Kesembronoan yang Disengaja Pembahasan

Pembahasan berikutnya mengenai intonasi. Pada tataran kalimat, variasi- variasi nada pembeda maksud disebut intonasi. Intonasi datar turun yang biasa terdapat dalam kalimat berita, intonasi datar naik yang biasa terdapat dalam kalimat tanya, dan intonasi datar tinggi yang biasa terdapat dalam kalimat perintah Muslich:2008,114. Selanjutnya, menurut Pranowo 2009:76 aspek intonasi dalam bahasa lisan sangat menentukan santun tidaknya pemakaian bahasa. Aspek intonasi yang dimaksud berkaitan dengan keras lembutnya suara seorang penutur. Pada tuturan C3, C7, C9, dan C10 terdapat intonasi berita yang berpola datar turun. Intonasi pada keempat tuturan tersebut cenderung dituturkan dengan suara yang lembut. Berbeda dengan tuturan C8 memiliki intonasi Tanya yang berpola datar naik. Intonasi pada tuturan C8 cenderung dituturkan dengan suara yang relatif keras. Baik intonasi berita maupun intonasi Tanya yang terdapat dalam kelima tuturan itu, dituturkan dalam bentuk tuturan berupa sindiran oleh penuturnya. Apabila kesantunan lima tuturan itu dilihat dari penggunaan intonasi, pada tuturan C8 yang intonasinya cenderung keras menyebabkan tuturan tersebut terasa kurang santun, sedangkan tuturan C3, C7, C9, dan C10 masih dapat dikategorikan sebagai tuturan yang santun karena dituturkan dengan intonasi lembut walaupun tidak dipungkiri secara bentuk dan maksud keempat tuturan itu bisa dimasukkan dalam tuturan tidak santun. Selanjutnya mengenai pilihan kata. Menurut Keraf 1985:24 pilihan kata atau diksi bukan saja dipergunakan untuk menyatakan kata-kata mana yang dipakai untuk mengungkapkan sesuatu ide atau gagasan, tetapi juga meliputi persoalan fraseologi, gaya bahasa, dan ungkapan. Berikut uraian masing-masing pilihan kata dari kelima tuturan tadi. Dalam tuturan C3 terdapat pilihan kata berupa kata slang yaitu goyang itik. Kata goyang itik merupakan kata populer pada saat itu. Hal ini sejalan dengan pendapat Keraf 1985 bahwa kata slang merupakan kata-kata biasa yang diubah secara arbitrer, tetapi sekarang diterima sebagai kata populer. Pada tuturan C8 dan C9 menggunakan kata nonstandar berupa penggunaan bahasa Jawa. Tuturan C8 terdapat bahasa Jawa yaitu pitik, sedangkan pada tuturan C9 yaitu kowe potong koyo pitik gering. Adanya penggunaan bahasa Jawa tersebut menunjukkan kedekatan antara penutur dan mitra tutur. Selanjutnya, pada tuturan C8 dan C10 terdapat pilihan kata nonstandar berupa kata fatis. Kata fatis tuturan C8 yaitu yoo, sedangkan pada tuturan C10 yaitu lho. Penggunaan kata fatis ini untuk menegaskan tuturan yang diujarkan. Pada tuturan C10 juga terdapat kata nonstandar berupa kata tidak baku yaitu trus, buat. Adanya kata tidak baku tersebut dapat pula menunjukkan kedekatan penutur dan mitra tutur. Berkaitan dengan santun tidaknya pemakaian bahasa, Pranowo 2009:77 juga berpendapat bahwa pilihan kata merupakan salah satu penentu kesantunan dalam bahasa lisan maupun dalam bahasa tulis. Ketepatan dan kesesuaian dalam menggunakan pilihan kata oleh seorang penutur dapat membangun persepsi bahwa penutur itu termasuk orang yang santun. Berikut uraian lebih rinci terkait pilihan kata. Pada tuturan C3 adanya kata slang goyang itik memiliki arti berupa sebuah goyangan seperti itik. Pilihan kata pada tuturan C7 yaitu palestina yang memiliki arti nama sebuah Negara. Pada tuturan C8 terdapat pilihan kata yaitu potong model pitik jago yang memiliki arti model rambut seperti ayam jago, sedangkan pada tuturan C9 yaitu potong model pitik gering memberikan arti berupa sebuah model seperti ayam kurus. Pilihan kata pada tuturan C10 yaitu tanah di pot dikeluarkan buat tempat bakso, memberikan arti bahwa pot digunakan sebagai tempat makanan bakso. Beberapa pilihan kata dalam kelima tuturan tersebut dapat dipersepsi sebagai tuturan yang santun manakala dilihat berdasarkan konteks yang melingkupi tuturan itu. Pemaparan mengenai wujud dan penanda ketidaksantunan pragmatik dapat dilihat dari konteks yang melingkupi tuturan tersebut. Hal tersebut dapat dikatakan demikian karena studi tentang pragmatik tidak mungkin dipisahkan dari konteks situasi tuturnya. Hal ini sejalan dengan pendapat Parker melalui Rahardi, 2007:14 bahwa studi tentang pragmatika mutlak harus dikaiteratkan dengan konteks situasi tutur tersebut. Adapun konteks kelima tuturan dapat mencakup salah satunya dimensi penutur dan mitra tutur. Pada kelima tuturan tadi, penutur dan mitra tuturnya adalah para mahasiswa PBSID, USD. Dimensi sosial penutur dan mitra tutur ini dapat terbagi menjadi tiga yang meliputi dimensi jenis kelamin, umur, dan tingkat angkatan. Apabila dilihat dari dimensi jenis kelamin, penutur dan mitra tutur pada tuturan C3 adalah mahasiswa perempuan dan tuturan C10 mitra tuturnya mahasiswa perempuan. Pada tuturan C7, C8, C9 dituturkan oleh mahasiswa laki- laki, sedangkan pada tuturan C10 penuturnya laki-laki. Pada umumnya, bahasa perempuan lebih santun bila dibanding dengan bahasa kaum laki-laki. Hal ini sejalan dengan pendapat Rahardi 2007:64 bahwa orang yang berjenis kelamin wanita, lazimnya juga memiliki peringkat kesantunan yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan orang yang berjenis kelamin laki-laki. Hal tersebut terlihat dari kelima tuturan yang dikategorikan sebagai kesembronoan yang disengaja, ternyata memang banyak penutur laki-laki yang bertutur kurang santun dalam berbahasa dengan teman sebayanya. Selanjutnya, berbicara mengenai dimensi umur cenderung dapat dilihat dari tingkat angkatannya. Pada tuturan C3 dituturkan oleh penutur dan mitra tutur mahasiswa angkatan 2010 yang berumur masing-masing 20 tahun, sedangkan penutur dan mitra tutur pada tuturan C7, C8, C9 dan C10 adalah mahasiswa angkatan 2009 yang berumur masing-masing 21 dan 22 tahun, terkhusus untuk penutur laki-laki dalam tuturan C10 dituturkan oleh seorang romo berumur 33 tahun. Adanya kesamaan jenis kelamin, umur, dan tingkat angkatan itu cenderung mendorong adanya kedekatan tertentu antara penutur dan mitra tuturnya. Dimensi sosial ini seperti yang dipaparkan Verschueren 1998 termasuk pula dimensi solidaritas dan kuasa, atau ketergantungan dan kekuasaan. Penutur seorang mahasiswa bertutur dengan rekan mahasiswa lain lebih terlihat dimensi solidaritas atau ketergantungannya sehingga mereka cenderung berbahasa yang menurut mereka nyaman untuk digunakan seperti bahasa tidak baku, bahasa daerah, bahkan umpatan tertentu. Aspek lain yang berkaitan dengan penutur dan mitra tutur adalah dimensi mental pengguna bahasa Verschueren, 1998 yang dalam kelima tuturan tadi dituturkan oleh para mahasiswa. Sudah sewajarnya seorang mahasiswa memiliki kepribadian yang matang, tetapi pada kelima tuturan tersebut cenderung ditemukan kepribadian yang belum cukup matang. Kelima tuturan itu menunjukkan bahwa para mahasiswa masih cenderung labil dari segi mental bertutur terlebih ketika bertutur dengan teman sebayanya. Pendapat ini sejalan dengan Rahardi 2011:158 bahwa seseorang yang kepribadiannya tidak cukup matang, sehingga terhadap sesuatu yang hadir baru cenderung menentang dan melawan, sekalipun tidak selalu memiliki dasar yang jelas dan tegas, akan sangat mewarnai bentuk kebahasaan yang digunakan di dalam setiap pertutursapaan. Lebih lanjut berkaitan dengan dimensi mental adalah mengenai aspek warna emosi. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, nada bicara berkaitan dengan suasana hati. Dalam paparan sebelumnya, dijelaskan bahwa nada tutur pada kelima tuturan itu adalah nada rendah dan sedang. Dengan adanya nada rendah dapat dikatakan penutur cederung memiliki emosi yang senang, gembira, sedangkan adanya nada sedang penutur cenderung memiliki warna emosi yang cukup tinggi tingkat kekesalannya, kejengkelannya, sehingga makna tuturan yang dituturkan berpotensi menimbulkan ketidaknyamanan bagi mitra tuturnya. Hal ini sejalan dengan pendapat Rahardi 2011:159 bahwa seseorang yang memiliki warna emosi dan temperamen tinggi, cenderung berbicara dengan nada dan nuansa makna yang tinggi pula. Tuturan C3 terjadi pada tanggal 20 November 2012 pukul 14.30 WIB ketika setelah mengoreksi lembar jawab mahasiswa pada kuis Psikolinguistik. Suasana kelas agak gaduh. Penutur dan mitra tutur perempuan merupakan mahasiswa angkatan 2010 dan mereka teman sekelas. Mitra tutur duduk sebelahan dengan penutur. Mitra tutur mengomentari baju penutur yang terbuka. Tanggapan penutur tidak menanggapi secara serius peringatan dari mitra tutur mengenai baju penutur yang terbuka tetapi lebih mengarah untuk menggoda mitra tutur yang menunjukkan tindak verbal ekspresif. Tindak perlokusi tuturan C3 yaitu penutur berharap mitra tutur tertawa dengan candaan penutur. Konteks berikutnya mengenai tuturan C7 terjadi pada tanggal 21 November 2012 pukul 13.50 WIB ketika di luar kelas. Beberapa mahasiswa duduk-duduk dan berbincang satu sama lain sedang menunggu kelas berikutnya. Suasana gaduh dan santai. Penutur dan mitra tutur laki-laki merupakan mahasiswa angkatan 2009 dan mereka teman sekelas. Penutur menanyakan guru pamong kepada mitra tutur. Penutur tahu bahwa mitra tutur masih mengurusi laporan PPL. Penutur menanggapi mitra tutur sekenanya seperti pada tuturan C7 yang menunjukkan tindak verbal ekspresif. Tindak perlokusi tuturan tersebut yaitu penutur berharap agar mitra tutur tertawa. Berikut uraian konteks tuturan C8. Tuturan tersebut terjadi pada tanggal 21 November 2012 pukul 13.55 WIB ketika di luar kelas. Beberapa mahasiswa duduk- duduk dan berbincang satu sama lain sedang menunggu kelas berikutnya. Suasana gaduh dan santai. Penutur dan mitra tutur laki-laki merupakan teman sekelas dan mereka mahasiswa angkatan 2009. Penutur berkomentar mengenai model rambut mitra tutur secara sembrono dengan sindiran seperti pada tuturan C8 yang menunjukkan tindak verbal ekspresif. Tindak perlokusi tuturan tersebut yaitu penutur berharap agar mitra tutur menjelaskan model rambut barunya. Tuturan C9 terjadi pada tanggal 21 November 2012 pukul 13.55 WIB ketika di luar kelas. Beberapa mahasiswa duduk-duduk dan berbincang satu sama lain sedang menunggu kelas berikutnya. Suasana gaduh dan santai. Penutur dan mitra tutur laki-laki merupakan teman sekelas dan mereka mahasiswa angkatan 2009. Penutur berkomentar mengenai model rambut mitra tutur secara sembrono dengan sindiran yang menunjukkan tindak verbal ekspresif. Tindak perlokusi untuk tuturan C9 yaitu penutur berharap mitra tutur menjelaskan model rambut barunya. Selanjutnya, tuturan C10 terjadi pada tanggal 22 November 2012 pukul 13.45 WIB ketika beberapa mahasiswa sedang duduk di depan sekretariat dan berbincang-bincang. Penutur laki-laki dan mitra tutur perempuan merupakan mahasiswa angkatan 2009 dan mereka teman sekelas. Mitra tutur sedang menikmati bakso langsung dari bungkus plastik. Penutur memberikan saran secara sembrono yaitu menggunakan pot sebagai mangkok tempat bakso sambil tertawa kecil seperti pada tuturan C10 yang menunjukkan tindak verbal direktif. Tindak perlokusi tuturan tersebut yaitu penutur berharap mitra tutur tertawa dengan candaan penutur. Berdasarkan konteks masing-masing dari lima tuturan tadi, dapat membantu menguraikan apakah masing-masing tuturan tersebut dapat dikategorikan sebagai tuturan yang santun atau tidak. Selain itu, adanya konteks juga dapat menentukan pilihan kata dari masing-masing tuturan itu santun atau tidak serta makna yang terkandung di dalamnya. Hal ini sejalan dengan pendapat Rahardi 2011:156 bahwa konteks pragmatik adalah segala macam aspek yang sifatnya luar bahasa yang menjadi penentu pokok bagi kehadiran sebuah makna kebahasaan. Pada konteks tuturan C3 dapat diketahui bahwa penutur telah menjawab secara sembrono peringatan dari mitra tuturnya mengenai baju penutur yang terbuka. Tanggapan secara sembrono tersebut ditunjukkan dengan pilihan kata yaitu kata slang goyang itik. Dalam konteks tuturan C7 dapat terlihat bahwa penutur sengaja menjawab sekenanya pertanyaan mitra tutur. Hal tersebut dikarenakan pertanyaan mitra tutur mengenai guru pamong PPL dijawab serta merta oleh penutur dengan kata palestina. Selanjutnya, pada konteks tuturan C8 dijelaskan bahwa penutur menanyakan model rambut mitra tuturnya yang baru dengan pertanyaan yang sembrono dengan pilihan kata koyo pitik jago, sedangkan pada tuturan C9 dapat diketahui bahwa penutur melontarkan pendapat terkait model rambut baru mitra tuturnya dengan sembrono dan sekenanya dengan pilihan kata model pitik gering. Lebih lanjut, pada tuturan C10 dipaparkan bahwa penutur sengaja memberikan saran yang sembrono kepada mitra tuturnya terkait tempat untuk bakso yang dimakan oleh mitra tutur yaitu di pot tanaman. Selanjutnya, berbicara mengenai makna dengan makna kelima tuturan tersebut umumnya memiliki makna berupa candaan atau godaan. Berikut uraian lebih rinci mengenai makna masing-masing tuturan. Tuturan C3 dan C7 memiliki makna berupa godaan atau candaan penutur kepada mitra tutur. Tuturan C8 dan C9 memiliki makna berupa godaan atau candaan penutur kepada mitra tutur. Pada tuturan C10 dapat pula dimaksudkan untuk bercanda dengan mitra tutur. Seperti yang telah dipaparkan, dapat diketahui bahwa kelima tuturan tersebut dituturkan oleh penutur dalam situasi yang santai dan bermaksud untuk bercanda dengan mitra tuturnya. Namun, adanya tanggapan yang sembrono tersebut dapat dikategorikan dalam jenis ketidaksantunan berbahasa yaitu kesembronoan yang disengaja. Hal ini sejalan dengan pendapat Bousfield 2008: 3, bahwa ketidaksantunan dalam berbahasa dipahami sebagai, „The issuing of intentionally gratuitous and conflictive face-threatening acts FTAs that are purposefully perfomed.‟ Bousfield memberikan penekanan pada dimensi „kesembronoan‟ gratuitous, dan konfliktif conflictive dalam praktik berbahasa yang tidak santun itu. Perilaku berbahasa seseorang yang dilakukan dengan sengaja secara sembrono ini dapat menyebabkan timbulnya kerugian bagi mitra tuturnya. Kerugian tersebut yaitu timbulnya ketidaknyamanan mitra tutur seperti rasa kesal, malu, dan menyinggung perasaan. Apabila mitra tuturnya menanggapi secara serius dapat menimbulkan konflik diantara keduanya. Hal tersebut dapat dikatakan demikian berdasarkan uraian dari penanda ketidaksantunan linguistik dan pragmatik yang telah dipaparkan sebelumnya. Seperti yang telah dipaparkan, penanda ketidaksantunan linguistik dapat dilihat dari penggunaan nada tutur yang rendah dan sedang, tekanan yang cenderung sedang, intonasi berita yang dituturkan dengan suara lembut berupa sindiran, intonasi Tanya yang dituturkan dengan suara keras serta pilihan kata yang tidak sesuai, terdapat pula kata nonstandar. Sementara itu, penanda ketidaksantunan pragmatik dapat dilihat dari konteks tuturan itu. Konteks tuturan meliputi penutur dan mitra tutur yaitu para mahasiswa PBSID Angkatan 20092011 Universitas Sanata Dharma, situasi tuturan dapat terjadi di mana saja seperti di luar kelas, di dalam kelas, dan di depan sekretariat PBSID dengan suasana yang cenderung santai. Terdapat pula implikatur tambahan berupa tindak verbal yaitu tindak verbal ekspresif, tindak perlokusi yaitu mitra tutur terhibur. Secara umum, makna tuturan tidak santun yang termasuk kesembrononan yang disengaja yaitu sebuah candaan bagi mitra tuturnya, tetapi tidak menutup kemungkinan candaan tersebut dapat menimbulkan konflik di antara keduanya.

4.3.4 Menghilangkan Muka

Berdasarkan data yang telah didapatkan oleh peneliti sebanyak 76 tuturan yang tidak santun, terdapat 13 tuturan yang termasuk ke dalam ketidaksantunan yang menghilangkan muka. Tuturan-tuturan tersebut merupakan tuturan tidak santun yang dituturkan oleh para mahasiswa Program Studi PBSID Angkatan 2009 —2011 di Universitas Sanata Dharma. Tuturan yang berjumlah 13 itu memiliki penanda ketidaksantunan linguistik dan juga penanda ketidaksantunan pragmatik yang dapat dilihat dari konteks tuturan yang melingkupinya. Pemahaman Culpeper 2008: 3 tentang ketidaksantunan berbahasa adalah, „Impoliteness, as I would define it, involves communicative behavior intending to cause the “face loss” of a target or perceived by the target to be so.‟ Culpeper memberikan penekanan pada fakta „face loss‟ atau „kehilangan muka‟ dalam bahasa Jawa dapat diartikan „kelangan rai‟ kehilangan muka. Konsep kehilangan muka ini dapat diartikan pula dengan adanya rasa malu yang mendalam yang dirasakan bagi mitra tutur di depan orang banyak. Dengan demikian, sebuah tuturan akan dianggap sebagai tuturan yang tidak santun jika tuturan itu menjadikan muka seseorang hilang atau merasakan malu yang mendalam di depan orang banyak. Setidaknya tuturan yang menghilangkan muka itu dirasakan oleh sang mitra tutur sendiri. Contoh: D4 Iih kakimu cantik yaa kayak cewek. konteks tuturan: tuturan terjadi ketika sebelum masuk ke dalam laboratorium bahasa, para mahasiswa melepaskan sepatunya di depan laboratorium bahasa. Suasana agak gaduh. Mitra tutur membuka sepatunya. Penutur mengomentari kaki mitra tutur dengan suara keras di tengah teman mahasiswa yang lain sehingga menimbulkan tawa D5 Mel, sekarang kamu pose, trus kamu keluar. konteks tuturan: tuturan terjadi ketika para mahasiswa sedang menunggu kelas berikutnya di dalam kelas. Mitra tutur menghampiri beberapa mahasiswa. Suasana gaduh tetapi santai. Mitra tutur berdiri di depan penutur dan penutur berkomentar padanya D6 Ztt berisik kamu konteks tuturan: tuturan terjadi ketika perkuliahan Sintaksis, ada mahasiswa yang duduk di belakang berbincang dengan mahasiswa yang duduk di depan dengan suara keras. Penutur merasa terganggu dengan mitra tutur yang terus berbicara padahal perkuliahan sedang berangsung dan dosen sedang menjelaskan materi. Penutur memperingatkan mitra tutur D11 Sirik banget si jadi orang, suka-suka akulah.. emang situ OK? konteks tuturan: tuturan terjadi ketika ada beberapa mahasiswa berkumpul di hall student tengah. Suasana di sekitar hall ramai dan santai. Penutur dan mitra tutur teman sekelas. Penutur menghampiri mitra tutur yang sedang duduk berkumpul dengan teman lain. Mitra tutur mengomentari dan menyindir penampilan penutur berkali-kali dengan suara keras di depan banyak orang D13 Terima kasih atas masukannya, sebenarnya judul saya ini sudah direvisi oleh ibu Yuli. Jadi saya tidak mengubahnya lagi. konteks tuturan: tuturan terjadi ketika sedang presentasi makalah dalam kelas, ada sesi tanggapan dari pembahas utama untuk pemakalah. Suasana kelas serius dan tenang. Penutur sebagai pemakalah dan mitra tutur sebagai pembahas utama. Penutur menanggapi mitra tutur mengenai komentar judul makalahnya Kelima tuturan yang dipaparkan di atas merupakan wujud ketidaksantunan linguistik berupa tuturan lisan yang telah ditranskrip. Lima tuturan tersebut dapat dikategorikan sebagai tuturan tidak santun yang menghilangkan muka mitra tuturnya dengan melihat penanda ketidaksantunan linguistik dan pragmatiknya. Pranowo 2009:76 mengatakan bahwa aspek penentu kesantunan dalam bahasa verbal lisan antara lain aspek intonasi, aspek nada bicara, faktor pilihan kata dan faktor struktur kalimat. Penanda ketidaksantunan linguistik kelima tuturan itupun dapat dilihat berdasarkan nada, tekanan, intonasi, dan pilihan kata. Berikut penjelasan masing-masing penanda ketidaksantunan linguistik yang terdapat dalam kelima tuturan tadi. Apabila dilihat berdasarkan nadanya, tuturan D4, D5, dan D13 dituturkan dengan nada sedang. Nada sedang ini identik dengan tuturan dalam rupa sindiran, dan penutur menggunakan nada sedang ketika suasana hatinya cenderung kesal atau jengkel. Pada tuturan D6 dan D11 dituturkan penutur dengan nada tinggi. Nada tinggi ini identik dengan suasana hati yang sedang marah, emosi. Seperti pada tuturan D6 dan D11 dituturkan dengan nada bicara yang cenderung menaik keras dan kasar oleh penuturnya karena penutur marah pada tingkah mitra tutur sehingga tuturan terasa menakutkan. Hal ini sejalan dengan pendapat Pranowo 2009:77 bahwa jika suasana hati sedang marah, emosi, nada bicara penutur menaik dengan keras, kasar sehingga terasa menakutkan. Berdasarkan penggunaan nada dalam kelima tuturan tersebut, dapat dikatakan bahwa lima tuturan tadi dapat dipersepsi sebagai tuturan yang kesantunannya rendah. Hal tersebut disebabkan penutur menggunakan nada sedang dan nada tinggi seperti dalam lima tuturan itu. Nada sedang cenderung dikatakan dalam suasana hati yang kesal yang menunjukkan tuturan berupa sindiran, sedangkan nada tinggi cenderung dituturkan dengan suasana hati yang marah dengan suara yang keras. Penggunaan nada-nada tersebut dapat pula berpotensi untuk melukai hati mitra tuturnya, terlebih penggunaan nada tinggi. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa penanda ketidaksantunan linguistik berupa nada untuk tuturan yang menghilangkan muka meliputi nada sedang dan nada tinggi. Selanjutnya mengenai penggunaan tekanan dalam lima tuturan itu. Adanya tekanan dalam sebuah tuturan digunakan untuk menunjukkan bagian tuturan mana yang dipentingkan penuturnya. Hal ini sejalan dengan pendapat Muslich 2008:113 bahwa tidak semua kata dalam kalimat ditekankan sama, hanya kata-kata yang dianggap penting atau dipentingkan yang mendapatkan tekanan. Berikut penjelasan masing-masing tekanan pada lima tuturan tersebut. Tekanan yang digunakan pada tuturan D4, D11, dan D13 adalah tekanan sedang, sedangkan tekanan pada tuturan D5 dan D6 adalah tekanan keras. Pada tuturan D4 bagian yang ditekankan yaitu kakimu cantik ya. Bagian yang dipentingkan pada tuturan D5 yaitu kamu pose, trus keluar. Selanjutnya, pada tuturan D6 terdapat tuturan ztt berisik kamu merupakan bagian yang diberi tekanan oleh penuturnya. Pada tuturan D11 bagian yang dipentingkan yaitu suka-suka aku, emang situ OK, sedangkan pada tuturan D13 bagian yang diberi tekanan yaitu sudah direvisi bu Yuli. Pemaparan berikutnya mengenai intonasi pada kelima tuturan tadi. Intonasi merupakan salah satu penanda untuk mengetahui tuturan santun atau tidak. Hal ini sejalan dengan pendapat Pranowo 2009:76 bahwa aspek intonasi dalam bahasa lisan sangat menentukan santun tidaknya pemakaian bahasa. Lebih lanjut dipaparkan bahwa aspek intonasi merupakan keras lembutnya suara oleh seorang penutur. Intonasi dapat dibedakan menjadi tiga macam yaitu intonasi berita yang berpola datar turun, intonasi Tanya yang berpola datar naik, dan intonasi perintah yang berpola datar tinggi. Intonasi yang digunakan pada tuturan D4, D6, dan D13 adalah intonasi berita. Tuturan D5 memiliki intonasi perintah dan tuturan D11 memiliki intonasi tanya. Intonasi berita berpola datar turun digunakan untuk menunjukkan ekspresi pemberitahuan kepada mitra tutur. Intonasi berita cenderung dituturkan dengan suara yang lembut. Berbeda dengan intonasi pada tuturan D11 dituturkan dengan intonasi Tanya yang berpola datar naik dan pada tuturan D5 dituturkan dengan intonasi perintah yang berpola datar tinggi cenderung dituturkan dengan suara yang keras. Berdasarkan uraian di atas, kelima tuturan itu dapat dipersepsi sebagai tuturan yang memiliki kesantunan yang rendah. Hal tersebut terlihat dalam tuturan D4,