Jumlah Ismiyyah dalam Literatur Klasik
15
Nasikh Jumlah Ismiyyah
Kajian Inna dan Kaana Bahasa Arab
Pada contoh 7 struktur jumlah ismiyyah berterima partikel inna wa akhwatuha yang berperilaku atasnya, sehingga merubah fungsi jumlah
ismiyyah menjadi jumlah masukhah. Sebelum berterima partikel inna, jumlah ismiyyah berbunyi ٌ
لِدا َع ُرَم ُع ‘umaru ‘âdilun terdiri dari mubtada` ُرَم ُع ‘umar dan khabar mubtada` ٌلِدا َع âdilun. Perubahan perilaku adalah
mubtada` berkasus nominatif menjadi nominatif
َرَم ُع ‘umara berfungsi
sebagai isim nasikh, sedangkan khabar mubtada mufrad tunggal ٌ
لِدا َع
‘adilun berkasus nominatif menjadi akusatif berfungsi sebagai khabar nasikh.
Al-Ghalâyaini menyebut nasikh pada jumlah ismiyyah dengan beberapa istilah berbeda. Di antaranya
al-i’lu an-nâqishu deicient verb Al-Ghalâyaini, 2000b: 269 dan
al-achruf al-musyabbahatu bil-i’li partikel yang menyerupai verba Al-Ghalâyaini, 2000b: 298. Sebutan
pertama dipakai untuk mengidentiikasi kana wa akhwatuha dan keduanya dipakai untuk inna wa akhwatuha.
Partikel inna wa akhwatuha yang menyerupai dengan verba bukanlah dari struktur pembentuk katanya. Karena sudah jelas bahwa partikel
adalah satuan kata yang tidak memberikan makna sempurna jika tidak disandingkan dengan kata lain. Maksud dari pernyataan Al-Ghalâyaini
bahwa partikel ini menyerupai dengan verba dilihat dari sisi makna yang dilahirkan partikel nasikh inna wa akhwatuha. Semisal kata inna
memberikan makna verba yang berbunyi akkada-yuakkidu ‘menguatkan’ atau ‘menegaskan’.
Al-Ghalâyaini menyebutkan bahwa partikel nasikh inna wa akhwatuha terdiri dari
َنِإinna, َنَأ anna, َنَأَك ka`anna, َنِكَل lakinna, َتْيَل laita, dan َ
لَعَل la’alla berjumlah enam kata. Masing-masing kata memiliki makna kata dalam kategori verba. Kata inna dan anna memberikan makna
akkada yuakkidu ‘meyakinkan’, kata lakinna ‘tetapi’ bermakna istadraka- yastadriku, kata laita ‘semoga’ bermakna tamanna-yatamanna, kata
la’alla ‘semoga’ bermakna tarajja-yatarajji Al-Ghalâyaini, 2000; 298. Keenam partikel nasikh tersebut berperilaku atas jumlah ismiyyah
dengan berbagai macam bentuk khabar mubtada` dan memberikan makna penegasan pada jumlah ismiyyah setelahnya. Keberadaan partikel inna wa
akhwatuha tidak memberikan makna terjadinya peristiwa berkaitan dengan
16
Talqis Nurdianto, Lc., MA
waktu kejadian yang berbeda dengan keberterimaan jumlah ismiyyah dengan verba kana wa akhwatuha.
Al-Ghalâyaini berusaha untuk membahas lebih ringkas tentang kâna wa akhwâtuhâ ini dalam bukunya yang berjudul ‘
Jâmi’ud durûsil- ‘arabiyyah’ pada bab kâna wa akhwâtuhâ. Pembahasan kâna wa
akhwâtuhâ dalam karyanya ini cukup singkat dalam memberikan analisis pada setiap contoh yang ditampilkannya. Pada pembahasan pola urutan
unsur dalam struktur kâna wa akhwâtuhâ beserta isim dan khabar-nya, Al-Ghalâyaini tidak menyebutkan hukum khabar mendahului verba kâna
wa akhwâtuhâ bersifat wajib atau boleh lebih rinci dan diperkuat dengan analisa contohnya. Akan tetapi ia mencukupkan dengan menyebutkan
bahwa terkadang khabar mendahului verba kâna wa akhwâtuhâ dan isim- nya secara bersamaan Al-Ghalâyaini, 2000;278-279.
Al-Ghualâyaini juga membahas pelesapan salah satu unsur dalam konstruksi kâna wa akhwâtuhâ bersama isim dan khabar-nya dalam
beberapa lembar pada karyanya 2000, 281-284 dengan memberikan spesiikasi pembahasan boleh melesapkan verba kâna wa akhwâtuhâ
berserta isim-nya dan membiarkan khabar tetap dalam kalimat, dan
melesapkan verba kâna wa akhwâtuhâ saja dengan membiarkan isim dan khabar-nya.
Apabila Al-Ghalâyaini menyebutkan verba kâna wa akhwâtuhâ pada jumlah mansûkhah termasuk
i’il naqish Al-Ghalâyaini, 2000:271, ia tidak menyebutkan tentang verba kâna wa akhwâtuhâ yang tâm terlebih
menjelaskan deinisinya. Sebagaimana ia tidak menyinggung masalah kongruensi jenis dan jumlah antara isim dan khabar kâna wa akhwâtuhâ
seolah dengan menyerahkan kepada pembaca untuk mengulangi membuka lembaran pada bab mubtada` dan khabar pada jumlah ismiyyah, karena
isim dan khabar kâna wa akhwâtuhâ pada dasarnya terbentuk dari jumlah ismiyyah.
Ketika Al-Ghalâyaini memberikan istilah i’il nâqis pada verba kâna
wa akhwâtuhâ maka Al-Makârim menyebut jumlah ismiyyah yang ber- nawasikh kâna wa akhwâtuhâ dengan nama al-jumlah al-muqayyadah
bound sentence dalam literatur Nahwu klasik atau disebut al-jumlah al-mansûkhah Al-Makârim, 2007;75 dalam literatur Nahwu sekarang.
17
Nasikh Jumlah Ismiyyah
Kajian Inna dan Kaana Bahasa Arab
Barakât menggunakan istilah al- jumlah al-i’liyyah al-muchawwalah
untuk jumlah ismiyyah yang berterima verba kâna wa akhwâtuhâ Barakât, 2007;293.
Verba kâna wa akhwâtuhâ hanya bergabung dengan jumlah ismiyyah tapi tidak semua jumlah ismiyyah berterima kâna wa akhwâtuhâ melainkan
ada syarat khusus bagi mubtada` dan khabar jumlah ismiyyah. Syarat inilah yang dijelaskan Al-Makârim bahwa ada empat syarat untuk mubtada` dan
dua syarat bagi khabar untuk bisa menerima kâna wa akhwâtuhâ dan merubah kedua fungsi tersebut Al-Makârim, 2007;76-77.
Al-Ghalâyaini 2000, 272-273 menyebutkan bahwa kâna wa akhwâtuhâ berjumlah tiga belas kata, pendapat ini diamini oleh Makârim
2007, 78-79 dan Barakât 2007, 295-310. Ketiga belas kata tersebut adalah 1
َناَك kâna ada, 2 ى َسْمَأ amsâ waktu sore, 3 َحَب ْصَأ ashbacha waktu subuh, 4
ى َح ْضَأ adlchâ waktu dluha, 5 َل َظ zhalla waktu siang, 6 َ
تاَب bâta bermalam,7 َرا َص shâra menjadi, 8 َسْيَل laisa
bukantidak, 9 َ لاَز اَم mâ zâla masih, 10 ّكَفْنِا اَم mâ infakka masih,
11 َئِتَف اَم mâ fati`a masih, 12 َحِرَب اَم mâ baricha masih, dan 13 َماَداَم
mâ dâma selama. Ketiga belas kata ini berperilaku atas jumlah ismiyyah maka disebut
i’il nâqish deicient verb. Dari segi tasharruf dan jumud, kâna wa akhwâtuhâ terbagi menjadi
tiga bagian. 1 verba jâmid tidak berubah adalah َسْيَل laisa bukantidak.
2 nâqish tasharruf berubah tidak sempurna adalah mâ zâla masih, ام
ّكفنا mâ infakka masih, َئِتَف اَم mâ fati`a masih, َحِرَب اَم mâ baricha masih, dan
َماَداَم mâ dâma selama. Dan 3 tamm tasharruf berubah sempurna adalah
َناَك kâna ada, ى َسْمَأ amsâ waktu sore, َحَب ْصَأ ashbacha waktu subuh,
ى َح ْضَأ adlchâ waktu dlucha, َلظ dzalla waktu siang, تاب bâta bermalam,
راص shâra menjadi. Kaidah
ta’rif pada fungsi mubtada` dan tankîr pada fungsi khabar yang berkategori nomina tunggal isim mufrad yang dikaji secara mendalam
oleh Al-Makârim dalam jumlah ismiyyah 2007, 22-30 seolah tidak ada hubungan lagi. Keberterimaan jumlah ismiyyah pada kâna wa akhwâtuhâ
membolehkan isim kâna wa akhwâtuhâ yang semula mubtada` berkategori isim nakirah
tak deinit, keterikatan antara isim dan khabar diperankan oleh kâna wa akhwâtuhâ.
18
Talqis Nurdianto, Lc., MA
Pembahasan penting yang tidak dilewatkan oleh Al-Makârim adalah pola urutan struktur al-jumlah al-masûkhah. Pola urutan aslinya adalah
verba kâna wa akhwâtuhâ diawal jumlah kemudian isim dan terakhir adalah khabar-nya. Akan tetapi Al-Makârim 2007, 91 lebih lanjut menjelaskan
tentang pola urutan berbeda dengan kaidah asli tersebut dengan menjadikan khabar kâna wa akhwâtuhâ
sebagai objek pengklasiikasian ke dalam lima bagian ini. 1 wajib mengakhirkan khabar kâna wa akhwâtuhâ.
2 khabar kâna wa akhwâtuhâ wajib di tengah antara verba kâna wa akhwâtuhâ dan isim-nya. 3 khabar kâna wa akhwâtuhâ wajib diawal
jumlah. 4 khabar kâna wa akhwâtuhâ dilarang diawal jumlah. Dan 5 khabar kâna wa akhwâtuhâ dilarang berada diakhir jumlah.
Barakât 2007, 379-392 memunculkan analisanya pada pelesapan salah satu dari unsur
al-jumlah al-i’liyyah al-muchawwalah. Pelesapan ini tidak diperbolehkan kecuali ada dasar dalil qarînah kuat yang
menunjukkan pelesapan tersebut. Pertama adalah pelesapan verba kâna. Kedua, pelesapan kâna dan isim-nya. Ketiga, pelesapan kâna, isim dan
khabar-nya sekalian. Hal semisal dengan kâna wa akhwâtuha juga disampaikan oleh Barakât dalam pembahasan partikel inna wa akhwatuha.
Dalam pembahasan nasikh jumlah ismiyyah ini, Barakât memiliki cara yang apik dalam menjabarkan dan menjelaskan kaidah dengan contoh
bisa dikatakan banyak jumlah. Dari setiap contoh disertai dengan sumber data dan keterangan berkaitan dengan setiap titik tekan pembahasannya
serta fokus dalam menyelesaikan masalah dengan contoh yang dihadirkan. Setelah memperhatikan kandungan pembahasan buku-buku Nahwu
yang membahas nasikh jumlah ismiyyah dan sejauh pengamatan penulis, masih ada celah untuk melakukan penelitian dalam rangka menghasilkan
suatu pembahasan nasikh jumlah ismiyyah secara lebih komprehensif dan detail, terlebih dengan kaidah kongruensi jenis al-muthâbaqah an-
nau’iyyah dan kongruensi jumlah al-muthâbaqah al-‘adadiyyah dan pelesapan chadzf.
Batasan atau ruang lingkup pembahasan penelitian tesis ini pada kajian jumlah mansûkhah bahasa Arab yang terbentuk dari jumlah ismiyyah
bahasa Arab ber-nawasikh dengan verba kâna wa akhwâtuha dan partikel
19
Nasikh Jumlah Ismiyyah
Kajian Inna dan Kaana Bahasa Arab
inna wa akhwâtuha pada dataran kata yang mengisi fungsi pada jumlah mansûkhah tersebut.
Beberapa literatur yang bisa dijadikan rujukan sumber data skunder
dalam jumlah ismiyyah al-Kitab karya Sibawaih, an-Nahwu al-‘Araby 2007 – Ibrāhīm Ibrāhīm Barakāt, al-Ushūl Fi an-Nahwi tanpa tahun
– Ibnu Sarrâj, Jāmi’ ad-Durūs al-‘Arabiyah 1993 – Musthafâ Al-
Ghalâyaini, al-Lughah al-‘Arabiyah Ma’nāhā Wa Mabnāhā 1985 –
Tamām Hasān, an-Nahwu al-‘Asry Dalīl Mubsith Liqawāid al-Lughah al- ‘Arabiyah
1995 – Sulaimān Fayādh, a Grammar of the Arabic Language 1874 – William Wright, a New Arabic Grammar of the Written Language
1962 – J. A. Haywood and H. M. Nahmad, an-Nahwu al-Wāi 2008 –
‘Abbâs Hasan, an-Nahwu at-Tathbīqī 2008.