69
Nasikh Jumlah Ismiyyah
Kajian Inna dan Kaana Bahasa Arab
Verba shâra pada contoh ini sebagai i’il nâqish yang berperilaku
atas jumlah ismiyyah dengan menjadikan mubtada` ُبِلا َطلا ath-thâlibu
‘pelajar’ berkasus nominatif sebagai mubtada` shâra dan menjadikan khabar mubtada` berkasus akusatif berfungsi sebagai khabar shâra.
Shâra juga bisa menjadi i’il tâmm apabila bermakna raja’a
‘kembali’, yaitu verba yang mencukupkan nomina setelahnya berfungsi sebagai subjek
fa’il tidak butuh kepada khabar akusatif. Contoh:
57 ُرْوُمُ ْلا ُرْي ِصَت ِه ىَلِإ َاَأ
Alâ ilal-lâhi tashîrul umûru Alâl
bukankah Par.intr.
ilal kepada
Par.prep lâhi
Allah N.gen.mask.tg
tashîrul kembali
v.perf.III.fem.pl.P umûru
urusan-urusan N.nom.fem.pl.S
“Bukankan kepada Allah semua urusan itu kembali ” QS. Asy-Syûra:153
Verba shâra di atas tidak berperilaku atas mubtada` dan khabar sebagaimana
i’il nâqish lainnya, melainkan cukup dengan menjadikan nomina berkasus nominatif setelahnya
ُرْوُمُ ْلا al-umûru ‘urusan-urusan’ sebagai subjek
fa’il baginya, karena shâra termasuk i’il tâmm.
8. َسْيَل laisa negasi
Verba laisa dipakai untuk memberikan makna negasi atau peniadaan hukum khabar atas mubtada` pada waktu terjadinya
peristiwa. Verba laisa juga berperilaku atas jumlah ismiyyah dengan menjadikan mubtada` berkasus nominatif sebagai isim-nya dan
menjadikan khabar berkasus akusatif sebagai khabar-nya Barakât, 2007a: 305-310. contoh:
58 اًمِئَاُم ُتْقَوْلا َسْيَل
Laisal-waqtu mulâiman Laisal
tidaklah :v.inc.III.mask.tg
waqtu waktu
:N.nom.mask.tg.S
70
Talqis Nurdianto, Lc., MA
mulâiman mencukupi
:N.aks.mask.tg.P “Waktu tidaklah sesuai”
Verba laisa pada contoh di atas menjadikan nomina ُ تْق َوْلا
al-waqtu ‘waktu’ berkasus nominatif berfugnsi sebagai isim-nya dan menjadikan nomina
اًمِئَاُم mulâiman ‘mencukupi’berkasus akusatif berfugnsi sebagai khabar-nya.
Para ahli linguistib Arab, jumhûr ahli Nahwu, berpendapat bahwa laisa adalah verba yang berpola
fa’ila dengan charakat kasrah vokal i pada ‘
ain i’il-nya. perubahan charakat kasrah pada ‘ain i’il menjadi sukun untuk meringankan takhfîf bacaan.
Di antara kâna wa akhwâtuha terdapat verba yang tidak bisa berperilaku atas jumlah ismiyyah dengan menjadikan mubtada`
sebagai isim-nya dan menjadikan khabar mubtada` sebagai khabar-nya kecuali dengan syarat. Syarat yang dimaksud adalah verba tersebut
harus didahului oleh perangkat negasi nafyu, baik berupa churuf, nomina isim, verba
i’il, atau larangan nahyu. Ada empat verba yang wajib didahului perangkat negasi nafyu untuk bisa berperilaku
yaitu َ
لاَزاَم mâ zâla, َحِرَباَم mâ baricha, َئِتَفاَم mâ fati`a, dan َكَفْنِا اَم mâ
infaka.
9. َ لاَزاَم mâ zâla
Sebelum bersambung dengan ‘adat nafyu negasi, verba ini memiliki beberapa makna berbeda sesuai dengan bentuk polanya
wazan. Pola zâla - yazûlu – zawâlan bermakna pergihilang dzihâbun berupa
i’il tâmm. Pola zâla - yazîlu - zailan bermakna membedakan ‘azlun dan pola zâla yazâlu mengikuti wazan
fa’ila- yaf’alu sedikit dipakai kecuali bersambung dengan nafyu negasi
sehingga berbunyi mâ zâla yang berarti masih tsabâtun. Ketika verba berbunyi mâ zâla dapat berperilaku atas jumlah
ismiyyah dengan menjadikan mubtada` sebagai isim-nya dan menjadikan khabar mubtada` sebagai khabar-nya maka mâ zâla
disebut i’il nâqish Barakât, 2007a: 310-311.