39
BAB II KERANGKA TEORETIS, KERANGKA BERPIKIR, DAN HIPOTESIS
2.1 Kerangka Teoretis
2.1.1 Manajemen Berbasis Sekolah sebagai Manifestasi Desentralisasi
Pendidikan di Sekolah
Kuehn 2004:1-2 dalam tulisannya tentang School-based Budgeting Site- base Management
menyampaikan laporan hasil penelitiannya bahwa school-based management
manajemen berbasis sekolah nampak manifestasinya dalam suatu keanekaragaman agenda kebijakan pendidikan di British Colombia dan di tempat
lain di dunia. Hal ini sering nampak dalam rangka menyediakan sumber daya untuk sekolah negeri. Berbagai deskripsi untuk mengidentifikasi model-model
yang didiskusikan misalnya local management of school, school-based management, shared decision-making, self-managing school, self-determining
schools, locally-autonomous school, devolution, decentralization, dan restructured school
. Beberapa argumen yang paling utama adalah tuntutan para pendukung
terhadap perubahan cara pengambilan-keputusan di sekolah secara umum harus memenuhi persyaratan satu atau lebih diantara tiga kategori berikut yaitu: efisiensi
administrasi, keefektifan pendidikan, danatau pengaruh partisipan. Efisiensi administrasi diadopsi dari dunia usaha bahwa keputusan tentang
bagaimana mempercepat laju perusahaan diserahkan pada orang-orang yang paling mengetahui kebutuhan yang harus dipenuhi. Argumen ekonomi bagi
desentralisasi adalah bahwa desentralisasi unit-unit membantu perkembangan
kebutuhan kompetisi dalam melindungi monopoli. Pendapat ini berasal dari kepercayaan pada ideologi bahwa pendekatan pasar dan kompetisi lebih efisien
dari pada pendekatan perencanaan. Nanaimo participatory management dalam Kuehn 2004 menyampaikan bahwa manajemen partisipatori dapat membantu
sekolah menjadi lebih efektif menggunakan sumber daya yang terbatas untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan pendidikan dari siswa yang dilayani.
Keefektifan pendidikan mendukung keyakinan dan harapan bahwa desentralisasi akan berhasil meningkatkan prestasi siswa. Diharapkan sebelumnya
kurikulum yang lebih fleksibel agar mampu membentuk siswa di sekolah. Mereka berharap adanya inovasi yang tinggi, moral yang tinggi, komitmen pegawai yang
tinggi serta produktivitas yang tinggi, padahal kenyataannya karakteristik sistemnya seperti dikontrol oleh sebuah birokrasi yang memaksakan suatu one-
size-fits-all-policy kebijakan-satu-ukuran-sesuai-untuk semua. Argumen ini
kebanyakan dibuat dalam konteks sistem pendidikan oleh pemerintah Amerika, mandat keputusan kurikulum diberikan pada level distrik sekolah. Di British
Columbia kewenangan memutuskan kurikulum dipusatkan pada propinsi dan sebagian kecil didukung dari school-based decision-making. British Columbia
termasuk yang mengusulkan kurikulum untuk di desentralisasi. Beberapa usulan dalam sistem baru yaitu desentralisasi adalah melibatkan
masyarakat pada level sekolah dalam membuat keputusan tentang sekolah. Beberapa argumen untuk pengambilan keputusan lokal difokuskan pada guru
misalnya menyediakan layanan pada individu atau tim atau membuat hasilproduk. Salah seorang peneliti dalam bidang ini yang terkenal yaitu Linda
Darling-Hammond dalam Kuehn 2004 menyimpulkan bahwa kesuksesan memerlukan dua strategi yang harus dicapai sekaligus yaitu: mengajar secara
profesional serta desentralisasi organisasi dan manajemen sekolah kepada guru. Organisasi guru di Amerika mendukung restrukturisasi sekolah jika school-based
decision-making memberikan kesempatan sebagian besar guru memberikan suara
dalam keputusan tentang sekolah. Model lain menyarankan untuk memberikan orang-tua mengawasi langsung pada unsur-unsur yang ditawarkan di sekolah
misalnya menyusun prioritas anggaran, kebijakan sekolah, peran dalam seleksi kepala sekolah dan staf pengajar, menentukan pendekatan mengajar. Tuntutan dari
pendekatan ini adalah bahwa pengaruh orang tua terhadap hasil pendidikan adalah untuk lebih memuaskan orang tua. Gaya kepemimpinan kepala sekolah direktif
atau fasilitatif menjadi pemegang kendali pelaksanaan seluruh kegiatan di sekolah yang struktur tujuannya dipengaruhi oleh parstisipan.
Penelitian pada strategi school-based management tampak menunjukan efektif jika mampu menerapkan desentralisasi kekuasaan, pengetahuan, informasi
dan penghargaan; membuat pedoman perubahan proses pembelajaran; dan menyediakan kepemimpinan kepala sekolah yang fasilitatif. Hal ini akan
membuat kondisi profesional di sekolah untuk mereorganisasi kurikulum dan pembelajaran, re organisasi sekolah dan kelas, restruktur penggunaan sumber
daya, dan meningkatkan prestasi siswa. Digest 1995 menyatakan bahwa school-based management didefinisikan
sebagai desentralisasi kewenangan pengambilan keputusan di lingkungan sekolah. Ini merupakan salah satu strategi yang sangat terkenal yang dimulai pada tahun
1980-an pada gerakan reformasi sekolah. Setelah dasa warsa yang lalu, beberapa distrik sekolah menerapkan metode pengelolaan budget sekolah, kurikulum, dan
keputusan personal dengan antusias untuk mempromosikannya. Program ini akan menyediakan program-program yang lebih baik bagi siswa karena sumber daya
akan tersedia disesuaikan langsung dengan kebutuhan siswa. SBM juga dikatakan akan menjamin keputusan yang berkualitas tinggi karena dibuat oleh kelompok
menggantikan keputusan individual; akhirnya SBM akan meningkatkan komunikasi antara stakeholders termasuk dewan pendidikan, superintenden,
kepala sekolah, guru, orang-tua, anggota masyarakat, dan siswa. Menurut Zamroni 2002:13 manajemen berbasis sekolah diharapkan dapat
menemukan celah-celah kemubaziran dengan prinsip effetiveness yaitu pendayagunaan sumber daya yang ada dengan cara sebaik dan setepat mungkin.
Konsekuensinya sekolah harus menata ulang perencanaannya, termasuk penganggarannya dengan memberikan skala prioritas bagi aktivitas yang betul-
betul menjadi kebutuhan sekolah. Dalam proses perencanaan dan pengambilan keputusan tersebut orang tua dan masyarakat harus dilibatkan dalam suasana yang
demokratis. Menurut Umaedi 2000:7 pada era desentralisasi pendidikan, dalam pola
baru sekolah memiliki kewenangan lebih besar dalam mengelola lembaganya sehingga lebih luwes, pengambilan keputusan secara partisipatif, meningkatnya
partisipasi masyarakat, pendekatan profesionalisme lebih diutamakan dari pada pendekatan birokratik yang kaku, pengelolaan sekolah lebih desentralitik,
perubahan didorong oleh motivasi diri, mengutamakan kerja tim, struktur
organisasi datar, sederhana dan efisien. Dimensi-dimensi perubahan pola manajemen pendidikan di Indonesia dari pola lama menuju pola baru yang lebih
demokratis dapat dilihat pada Tabel 2.1.
Tabel 2.1 Dimensi Perubahan Pola Manajemen Pendidikan di Indonesia Pola Lama
Menuju Pola Baru
Subordinasi Pengambilan keputusan terpusat
Ruang gerak kaku Pendekatan birokratik
Sentralistik Diatur
Over
regulasi Mengontrol
Mengarahkan Menghindari resiko
Gunakan uang semuanya Individual yang cerdas
Informasi terpribadi Pendelegasian
Organisasi hirarkis Otonomi
Pengambilan keputusan partisipatif
Ruang gerak luwes Pendekatan profesional
Desentralistik Motivasi diri
Deregulasi Mempengaruhi
Memfasilitasi Mengelola resiko
Gunakan uang seefisien mungkin Teamwork
yang cerdas Informasi terbagi
Pemberdayaan Organisasi datar
Sumber : Umaedi 2000:8
2.1.2 Dasar-Dasar Pelaksanaan Desentralisasi Pendidikan