Mubtada` dan Kâna wa Akhwâtuhâ
125
Nasikh Jumlah Ismiyyah
Kajian Inna dan Kaana Bahasa Arab
Isim kâna pada contoh 4 ُرْيِقَفلا al-faqîru ‘orang fakir’ sedangkan
khabar kâna berkategori i’il amr ُهْنِواَع ‘âwinhu ‘tolonglah ia’
termasuk uslûb thalab. Contoh kalimat di atas memberikan makna thalab perintah dari
i’il amr. Perintah di sini adalah perintah untuk melakukan pekerjaan berupa pemberian pertolongan ُ
هْنِواَع ‘âwinhu ‘tolonglah ia’. Makna dari khabar berupa thalab tidak bisa menjadi
khabar-nya menempati posisi akusatif. 2. Khabar yang terletak setelah kâna wa akhwâtuhâ tidak berupa
uslûb insya`. Insya` di sini antonim khabar yang mengandung kebenaran atau kedustaan sesuai dengan realita yang terjadi.
Maksud dengan insya` adalah ungkapan yang tidak mengandung unsur salah dan benar pada peristiwa karena tidak ada dalil yang
menunjukkan hal tersebut. Di antara uslûb insyâ` seperti doa. Contoh:
5 ُ ه ُه ُظَف ْحَي ٌدِلا َخ َناَك
Kâna khâlidun yachfadzuhullaâhu Kâna
adalah :v.perf
Khalidun Khalid
:N.nom.tg,mask.S Yachfadzu
menjaga :v.imp.III.tg.mask.P
Hu ia
:N.ak.O Allâhu
Allah :N.nom.tg.mask.S
“semoga Allah menjaga Khalid’ Kata ٌ
دِلا َخ khâlidun ‘khalid’ berfungsi sebagai isim-nya dan khabar kâna berkategori
jumlah i’liyyah ُه ُه ُظَف ْحَي yachfadzuhul-lâhu ‘semoga Allah menjaganya’ termasuk uslûb insyâ` yang bermakna doa. Doa
dalam bahasa Arab adalah kalimat yang tidak mengandung kebenaran atau salah sebagaimana kabar. Oleh karenanya bertentangan dengan
tujuan verba kâna pada jumlah ismiyyah yang bermakna memberikan kabar dari sisi kebenaran atau tidaknya tergantung kepada realitasnya.
Baik mubtada` dan khabar jumlah ismiyyah harus memenuhi persyaratan di atas dalam menerima perilaku kana wa akhwatuha
dan memberikan makna peristiwa yang berkaitan dengan waktu. Oleh karena itu dalam struktur jumlah kâna wa akhwâtuhâ berlaku al-
126
Talqis Nurdianto, Lc., MA
muthâbaqah kongruensi antara mubtada` dan khabar untuk bisa menjadi isim dan khabar kâna wa akhwâtuhâ.
Dengan demikian verba kâna wa akhwâtuhâ dapat berperilaku atas mubtada` khabar dengan menjadi mubtada` sebagai isim-nya
berkasus marfû’ nominatif dan menjadikan khabar mubtada sebagai
khabar-nya berkasus manshûb akusatif seiring dengan pendapat ulama Bashrah. Akan tetapi pendapat ulama Kufah berbeda dengan
ulama Bashrah, menurut mereka bahwa isim marfû yang setelah kâna wa akhwâtuhâ yang berkasus nominatif sebenarnya tidak menerima
perilakunya, tetapi isim tersebut tetap dalam kondisi semula yang marfû’ apa adanya Barakât, 2007a: 170.
Menurut Al-Farr` dan Yahya bin Ziyad mengamini pendapat ulama Bashrah
isim marfu’ setelah verba kâna wa akhwâtuhâ dikarenakan perilakunya yang berkategori verba. Ahli linguistik dari Bashrah dan
Kufah bersepakat bahwa isim yang manshûb setelahnya verba kâna wa akhwâtuhâ berfungsi sebagai khabar-nya. Perbedaan itu muncul
kembali tentang faktor apa yang menjadikan khabar berkasus manshûb akusatif. Adapun Ulama Kufah tetap pada pendiriannya, bahwa
khabar manshûb itu kerena posisinya sebagai chal yang menjelaskan keadaan shichhibul chal pemilik keadaan. Contoh:
6 ا ًعِر ْسُم َكُتْئِج
Ji`tuka musri’an Ji`tu
datang :v.perf.I.tg.
Ka kamu
:pron.ak.O Musri’an
keadaan tergesa-gesa :N.ak.kond
“Saya datang kepadamu dalam keadaan tergesa-gesa” Kata
ا ًع ِر ْسُم musri’an ‘keadaan tergesa-gesa’ berkasus akusatif sebagai chal yang menerangkan keadaan shachibul chal berupa dlamîr
اَنَأ ana ‘saya’ pada verba َءا َج jâ`a ‘datang’.