Statistik Deskriptif Pembahasan Hasil Penelitian

bertindak agresif, inovatif, dan berani mengambil resiko sangat dibutuhkan agar sekolah menjadi dinamis mengikuti perkembangan

4.2.6 Statistik Deskriptif

Dari hasil analisis statistik despkriptif ada dua indikator yang mempunyai median rendah, yaitu persentase lulusan yang diterima di perguruan tinggi, dan kontrol terhadap kegiatan pembelajaran. Kedua indikator ini mean dan modenya juga rendah. Sampai saat ini persentase lulusan SMA Negeri kota Semarang yang dapat diterima di perguruan tinggi khususnya perguruan tinggi yang berkualitas rata-rata baru mencapai delapan puluh persen. Masih banyaknya lulusan sekolah menengah yang diterima diperguruan tinggi yang berkualitas ini disebabkan karena: 1 lemahnya kondisi perekonomian keluarga siswa; 2 masih terbatasnya jumlah sekolah menengah kejuruan; 3 kemampuan akademik siswa rendah. Lemahnya kondisi perekonomian keluarga menyebabkan siswa beberapa siswa kurang mampu secara finansial harus menunda keinginannya untuk melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi dan mengikuti program ketrampilan yang diselenggarakan Dinas Pendidikan bekerjasama dengan Balai Latihan Kerja sebagai persiapan memasuki dunia kerja. Terbatasnya jumlah sekolah menengah kejuruan dan lemahnya kondisi perekonomian keluarga menyebabkan tidak semua anak yang berminat dapat masuk karena kendala biaya transportasi. Kemampuan akademik siswa yang rendah menyebabkan lulusan sekolah menengah atas tidak diterima di perguruan tinggi. Hal ini tidak sesuai dengan kebijakan pemerintah bahwa tujuan utama pendidikan di SMA adalah untuk melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi dan bukan untuk mencetak tenaga kerja. Menurut Tilaar 2002 menyampaikan bahwa dunia abad 21 sebagai dunia yang terbuka membutuhkan sumber daya manusia yang kompetitif. Sekolah menengah adalah lembaga-lembaga pendidikan yang mulai mempersiapkan tenaga-tenaga yang kompetitif. Akan tetapi statistik menunjukkan bahwa pengangguran terbuka semakin membesar bagi tamatan sekolah menengah, sehingga perlu adanya pembenahan khusus sekolah menengah terutama sekolah menengah atas yang mempersiapkan siswanya untuk memasuki jenjang pendidikan tinggi. Memasuki sekolah menengah atas harus selektif hanya siswa yang mempunyai kemampuan akademis kuat. Pembinaan sekolah umum yang selektif juga perlu mendapatkan bimbingan dari pendidikan tinggi sehingga pendidikan tinggi tidak melepaskan tanggung jawab terhadap kualitias calon mahasiswa yang akan memasuki sistem pendidikan tinggi dan sekaligus meningkatkan status pendidikan tinggi yang lebih kompetitif dalam dunia global. Permasalahan yang kedua adalah masih ketatnya kontrol dari kepala sekolah dan pejabat terkait terhadap kegiatan pembelajaran di sekolah. Masih ketatnya kontrol dari atasan khususnya pengawas sekolah dan kepala sekolah terhadap kegiatan pembelajaran di sekolah menjadikan guru ketakutan apabila dilakukan program supervisi. Program-program supervisi yang seharusnya sebagai sarana memberikan bimbingan kepada guru yang mengalami kesulitan mengajar justru sebaliknya menjadi program yang ditakuti karena guru merasa tertekan sehingga hasilnya juga tidak optimal. Masih ketatnya kontrol terhadap program-program pembelajaran ini disebabkan karena profesionalitas pengawas sekolah dan kemampuan manajerial kepala sekolah yang masih kurang sehingga tidak dapat melaksanakan fungsinya dengan baik. Pengangkatan pengawas sekolah dan kepala sekolah seharusnya melalui seleksi yang baik untuk memperoleh calon dengan kompetensi yang cukup sebagai modal dasar menduduki jabatan. Calon pengawas sekolah dan kepala sekolah juga harus menjalani pendidikan dan pelatihan yang memadai agar mempunyai kemampuan profesional dan manajerial yang cukup untuk menjalankan tugasnya dengan optimal. Kontrol yang ketat terhadap kegiatan pembelajaran mencerminkan bahwa pengawas masih bekerja secara konvensional seperti disampaikan oleh Oliva 1984 bahwa pada zaman dulu supervisi dilakukan dengan cara otoriter para pengawas atau inspektur memberikan perintah dengan cara-cara yang keras bagi para guru dan harus ditaati. Pengawas mengunjungi kelas-kelas dan mengontrol seberapa jauh guru-guru melaksanakan tugasnya. Pengawas sekolah yang profesional seharusnya memberikan layanan dan bantuan secara demokratis kepada guru yang mengalami kesulitan dalam melaksanakan pembelajaran seperti pendapat Neagley dan Evans dalam Oliva 1984 bahwa supervisi modern merupakan semua bentuk layanan untuk guru dalam meningkatkan pembelajaran dan kurikulum. Supervisi terdiri dari tindakan-tindakan positif, dinamis, demokratis yang tujuannya meningkatkan pembelajaran melalui pertumbuhan terus menerus baik secara individual dari siswa, guru, administrator, orangtua, maupun masyarakat. Briggs dan Justman juga menyarankan kepada pengawas untuk tidak bersikap sewenang-wenang atau mengandalkan kekuasaan pribadi. Kewenangan pengawas sangat terbatas dan sudah ditentukan dalam peraturan. Menurut Lovell dalam Oliva 1984 supervisi disiapkan sebagai suatu layanan dan bantuan kepada guru untuk meningkatkan pembelajaran, akan tetapi layanan dan bantuan ternyata tidak begitu ditekankan oleh supervisor sehingga sebagian guru tidak mempercayai supervisor melaporkan kunjungannya kepada kepala sekolah. Bagi sebagian guru kehadiran pengawas di kelas justru dapat menjadikan suatu trauma atau pengalaman yang tidak menyenangkan, sebagian guru juga merasa lebih mampu dari pada supervisor sehingga memilih untuk tidak bertanya kepada supervisor. Berdasarkan hasil penelitian Peter dan Waterman salah satu karakteristik umum untuk mencapai keefektifan organisasi dilakukan dengan menggabungkan kontrol yang ketat dan desentralisasi. Untuk mengamankan nilai-nilai inti di sekolah perlu dilakukan kontrol yang ketat akan tetapi di bagian-bagian lain kontrol dilakukan lebih longgar dengan tujuan mampu mendorong pengambilan resiko dan inovasi. Berdasarkan pendapat Cameron dalam Robbins 1994 bahwa kontrol dan fleksibilitas merupakan dua dimensi yang bertentangan dari struktur organisasi. Fleksibilitas menghargai inovasi, penyesuaian dan perubahan; sebaliknya kontrol lebih menyukai stabilitas, ketentraman, dan kemungkinan prediksi. Fleksibilitas yang tinggi dan kontrol yang terlalu longgar dapat menyebabkan nilai-nilai inti yang dianut oleh organisasi makin lama akan ditinggalkan, sebaliknya apabila kontrol terlalu ketat dapat menghambat inovasi sekolah, menghambat penyesuaian sekolah terhadap perubahan, kontrol yang baik apabila seimbang dengan fleksibilitas. 226

BAB V SIMPULAN, IMPLIKASI, DAN REKOMENDASI

5.1 Simpulan

Berdasarkan paradigma penelitian ada empat faktor determinan keefektifan organisasi yaitu struktur organisasi, budaya organisasi, lingkungan organisasi, dan konflik organisasi. Hasil temuan penelitian ini menunjukkan bahwa paradigma penelitian yang disusun oleh peneliti tidak sepenuhnya didukung data empiris. 1 Model teoretis yang dibangun berdasarkan grand teori setelah diuji dengan data empiris ternyata ada faktor-faktor yang tetap akan tetapi ada juga yang berubah. Dari empat faktor determinan tersebut ternyata hanya tiga yang tetap bertahan, yaitu struktur organisasi, budaya organisasi dan lingkungan organisasi; sedangkan satu faktor yaitu konflik organisasi tidak signifikan. 2 Hasil pengujian pengaruh struktur organisasi terhadap keefektifan organisasi, menunjukkan bahwa model teoretis yang dibangun didukung oleh data empiris. Pada model fit pengaruh struktur organisasi terhadap keefektifan organisasi sebesar 0,90. Besarnya koefisien dimensi yang signifikan adalah spesialisasi kegiatan 0,89; formalisasi dokumen 0,20; standarisasi prosedur 0,49; sentralisasi kewenangan 0,53; serta konfigurasi struktur peran 0,81. Besarnya koefisien indikator yang signifikan adalah keterlibatan guru dalam pengambilan keputusan 0,53; jumlah guru mata pelajaran 0,52; jumlah laboran, pustakawan 0,51; pelaksanaan supervisi 0,49; kesuaian tugas dengan