Democracy: Government Forms and Performance in
Thirty-Six Countries. New Haven: Yale University Press. hal. 48. Pandangan kedua ahli itu tentang demokrasi memperoleh dukungan yang cukup luas dan sering menjadi rujukan para ilmuwan ketika
berbicara mengenai demokrasi. Menurut Dahl, dalam kerangka yang lebih empiris lagi, ada dua dimensi teoritis demokratisasi, yaitu dimensi kompetisi dan dimensi inklusivitas.
89
Brian C. Smith. 1985. Op. Cit. hal. 24.
90
Daniel Arghiros. 2001. Democracy, Development and Decentralization in Provincial Thailand. Surrey: Curzon. hal. 21.
Universitas Indonesia
43 pemerintah daerah yang akuntabel dan responsif terhadap tuntutan masyarakat.
Meskipun pada tingkat realitas tidak selamanya kepala daerah yang dipilih secara langsung akan lebih akuntabel dan responsif bila dibandingkan kepala daerah yang
ditunjuk. Tetapi, setidaknya secara prosedural sistem pemilihan kepala daerah secara langsung akan lebih baik dari sistem penunjukan.
91
Logika teoritis yang dikemukakan oleh Smith tentang pentingnya sistem pemilihan secara langsung akan terlaksana dalam konteks tersedianya demokrasi
substantif substantive democracy
92
. Secara konseptual, pelaksanaan pemilihan kepala daerah secara langsung sebagai upaya untuk merealisasikan pemerintahan yang
akuntabel, transparan, dan responsif, hanya akan mendekati kenyataan ketika diasumsikan bahwa prilaku demokrasi democratic behaviour
93
yang baik dilakukan oleh elit penyelenggara pemerintah maupun kalangan masyarakat. Prilaku demokrasi
yang baik akan memastikan sebagian masyarakat pemilih telah memahami arti penting politik dalam kehidupan sehari-hari. Ketika diberikan hak kebebasan politik political
liberties, masyarakat itu telah memiliki kapasitas untuk menentukan pilihan dan mengambil keputusan atas pilihan tersebut secara rasional. Asumsi demokrasi substantif
telah menjadi tema evaluasi pelaksanaan pemilihan kepala daerah secara langsung.
94
Kelemahan untuk menganalisis kompleksitas relasi antara pemimpin dengan yang dipimpin disebabkan oleh kepentingan dan kebutuhan yang cenderung berubah
dan meningkat. Masalah kepentingan seperti itu lebih mengemuka lagi kalau melihat
91
Ibid. hal. 20-38.
92
William Case menjelaskan substantive democracy sebagai praktik demokrasi yang tidak saja ditandai oleh eksisnya institusi demokrasi democratic institutions, tetapi juga ditunjukkan oleh inherennya
prilaku demokrasi democratic behaviour baik pada tataran institusi, aparat pelaksana institusi itu sendiri, maupun pada tataran masyarakat civil society. Bila praktik demokrasi hanya sampai pada
menghadirkan dan membenahi institusi demokrasi, maka tipe seperti ini lebih bersifat demokrasi prosedural procedural democracy. William Case. 2002. Politics in Southeast Asia: Democracy or Less.
Mitcaham. Surrey: Curzon. hal. 12-16.
93
Mengenai pengertian prilaku demokrasi lihat Vincent Ostrom. 1991. The Mining of American Federalism: Constituting Self-Governing Society. San Fransisco: ICS Press; O.W. Oyugi. 2000.
“Decentralizationfor Good Governance and Development: The Unending Debate”. Regional Development Dialoge. Vol. 21. No. 1. Spring. Ostrom dan Oyugi menjelaskan bahwa untuk dapat
mewujudkan sistem pemerintahan yang demokratis, tidak cukup hanya dengan menghadirkan dan membenahi democratic institutions institusi demokrasi, tetapi harus disertai dengan adanya democratic
behavour yang akan menghidupi demokrasi. Prilaku demokrasi harus dilakukan oleh tataran institusi, aparat pelaksana, dan masyarakat.
94
Lihat beberapa penelitian yang dilakukan oleh Pusat Penelitian Ekonomi LIPI tentang bisnis dan politik dalam pemilihan kepala daerah seperti: Syarif Hidayat dan Hari Susanto. Penyunting. 2007. Bisnis dan
Politik di Tingkat Lokal: Pengusaha, Penguasa Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah Pasca Pilkada. Jakarta: P2E LIPI; Syarif Hidayat dan Endang S. Soesilowati. Penyunting. 2008. Bisnis dan
Politik di Tingkat Lokal: Pengusaha, Penguasa Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah Pasca Pilkada di Provinsi Gorontalo. Jakarta: P2E LIPI.
Universitas Indonesia
44 fakta bahwa proses pemilihan kepala daerah tidak hanya melibatkan dua kelompok, para
calon dan pemilih. Kekuatan-kekuatan yang ada di dalam masyarakat juga terlibat dan berusaha memperjuangkan kepentingan-kepentingannya sendiri. Dengan demikian,
kepentingan yang perlu diperjuangkan bukan hanya kepentingan pemilih, yang tentu saja tidak homogen. Kepentingan-kepentingan lain juga mengemuka, mulai dari
kepentingan para calon, para pendukung, dan para elit masyarakat. Untuk menganalisa peran tokoh Pemuda Pancasila pada pemilihan Gubernur
Provinsi Sumatera Utara maka digunakan perspektif desentralisasi politik dan demokrasi yang dikemukakan Brian C. Smith. Konsepsi Smith tentang political equality
membantu merumuskan kerangka analisis tentang perlunya keterlibatan langsung rakyat dalam proses-proses politik di tingkat lokal untuk memperkuat konsolidasi demokrasi.
Political equality tersebut akan dilihat dalam kondisi sebagian besar masyarakat yang relatif belum sadar akan arti politik dalam kehidupan sehari-hari, maka sulit dihindari
adanya mobilisasi massa pendukung melalui tokoh panutan dan organisasi yang dipimpinnya serta melakukan kekerasan dan politik uang.
Pelaksanaan pemilihan gubernur secara langsung akan memberikan peran yang cukup besar kepada tokoh Pemuda Pancasila di Sumatera Utara. Kemunculan tokoh
Pemuda Pancasila yang kemudian menjadi orang yang berpengaruh kepada calon gubernur yang didukung justru menimbulkan pola demokrasi yang baru, diantaranya
yaitu munculnya tokoh dan kelompok yang kuat secara material, jaringan kekuasaan, dan memiliki dukungan massa yang besar. Prilaku politik tokoh Pemuda Pancasila
tersebut terkadang tidak saja selalu mengedepankan kepentingan kelompoknya, namun selalu ‘mengatasnamakan’ kepentingan rakyat untuk memuluskan tujuan-tujuan yang
membesarkan keuntungannya. Fenomena itu menjadi salah satu persoalan yang terjadi dalam pelaksanaan pilkada langsung.
1.7. Alur Pemikiran