Penelitian yang Relevan KAJIAN TEORI

dilakukan misalnya oleh Weni Anugraheni 2011 yaitu jenis penelitian deskriptif kualitatif dan metode pengumpulan data adalah teknik simak dan teknik catat, membuat peneliti semakin yakin untuk menggunakan beberapa penelitian kesantunan tersebut. Selain fakta dan kesamaan yang ditemukan penulis, berkaitan dengan kelangkaan studi ketidaksantunan berbahasa ini, dipaparkan oleh Miriam A Locher 2008 ‗enormous imbalance exists between academic interest in politeness phenomena as opposed to impoliteness phenomena .‘ Jadi, tidak saja ketimpangan dalam pengertian yang biasa saja, tetapi ‗enormous imbalance‘ itu berarti terdapat ketimpangan besar sekali antara studi ketidaksantunan dan kesantunan dalam berbahasa. Adanya kelangkaan studi ketidaksantunan tersebut menyebabkan sulitnya menemukan sumber-sumber, referensi-referensi, bahkan penelitian-penelitian yang relevan dengan kajian itu. Oleh karena itu, beberapa penelitian kesantunan berbahasa yang telah dipaparkan tersebut dapat peneliti gunakan sebagai acuan dan pijakan dalam mengkaji fenomena ketidaksantunan berbahasa khususnya dalam ranah pendidikan yang selama ini belum ada peneliti yang mengkaji lebih dalam.

2.2 Teori Ketidaksantunan Berbahasa

Pada prinsipnya ketidaksantunan berbahasa merupakan bentuk pertentangan dengan kesantunan berbahasa. Apabila kesantunan berbahasa berkaitan dengan penggunaan bahasa yang baik, santun, dan sesuai dengan tatakrama, ketidaksantunan berbahasa berkaitan dengan penggunaan bahasa yang tidak baik, tidak santun dan tidak sesuai dengan tatakrama. Penggunaan bahasa yang tidak santun banyak ditemukan dalam kehidupan sehari-hari, baik secara lisan maupun tulisan. Lebih dari itu, penggunaan bahasa yang tidak santun tersebut tidak hanya dilakukan oleh masyarakat tak berpendidikan, tetapi juga oleh masyarakat yang berpendidikan kaum intelektual. Adapun beberapa teori para ahli yang mengemukakan ketidaksantunan berbahasa sebagai berikut. 2.2.1 Teori Ketidaksantunan Berbahasa dalam Pandangan Locher Menurut Miriam A Locher 2008:3, ketidaksantunan dalam berbahasa dapat dipahami sebagai berikut, „…behaviour that is face-aggravating in a particular context.‟ Perilaku ketidaksantunan berbahasa itu menunjuk pada perilaku ‗melecehkan‘ muka face-aggravate yang sesungguhnya lebih dari sekadar „mengancam‟ muka face-threaten, seperti yang ditawarkan dalam banyak definisi kesantunan klasik Leech 1983, Brown and Levinson 1987, atau sebelumnya pada tahun 1978, yang cenderung dipengaruhi konsep muka Erving Goffman cf. Rahardi, 2009. Interpretasi lain yang berkaitan dengan definisi Locher terhadap ketidaksantunan berbahasa ini adalah bahwa tindakan tersebut sesungguhnya bukanlah sekadar perilaku „melecehkan muka‟, melainkan perilaku yang „memain-mainkan muka‟. Tindakan bertutur sapa akan dikatakan sebagai tindakan yang tidak santun bilamana muka face dari mitra tutur dipermainkan, atau setidaknya dia telah merasa bahwa penutur memain- mainkan muka sang mitra tutur itu. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa ketidaksantunan berbahasa dalam pemahaman Miriam A. Locher adalah sebagai tindak berbahasa yang melecehkan dan memain-mainkan muka, sebagaimana yang dilambangkan dengan kata ‗aggravate‘ itu. Konsep mengenai perilaku ketidaksantunan berbahasa ini dapat diperjelas dengan contoh tuturan berikut. Cuplikan 1 Mahasiswa 1: ―Tujuh puluh delapan pak‖ diulang dua kali Mahasiswa 2: ―Nek ngomong jangan kayak orang kumur-kumur” 1 Cuplikan 2 Mahasiswa 1: ―Eh ini soalnya ditulis nggak? Soalnya ditulis enggak pak?‖ Mahasiswa 2: ―Enggak, dimakan‖ 2 Informasi indeksal Tuturan 1 pada contoh di atas dituturkan oleh seorang mahasiswa laki- laki kepada teman mahasiswi di kelas ketika perkuliahan sedang berlangsung. Pada saat itu, mahasiswi berusaha menyampaikan hasil koreksi kuis yang baru saja dikoreksinya kepada dosen. Mahasiswi itu baru beberapa waktu menggunakan behel sehingga masih kesusahan untuk berbicara. Tuturan 2 dituturkan oleh seorang mahasiswa kepada teman mahasiswa di dalam kelas. Pada saat perkuliahan berlangsung diadakan sebuah kuis, seperti kebiasaan dosen membacakan soal dan para mahasiswa mencatat soal tersebut. Mahasiswa itu menanyakan soal yang dibacakan dosen kepada temannya sehingga menimbulkan kegaduhan. Tuturan 1 dan 2 merupakan bentuk ketidaksantunan berbahasa yaitu melecehkan muka. Hal tersebut disebabkan penutur mengatakan kekurangan mitra tutur secara langsung di depan mitra tutur. Tuturan 1 penutur mengatakan dengan sindirannya bahwa mitra tutur berbicara seperti orang yang berkumur secara langsung. Pernyataan tersebut dapat mengakibatkan mitra tutur merasa dihina atau dilecehkan oleh penutur. Tuturan 2 penutur mengatakan secara singkat sindirannya untuk memperingatkan mitra tutur yang telah menimbulkan kegaduhan ketika kuis berlangsung. Tuturan 2 juga dapat menimbulkan luka hati bagi mitra tuturnya. Selain itu, Locher 2008 juga mendefinisikan bahwa ketidaksantunan adalah bentuk memain-mainkan muka. Tuturan 3 pada bagian berikut dapat memperjelas pernyataan ini. Cuplikan 3 Mahasiswa 1: ―Hai nona, mau ngapain eh kamu?‖ Mahasiswa 2: ―Yauda sii biasa aja‖ 3 Informasi indeksal Tuturan 3 dituturkan oleh seorang mahasiswa kepada teman mahasiswa lain. Tuturan terjadi ketika jeda kuliah, beberapa mahasiswa masuk ke dalam kelas untuk mencari tempat duduk. Seorang mahasiswa menyapa dan menggoda teman mahasiswa itu. Seperti kebiasaan, teman mahasiswa itu selalu menanggapi godaan temannya dengan santai, tetapi saat itu dia tidak bertingkah demikian. Tuturan tersebut termasuk bentuk ketidaksantunan yaitu memain-mainkan muka karena tindakan teman mahasiswa yang biasa ramah berubah menjadi galak dan terkesan tidak ramah saat itu. Tindakan ketidakramahan tersebut dapat pula menimbulkan kebingungan dan bahkan mengakibatkan luka hati bagi mitra tuturnya. Dengan demikian, tuturan 1, 2, dan 3 merupakan contoh bentuk ketidaksantunan yaitu melecehkan muka dan memain-mainkan muka. Tuturan melecehkan muka terjadi apabila penutur tidak menyukai tindakan mitra tutur yang dirasa penutur tidak nyaman, sedangkan memain-mainkan muka terjadi apabila tuturan yang tidak biasa dikeluarkan atau dilontarkan kepada penutur, saat itu terjadi karena adanya keadaan yang tidak disukai penutur terhadap mitra tutur. Tuturan yang melecehkan dan memain-mainkan muka itu dapat pula menimbulkan luka hati bagi mitra tuturnya.

2.2.2 Teori Ketidaksantunan Berbahasa dalam Pandangan Bousfield