Teori Ketidaksantunan Berbahasa dalam Pandangan Bousfield

Cuplikan 9 Mahasiswa 1: ―Menurut saya judul makalah Anda kurang spesifik, masih banyak variabel sehingga terkesan boros kata-kata jadi perlu diperbaiki. ‖ Mahasiswa 2: ―Terima kasih atas masukannya, sebenarnya judul saya ini sudah direvisi oleh dosen. Jadi saya tidak mengubahnya lagi. ‖ 9 Cuplikan 10 Mahasiswa 1: ―Yah buka sepatu nih.‖ sambil membuka sepatu Mahasiswa 2: ―Ihh kakimu cantik ya kayak cewek.‖ 10 Informasi indeksal Tuturan 9 dituturkan oleh seorang mahasiswa kepada teman mahasiswa di dalam kelas. Pada saat perkuliahan berlangsung, terdapat sesi presentasi dan pemberian tanggapan. Penutur sebagai pemakalah mendapat tanggapan dari pembahas umum yaitu mitra tutur. Mitra tutur mengatakan bahwa judul penutur kurang spesifik, lalu penutur memberikan konfirmasi dari tanggapan tersebut. Konfirmasi penutur yang disampaikan secara langsung di depan mitra tutur, teman satu kelas, dan dosen pengampu. Tuturan 10 dituturkan oleh seorang mahasiswi kepada teman mahasiswa ketika akan memasuki ruang laboratorium bahasa. Para mahasiswa harus melepas sepatu mereka ketika masuk laboratorium bahasa. Mitra tutur mengomentari kaki penutur dengan suara keras dan menimbulkan perhatian teman lain sehingga banyak teman yang menertawakannya. Tuturan 9 dan 10 merupakan tuturan yang termasuk ke dalam ketidaksantunan berbahasa yang menghilangkan muka mitra tuturnya karena tuturan tersebut membuat mitra tutur merasa dijatuhkan oleh penutur dan merasa ―kehilangan muka‖ di depan orang banyak. Berdasarkan ilustrasi yang telah dikemukakan, dapat disimpulkan bahwa teori ketidaksantunan berbahasa dalam pandangan Culpeper ini lebih menitikberatkan pada bentuk penggunaan ketidaksantunan tuturan oleh penutur yang memiliki maksud untuk mempermalukan mitra tuturnya di depan umum.

2.2.4 Teori ketidaksantunan berbahasa dalam pandangan Terkourafi

Terkourafi 2008:3-4 memandang ketidaksantunan sebagai, „impoliteness occurs when the expression used is not conventionalized relative to the context of occurrence; it threatens the addressee‟s face but no face- threatening intention is attributed to the speaker by the hearer.‟ Jadi perilaku berbahasa dalam pandangannya akan dikatakan tidak santun bilamana mitra tutur addressee merasakan ancaman terhadap kehilangan muka face threaten, dan penutur speaker tidak mendapatkan maksud ancaman muka itu dari mitra tuturnya. Konsep mengenai perilaku ketidaksantunan berbahasa ini dapat diilustrasikan dengan contoh berikut. Cuplikan 11 Mahasiswa 1: ―Weh kertasku mana?‖ sambil menyentuh badan mahasiswa 2 Mahasiswa 2: ―Apa lho kamu tu gak usah pegang-pegang Asem kok.‖ 11 Informasi indeksal Tuturan 11 dituturkan oleh mahasiswi kepada teman mahasiswanya di kelas ketika selesai pengoreksian kuis para mahasiswa. Tuturan tersebut menunjukkan bahwa mahasiswa 1 berusaha meminta respon mahasiswa 2, namun mahasiswa 1 meminta dengan cara yang membuat mahasiswa 2 tidak nyaman dengannya yaitu dengan menyentuh badan mahasiswa 2. Mahasiswa 1 bertutur dengan intonasi tanya sedangkan mahasiswa 2 bertutur dengan nada keras dan sinis. Dari percakapan di atas dapat diketahui bahwa mahasiswa 2 menanggapi dengan rasa kesal yang mengancam muka secara sepihak mahasiswa 1. Hal tersebut membuat mahasiswa 1 sebagai mitra tutur merasa terancam dan malu dengan tanggapan dari mahasiswa 2 dengan tuturan 11 itu. Berdasarkan ilustrasi yang telah dikemukakan, dapat disimpulkan bahwa teori ketidaksantunan berbahasa dalam pandangan Terkourafi 2008 ini lebih menitikberatkan pada bentuk penggunaan ketidaksantunan tuturan oleh penutur yang memiliki maksud untuk mengancam muka sepihak mitra tuturnya tetapi di sisi lain penutur tidak menyadari bahwa perkataannya menyinggung mitra tutur.

2.2.5 Teori Ketidaksantunan Berbahasa dalam Pandangan Locher and Watts

Locher and Watts 2008:5 berpandangan bahwa perilaku tidak santun adalah perilaku yang secara normatif dianggap negatif negatively marked behavior, lantaran melanggar norma-norma sosial yang berlaku dalam masyarakat. Juga mereka menegaskan bahwa ketidaksantunan merupakan peranti untuk menegosiasikan hubungan antarsesama a means to negotiate meaning. Selengkapnya pandangan mereka tentang ketidaksantunan tampak berikut ini, „…impolite behaviour and face-aggravating behaviour more generally is as much as this negation as polite versions of behavior.‟ cf. Lohcer and Watts, 2008:5. Setiap daerah mempunyai norma atau peraturan yang mengatur perilaku masyarakat. Peraturan itu bersifat wajib dan mengikat. Selain daerah atau wilayah tertentu, suatu organisasi atau lembaga pendidikan pasti mempunyai peraturan yang berfungsi mengatur perilaku atau tindakan semua warga yang bernaung di lembaga tersebut. Universitas adalah salah lembaga pendidikan, warga masyarakat di lembaga universitas adalah dosen, mahasiswa, dan karyawan. Norma yang telah ditetapkan itu adalah bentuk kesempakatan bersama antara yang membuat norma dan pelaksana norma. Norma juga suatu bentuk kerja sama antar hubungan sesama bila norma mampu direalisasikan dengan baik tidak akan ada perselisihan. Namun, bila terjadi pelanggaran norma akan terjadi pertengkaran – bentuk kebahasan ketidaksantunan – konflik antar penutur dan mitra tutur. Konsep mengenai perilaku ketidaksantunan berbahasa ini dapat diperjelas dengan contoh berikut. Cuplikan 12 Mahasiswa 1: ―Udah dari tadi po rapate? Mahasiswa 2: ―Udaa sekitar 15 menit yang lalu, sekarang giliran bendahara laporan‖ Mahasiswa 1: ―Oohh gitu tha‖ Mahasiswa 3: ―Kamu gak inget apa kata ketua? Kita harus on time ee kamu malah telat gimana tha?‖