Aspek-aspek Mental ‘Language Users’

pragmatik, yang sekali lagi merupakan „ingredients‟ konteks komunikatif dalam pragmatik. Terkait dengan dimensi sosial salah satunya dimensi jenis kelamin dapat mempengaruhi bentuk bahasa seseorang. Biasanya bahasa untuk kaum laki-laki cenderung keras, sedangkan bahasa untuk kaum perempuan cenderung lebih lembut. Bidang atau topik yang dibicarakan antara kaum laki-laki dan perempuan pun berbeda. Bidang-bidang yang berkaitan dengan masalah politik, pekerjaan, pembangunan, dan masalah sosial lainnya yang cenderung berat dan rumit biasanya cenderung dibicarakan oleh kaum laki-laki. Akan tetapi, untuk bidang yang berkaitan dengan keluarga, kesehatan, keindahan atau estetika, biasanya menjadi bahan pembicaraan perempuan. Dimensi sosial berikutnya yakni usia juga dapat mempengaruhi bentuk bahasa seseorang. Namun kenyataannya, dimensi usia ini banyak diabaikan oleh orang-orang yang terlibat dalam praktik komunikasi. Lazimnya bahasa yang digunakan oleh penutur kepada orang-orang tua atau mereka yang dituakan, harus lebih sopan dan lebih halus dibandingkan dengan bahasa yang digunakan kepada mereka yang lebih muda. Bentuk-bentuk kebahasaan yang lengkap, tidak dipotong-potong, atau yang tidak dipendekkan seharusnya lebih banyak digunakan daripada bentuk- bentuk kebahasaan yang bersifat terbatas dan biasanya bentuk kebahasaan kepada orang tua cenderung lebih halus dan santun. Dimensi lain yang sangat menentukan bentuk kebahasaan yang digunakan seseorang adalah status sosial dan tingkat sosial. Orang yang berstatus sosial rendah dalam masyarakat lazimnya menggunakan bentuk-bentuk hormat kepada mereka yang berstatus sosial menengah, apalagi dengan mereka yang berstatus sosial tinggi.

2.4.1.4 Aspek-aspek Fisik ‘Language Users’

Deiksis persona, menunjuk pada penggunaan kata ganti orang, misalnya saja dalam bahasa Indonesia kurang ada kejelasan kapan harus digunakan kata „kita‟ dan „kami‟ dalam bahasa Jawa, deksis persona „kula‟ artinya „saya‟ dan „kula sedaya‟ atau „aku kabeh‟ alias „kami‟ atau „kita‟ dalam bahasa Indonesia. Adapun „attitudinal deixis‟ berkaitan sangat erat dengan bagaimana kita harus memperlakukan panggilan-panggilan persona dengan tepat sesuai dengan referensi sosial dan sosietalnya. Deiksis-deiksis dalam jenis yang disampaikan di depan itu semuanya merupakan aspek fisik „language users‟, yang secara sederhana dimaknai sebagai ‗penutur‟ dan „mitra tutur‟, sebagai „utterer‟ dan „interpreter‟. Selanjutnya masih berkaitan dengan persoalan diksis pula, tetapi yang sifatnya temporal, harus diperhatikan misalnya saja, kapan harus digunakan ucapan „selamat pagi‟ atau „pagi‟ saja dalam bahasa Indonesia. Perhatian juga harus diberikan tidak saja pada dimensi waktu atau „temporal reference‟ seperti yang ditunjukkan di depan tadi, khususnya dalam kaitan dengan deiksis-deiksis waktu. Pada dimensi tempat atau dimensi lokasi, atau yang oleh Verschueren 1998:98 disebut sebagai „spatial reference‟. Referensi spasial di dalam linguistik ditunjukkan, misalnya dengan pemakaian preposisi yang menunjukkan tempat, juga kata kerja tertentu, kata keterangan, kata ganti, dan juga nama-nama tempat. Pendek kata, konsep „spatial reference‟ seperti ditunjukkan di depan itu, semuanya menunjuk pada konsepsi gerakan atau „conception of motion‟, yakni gerakan dari titik tempat tertentu ke dalam titik tempat yang lainnya. Aspek-aspek fisik konteks lain di luar apa yang disebutkan di depan itu adalah tentang jarak spasial atau „space distance‟. Ketika orang sedang bertutur sapa, jarak spasial yang demikian ini sangat menentukan maksud, juga persepsi terhadap makna yang disampaikan oleh „interpreter‟. Fakta non-kebahasaan ini ternyata juga sangat berbeda antara daerah yang satu dan daerah lainnya.