Penanda Ketidaksantunan Pragmatik Mengancam Muka Sepihak

Berbicara mengenai ketidaksantunan yang melecehkan muka, Miriam A Locher 2008: 3 berpendapat bahwa ketidaksantunan dalam berbahasa dapat dipahami sebagai berikut, „…behaviour that is face-aggravating in a particular context.‟ Perilaku ketidaksantunan berbahasa itu menunjuk pada perilaku „melecehkan‟ muka face-aggravate. Perilaku melecehkan muka lebih mengarah pada sebuah tuturan yang disampaikan penutur tidak hanya menimbulkan kejengkelan tetapi dapat melukai hati mitra tuturnya. Dengan demikian, sebuah tuturan dapat dikatakan tidak santun jika tuturan tersebut telah menyinggung dan membuat sakit hati mitra tuturnya. Contoh: A6 Wiih, jati wes pendadaran kowe? konteks tuturan: tuturan terjadi ketika duduk di depan sekretariat, mitra tutur memegang proposal skripsi dan sedang menunggu dosen pembimbing. Datang penutur menghampiri dan bertanya kepada mitra tutur. Suasana agak gaduh dan santai A7 Kalo jawab tu yang bener, iyaa gitu.. masak apa, apa itu? konteks tuturan: tuturan terjadi ketika perkuliahan menyimak di laboratorium bahasa, dosen memanggil nama mitra tutur. Suasana dalam laboratorium bahasa serius dan tenang. Mitra tutur menjawab sekenanya panggilan dosen. Posisi duduk penutur duduk di depan mitra tutur. Penutur menanggapi mitra tutur A10 Woo, asem dicatet kok pie, munyuk ki konteks tuturan: tuturan terjadi ketika sedang berkumpul di perpustakaan, lima mahasiswa sedang mengerjakan proposal skripsi masing-masing. Beberapa mahasiwa berbincang dengan serunya. Mitra tutur mencatat obrolan penutur untuk melengkapi data skripsi. Penutur mengetahui dan berkomentar pedas kepada mitra tutur A14 Nek ngomong ki jangan kayak orang kumur-kumur konteks tuturan: tuturan terjadi ketika setelah kuis Penyuntingan selesai, lalu dilanjut dengan koreksi lembar jawab oleh mahasiswa, suasana kelas agak gaduh. Penutur tahu bahwa mitra tutur baru beberapa waktu menggunakan behel sehingga masih kesusahan untuk berbicara. Penutur mengomentari cara bicara mitra tutur A16 Eehh indah gimana to kamu, malah ngobrol konteks tuturan: tuturan terjadi ketika dosen memanggil nama mahasiswa untuk konfirmasi nilai, ada mahasiswa yang tidak menyadarinya. Suasana kelas agak gaduh. Penutur dan mitra tutur merupakan teman akrab. Penutur mengingatkan mitra tutur yang telah mengoreksi hasil kerjanya untuk disampaikan ke dosen Kelima tuturan tersebut merupakan wujud ketidaksantunan linguistik berupa tuturan lisan yang telah ditranskrip. Sama halnya Pranowo 2009:76 mengatakan bahwa aspek penentu kesantunan dalam bahasa verbal lisan antara lain aspek intonasi, aspek nada bicara, faktor pilihan kata dan faktor struktur kalimat, penanda ketidaksantunan linguistik kelima tuturan itupun dapat dilihat berdasarkan nada, tekanan, intonasi, dan pilihan kata. Dalam tuturan A6, A7, A11, dan A14, penutur menyampaikan tuturannya dengan nada sedang. Nada tuturan yang sedang itu identik pada sebuah tuturan yang dikatakan dengan sindiran. Nada bicara berupa sindiran itu untuk menunjukkan suasana hati penutur yang kesal dengan tingkah laku mitra tutur. Berbeda dengan tuturan A10 dituturkan penutur dengan nada tinggi. Nada tuturan tinggi identik dengan suasana hati yang sedang marah, emosi. Seperti pada tuturan A10 dituturkan dengan nada bicara yang cenderung menaik keras dan kasar oleh penuturnya karena penutur marah pada tingkah mitra tutur. Hal tersebut sejalan dengan Pranowo 2009:77 bahwa nada bicara penutur selalu berkaitan dengan suasana hati penuturnya. Oleh karena itu, semakin suasana hati penutur itu buruk, tuturan yang dituturkan cenderung semakin tidak santun. Lebih lanjut dipaparkan Pranowo 2009:77 aspek nada dalam bertutur lisan dapat memengaruhi kesantunan berbahasa seseorang. Kelima tuturan itu dapat dipersepsi memiliki kesantunan yang rendah karena pada nada tuturan A6, A7, A11, dan A14 dikatakan dengan nada sedang berupa sindiran pada mitra tutur, terlebih pada nada tuturan A10 dituturkan dengan nada bicara yang menaik dengan keras dan kasar. Selain itu, dapat dipersepsi pula bahwa seorang penutur dapat melukai hati mitra tuturnya apabila nada tutur yang dipakai adalah nada sedang dan tinggi. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa nada sedang dan tinggi merupakan salah satu penanda linguistik untuk tuturan yang melecehkan muka.