72
Talqis Nurdianto, Lc., MA
Pada contoh di atas ini, baricha bermakna meninggalkan dalam bentuk
i’il tâmm dan tidak berperilaku atas nomina setelahnya, melainkan sebagai verba yang memiliki subjek
fa’il dlomir pronoun orang pertama tunggal dan objek
maf’ul bih َناَكَمْلا al-makâna ‘tempat’.
11. َئِتَفاَم mâ fati`a
Verba fati`a dapat berperilaku atas jumlah ismiyyah ketika bergandengan dengan nafyu negasi,
َئِتَفاَم mâ fati`a berupa i’il naqish yang bermakna lâ yazâlu ‘masih’. Apabila
َئِتَفاَم mâ fati`a bermakna sakkana ‘menempatkan’ maka berupa
i’il tâmm yang mencukupkan dengan adanya
fa’il atasnya Barakât, 2007a: 311-312.
12. َ كَفْنِا اَم mâ infaka
Sebagaimana telah disebutkan di atas bahwa keempat verba dapat berperilaku atas jumlah ismiyyah apabila didahului oleh nafyu seperti
menggunakan َا lâ ‘tidak’, ريغ ghaira ‘bukan’ bergandeng dengan
isim fa’il, ْنَل lan ‘tidak, َسْيَْل laisa ‘tidak’ . Apabila keempat verba dipakai sebagai
i’il nâqish dengan tidak menyebutkan perangkat nafyu setelahnya maka perangkat nafyu dilesapkan dengan syarat
verba tersebut terletak setelah qasam sumpah Barakât, 2007a: 312-313. Contoh:
61 َ ف ُسْوُي ُرُكذت ُأَتْفَت ِهاَت اْوُلاَق
Qâlû tallâhi tafta`u tadzkuru yûsuf Qâlû
mereka berkata v.perf.P+pron.III.mask.pl.S
tallâhi demi Allah
Par.sump+N.gen Tafta
masih v.inc.II.mask+pron.II.mask.dl.S
tadzkuru Engkau mengingat v.impt.II.mask.dl.P Yûsuf
yusuf N.aks.O
“Mereka berkata demi Allah engkau masih mengingat Yusuf” Verba tafta`u dapat berperilaku pada jumlah ismiyyah dengan
menjadikan mubtada` sebagai isim-nya, dan menjadikan khabar mubtada sebagai khabar-nya. pada contoh di atas isim tafta`u
adalah dlomir muqaddar orang kedua yaitu anta ‘kamu’ sedangkan
73
Nasikh Jumlah Ismiyyah
Kajian Inna dan Kaana Bahasa Arab
khabar-nya berupa
jumlah i’liyyah klausa verba yaitu َف ُسْوُي ُرُكذت
tadzkuru yûsuf ‘kamu ingat yusuf’.
13. َماَداَم mâdâma
Sebuah verba yang dapat berperilaku atas jumlah ismiyyah dengan syarat didahului partikel
اَم mâ zhariyyah mashdariyyah yang memberikan makna berlangsungnya kejadian terikat oleh waktu
‘selama’. Batasan waktunya terikat oleh peristiwa dalam jumlah-nya.
2. Isim Nomina
Isim kâna wa akhwâtuhâ salah satu unsur utama dalam pembentukan jumlah mansûkhah. Fungsi isim dalam jumlah kâna wa akhwâtuhâ semula
adalah mubtada` subjek dalam jumlah ismiyyah. Pengisi isim kâna wa akhwâtuhâ sama dengan pengisi fungsi mubtada`.
Para linguis Arab berbeda pendapat dalam mendefinisikan dan menilai mubtada` dalam jumlah ismiyyah. Ibnu Siraj w.316H. menyebut
mubtada` sama dengan musnad ilaih. Pendapat ini sesuai dengan pendapat Sibawaih dan Al-Mubarrad. Lebih lanjut Ibnu Siraj mengartikan
mubtada’ sebagai isim nomina yang bebas dari segala bentuk perilaku ‘amil dan
memiliki khabar. Linguis Arab lainnya yang mengikuti pendapat Ibnu Siraj adalah Az-
Zabidi w.379H., sedangkan Ibnu Jinni w.392 H. tidak jauh berbeda dengan sebelumnya hanya ada perubahan sedikit dengan menambahkan
mubtada` berkasus nominatif dikarenakan berada diawal jumlah. Pendapat Ibnu Jinni diikuti dan diamini oleh Ibnu Burhân w.456 H..
Az-Zamakhsyari memiliki deinisi sederhana tentang mubtada` bahwa mubtada` dan khabar adalah dua buah isim
nomina. Deinisi Az- Zamakhsyari ini dengan tegas menyatakan baik mubtada` atau khabar
berkategori nomina Al-Makârim, 2007:22-25. Definisi mubtada` terlihat lebih jelas setelah masa Ibnu Hâjib
w.656 H., dengan menyertakan beberapa syarat untuk mubtada`, selain berkategori nomina, musnad ilaih, juga tidak menerima perilaku dari
unsur lain, ditambahkannya bahwa mubtada` bisa berkategori isim sifat yang terletak setelah partikel negasi atau alif istifham interogatif yang