Kebijakan di Sektor Minyak Sawit
Pada tahun 2001, Menteri Keuangan mengeluarkan SK Nomor 66KMK.0172001 yang menyatakan bahwa tarif ekspor minyak sawit sebesar 3
persen. Tarif ekspor minyak sawit kemudian diturunkan menjadi 1.5 persen pada tahun 2005 dengan dikeluarkannya Peraturan Menteri Keuangan Nomor
130PMK.0102005 pada tanggal 23 Desember 2005. Kemudian pada tahun 2007, Menteri Keuangan mengeluarkan kembali Peraturan Menteri Keuangan Nomor
94PMK.0112007 pada tanggal 31 Agustus 2007 yang menetapkan tarif ekspor minyak sawit secara progresif dengan kisaran 0-10 persen yang bergantung pada
besarnya harga referensi, yaitu harga minyak sawit CIF Rotterdam. Kebijakan pemerintah terkait minyak sawit harus didasarkan pada kondisi
minyak goreng di dalam negeri, stabilitas harga di dalam negeri, dan kebutuhan industri dalam negeri. Pemerintah harus tegas dan konsisten dalam memegang
orientasi kebijaksanaan. Oleh karena itu, sepatutnya kebijaksanaan yang dipilih oleh pemerintah adalah kebijaksanaan yang menyeluruh, tidak hanya memikirkan
salah satu pihak dalam industri kelapa sawit pada saat keadaan telah mendesak melainkan meliputi seluruh pihak dengan melakukan perencanaan yang baik
sehingga akan diperoleh solusi yang optimal. 2.8. Studi Penelitian Terdahulu
Hasil penelitian yang dilakukan Susilowati 1989 tentang keadaan pasar minyak sawit di pasar domestik dan beberapa negara konsumen dan produsen
utama. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa permintaan minyak sawit bersifat elastis terhadap tingkat pendapatan dengan koefisien sebesar 2.475. Selanjutnya
peneliti juga mengemukakan bahwa antara minyak sawit dengan minyak nabati lain di negara konsumen utama seperti Jepang, Amerika, dan Masyarakat
Ekonomi Eropa ternyata memiliki sifat komplementer. Elastisitas permintaan impor negara Jepang, Amerika, dan Masyarakat Ekonomi Eropa terhadap
perubahan harga minyak sawit di negara tersebut bersifat inelastis. Manurung,
et al 1991 telah melakukan penelitian mengenai prakiraan
perkembangan perluasan areal kelapa sawit dan kebutuhan bahan tanaman dalam Pembangunan Jangka Panjang Tahap Kedua, dimana penelitian tersebut
membahas prakiraan pengembangan perluasan kelapa sawit dan hubungannya dengan ketersediaan bahan tanaman dari tiga sumber benih di Indonesia sampai
tahun 2018. Hasil penelitian menjelaskan bahwa sampai dengan tahun 2018 perluasan tanaman kelapa sawit akan tumbuh dengan kisaran antara 66 653 sd
221 275 ha per tahun atau tumbuh rata-rata 3.24 persen per tahun. Prakiraan luasan areal tersebut juga didukung oleh ketersediaan bahan sampai tahun 2018.
Juliawan 1992 melakukan penelitian mengenai pemasaran minyak sawit Indonesia ke negara Belanda. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa peubah-
peubah yang berpengaruh nyata terhadap ekspor Indonesia ke Belanda adalah produksi, harga ekspor minyak sawit Indonesia dan harga minyak inti sawit.
Studi yang dilakukan Simanjuntak 1992 tentang daya saing perusahaan kelapa sawit yang didasarkan pengelolaannya yaitu perkebunan besar swasta
nasional, perusahaan perkebunan besar negara PTP, dan perkebunan besar swasta asing. Kriteria yang digunakan adalah keuntungan finansial ROI dan
biaya sumberdaya domestik DRC. Hasil kesimpulan studi tersebut menjelaskan bahwa : 1 perusahaan swasta asing memiliki daya saing sangat kuat
dibandingkan dengan perusahaan perkebunan lainnya, 2 komoditi minyak sawit kasar tetap memiliki keunggulan komparatif sebagai komoditi ekspor, dan 3
semua kelompok perusahaan mengalami kenaikan efisiensi ekonomi relatif yang hampir sama setiap tahun akibat peningkatan efisiensi teknis.
Studi yang dilakukan oleh Manurung 1993 tentang model ekonometrika industri komoditi kelapa sawit Indonesia yang antara lain bertujuan menganalisis
berlakunya pembatas, pajak ekspor dan lain-lain. Studi tersebut menghasilkan antara lain : 1 luas areal tanaman dan produktivitas minyak sawit sangat
responsif terhadap harga efektif riil ekspor minyak sawit, kebijakan pola pengembangan perkebunan dengan PIR, kebijakan pembatasan ekspor minyak
sawit dan tingkat suku bunga, 2 elastisitas harga sendiri dan harga silang permintaan minyak sawit dan inti sawit domestik bersifat inelastis dalam jangka
pendek maupun jangka panjang, 3 kebijakan pembatas ekspor tidak efektif jika harga dunia lebih tinggi dari harga domestik, dan 4 bahwa pajak ekspor yang
sebesar 5 persen dapat menurunkan surplus devisa sehingga defisit neraca perdagangan meningkat.
Susila, et al
1995 melakukan penelitian tentang model domestik ekonomi minyak sawit mentah. Dalam penelitian ini data diagregasi menjadi data
perkebunan rakyat, perkebunan besar negara, dan perkebunan besar swasta. Kesimpulan dari penelitian tersebut antara lain : 1 produksi perkebunan rakyat
dipengaruhi oleh harga domestik 3 tahun sebelumnya dan jumlah produksi tahun sebelumnya, 2 produksi perkebunan besar negara PTP identik dengan
perkebunan rakyat, perbedaannya terletak pada koefisien parameter dugaan dan determinasinya, 3 produksi minyak sawit mentah perkebunan besar swasta
dipengaruhi oleh harga domestik empat tahun yang lalu dan jumlah produksi minyak sawit mentah tahun sebelumnya, 4 perilaku jumlah ekspor minyak sawit
mentah Indonesia dipengaruhi oleh nilai tukar rupiah terhadap dolar dan jumlah ekspor tahun sebelumnya, dan 5 harga domestik minyak sawit mentah
dipengaruhi oleh harga dunia minyak mentah, harga domestik tahun sebelumnya dan tingkat teknologi.
Drajat dan Buana 1995 melakukan penelitian tentang konsumsi dunia dan posisi Indonesia dalam produksi dan perdagangan dunia minyak sawit. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa konsumsi minyak sawit dunia meningkat selama tiga dasa warsa dengan negara-negara Eropa Barat, Amerika dan Jepang sebagai
konsumen terbesar. Konsumsi minyak sawit pada dasa warsa 1983-1992 sebesar 87.7 ton merupakan peningkatan lima kali lipat dari dasa warsa 1963-1972. Posisi
Indonesia sebagai pesaing potensial bagi Malayasia mengalami peningkatan produksi yang cukup pesat pada dasa warsa 1983-1992 yakni meningkat delapan
kali lipat dibandingkan dasa warsa 1963-1972. Impor minyak sawit dunia meningkat delapan kali lipat menjadi 66.8 juta ton selama dasa warsa 1983-1992
dibanding dasa warsa 1963-1972. Adapun ekspor minyak sawit dunia meningkat dari delapan juta ton pada dasa warsa 1963-1972 menjadi 66.8 juta ton pada dasa
warsa 1983-1992. Susila,
et al 1995 melakukan penelitian tentang model ekonomi minyak
sawit mentah dunia. Kesimpulan hasil penelitian bahwa respon jangka pendek produksi, konsumsi, ekspor, dan impor terhadap perubahan harga minyak sawit
dan harga pesaing bersifat inelastis. Pada sisi lain respon harga minyak sawit terhadap perubahan produksi dalam jangka pendek bersifat elastis dengan
koefisien 1.4. Hasil simulasi dengan skenario baku menunjukkan bahwa produksi, konsumsi, ekspor-impor minyak sawit dunia meningkat masing-masing dengan
laju 6.08 persen, 5 persen, dan 4.12 persen per tahun untuk tahun 1995-2000. Suharyono 1996 melakukan penelitian yang berkaitan dengan dampak
kebijakan ekonomi pada komoditi minyak sawit dan hasil industri yang menggunakan bahan baku minyak sawit di Indonesia. Hasil penelitian ini antara
lain menyimpulkan bahwa : 1 produksi minyak sawit domestik secara nyata dipengaruhi harga minyak sawit domestik, harga ekspor minyak sawit Indonesia,
teknologi, permintaan minyak sawit domestik, luas areal produktif tiga tahun sebelumnya, 2 permintaan minyak sawit domestik secara statistik dipengaruhi
oleh harga minyak sawit domestik, teknologi dan permintaan minyak goreng sawit domestik, dalam jangka pendek maupun jangka panjang hanya responsif
terhadap perubahan permintaan minyak goreng sawit domestik, 3 permintaan minyak goreng sawit domestik dalam jangka pendek hanya responsif terhadap
pendapatan nasional dan perkembangan jumlah penduduk selanjutnya dalam jangka panjang selain responsif terhadap pendapatan nasional dan jumlah
penduduk juga responsif terhadap harga minyak goreng sawit domestik dan harga minyak goreng kelapa, 4 penawaran minyak sawit domestik baik dalam jangka
pendek maupun jangka panjang memiliki elastisitas masing-masing sebesar 1.517 dan 1.556. Sementara terhadap perubahan nilai tukar penawaran minyak sawit
hanya responsif dalam jangka panjang dengan nilai elastisitas sebesar -1.006, dan 5 penawaran minyak goreng sawit domestik hanya responsif terhadap perubahan
teknologi sedangkan pengaruh produksi minyak terhadap penawaran komoditi ini dalam jangka panjang memiliki elastisitas sebesar 1.013.
Penelitian yang dilakukan oleh Sugema, et al 2007 tentang strategi pengembangan industri hilir kelapa sawit, menyimpulkan : pungutan ekspor
merupakan buah dari ketidakjelasan strategi industrialisasi serta kebijakan kompetisi. Pengalaman menunjukkan bahwa PE merupakan instrumen yang tidak
efektif dalam mencapai sasaran kebijakan yang hendak dicapai. Bahkan PE banyak memberikan dampak negatif bagi industri minyak sawit secara
keseluruhan. Berdasarkan hasil analisis yang dilakukan terdapat beberapa indikasi yang
memperlihatkan kearah tersebut yakni sebagai berikut : 1 PE minyak sawit akan menyebabkan terjadinya disparitas harga domestik dengan harga dunia. Turunnya
harga minyak sawit domestik akan merugikan produsen minyak sawit dan di lain pihak menguntungkan pelaku di industri hilir. Jumlah kerugian yang terjadi
adalah Rp 3.45 triliun per tahun, 2 penurunan harga domestik tersebut akan diikuti dengan penurunan harga yang diterima petani dalam skala yang lebih
besar. Petani adalah pihak yang paling dirugikan dimana setiap satu persen penurunan harga minyak sawit domestik akan berakibat pada penurunan harga di
tingkat petani sebesar 1.2 persen, 3 karena pendapatan produsen atau petani TBS sawit menurun maka dampak selanjutnya adalah terjadinya involusi di perkebunan
sawit. Kemampuan petani untuk membiayai kebun mereka menjadi berkurang sehingga produktivitas kebun sawit akan menurun. Selain itu, ekspansi areal
tanam baru juga menjadi terhambat sehingga perkembangan industri sawit secara keseluruhan tidak akan secepat yang terjadi sekarang, 4 dengan adanya involusi
di industri hulu maka kesinambungan di industri hilir juga terganggu. Saat ini integrasi hulu-hilir lebih sering terjadi dari hulu dibanding sebaliknya. Industri
hulu yang memiliki nilai tambah yang lebih baik merupakan sumber akumulasi modal bagi pengembang di industri hilir. Karena itu pengenaan PE akan berakibat
pada lemahnya kemampuan pelaku di hulu untuk melakukan integrasi vertikal ke hilir, 5 dengan terjadinya involusi di hulu maka penyerapan tenaga kerja juga
akan terganggu. Penyerapan tenaga kerja di hulu jauh lebih baik dibanding di hilir yang padat modal, 6 kenaikan tarif PE juga akan membuat daya saing minyak
sawit Indonesia di pasar dunia berkurang yang pada gilirannya akan mengurangi pangsa pasar ekspor Indonesia. Tentunya hal tersebut berimplikasi terhadap
penerimaan devisa dari ekspor. Berdasarkan hal-hal tersebut di atas maka pengembangan industri hilir
sebaiknya tidak dilakukan dengan cara penerapan PE yang lebih tinggi tetapi lebih tepat menggunakan instrumen sistem insentif. Sistem insentif yang diberlakukan
khusus untuk industri hilir tidak akan mengganggu industri hulu. Sistem insentif yang demikian akan sekaligus mampu mendorong industri hilir dan meningkatkan
kesinambungan industri hulu. Zulkifli 2000 dalam penelitiannya tentang dampak liberalisasi
perdagangan terhadap keragaan industri kelapa sawit Indonesia dan perdagangan minyak sawit dunia menjelaskan antara lain bahwa : 1 respon areal tanaman
menghasilkan pada perkebunan besar negara inelastis terhadap perubahan harga minyak sawit kasar, sementara perkebunan rakyat dan perkebunan besar swasta
memperlihatkan respon yang sangat elastis, 2 pengembangan areal perkebunan besar negara yang terarah di Kalimantan secara absolut mampu meningkatkan
produktivitas. Adapun pengembangan areal kelapa sawit untuk perkebunan besar swasta dan rakyat di Kalimantan dan Sumatera justru menurunkan produksi
kelapa sawit. Respon yang negatif tersebut disebabkan oleh umur tanaman yang lebih muda sehingga produktivitasnya masih rendah, 3 harga domestik minyak
sawit kasar dipengaruhi secara nyata oleh harga ekspor dan permintaan minyak sawit kasar domestik, dan 4 ekspor minyak goreng sawit Indonesia elastis
terhadap perubahan harga domestik minyak goreng sawit baik dalam jangka pendek maupun dalam jangka panjang. Sementara permintaan domestik minyak
goreng sawit inelastis terhadap perubahan harga minyak goreng sawit dan harga minyak goreng kelapa.