Wujud Ketidaksantunan Linguistik Wujud Ketidaksantunan Pragmatik

dengan sindiran seperti pada tuturan C8 yang menunjukkan tindak verbal ekspresif. Tindak perlokusi tuturan tersebut yaitu penutur berharap agar mitra tutur menjelaskan model rambut barunya. Konteks tuturan C9 yaitu tuturan terjadi pada tanggal 21 November 2012 pukul 13.55 WIB ketika di luar kelas. Beberapa mahasiswa duduk-duduk dan berbincang satu sama lain sedang menunggu kelas berikutnya. Suasana gaduh dan santai. Penutur dan mitra tutur laki-laki merupakan teman sekelas dan mereka mahasiswa angkatan 2009. Penutur berkomentar mengenai model rambut mitra tutur dengan sindiran yang menunjukkan tindak verbal ekspresif. Tindak perlokusi untuk tuturan C9 yaitu penutur berharap mitra tutur menjelaskan model rambut barunya. Konteks tuturan C10 yaitu terjadi pada tanggal 22 November 2012 pukul 13.45 WIB ketika beberapa mahasiswa sedang duduk di depan sekretariat dan berbincang-bincang. Penutur laki-laki dan mitra tutur perempuan merupakan mahasiswa angkatan 2009 dan mereka teman sekelas. Mitra tutur sedang menikmati bakso langsung dari bungkus plastik. Penutur memberikan saran untuk menggunakan pot sebagai mangkok tempat bakso sambil tertawa kecil seperti pada tuturan C10 yang menunjukkan tindak verbal ekspresif. Tindak perlokusi tuturan tersebut yaitu penutur berharap mitra tutur tertawa dengan candaan penutur.

4.2.3.5 Makna Ketidaksantunan Berbahasa yang berupa Kesembronoan yang Disengaja

Secara umum, makna ketidaksantunan berbahasa yang berupa kesembronoan yang disengaja yaitu penutur menggoda dengan candaan sehingga mitra tutur terhibur. Tuturan C3, C7, C8, C9, dan C10 memiliki makna berupa godaan atau candaan penutur kepada mitra tutur walaupun yidak menutup kemungkinan akan terjadinya konflik diantara keduanya.

4.2.4 Menghilangkan Muka

Pemahaman Culpeper 2008: 3 tentang ketidaksantunan berbahasa adalah, „Impoliteness, as I would define it, involves communicative behavior intending to cause the “face loss” of a target or perceived by the target to be so.‟ Culpeper memberikan penekanan pada fakta „face loss‟ atau „kehilangan muka‟ dalam bahasa Jawa dapat diartikan „kelangan rai‟ kehilangan muka. Konsep kehilangan muka ini dapat diartikan pula dengan adanya rasa malu yang mendalam yang dirasakan bagi mitra tutur di depan orang banyak. Dengan demikian, sebuah tuturan akan dianggap sebagai tuturan yang tidak santun jika tuturan itu menjadikan muka seseorang hilang atau merasakan malu yang mendalam di depan orang banyak. Setidaknya tuturan yang menghilangkan muka itu dirasakan oleh sang mitra tutur sendiri. Cuplikan Tuturan 50 Penutur: mahasiswa perempuan, umur 19 tahun Mitra tutur: mahasiswa laki-laki, umur 19 tahun M1: “Duh.. susah banget ni buka sepatu.” M2: “Iih kakimu cantik yaa kayak cewek.” D4 M1: “Ahh iya kakiku emang gini kok.” konteks tuturan: tuturan terjadi ketika sebelum masuk ke dalam laboratorium bahasa, para mahasiswa melepaskan sepatunya di depan laboratorium bahasa.