Teori Ketidaksantunan Berbahasa dalam Pandangan Culpeper

berikut ini, „…impolite behaviour and face-aggravating behaviour more generally is as much as this negation as polite versions of behavior.‟ cf. Lohcer and Watts, 2008:5. Setiap daerah mempunyai norma atau peraturan yang mengatur perilaku masyarakat. Peraturan itu bersifat wajib dan mengikat. Selain daerah atau wilayah tertentu, suatu organisasi atau lembaga pendidikan pasti mempunyai peraturan yang berfungsi mengatur perilaku atau tindakan semua warga yang bernaung di lembaga tersebut. Universitas adalah salah lembaga pendidikan, warga masyarakat di lembaga universitas adalah dosen, mahasiswa, dan karyawan. Norma yang telah ditetapkan itu adalah bentuk kesempakatan bersama antara yang membuat norma dan pelaksana norma. Norma juga suatu bentuk kerja sama antar hubungan sesama bila norma mampu direalisasikan dengan baik tidak akan ada perselisihan. Namun, bila terjadi pelanggaran norma akan terjadi pertengkaran – bentuk kebahasan ketidaksantunan – konflik antar penutur dan mitra tutur. Konsep mengenai perilaku ketidaksantunan berbahasa ini dapat diperjelas dengan contoh berikut. Cuplikan 12 Mahasiswa 1: ―Udah dari tadi po rapate? Mahasiswa 2: ―Udaa sekitar 15 menit yang lalu, sekarang giliran bendahara laporan‖ Mahasiswa 1: ―Oohh gitu tha‖ Mahasiswa 3: ―Kamu gak inget apa kata ketua? Kita harus on time ee kamu malah telat gimana tha?‖ Mahasiswa 1: ―Hehehee lupaa, emang pada patuh ama omongan ketua po ?‖ 12 Mahasiswa 3: ―Iyalaah itu kan udah komitmen panitia‖ Informasi indeksal Tuturan 12 disampaikan oleh mahasiswa 1 yang terlambat datang ke rapat panitia dengan santai tanpa rasa bersalah membuat mahasiswa 2 dan 3 meresponnya dengan nada sinis dan jengkel. Dari percakapan di atas dapat diketahui bahwa mahasiswa 1 tidak menghiraukan komitmen panitia yang sudah disepakati bersama yaitu on time. Sebaliknya mahasiswa 1 tanpa merasa bersalah menanggapi dengan tuturan 12. Tuturan tersebut merupakan tuturan yang tidak santun karena telah mengacuhkan dan melanggar komitmen panitia yang menjadi sebuah norma dalam kelompok panitia tersebut. Berdasarkan ilustrasi yang telah dikemukakan, dapat disimpulkan bahwa teori ketidaksantunan berbahasa dalam pandangan Locher and Watts 2008 ini lebih menitikberatkan pada bentuk penggunaan ketidaksantunan tuturan oleh penutur yang secara normatif dianggap negatif, karena dianggap melanggar norma-norma sosial yang berlaku dalam masyarakat tertentu.

2.2.6 Rangkuman

Berdasarkan sejumlah teori ketidaksantunan yang disampaikan di bagian depan, dapat ditegaskan bahwa 1. ketidaksantunan berbahasa dalam pandangan Miriam A. Locher sebagai tindak berbahasa yang melecehkan dan memain-mainkan muka 2. ketidaksantunan berbahasa dalam pandangan Bousfield adalah perilaku berbahasa yang mengancam muka dilakukan secara sembrono gratuitous, hingga mendatangkan konflik 3. ketidaksantunan berbahasa dalam pandangan Culpeper adalah perilaku berbahasa untuk membuat orang benar-benar kehilangan muka face loss, atau setidaknya orang tersebut „merasa‟ kehilangan muka 4. ketidaksantunan berbahasa dalam pandangan Terkourafi adalah perilaku berbahasa yang bilamana mitra tutur merasakan ancaman terhadap kehilangan muka, dan penutur tidak mendapatkan maksud ancaman muka itu dari mitra tuturnya 5. ketidaksantunan berbahasa dalam pandangan Locher and Watts adalah perilaku berbahasa yang secara normatif dianggap negatif, lantaran melanggar norma-norma sosial yang berlaku dalam masyarakat. Kelima teori ketidaksantunan berbahasa itu, semuanya akan digunakan sebagai kacamata untuk melihat praktik berbahasa yang tidak santun antarmahasiswa Progam Studi PBSID Angkatan 2009--2011 di Universitas Sanata Dharma.

2.3 Tindak Tutur

Yule 1996:81 menjelaskan bahwa dalam usaha untuk mengungkapkan dirinya, penutur tidak hanya menghasilkan tuturan yang