Universitas Indonesia
BAB 2 SUMATERA UTARA DAN PEMUDA PANCASILA:
PERSPEKTIF HISTORIS, DINAMIKA SOSIAL, EKONOMI, DAN POLITIK
Bab ini akan menjelaskan latar belakang berdirinya Pemuda Pancasila di
Sumatera Utara terkait dengan situasi politik nasional setelah Indonesia merdeka hingga Orde Lama yang menyebabkan banyak kelompok organisasi yang berada di
Jakarta dan daerah membutuhkan dukungan massa yang besar. Ketidakstabilan politik pada masa Demokrasi Parlementer juga menimbulkan pengelompokan di tingkat akar
rumput. Tidak terkecuali di Sumatera Utara, kekuatan-kekuatan politik nasional berusaha untuk “menggarap” seluruh satuan sosial masyarakat. Salah satu organisasi
yang dibentuk untuk memobilisasi anak-anak jalanan yang berusia muda dan para preman di Sumatera Utara itu adalah Pemuda Pancasila. Dalam perkembangannya
Pemuda Pancasila menjadi salah satu organisasi yang banyak membantu militer untuk mendukung pemerintah Orde Baru di daerah-daerah termasuk di Sumatera Utara.
Setelah jatuhnya pemerintahan Orde Baru, Pemuda Pancasila harus beradaptasi dengan sistem politik yang telah berubah. Tidak ada kekuatan mayoritas sejak
reformasi digulirkan dan tokoh-tokoh lokal mendapat peran tersendiri di daerahnya masing-masing sejalan dengan kebijakan otonomi daerah. Pada saat itulah, Pemuda
Pancasila yang dikenal selalu mengandalkan kekuatan kekerasan memberikan pengaruhnya kepada otoritas politik lokal seperti partai politik, lembaga legislatif, dan
eksekutif.
2.1. Sejarah Lahirnya Pemuda Pancasila
Sumatera Utara dulunya dikenal dengan nama Sumatera Timur yang menjadi salah satu wilayah perkebunan di Indonesia. Sumatera Timur adalah daerah dataran
rendah yang sangat luas. Menurut Karl J. Pelzer luas seluruh daerah Sumatera Timur mencapai 31.715 km
2
. Di daerah ini terdapat hutan-hutan Payau Mangrove yang ditumbuhi oleh pohon bakau dan nipah. Banyak sekali ditemukan sungai-sungai yang
bermuara ke Selat Malaka. Di sepanjang sungai-sungai itu, tertutama di muara sungai, tumbuh dengan lebat pohon nipah dan bakau. Sungai yang berhulu di Dataran Tinggi
Karo dan Simalungun itu membawa sisa-sisa debu halus, pasir, tanah gembur dan
52
Universitas Indonesia
endapan lumpur.
1
Akibatnya daerah Pantai Timur bertambah luas masuk ke Selat Malaka. Tanah-tanah di sepanjang Pantai Timur Sumatera ini menjadi lahan subur
untuk pertanian, terutama untuk mendukung industri perkebunan. Dampak perkembangan ekonomi perkebunan juga telah mengubah komposisi demografis.
Mengalirnya ratusan ribu buruh dan kaum pendatang lainnya ke ”Het Dollar Land” Sumatera Timur, akhirnya menyebabkan penduduk asli turun menjadi minoritas. Suku
Jawa menjadi komunitas tunggal yang terbesar, sedangkan orang China menempati urutan ketiga.
Penduduk kota itu telah melahirkan suatu budaya baru yang terlepas dari lingkungan budaya asalnya dan wewenang Kerajaan Melayu. Mereka adalah rakyat
gubernemen, bukan rakyat kerajaan.
2
Komunikasi di antara mereka semakin lancar dengan diakuinya Bahasa Melayu sebagai Bahasa Nasional pada tahun 1928.
Pengakuan ini penting artinya dalam menumbuhkan budaya baru yang bersifat nasional di kota Medan. Hamka dalam ”Merantau ke Deli” mendeskripsikan, bahwa
Anak Deli adalah tunas yang paling mekar dalam pembangunan bangsa Indonesia. Anak Deli adalah keturunan campuran dari berbagai etnis yang bebas dari kungkungan
budaya tradisional.
3
Kaum pendatang sebagian besar tinggal di kota-kota besar. Mereka bekerja sebagai kerani, guru sekolah, pedagang kaki lima, dan sebagainya.
Penduduk asli Sumatera Timur adalah kelompok etnis Melayu, Batak Karo dan Batak Simalungun.
4
Etnis Melayu Pesisir Sumatera Timur mendiami daerah Pantai Timur Sumatera. Bahwa yang dimaksud dengan etnis Melayu adalah golongan bangsa
yang menyatukan dirinya dalam pembauran ikatan perkawinan antar etnis serta mema- kai adat resam Melayu serta mayoritas beragama Islam. Keahlian khas raja-raja
Melayu adalah kemampuannya menjalin hubungan yang saling menguntungkan dengan penduduk dari suku-suku lainnya tanpa mengorbankan identitas mereka.
Keahlian inilah yang memungkinkan Kerajaan Melayu berkuasa di Bandar-Bandar
1
Karl J. Pelzer. 1985. Toen Keboen dan Petani: Politik Kolonial dan Perjuangan. Jakarta: Sinar Harapan. hal. 34.
2
Orang China, Keling, dan orang asing lainnya yang tinggal di wilayah kerajaan menjadi rakyat gubernemen. Mededeelingen van den Burgerlijken. Geneeskundigen Dienst in Nederlandsch- Indie
MBGD, 1912-1925 hal. 34, 96, dan 162; Mahadi. 1978. Sedikit Sejarah Perkembangan Hak-hak Suku Melayu Atas Tanah di Sumatera Timur Tahun 1800-1975, Bandung: Alumni. hal. 76.
3
Hamka. 1966. Merantau ke Deli. cet. ke-3. Kuala Lumpur: Pustaka Antara. hal. 56.
4
Anthony Reid menyebut Sumatera Timur sebagai kampung halamannya penduduk Melayu, Batak Karo dan Batak Simalungun yang bekerja sebagai petani. Anthony Reid. 1987. Perjuangan Rakyat:
Revolusi dan Hancurnya Kerajaan di Sumatera. Jakarta: Sinar Harapan. hal. 87.
Universitas Indonesia
Pantai Timur Sumatera, menggantikan pengaruh Aceh yang pernah memperkenalkan gagasan kerajaan di kalangan suku-suku Batak Karo dan Simalungun.
5
Tumbuh kembangnya pelbagai perkumpulan atau organisasi, baik yang bersifat kedaerahan, keagamaan, kepemudaan, kemahasiswaan, kepartaian dan lain-lain tidak
dapat dilepaskan dari situasi politik pada masanya. Masa awal kemerdekaan, terutama antara 1950-an hingga tahun 1960, sering disebut masa Demokrasi Liberal.
Bermacam-macam organisasi atau perkumpulan tumbuh di mana-mana. Gejala ini tentu tidak dapat dilepaskan dari dorongan pemerintah, sebagaimana termuat dalam
“MAKLUMAT PEMERINTAH” yang ditandatangani pada 3 November 1945 oleh Wakil Presiden Mohammad Hatta.
6
Implikasi dari Maklumat tersebut di Sumatera Utara, khususnya Kota Medan, adalah berdiri berbagai cabang organisasi untuk
merekrut anggota sebanyak-banyaknya. Tujuannya tidak lain adalah untuk memenangkan pemilihan umum nasional yang sejak 5 Oktober 1945 sudah dijanjikan
akan dilaksanakan pemerintah pada Januari tahun 1946.
7
Keadaan Kota Medan semakin rumit dan tidak menentu setelah timbulnya gerakan sebagaimana diistilahkan dengan kata “revolusi sosial’ di Sumatera Timur
April 1946. Sebagian besar anggota keluarga sultan-sultan Melayu ditangkap, dibunuh dan hartanya dirampok. Revolusi sosial ini diumumkan oleh Wakil
Gubernur Sumatera, DR. Amir, yang mendapat tekanan dari kelompok kiri komunis. Kelompok kiri berusaha meyakinkan massa rakyat bahwa Kesultanan
Melayu berkhianat pada Revolusi Indonesia, karena beberapa hari setelah sekutu mendarat pihak Kesultanan mengundang seorang pejabat tinggi Belanda untuk
menghadiri upacara penobatan Sultan Osman Sani dan pemakaman almarhum ayahnya yang digantikannya.
8
Revolusi sosial yang belakangan diketahui diatur dan disusupi oleh unsur-unsur PKI Partai Komunis Indonesia ini, walaupun
singkat sempat mengakibatkan berlakunya “keadaan darurat” di seluruh Sumatera Timur.
9
5
Ibid. hal.24.
6
Anonimous, Kepartaian di Indonesia. 1951. Jakarta: Kementerian Penerangan Republik Indonesia. Pepora 8.
7
Daniel Dhakidae. 1981. “Partai Politik dan Sistem Kepartaian di Indonesia” dalam Jurnal PRISMA, Desember 1981. hal. 18.
8
Usman Pelly dan Darmono. 1981. Pandangan tentang Makna Hidup Transisionalitas Masyarakat: Studi Kasus Sumatera Utara. Jakarta: IDSN Depdikbud.hal. 202-203.
9
Sjahnan. 1982. Dari Medan Area ke Pedalaman dan Kembali ke Kota Medan. Medan: Dinas Sejarah Kodam-IIBB hal. 30
Universitas Indonesia
Era revolusi kemerdekaan hingga tahun 1950, cukup kuat memberi alasan betapa keadaan saat itu dikatakan amat tidak aman. Masyarakat Sumatera Utara
umumnya, khususnya di Medan, merasakan situasi yang demikian mencekam itu. Sehingga begitu memasuki era 1950-an, sekalipun di sana-sini masih terjadi
berbagai pergolakan, namun secara historis masyarakat mengenalnya sebagai masa aman. Pada era inilah implementasi Maklumat Pemerintah 3 November 1945
mendapat momentum baru. Organisasi masa, perkumpulan-perkumpulan, serta organisasi partai tumbuh dan berkembang menjalankan misi dan program-program
politiknya. Pertarungan antar partai untuk merebut pusat-pusat kekuasaan dan penentuan kebijakan negara berlangsung secara terbuka. Pergolakan-pergolakan
yang terjadi di seluruh Indonesia itu bukan lagi dalam rangka menghadapi musuh dari luar. Akan tetapi pergolakan itu lebih disebabkan oleh perbedaan-perbedaan
pendapat dan kepentingan antar partai politik yang berpengaruh dan bermassa besar di dalam negeri.
Di antara partai-partai politik yang terbilang jumlahnya di masa itu, pertikaian ideologi dan kompetisi untuk menghimpun kekuatan dengan
mengumpulkan anggota sebanyak-banyaknya dari masyarakat merupakan isu sentral. Tiap-tiap organisasipartai berlomba-lomba untuk tampil di panggung
politik, menentukan format dan arah kebijakan Republik Indonesia yang baru merdeka. Ada yang muncul sebagai partai dengan ideologi agama, ideologi
kebangsaan, dan ada pula dengan ideologi luar. Sebagian berbasis umat dan sebagian lagi berbasis okupasi dan kelas sosial. Seluruhnya tampil dengan
mengklaim satu kerangka politik umum mempertahankan dan mengisi kemerdekaan.
Perbedaan-perbedaan di antara partai politik dan organisasi itu selalu bermuara pada pertikaian yang berlarut-larut dan sulitnya mencapai kesepakatan.
Setiap partai tidak peduli dengan masalah yang timbul akibat ketidaksepakatan mereka. Mereka hanya peduli pada upaya memperkuat basis-basis sosial partainya
di kalangan masyarakat. Bermacam-macam instrumen digunakan untuk merekrut anggota partai sebanyak-banyaknya. Salah satu di antara instrumen yang paling
populer adalah setiap partai politik mendirikan organisasi masyarakat agar dapat menjangkau massa yang lebih luas. Praktik perluasan massa pendukung di semua
lapisan masyarakat, menyebabkan terjadinya pertikaian di antara kelompok
Universitas Indonesia
masyarakat. Pertikaian tidak lagi hanya terbatas di dalam parlemen, tetapi meluas di dalam kehidupan masyarakat.
Mahasiswa, pelajar, pekerjakaryawan buruh, petani, nelayan, seniman, pers dan lain-lain adalah kelompok masyarakat yang selalu menjadi sasaran partai
politik untuk memperluas massa pendukungnya. Sasarannya tidak terbatas pada masyarakat yang tinggal di perkotaan tetapi juga pada masyarakat yang tinggal di
pedesaan. Sehingga tidak ada satu kelompok sosial pun dalam masyarakat yang tidak disentuh oleh partai politik, kecuali kelompok sosial yang pada masa itu
dipandang sangat tidak mempunyai “greget” untuk merekrut massa, yakni anak jalanan. Di Medan kelompok anak jalanan terdiri dari para preman dan anak-anak
cross-boys yang berpusat di seputar kota. Kelompok ini nampaknya tidak tergarap oleh kekuatan-kekuatan partai politik yang mendekati seluruh satuan sosial di
masyarakat. Para anak jalanan atau preman yang berlainan kampung ini sering terlibat perkelahian antar sesamanya.
Anak-anak jalanan yang menghuni perkampungan-perkampungan di seputar pusat kota, bermain ke daerah pusat, untuk menguasai wilayah di sekitar bioskop
dan pusat-pusat pertokoan. Situasi itu mendorong pihak keamanan untuk mengantisipasi berbagai kemungkinan perkelahian yang dapat menimbulkan
kerusakan-kerusakan di pusat kota. Kecuali karena alasan itu, adanya petugas penjaga malam disebabkan oleh pengumuman darurat perang di Sumatera Utara
akibat keputusan yang dilakukan Kolonel Simbolon, Panglima Daerah Militer I, pada 22 Desember 1956 memutuskan hubungan Sumatera Utara dan Kabinet Ali
Sastroamidjoyo. Pada malam hari daerah kota terpaksa diawasi oleh petugas jaga malam dari
anggota militer. Pasukan jaga malam ini dipimpin Kolonel Sukardi dari Kodam I Bukit Barisan. Sebagai pelaksana, pihak militer merekrut anak-anak jalanan untuk
ditugaskan sebagai penjaga malam hermandat. Hal ini dimungkinkan karena pada masa itu telah terdapat suatu perkumpulan yang bernama Perkumpulan Pemuda
Kotamadya Medan P2KM. Perkumpulan ini melibatkan banyak anggota kelompok anak jalanan yang tersebar di perkampungan sekeliling kota. Kelompok
ini dibentuk di Jalan Amaliun, di rumah salah seorang anggota, dan diketuai oleh Effendi Nasution dengan sekretaris bernama Anwar. Karena pada masa itu isu
mengenai pembebasan Irian Barat juga telah mengemuka, di mana setiap kabinet
Universitas Indonesia
pada masa itu mencantumkan masalah Irian Barat sebagai salah satu programnya, maka P2KM juga dinamakan PDIB Pasukan Djibaku Irian Barat. Pada saat inilah,
politik yang menjadi pembicaraan keseharian masyarakat, mulai masuk dalam kehidupan para anak jalanan alias preman Kota Medan.
Begitu kuatnya keingingan warga untuk berpolitik, dalam arti merebut pengaruh dan kekuasaan dalam negara, menyebabkan perhatian pada ekonomi
nyaris terabaikan. Strategi-strategi untuk mengembangkan sumber daya ekonomi negara kurang mendapat perhatian dalam arus pemikiran umum elit politik pada
masa itu. Aktivitas-aktivitas ekonomi kurang terprogram secara berarti dalam kebijakan pemerintah. Ia dibiarkan berkembang begitu saja seperti sediakala,
meniru dan mengikuti keadaan yang ada di masa-masa sebelumnya. Tetapi dalam keadaan itu sentralisasi ekonomi oleh negara justru terus berlangsung sehingga
ketimpangan ekonomi antara pusat dan daerah menjadi begitu terasa. Akibatnya kekuatan ekonomi di masing-masing daerah semakin melemah untuk
mensejahterakan penduduk yang hidup di daerah tersebut. Orang-orang menganggur preman makin bertambah jumlahnya, baik karena kehilangan
pekerjaan maupun karena ketinggalan dalam pendidikan akibat kemiskinan atau tiadanya kesempatan. Pemberontakan PRRI Pemerintahan Revolusioner Republik
Indonesia tahun 1959 di Sumatera Barat, adalah salah satu pemberontakan yang menuntut desentralisasi kebijakan ekonomi. Begitu pula pemberontakan
PERMESTA Sulawesi Selatan yang disebabkan oleh penolakan kebijakan sentralisasi ekonomi oleh pemerintah pusat.
10
Penurunan dominasi partai politik dalam kegiatan politik nasional, juga tampak ketika Presiden Soekarno mengangkat Ir. Djuanda menjadi Perdana
Menteri. Susunan kabinet dibentuk tidak lagi berdasarkan kekuatan-kekuatan partai melainkan diangkat berdasarkan hubungan pribadi masing-masing. Hubungan
10
Koentjaraningrat. 1993. Masalah Kesukubangsaan dan Integrasi Nasional. Jakarta
: Universitas Indonesia. hal. 24. Pemberontakan tersebut terjadi karena adanya pertikaian politik yang bukan saja
telah menghalangi konsensus di parlemen, tetapi juga menyebabkan terabaikannya aspek ekonomi kesejahteraan rakyat banyak. Oleh karena itu, atas prakarsa dan dukungan Angkatan Darat, Presiden
menunjukkan kekuasaannya lewat Dekrit Presiden 5 Juli 1959 dan sekaligus mengakhiri era Demokrasi Liberal. Lihat juga Adnan Buyung Nasution. 1998. The Transition to Democracy Lessons from the
Tragedy of Konstituante. Center for Political and Regional Studies, Indonesian Institute of Science: Ford Foundation;
Ahmad Syafii Maarif
. 1988. Islam dan Politik di Indonesia: Pada Masa Demokrasi Terpimpin 1959-1965. Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. hal.
32; Alfian 1977. ed. Segi-
Segi Sosial Budaya Masyarakat Aceh: Hasil-Hasil Penelitian dengan Metode Grounded Research. 1977. hal. 10; Deliar Noer. 2000.
Partai Islam di Pentas Nasional: Kisah dan Analisis Perkembangan Politik Indonesia 1945-1965. Bandung: Penerbit PT. Mizan. hal. 31.
Universitas Indonesia
kedekatan dengan presiden jauh lebih menentukan karena peranan parlemen sudah lumpuh sama sekali. Tetapi konflik antar partai bukannya mereda, beberapa partai
seperti PKI yang dekat dengan presiden, makin berkibar dan menggilas partai- partai lain disekitarnya. Termasuk Partai Masyumi yang turut dibubarkan tahun
1960 karena alasan keterlibatan tokohnya dalam pemberontakan. Lain halnya dengan IPKI yang kecil –karena kalah dalam Pemilu 1955– di
masa ini justru dapat membangun kekuatan. Kekalahan IPKI yang didukung kalangan Angkatan Darat pada Pemilu 1955 itu, seakan memberi pelajaran banyak
pada elit partainya. Konsolidasi IPKI dalam kongresnya di Lembang Jawa Barat, pada tanggal 28 Oktober 1959, memunculkan gagasan untuk merekrut pemuda
sebagai salah satu pilar pendukungnya. Kongres itu juga mengeluarkan mandat kepada fungsionaris partai di seluruh Indonesia untuk membentuk organisasi masa
pendukung partai onderbouw, yang dinamakan “karyawan” IPKI. Partai yang diresmikan menjadi partai politik pada tahun 1961 inilah yang kemudian menjadi
bukti bahwa, hanya angkatan bersenjata sajalah yang bisa lebih leluasa bergerak menandingi kekuatan PNI dan PKI yang dekat dengan Bung Karno pada era
Demokrasi Terpimpin. Menurut Spego Goni, dalam kapasitasnya sebagai fungsionaris IPKI, ia
telah merintis pembentukan Pemuda Pancasila sejak dini.
11
Nama “Pemuda Pancasila” itu sudah pernah dicantumkannya dalam buku tamu di sebuah acara
resmi, yakni pada Peringatan Hari Sumpah Pemuda, 28 Oktober 1959 di Gedung LAN Jl. Veteran Jakarta. Kehadiran Spego Goni dalam acara tersebut sebetulnya
mewakili IPKI Jakarta Raya. Oleh sebab itu, menurut Spego Goni, dialah orang yang pertama mencetuskan nama Pemuda Pancasila dan dia pula orang yang
membawa delegasi Pemuda Pancasila Mei 1961 pertama menjadi onderbouw IPKI ke hadapan Ny. Ratu Aminah Hidayat Ketua Umum DPP IPKI ketika itu.
12
11
Spego Goni. 1964. Sekali Lajar Terkembang, Surut Kita Berpantang. Djakarta: Pemuda Pantjasila. hal. 63.
12
Ny. Ratu Aminah saat itu adalah istri dari Kolonel Hidayat Martaatmadja Kepala Staf Komandemen. Ia aktif di bidang politik dan salah seorang pengagum ajaran-ajaran dan pemikiran
Soekarno. Kedudukan Ratu Aminah sebagai Ketua IPKI, yang sangat dekat dengan para perwira ketika itu, membuat Pemuda Pancasila menjadi organisasi pemuda yang baru lahir namun diperhitungkan
dalam konstelasi politik nasional. Lihat H. Rosihan Anwar. Mengenang Jendral Hidayat Martaatmadja. dalam http:www.kompas.comkompas-cetak051202opini2256766.htm. Diakses tanggal 10 Mei
2012.
Universitas Indonesia
Sampai tanggal 28 Oktober 1960 embrio organisasi Pemuda Pancasila versi Spego Goni belum diizinkan mengikuti Kongres Pemuda di Bandung.
Penyebabnya adalah Pemuda Pancasila belum terdaftar sebagai organisasi pemuda. Tetapi pada tanggal 27 April 1961, kira-kira enam bulan kemudian, Pemuda
Pancasila diterima sebagai anggota “Front Pemuda”. Namun Spego Goni tidak menjelaskan alasan yang menyebabkan Pemuda Pancasila pada saat itu dapat
diterima, jika pada tahun 1960 masih ditolak mengikuti Kongres Pemuda. Diterimanya Pemuda Pancasila ke dalam Front Pemuda terkait dengan
keberadaan Ny. Ratu Aminah Hidayat Ketua Umum IPKI.
13
Sehingga tidak mengherankan kalau organisasi pemuda yang bernaung di bawah bendera partainya
itu diterima menjadi anggota Front Pemuda. Namun yang perlu disimak adalah bahwa di dalam Front Nasional itu sendiri terdapat unsur PKI yang diketahui
sangat anti kepada Pancasila. Tentu saja unsur PKI tersebut dengan sangat berat hati menerima keanggotaan Pemuda Pancasila. Tetapi dengan konsep NASAKOM
yang digulirkan Presiden Soekarno serta didukung sepenuh hati oleh PKI maka secara formal unsur komunis di Front Nasional tak berdaya menolaknya.
Sampai saat ini sejarah tentang penggunaan nama Pemuda Pancasila versi lain selain dari yang sudah dibuat Spego Goni, secara tertulis belum dapat
ditemukan. Oleh sebab itu pendapat-pendapat yang bernada menggugat kebenarannya, seperti banyak beredar di kalangan anggota Pemuda Pancasila
dewasa ini, sulit diyakini kekuatannya. Memang kemungkinan adanya kekeliruan tentang hal itu sebetulnya masih sangat terbuka. Intensitas komunikasi antar daerah
pada masa itu dapat dibayangkan masih sangat terbatas. Sehingga informasi tentang perkembangan dari pelaksanaan mandat kongres IPKI Lembang 1959
guna mendirikan organisasi pemuda IPKI di daerah-daerah di luar Jawa umumnya atau Jakarta khususnya, tidak dapat diketahui seluruhnya. Inilah alasan yang umum
dikemukakan untuk menggugat lukisan sejarah yang diajukan Spego Goni. Apalagi jika dalam kongres Lembang sendiri sebetulnya sudah ada dibicarakan nama dari
wadah pemuda IPKI yang akan didirikan adalah Pemuda Pancasila, maka klaim Spego Goni patut diragukan. Ada kemungkinan di daerah lain telah didirikan
Pemuda Pancasila menyusul mandat yang dikeluarkan kongres. Akan tetapi,
13
Ketika itu Ratu Aminah Hidayat sangat disegani oleh para tentara. Kedudukannya sebagai pendiri Persatuan Kaum Ibu Tentara PKIT yang kemudian dikenal sebagai Persit, menjadikannya sosok
wanita yang diperhitungkan di kalangan para tentara yang menolak keberadaan PKI.
Universitas Indonesia
disinilah kekurangannya, dokumen kongres IPKI Lembang sendiri pada saat ini tidak tersimpan di tangan para aktivitas Pemuda Pancasila yang ingin menggugat.
Pemuda Pancasila lahir tak lama setelah Dekrit Presiden 5 Juli 1959 ditetapkan. Kesepakatan tentang hal itu di antara anggota Pemuda Pancasila dapat
diyakini bahwa Pemuda Pancasila lahir di tengah-tengah situasi politik nasional yang tidak demokratis. Kelompok yang tidak setuju terhadap Nasakom dan
komunis, dapat diduga akan mengalami kesulitan untuk berkembang. Tantangan yang dihadapi oleh “bayi” Pemuda Pancasila tentu tidak kecil. Partai Komunis
Indonesia yang diketahui sangat “mesra” berhubungan dengan Bung Karno menjadi penghalang bagi gerakan yang dilakukan Pemuda Pancasila. Sejarah
membuktikan tidak sedikit aparat pemerintahan, sipil maupun militer, pada masa itu bersimpati kepada Partai Komunis Indonesia. Mereka bahkan terlibat langsung
dalam usaha PKI untuk menggantikan Pancasila dengan Komunisme sebagai Dasar Negara Republik Indonesia.
Setelah Dekrit
Presiden, pemerintah
mengeluarkan kebijakan
menyederhanakan partai-partai politik yang ada melalui Penpres 7 Tahun 1959 dan Penpres 13 Tahun 1959. Partai-partai diwajibkan menerima Manifesto Politik
Republik Indonesia Manipol dan USDEK Undang-Undang Dasar 1945, Sosialisme Indonesia, Demokrasi Terpimpin, Ekonomi Terpimpin dan Kepribadian
Indonesia disamping ideologi masing-masing partai. Semua partai politik diwajibkan melaporkan kembali partainya kepada pemerintah. Setiap partai harus
mendaftar kembali sesuai persyaratan yang ditentukan oleh pemerintah. Syarat- syaratnya antara lain harus mempunyai cabang yang tersebar paling sedikit
seperempat jumlah daerah Tingkat I dan jumlah cabang di daerah Tingkat I bersangkutan minimal sebanyak seperempat daerah Tingkat II, jumlah anggota
seluruhnya minimal 150.000 orang, lengkap dengan catatan nama, umur dan pekerjaan anggota dari setiap cabang disertai pengesahan polisi.
14
Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia IPKI sebagai organisasi yang dibentuk oleh TNI sangat menyambut keputusan itu. Tekad pengurusnya untuk
mengabadikan Pancasila sebagai dasar negara dan cita-cita kemerdekaan, sebagaimana keputusan kongresnya yang ke-II di Lembang Jawa Barat 17-21
Maret 1959, mendapat sambutan dari PresidenPanglima Tertinggi Angkatan
14
Spego Goni. 1964. Op. Cit.
Universitas Indonesia
Perang. Menghadapi kebijakan pemerintah yang baru ini, internal IPKI mengalami perpecahan. Pihak pertama menyatakan IPKI tidak perlu dipertahankan dan karena
itu sebaiknya dibubarkan lalu bergabung dengan Angkatan 45 dan Legiun Veteran. Sebab secara ideologis Republik Indonesia telah kembali kepada Pancasila dan
UUD 1945. Akan tetapi pihak kedua merasa IPKI masih perlu dipertahankan untuk mengawal pelaksanaan UUD 1945 dan Pancasila secara murni dan konsekuen. Atas
dasar inilah IPKI mendaftar sebagai partai politik dan dinyatakan lulus oleh Keppres No. 1281961.
Perpecahan ini menyebabkan pusat kegiatan sekretariat IPKI terbelah dua. Sebagian berkegiatan di Jalan Menteng Raya No. 60 dan sebagian lagi berkegiatan
di Jalan Kebon Sirih No. 39. Di Menteng Raya berkantor kelompok Achmad Sukarmadijaya yang menginginkan IPKI menjadi partai politik sedangkan di
Kebon Sirih berkantor Sugirman dan kelompoknya, yang tidak ingin IPKI jadi partai politik. Generasi muda IPKI yang berinduk di Menteng Raya melahirkan
organisasi massa Pemuda Pancasila sedangkan dari Kebon Sirih lahir organisasi pemuda bernama Pemuda Patriotik. Dualisme generasi muda IPKI ini sempat
menyebar ke seluruh wilayah IPKI di daerah-daerah. Tidak terkecuali di kalangan generasi muda IPKI Sumatera Utara. Namun beberapa pertanyaan masih belum
terjawab secara tuntas mengenai hubungan pembentukan organisasi Pemuda Pancasila di Medan dengan Pemuda Pancasila bentukan Spego Goni di Jakarta.
Almarhum Kerani Bukit barangkali tidak sempat menuturkan hal itu kepada para penerusnya.
15
Tidak ada dokumen ataupun catatan-catatan yang dapat menjadi rujukan untuk mengetahui keterkaitan tersebut. Akibatnya, masalah itu hilang
bersamaan dengan kepulangan almarhum Kerani Bukit sebagai pelopor dan orang yang mencari pemuda-pemuda untuk dimasukkan menjadi pengurus Pemuda
Pancasila di Sumatera Utara. Setahun sebelumnya, persisnya pada tanggal 28 Oktober 1960, Ketua DPD
IPKI Sumatera Utara, Kerani Bukit, melantik Effendi Nasution sebagai Ketua dan Yansen Hasibuan sebagai Sekretaris pengurus organisasi Pemuda Pancasila di
Medan. Effendi Nasution, selaku orang yang dilantik ketika itu, tidak mengetahui
15
Kerani Bukit adalah seorang purnawirawan Angkatan Bersenjata dan Ketua IPKI Sumatera Utara yang pertama tahun 1959. Pada masa kemerdekaan, ia dikenal sebagai pejuang kemerdekaan. Di
kalangan Pemuda Pancasila Sumatera Utara, Kerani Bukit, dianggap sebagai pemimpin induk Pemuda Pancasila yang memiliki kemampuan berpidato yang baik dan sangat membenci PKI.
Universitas Indonesia
pada saat yang sama di tempat lain juga, ada organisasi Pemuda Pancasila di luar Kota Medan. Effendi Nasution hanya tahu bahwa nama organisasi Pemuda
Pancasila saat itu disebutkan oleh Kerani Bukit. Nama Pemuda Pancasila diketahui Effendi Nasution beberapa hari sebelum pelantikan, pada saat dia bertemu dengan
Kerani Bukit di kantor IPKI Jalan Sutomo Medan, di depan Medan Bioskop. Pertemuan itu, menurut Effendi, dilakukan setelah Rosiman teman Johan Bukit,
putra Ketua IPKI mengajaknya bergabung dengan IPKI yang akan mendirikan organisasi Pemuda Pancasila di Medan.
Pilihan kepada Effendi Nasution sebagai Ketua Pemuda Pancasila Kota Medan diduga sebagai hasil diskusi dan pengamatan yang mendalam di kalangan
pucuk pimpinan IPKI Sumatera Utara ketika itu. Tepatnya pilihan itu terletak pada dua hal. Pertama, Effendi Nasution adalah simbol dari pemuda jalanan, anak
bioskop, yang selama ini belum sempat tergarap oleh organisasi-organisasi kekuatan politik. Pada saat itu jumlah anak jalanan di Kota Medan cenderung
meningkat bersamaan dengan kebijakan program rasionalisasi dan sentralisasi ekonomi sejak Kabinet Wilopo. Kedua, pada saat yang bersamaan Effendi
Nasution dan Rosiman telah menjadi anggota perkumpulan P2KM Persatuan Pemuda Kotamadya Medan, yang bertugas sebagai penjaga malam hermandat di
pusat kota. Organisasi P2KM telah menjadi arena sosial bagi para preman dan cross-
boys untuk bekerjasama, membangun saling pengertian, baik dalam pergaulan maupun dalam aktivitas dan dinamika kehidupan kota Medan. Secara taktis tidak
salah Efendi Nasution dipilih sebagai pimpinan organisasi yang sudah mulai berkibar sebagai penjaga malam menyusul pengumuman Presiden tentang darurat
perang 1957. Kolonel Sukardi dari Kodam I Bukit Barisan, Ketua Umum Jaga Malam ketika itu, dan yang diduga kuat mempunyai hubungan baik dengan Kerani
Bukit selaku purnawirawan angkatan bersenjata, berkemungkinan besar ikut mempengaruhi pilihan IPKI dalam membentuk organisasi Pemuda Pancasila di
Medan. Kehadiran Pemuda Pancasila di Kota Medan juga merekrut para anak
jalanan dan preman itu sebagai anggota organisasi. Hampir seluruh anggota P2KM menjadi anggota Pemuda Pancasila. Ketika Effendi Nasution beserta pengikut-
pengikutnya dari P2KM beralih kepada Pemuda Pancasila, suasana bersatu di
Universitas Indonesia
kalangan pemuda preman sudah terbentuk. Perkelahian preman antar kampung, untuk sebagian sudah dapat dihindari. Para preman yang pada mulanya hanya
terikat menurut kesamaan teritori sudah dapat berkawan dan bergaul secara lintas teritori kampung. Oleh sebab itu, kehadiran Pemuda Pancasila sudah lebih mudah
diterima di kalangan preman serta malahan diharapkan akan memberi sentuhan organisasi yang lebih sistematis melalui kegiatan-kegiatan yang telah direncakan.
Dalam perkembangannya, jumlah anggota Pemuda Pancasila di Kota Medan telah mencapai ribuan hingga tahun 1962.
Pada masa-masa awal pembentukan Pemuda Pancasila, sistem organisasinya belum sebaik sekarang. Upaya penataan organisasi diutamakan pada usaha
pembentukan organisasi di seluruh wilayah Kota Medan. Pelaksanaan pembentukan organisasi tidak terbatas hanya oleh pengurus Pemuda Pancasila yang
sudah ada sebelumnya. Pengurus IPKI masih sangat berperan dalam pembentukan itu. Jika di suatu pemukiman ada kemungkinan Pemuda Pancasila dibentuk, maka
disanalah organisasi itu dibentuk. Oleh sebab itu tidak mengherankan bila pada saat yang sama, terjadi dua peristiwa pelantikan pengurus di dua pemukiman yang
berbeda. Tentang hubungan organisatoris atau hirarkis antara Pemuda Pancasila di tempat yang satu dan di tempat yang lain pada dasarnya tidak begitu jelas.
Hubungan antara mereka hanya karena sama-sama berinduk kepada organisasi IPKI. Kegiatan nyata yang dikelola oleh organisasi Pemuda Pancasila sangat boleh
jadi tidak ada. Kegiatan yang dilakukan hanya untuk menyatukan Partai IPKI. “dulu mana kita tahu dek…. Organisasi kata orang, ya organisasi. Lantik
katanya ya lantik lah, kan sekarang baru kita tahu itu apa. Setelah pelantikan lalu ada latihan atau penataran dan sebagainya. Sebelumnya mana ada tatar-
tatar karena semua preman, crossboy, pencuri, perampok dan pembunuh ada semua di situ. Apa itu DPW, DPC mana kita tahu itu, iya kan? Yang penting
bikin saja dulu, dirikan di mana-mana. Jadi lain dek…tidak seperti sekarang, sekarang ini orang sudah banyak yang tahu bahwa DPW melantik
DPC. DPC melantik anak cabang. Dulu mana ada itu… Preman semuanya di situ.”
16
16
Meski kebanyakan anak muda “jalanan” yang direkrut tidak memiliki pekerjaan tetap, namun sebagian pimpinan Pemuda Pancasila berasal dari orang-orang yang memiliki semangat pionir dan
Universitas Indonesia
Pada tanggal 14 April 1961 IPKI dinyatakan lulus seleksi dan diakui keberadaannya sebagai sebuah partai politik yang berhak mengikuti pemilu.
Pengakuan tersebut dinyatakan dalam KEPRES No. 128 Tahun 1961. Bagi IPKI peningkatan statusnya menjadi sebuah partai disambut dengan kegembiraan.
Kegembiraan itu sangat beralasan karena hal itu mencerminkan prestasi IPKI yang sangat besar di masa itu. Sebab peningkatan status menjadi partai memudahkan
konsolidasi organisasi IPKI yang telah memiliki beberapa cabang di wilayah nusantara. Ketika itu tantangan dari partai-partai lain menjadi salah satu persoalan
bagi internal IPKI terkait dukungan dari para pemuda, seperti PNI dengan Pemuda Marhaennya dan PKI dengan Pemuda Rakyatnya.
Pemuda Pancasila dinyatakan secara resmi sebagai organisasi yang berada di bawah binaan onderbouw
17
IPKI, ketika Kongres III IPKI yang berlangsung tanggal 7–11 Juli 1961 di Surabaya. Sejak itu mulai dilakukan penataan struktur
organisasi sebagai upaya perluasan dan pemekaran organisasi ke seluruh tanah air. Partai IPKI berperan sangat penting dalam proses konsolidasi Pemuda Pancasila di
seluruh wilayah Indonesia. Demikian pentingnya, sehingga pada tanggal 20 Agustus 1962 tanpa melalui rapat umum Pemuda Pancasila se-Indonesia, Ketua
Umum IPKI melantik Pengurus Dewan Pimpinan Pusat DPP Pemuda Pancasila di bawah pimpinan Ketua Umum Spego Goni SP dan Sekretaris Umum Arief Zen.
Selain membentuk Pemuda Pancasila, Kongres IPKI ke-III Surabaya juga membentuk onderbouw IPKI lainnya yaitu Mahasiswa Pancasila, Ikatan Sarjana
Pancasila, Karyawan Wanita Pancasila, Gerakan Pelajar Pancasila, Karyawan Tani Pancasila, Karyawan Nelayan Pancasila, Karyawan Guru Pancasila, Lembaga
Kebudayaan Pancasila,
dan Kubu
Pancasila. Secara
bertahap dan
berkesinambungan, orgnisasi onderbouw IPKI terus didirikan hingga menjelang Gestapu 1965 keseluruhan organisasi binaan tersebut telah berdiri di Medan,
Sumatera Utara. Pada bulan Juli 1963 pengurus Dewan Pimpinan Wilayah Pemuda Pancasila
Sumatera Utara dibentuk. Effendi Nasution ditunjuk sebagai Ketua dan dilantik di Gedung Selecta, Jalan Listrik Medan, oleh Ketua Umum Dewan Pimpinan Wilayah
kepeloporan yang mumpuni di antara pemuda lainnya. Lihat Syamsul Bahri Nasution dan Saifuddin Mahyudin. 1999. The Lion of North Sumatera. Medan: USU Press. hal. I-III.
17
Istilah Onderbouw berasal dari bahasa Belanda yang artinya sub-struktur. Kata onderbouw sering digunakan oleh para aktivis partai politik untuk menyatakan suatu organisasi masyarakat yang menjadi
binaannya.
Universitas Indonesia
IPKI Sumatera Utara. Lima jam kemudian di rumah Kusen Tjokrosentono, Ketua IPKI Sumatera Utara, memberikan tugas kepada Yan Paruhum Lubis alias Ucok
Majestik sebagai koordinator Pemuda Pancasila Kotamadya Medan. Kusen Tjokrosentono, yang pada saat itu menjabat Kepala Jawatan Penerangan Provinsi
Sumatera Utara, tampaknya ingin mempersiapkan pembentukan Dewan Pimpinan Cabang Kotamadya Medan. Ketika itu, di beberapa wilayah kecamatan Kotamadya
Medan telah dibentuk Pemuda Pancasila, di antaranya Pemuda Pancasila Ranting Pulau Brayan ketuanya Suaibun Usman, Pemuda Pancasila Anak Cabang
Kecamatan Medan Barat dengan ketua Nico Pulungan, dan lain-lain. Seluruh pengurus Pemuda Pancasila di tingkat ranting hingga anak cabang dilantik oleh
pengurus IPKI, bukan oleh pengurus Pemuda Pancasila dari instansi yang lebih tinggi.
Effendi Nasution, selaku Ketua DPW, dan Amran Ys mulai membentuk Anak Ranting Pemuda Pancasila di sekitar Jalan Medan Area Selatan tahun 1964.
Waktu itu di jalan tersebut sudah ada kelompok pemuda dengan nama Seri-Boys. Anggotanya terdiri dari anak-anak sekitar Jalan Medan Area Selatan, yang sering
nongkrong di bawah pohon Seri dan dikenal dengan sebutan Pemuda Roman. Sebagian mereka sudah tidak bersekolah dan sebagian lagi masih bersekolah.
Umumnya belum memiliki pekerjaan tetap, kecuali membantu pekerjaan orang tua untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari misalnya berjualan.
Kebiasaan anak muda masa itu adalah mereka bermusuhan dengan anak- anak muda di lingkungan yang lain di antaranya anak-anak Jalan Puri. Berkelahi
secara keroyokan dengan anak-anak Puri, adu jotos dan lempar batu pun sering terjadi. Walaupun sebab perkelahian itu hanya karena soal plotot-plototan mata
secara individual saat berpapasan. Pasa masa kepemimpinan Effendy Nasution, untuk menjadi ketua Pemuda Pancasila di semua tingkatan, ia selalu bertanya Apa
kau sudah pernah masuk penjara? Sudah berapa orang yang kau tikambunuh? Berapa anggotamu?” dan pertanyaan lainnya yang terkadang menyesakkan dada.
Jika memenuhi syarat itu langsung diterbitkan surat keputusan tanpa ada musyawarah.
Pertumbuhan Pemuda Pancasila di Sumatera Utara tak dapat dilepaskan dari keadaan sosial budaya dan sosial politik ketika itu. Semangat revolusi yang
dihembuskan oleh para pejuang bekas tentara dan lasykar rakyat berkobar di bawah
Universitas Indonesia
panji IPKI dan ormas-ormasnya. Semangat anak muda yang mengidolakan para jagoan pun menemukan salurannya di dalam organisasi. Pemuda Pancasila menjadi
wadah berkumpulnya para preman dan jagoan yang selama ini menjadi perhatian anak muda. Keberanian dan kesetiaan kelompok menjadi simbol Pemuda Pancasila
dalam menantang musuh-musuhnya. Pemuda Pancasila yang berbasis para anak jalanan mulai bangkit merekrut
pemuda-pemuda di kampung-kampung bumiputera sekitar Kota Medan. Hal ini menjadi perhatian pihak lawan, terutama dari kelompok pemuda yang mendukung
PKI yakni Pemuda Rakyat. Apalagi pada waktu itu kata-kata Pancasila mulai lenyap dari telinga dan ada ketakutan orang menyebutkan itu. Orang takut
menyebutnya karena tidak bersesuaian dengan ideologi Nasakom yang telah menyebar ke seluruh wilayah nusantara. Akan tetapi oleh anak jalanan, kata
“Pancasila” bukan saja sekedar disebut, ditanamkan dalam hati, melainkan ditabalkan pada nama organisasinya Pemuda Pancasila.
Pemuda Rakyat paling tidak suka melihat orang mengagung-agungkan Pancasila. Dengan segala cara mereka tempuh agar lawan jatuh dan terpuruk.
Mereka tebar intrik dan ejekan-ejekan untuk mengecilkan marwah lawan. Mereka sebar benih permusuhan, bersembunyi di balik kata revolusi untuk menghabisi
lawan. Dengan jumlah massa ribuan mereka gelar demonstrasi-demonstrasi, intimidasi, dan propaganda menjatuhkan lawan. Mereka teriakkan NASAKOM
yang menyudutkan agama. Mereka ciptakan idiom-idiom politik untuk menistakan lawan. Lewat spanduk mereka tuliskan dan lewat koran mereka sebarluaskan
seperti HMI “kaum sarungan”, SOKSI “kapitalis birokrat” alias “kabir”, Pemuda Pancasila “perampok kota”, serta slogan lainnya seperti Bubarkan HMI, Bubarkan
SOKSI, Ganyang Pemuda Pancasila. Intimidasi dan intrik-intrik yang disebar Pemuda Rakyat
18
PKI tidak pula membuat Pemuda Pancasila takut. Dengan semboyan “Kamput
19
di Kiri Tombak di
18
Pemuda Rakyat adalah sayap pemuda dari Partai Komunis Indonesia PKI. Organisasi ini mula-mula dibentuk dengan nama Pemuda Sosialis Indonesia Pesindo. Pertama kali organisasi ini diciptakan atas
inisiatif Menteri Pertahanan saat itu, yaitu Amir Sjarifuddin, sebagai sayap pemuda dari Partai Sosialis Indonesia PSI. Kongres yang diadakan pada 10 November-11 November 1945, mempersatukan tujuh
organisasi setempat. Keanggotaannya dengan cepat berkembang menjadi sekitar 25.000 orang. Organisasi ini ikut serta dalam perjuangan bersenjata untuk merebut kemerdekaan dalam revolusi
nasional Indonesia. Satuan-satuan Pesindo terlibat dalam pertempuran melawan pasukan-pasukan Britania. Bersama-sama dengan PKI dan FDR ikut serta di dalam Peristiwa Madiun 1948. Pada 1950
organisasi ini membentuk hubungannya dengan PKI dan mengubah namanya menjadi Pemuda Rakyat.
Universitas Indonesia
Kanan” dan “Nyawa dibalas Nyawa, Darah dibalas Darah”, Pemuda Pancasila dengan berani melawan musuhnya. Esprite de corps, setia kawan, “Tangan Kanan
kuburan, Tangan Kiri Rumah Sakit” menjadi semboyan Pemuda Pancasila maju menentang Pemuda Rakyat dan PKI. Tidak sekali dua perkelahian terjadi di antara
mereka. Suatu hari di antara tahun 1964–1965 seorang anggota Pemuda Pancasila, Yan Paruhum Lubis atau Ucok Majestik, diculik Pemuda Rakyat. Sebagai gantinya
Pemuda Pancasila mengambil Ketua Pemuda Rakyat wilayah Medan Barat. Di hari yang lain, ketika sebuah upacara nasional digelar di lapangan Benteng, Pemuda
Rakyat yang berjumlah ribuan ingin menyingkirkan barisan Pemuda Pancasila yang hanya berjumlah 40 orang. Melihat sikap Pemuda Rakyat yang arogan itu,
Pemuda Pancasila di bawah pimpinan Ucok Majestik melaksanakan aksi yang sangat emosional. Dengan kayu, batu dan tiang bendera yang ada di tangan,
Pemuda Pancasila menghajar barisan Pemuda Rakyat hingga kocar-kacir.
20
Suasana mencekam dan mengkawatirkan mulai timbul setelah PKIBTI membunuh seorang anggota ABRI yang kemudian dikenal sebagai Alm. Letda
Soedjono di Perkebunan Bandar Betsy, Simalungun, 14 Mei 1965. Hiruk pikuk dan kekacauan terus-terusan memuncak setelah itu. Demonstrasi, agitasi, dan
propaganda semakin banyak digelar. Rakyat di kota ataupun di pedesaan makin ditakut-takuti. PKI merasa semakin kuat, apalagi beberapa pejabat teras, sipil dan
militer Sumatera Utara telah berhasil dirangkulnya. Kehidupan rakyat makin mencekam, siapa kawan dan siapa lawan semakin tidak jelas, saling curiga
merajalela. Berita tentang terbunuhnya para Jenderal di Jakarta telah disiarkan oleh RRI
pada 2 Oktober 1965 malam. Kabar tersebut didengar oleh sebagian anggota Pemuda Pancasila yang sedang berada di Medan Bioskop. Isi berita mengabarkan
bahwa telah terbunuh satu perwira, lima jenderal dan seorang bocah oleh satu
Pada kongres November 1950 Francisca C. Fanggidaej diangkat menjadi ketua, sementara Sukatno menjadi sekretaris jenderal. Pada 1965 keanggotaannya mencapai sekitar 3 juta orang. Organisasi ini
ditindas secara
brutal bersama-sama
dengan PKI
pada 1965-1966.
Lihat di
http:id.wikipedia.orgwikiPemuda_Rakyat
19
Kamput singkatan dari kambing putih merupakan merek minuman keras yang bisa memabukkan, dengan harga yang relatif murah menjadi minuman sehari-hari para anak muda jalanan di kota Medan
dan sekitarnya.
20
Wawancara dengan Yan Paruhuman Lubis atau Ucok Majestik Pini Sepuh Pemuda Pancasila, 5 November 2011, pukul 15.05 Wib di rumah pribadinya, Perumnas Helvetia Medan. Lihat juga
Sarmadan Pasaribu. 2002. “Peranan Pemuda Pancasila Menentang Gerakan Partai Komunis Indonesia di Kotamadya Medan Tahun 1960-1966”. Skripsi. Medan: Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara.
Universitas Indonesia
gerakan tertentu di Jakarta. Tanpa pikir panjang, apalagi setelah ada peringatan sebelumnya, anggota Pemuda Pancasila yang berkumpul di tempat itu menafsirkan
bahwa gerakan dimaksud adalah PKI. Maka pada malam itu juga, “pasukan” Pemuda Pancasila tanpa berkonsultasi dengan pihak manapun langsung bergerak
menyerang kantor dan rumah-rumah anggota PKI. Kegiatan ini terus dilaksanakan pada hari-hari berikutnya.
Pembentukan Komando Aksi dalam rangka penumpasan PKI dan ormas- ormasnya dilakukan di Sumatera Utara. Gerakan pembentukan Komando Aksi ini
diprakarsai oleh Pemuda Pancasila yang dibentuk pada 29 Oktober 1965 dengan ormas-ormas pemuda, mahasiswa dan pelajar untuk menumpas PKI.
21
Masyarakat pemuda semakin menggandrungi organisasi Pemuda Pancasila, sehingga pada masa
itu banyak sekali tumbuh pengurus-pengurus Pemuda Pancasila mulai dari Anak Ranting, Ranting, Anak Cabang, serta Cabang di Sumatera Utara.
Komando Aksi mengadakan rapat umum di Gedung Olahraga Medan, dengan membahas isu masuknya senjata sebanyak 1.000 pucuk dari RRT Republik
Rakyat China. Usai rapat seluruh peserta berdemonstrasi ke kantor Konsulat RRT yang dipimpin Pemuda Pancasila. Massa demonstran menurunkan bendera RRT
dan mendesak pihak konsulat untuk menjelaskan perihal kebenaran isu tersebut di atas. Dalam demontrasi yang emosional itu, tiba-tiba sebuah peluru bersarang di
kepala seorang anggota demonstran dan korban tak dapat diselamatkan sehingga menghembuskan nafas terkahirnya dalam perjalanan menuju rumah sakit. Korban
tersebut adalah seorang anggota IPTR Ikatan Pemuda Tanah Rencong bernama Ibrahim Umar yang juga merangkap sebagai anggota Pemuda Pancasila.
Peristiwa 10 Desember 1965 yang menyebabkan kematian Ibrahim Umar itu memicu kemarahan massa Pemuda Pancasila dan pemuda lainnya. Mereka
melampiaskan kemarahannya hampir secara membabi buta. Semua orang China yang dilihat, sekalipun tidak tahu menahu peristiwa itu ditangkapi, dipukuli,
hartanya dirampok, setelah itu dihabisi nyawanya. Tak kurang 150 orang China Medan tewas dalam peristiwa berdarah itu. Akibat dari tindakan mengganyang
China ini, fungsionaris Pemuda Pancasila seperti Effendi Nasution ditahan oleh
21
Mereka yang terlibat dalam Komando Aksi ini antara lain A. Manaf Lubis, Kusen Tjokrosentono, A. Sukardi, Effendi Nasution, Rosiman, Amril YS, Amran YS, Sinambela, dan Nur Nikmat. Komando aksi
ini ditandaskan hanya bersifat regional Sumatera Utara. Keterlibatan Pemuda Pancasila dalam setiap aksi yang dibentuk sebetulnya telah menunjukkan kebesarannya di antara ormas-ormas yang ada ketika
itu.
Universitas Indonesia
pihak berwajib selama kurang lebih 21 hari. Rosiman dan Mansyur Azis yang tidak ditahan akibat peristiwa itu, dipanggil ke Jakarta menemui Jenderal A.H. Nasution
untuk menjelaskan duduk perkara peristiwa tersebut. Pemerintah pusat menyebut peristiwa itu sebagai peristiwa rasialis. Sehingga selepasnya dari tahanan, Effendi
Nasution dipanggil ke Jakarta menghadap Bung Karno. Di Jakarta ia disambut Jenderal Sukendro, yang saat itu menjabat Ketua Umum IPKI, dan bersamanya
menghadap Bung Karno. Bung Karno sempat menuduh Effendi Nasution sebagai Rasialis. Namun
Effendi tetap menyatakan tidak, Effendi menyatakan keanekaragaman anggotanya di dalam organisasi Pemuda Pancasila yaitu “Ada China, Keling, Menggali
22
yang menjadi anggota saya. Mana mungkin saya rasialis”, jelas Effendi. Presiden
Soekarno sendiri menerima penjelasan Effendi Nasution setelah hampir dua jam dialog terjadi di antara mereka. Di akhir pertemuan Soekarno berpesan kepada
Effendi, “Effendi Saya harap kamu bantu Saya untuk mengamankan kawasan Sumatera Utara”.
23
Penjelasan serupa dia ajukan kepada Jenderal Nasution dan juga Jenderal Alamsyah Ratuprawiranegara. Sehingga ketika rapat Front Nasional
diadakan, keluar pernyataan resmi dari pemerintah, bahwa peristiwa 10 Desember 1965 bukan peristiwa rasial melainkan hanya peristiwa kriminal biasa.
2.2. Pemuda Pancasila Masa Orde Baru