permintaan minyak sawit. Sebagai salah satu negara produsen utama minyak sawit, kondisi ini akan mendatangkan keuntungan yang sangat besar. Dengan luas
areal kelapa sawit yang masih dapat dikembangkan, produksi dan ekspor Indonesia masih dapat mengalami peningkatan. Peningkatan ekspor berarti
peningkatan penerimaan pemerintah melalui devisa dan peningkatan pendapatan bagi eksportir minyak sawit, serta pelaku agribisnis kelapa sawit Bode, 2000.
2.7. Kebijakan di Sektor Minyak Sawit
Sejak tahun 1978 pemerintah mengeluarkan kebijakan tentang perluasan areal kelapa sawit dengan memberikan keleluasaan kepada pihak swasta untuk
menanam investasi di bidang perkebunan kelapa sawit. Kebijakan tersebut ditopang dengan Kredit Likuiditas Bank Indonesia. Pada tahun yang sama
pemerintah mengeluarkan regulasi perdagangan minyak sawit melalui SKB 3 menteri, Menteri Pertanian, Menteri Koperasi, dan Menteri Perdagangan. SKB
tersebut memuat Pertama, produsen minyak sawit diharuskan menjual hasil produksinya kepada produsen di dalam negeri. Kedua, jumlah penjualan tersebut
besarnya ditentukan oleh Menteri Pertanian. Ketiga, harga ditetapkan oleh Menteri Pertanian dan Koperasi. Keempat, produsen dapat menjual hasil
produksinya ke luar negeri jika produsen dalam negeri tidak menebusnya. Pada tahun 1981 pemerintah mengeluarkan kebijakan tentang larangan
ekspor bagi minyak sawit sehingga pada tahun tersebut ekspor minyak sawit kasar turun kembali hingga 61 persen akan tetapi tahun-tahun berikutnya ekspor minyak
sawit tetap tinggi walaupun harga pasar cenderung turun. Berikutnya pada tahun 1984 melalui surat keputusan Menteri Perdagangan Nomor 47KMK00184
pemerintah menetapkan pajak ekspor minyak sawit dan produk sejenisnya sebesar
37.18 persen sementara tetap mempertahankan kebijakan mengenai harga minyak sawit untuk kebutuhan domestik. Pada tahun 1986 terjadi penurunan harga
minyak sawit yang tajam mencapai US. 1.97 CIF Rotterdam sehingga memaksa pemerintah membebaskan pajak ekspor melalui ketetapan Menteri Perdagangan
Nomor 549KMK00186. Pada tahun 1990 terjadi peningkatan produksi minyak sawit yang cukup
tinggi. Pemerintah membolehkan produsen bebas menjual ke pasar di dalam negeri atau pasar luar negeri melalui Surat Keputusan Bersama 3 Menteri yang
dikeluarkan tanggal 3 Juni 1993 masing-masing Menteri Pertanian Nomor 240KptsKB320v1991, Menteri Perindustrian Nomor 11MSK1991, dan
Menteri Perdagangan Nomor 136KPBV61991 tentang deregulasi atas tata niaga minyak sawit. Adapun sistem tata niaga sebelumnya mengharuskan
perusahaan swasta nasional dan asing harus menjual sebagian produksi minyak sawitnya ke Kantor Pemasaran Bersama KPB dan Perusahaan Negara menjual
seluruh produksinya ke KPB. Selanjutnya KPB minyak sawit dijual kepada konsumen domestik, broker, dan badan pemasaran luar negeri. Dari badan
pemasaran luar negeri dan importir luar negeri minyak sawit dijual kepada konsumen luar negeri yang akan diolah menjadi berbagai komoditi kebutuhan
akhir. Pada tahun 1994, pemerintah melalui Surat Keputusan Nomor
439KMKMK.0171994 yang dikeluarkan oleh Menteri Keuangan kembali memberlakukan pajak ekspor atas minyak sawit kasar dan produk olahannya
dengan besarnya 40 persen sampai dengan 60 persen dari selisih harga ekspor dan harga dasar. Kebijakan ini didasarkan atas stabilitas dan ketersediaan harga eceran
di pasar dalam negeri. Pada tahun 1995, pemerintah mengeluarkan kebijakan yang dikemas dalam
paket Deregulasi tanggal 23 Mei 1995 Pakmei. Kebijakan tersebut menunjukkan besarnya perhatian pemerintah terhadap penawaran minyak goreng nasional yaitu
dengan mencabut Daftar Negatif Investasi bagi industri minyak goreng, penurunan bea masuk minyak goreng non minyak sawit dari 20 persen menjadi 15
persen. Kebijakan tersebut dapat menstabilkan harga minyak goreng melalui persaingan industri minyak goreng dalam negeri.
Pada tahun 1997, Menteri Keuangan melalui Surat Keputusan Nomor 300KMK011997 tentang perubahan tarif pajak ekspor bagi minyak sawit kasar
dan produk olahan lain seperti : Crude Olein, RBD olein, dan RBD-PO masing- masing sebesar 5 persen, 4 persen, 2 persen dan 4 persen melalui mekanisme :
PE = tarif x HPE x jumlah satuan barang x kurs dimana : PE pajak ekspor dan HPE adalah harga patokan ekspor yang ditetapkan
secara berkala oleh Menteri Perindustrian. Sehingga pajak ekspor dapat dihitung yakni tarif dikalikan dengan HPE dikalikan jumlah satuan barang dikalikan lagi
dengan kurs yang berlaku. Pada akhir tahun 1997 tepat mulai tanggal 24 Desember 1997, pemerintah
melalui Dirjen Perdagangan Dalam Negeri Nomor 4201997 tentang larangan ekspor selama kuartal pertama tahun 1998. Tetapi dengan adanya kesepakatan
dengan IMF kembali pemerintah mencabut larangan ekspor tersebut melalui Surat Keputusan Menteri Keuangan Nomor 242KMK011998 yang berisikan
pengenaan pajak ekspor sebesar 40 persen untuk minyak sawit kasar dan 30-35 persen untuk produk lainnya.
Pada tahun 2001, Menteri Keuangan mengeluarkan SK Nomor 66KMK.0172001 yang menyatakan bahwa tarif ekspor minyak sawit sebesar 3
persen. Tarif ekspor minyak sawit kemudian diturunkan menjadi 1.5 persen pada tahun 2005 dengan dikeluarkannya Peraturan Menteri Keuangan Nomor
130PMK.0102005 pada tanggal 23 Desember 2005. Kemudian pada tahun 2007, Menteri Keuangan mengeluarkan kembali Peraturan Menteri Keuangan Nomor
94PMK.0112007 pada tanggal 31 Agustus 2007 yang menetapkan tarif ekspor minyak sawit secara progresif dengan kisaran 0-10 persen yang bergantung pada
besarnya harga referensi, yaitu harga minyak sawit CIF Rotterdam. Kebijakan pemerintah terkait minyak sawit harus didasarkan pada kondisi
minyak goreng di dalam negeri, stabilitas harga di dalam negeri, dan kebutuhan industri dalam negeri. Pemerintah harus tegas dan konsisten dalam memegang
orientasi kebijaksanaan. Oleh karena itu, sepatutnya kebijaksanaan yang dipilih oleh pemerintah adalah kebijaksanaan yang menyeluruh, tidak hanya memikirkan
salah satu pihak dalam industri kelapa sawit pada saat keadaan telah mendesak melainkan meliputi seluruh pihak dengan melakukan perencanaan yang baik
sehingga akan diperoleh solusi yang optimal. 2.8. Studi Penelitian Terdahulu
Hasil penelitian yang dilakukan Susilowati 1989 tentang keadaan pasar minyak sawit di pasar domestik dan beberapa negara konsumen dan produsen
utama. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa permintaan minyak sawit bersifat elastis terhadap tingkat pendapatan dengan koefisien sebesar 2.475. Selanjutnya
peneliti juga mengemukakan bahwa antara minyak sawit dengan minyak nabati lain di negara konsumen utama seperti Jepang, Amerika, dan Masyarakat