Budaya Organisasi pada Era Desentralisasi Pendidikan

umumnya kepala sekolah negeri di Indonesia memiliki otonomi yang terbatas dalam mengelola sekolah dan mengalokasikan sumber daya yang diperlukan. Kemampuan manajerial dan kepemimpinan kepala sekolah pada umumnya juga kurang memadai. Kemampuan kepala sekolah negeri belum memenuhi persyaratan kualitas untuk meningkatkan keefektifan manajemen sekolah. Kondisi ini makin menyulitkan kepala sekolah karena sekolah negeri umumnya tidak memiliki otonomi yang memadai untuk mengembangkan kreativitas kepala sekolah dalam rangka meningkatkan kualitas sekolah. Ringkasnya, laporan Bank Dunia mengungkapkan bahwa pengelolaan pendidikan nasional yang kompleks dan sentralistik serta tidak efektifnya pengelolaan tingkat sekolah, terutama disebabkan oleh keterbatasan otonomi dan kemampuan manajerial kepala sekolah.

1.1.3 Budaya Organisasi pada Era Desentralisasi Pendidikan

Dibentuknya organisasi pendidikan yang baru dibawah pemerintah daerah dengan personalia yang baru serta kewenangan yang lebih besar secara otomatis seluruh tatanan organisasi berubah. Budaya organisasi yang merupakan nilai-nilai inti filosofi, ideologi, nilai-nilai, asumsi, kepercayaan, harapan, sikap, dan norma-norma yang dianut bersama oleh mayoritas anggota organisasi, juga masih dalam proses pembentukan. Budaya organisasi yang baru ini berkembang sesuai dengan nilai-nilai yang ditanamkan oleh para pendirinya, serta nilai-nilai yang dibawa oleh setiap personal yang berada dalam organisasi. Walaupun filosofi, ideologi organisasi pendidikan tidak berubah namun perubahan visi dan misi pendidikan nasional serta masuknya nilai-nilai demokrasi dan pengakuan hak-hak asasi manusia yang lebih baik ke dalam sistem pendidikan nasional memberi pengaruh pada perubahan budaya organisasi sekolah. Menurut pendapat para ahli perubahan budaya organisasi tidak akan menyebabkan masalah jika budaya-budaya tersebut sama, akan tetapi apabila budaya-budaya itu saling berselisih maka akan menghambat keefektifan organisasi yang baru. Dapatkah budaya organisasi diubah? Kita akan melihat pendapat Robbins 2000: 496 yang menyatakan bahwa budaya organisasi mungkin cocok untuk waktu tertentu dan keadaan tertentu, namun dengan adanya perubahan peraturan pemerintah, persaingan, perubahan ekonomi dan teknologi adalah contoh kekuatan yang mungkin dapat meninggalkan budaya yang menghambat keefektifan suatu organisasi. Perubahan budaya lebih mudah dilakukan dan diterima oleh pegawai jika 1 organisasi berada dalam masa transisi dari tahap awal pendirian organisasi ke tahap pertumbuhan atau dari tahap kedewasaan ke tahap kemunduran; 2 usia organisasi masih relatif muda; 3 jika keberhasilan organisasi hanya sedang-sedang saja sehingga para pegawai tidak puas; 4 citra dan reputasi para pendiri dipertanyakan; 5 organisasi kecil. Perubahan budaya membutuhkan waktu yang cukup lama, hasil kajian para ahli menyampaikan bahwa waktu yang paling cepat adalah dua tahun akan tetapi waktu yang lazim digunakan adalah empat atau lima tahun. Bagaimana budaya organisasi mempengaruhi keefektifan organisasi? Pengaruh budaya terhadap keefektifan organisasi adalah apabila budaya, strategi, lingkungan, dan teknologi bersatu. Makin kuat budaya suatu organisasi, makin penting bahwa budaya tersebut sesuai dengan variabel-variabel itu. Organisasi akan berhasil jika budayanya mampu memperoleh kesesuaian eksternal dan internal. Kesesuaian eksternal adalah budaya dibentuk sesuai dengan strategi lingkungan, strategi yang didorong oleh kebutuhan pasar kerja sehingga dibutuhkan budaya yang menekankan inisiatif individu, pengambilan resiko, integrasi yang tinggi, toleransi terhadap konflik, dan komunikasi horisontal yang tinggi. Sebaliknya, strategi yang digerakkan oleh produk berfokus pada efisiensi dan yang paling sesuai untuk lingkungan yang stabil, dan kemungkinan berhasil lebih besar jika budaya organisasi tersebut mempunyai kontrol yang tinggi dan memperkecil resiko serta konflik. Kesesuaian internal budaya organisasi adalah jika budaya organisasi disesuaikan dengan teknologinya. Teknologi rutin memberikan stabilitas dan dapat bekerja dengan baik jika dikaitkan dengan budaya organisasi yang pengambilan keputusannya sentralistis dan membatasi inisiatif individu. Sebaliknya teknologi yang tidak rutin mensyaratkan kemampuan untuk menyesuaikan diri dan akan lebih baik jika disesuaikan dengan budaya yang mendorong inisiatif individu dan memperkecil kontrol. Budaya organisasi pendidikan setelah mengalami penggabungan dapat dilihat dari karakteristik-karakteristiknya antara lain 1 tingkat inisiatif individu, tanggung jawab, kebebasan berkreasi, profesionalitas; 2 tingkat toleransi pemimpin terhadap keagresifan, inovasi, dan pengambilan resiko staf; 3 kejelasan pola komunikasi dan koordinasi; 4 toleransi terhadap konflik, kritik, saran; 5 sistem pengendalian, kedisiplinan, dan ketertiban; 6 sistem imbalan; 7 dukungan dan bantuan manajemen terhadap staf yang mengalami kesulitan. Pada era desentralisasi budaya organisasi yang diharapkan adalah yang lebih demokratis, antara lain setiap kegiatan pendidikan harus diorganisasikan berdasar tim dan bukan berdasar individu. Setiap individu diberikan kebebasan dalam melaksanakan tugasnya dan bertanggung jawab terhadap tugas masing- masing sehingga harus mempunyai pengetahuan dan ketrampilan sesuai bidang tugasnya. Setiap individu harus diberikan dorongan untuk bertindak agresif, inovatif, berani mengambil resiko, berani menyampaikan kritik, saran, pendapat serta konflik secara terbuka. Budaya disiplin dan tertib bagi seluruh warga sekolah juga harus ditanamkan, sejumlah peraturan dan pengawasan langsung yang akan dipakai untuk mengendalikan perilaku siswa, guru maupun tenaga kependidikan lain harus disampaikan secara tranpasran. Sasaran dan harapan tentang prestasi yang ingin dicapai oleh sekolah juga perlu dijelaskan kepada guru dan tenaga kependidikan lainnya. Hirarki kewenangan serta pola komunikasi juga harus diberi batasan-batasan yang jelas supaya tidak terjadi kesalahpahaman. Sistem imbalan baik yang bersifat materi maupun non materi misalnya kesejahteraan guru dan karyawan gaji, kenaikan pangkat, insentif, jaminan kesehatan; penghargaan bagi siswa dan guru yang berprestasi atau sanksi bagi yang melakukan pelanggaran; perhatian terhadap pengembangan karir guru diklat, seminar, loka karya, studi lanjut, promosi jabatan harus diperhatikan.

1.1.4 Konflik Organisasi pada Era Desentralisasi Pendidikan