121
Nasikh Jumlah Ismiyyah
Kajian Inna dan Kaana Bahasa Arab
-BAB III- AL-JUMLAH AL-ISMIYYAH BER-NAWÂSIKH
P
ada Bab II disebutkan bahwa jumlah ismiyyah bahasa Arab yang menerima nasikh kâna dan inna wa akhwatuha dimulai dengan
kata berkategori nomina isim. Pada Bab III menjelaskan pada kondisi apasaja jumlah ismiyyah bahasa Arab ber-nawâsikh baik berupa
verba kâna wa akhwâtuhâ atau partikel inna wa akhwatuha. Jumlah ismiyyah yang memiliki unsur utama berupa mubtada` dengan segala
bentuk kata pengisinya dan khabar dengan segala bentuknya tidak seluruhnya bisa menerima kâna wa akhwâtuhâ atau inna wa akhwatuha.
Ada syarat yang dibutuhkan kâna wa akhwâtuhâ agar bisa masuk pada struktur jumlah ismiyyah. Syarat pertama syarat berlaku atas mubtada`
dan syarat kedua berlaku atas khabar mubtada`.
A. Jumlah Ismiyyah dan Kana Wa Akhwatuha
Ada syarat yang dibutuhkan kâna wa akhwâtuhâ agar bisa masuk pada struktur jumlah ismiyyah. Syarat pertama syarat berlaku atas mubtada`
dan syarat kedua berlaku atas khabar mubtada`.
122
Talqis Nurdianto, Lc., MA
1. Mubtada` dan Kâna wa Akhwâtuhâ
Mubtada` jumlah ismiyyah dapat berfungsi sebagai isim bagi kâna wa akhwâtuhâ dengan syarat sebagai berikut Al-Makârim, 2007;76-77.
1. Tidak berkategori isim yang wajib diawal kalimat, seperti nomina kondisional isim syarth, nomina interogatif isim istifhâm, kata
kam khabariyyah, mubtada` yang bergandeng dengan churuf lam ibtidaiyyah awal kalimat, mubtada`berupa dlomir sya`n
pronoun. Contoh: 1
ِناَفْن َص ُساَنلا َناَك ُتِم اَذِإ Idzâ mittu kânna-nâsu shinfâni
idzâ ketika
:par.konj mittu
mati :v.perf.I.tg
kâna ada
:v.perf an-nâsu
manusia :N.nom.S
shinfâni dua macam
:N.nom.P “Apabila saya meninggal maka manusia terbagi menjadi dua”
Menurut Al-Kasâ`i bahwa verba kana pada contoh 1 tidak berperilaku. tidak memiliki isim dan khabar. Pendapat ini diikuti
oleh Ibn Tharaweh. Menurut mayoritas ulama Nahwu, bahwa isim kâna dilesapkan karena berupa dlomir sya`n. Adapun kata
ُساَنلا annâsu ‘manusia’ sebagai mubtada` jumlah ismiyyah berkasus
nominatif dengan charakat dlammah vocal u sebagai tandanya dan khabar-nya
ِناَفْن ِص shinfâni ‘dua macam’ berjenis isim mutsanna dual berkasus nominatif dengan tanda huruf alif mutsanna sebagaimana
disampakian oleh Ibn Hisyam 2000;72. 2. Isim kâna mubtada` tidak pada posisi kata yang wajib diawal
kalimat yang wajib dilesapkan, seperti dlamir yang disifati oleh man’ut yang dilesapkan digunakan untuk pujian al-madchu.
3. Mubtada` yang berfungsi sebagai isim kâna tidak hanya memiliki satu kasus
i’rab. contoh: 2
َنْيِرِفاَكْلِل ٌلْيَو Wailun lil-kâirîn
123
Nasikh Jumlah Ismiyyah
Kajian Inna dan Kaana Bahasa Arab
Wailun kecelakaan
:N.nom.S Li
bagi :prep
Al-kârirîn orang-orang kair
:N.gen.pl.mask.P “Kecelakaan bagi oranag-orang kair”
Kata ٌ لْيَو wailu ‘kecelakaan’ pada contoh di atas dipakai dalam
satu bentuk i’rab kasus nominatif tidak ada bentuk lain karena
perubahan i’rab pada awal kalimat merubah makna susunannya
sehingga bentuk ini sudah dikenal dan menjadi paribahasa di kalangan orang Arab yang bermakna celaan atau doa kehancuran pada orang
lain. 4. Mubtada` yang menjadi isim kâna merupakan isim yang tidak
wajib diawal kalimat dengan sendirinya, sebagaimana sebuah tarkîb susunan kata pada kalimat yang memiliki satu kesatuan
dalam memberikan sebuah makna yang tidak berubah sehingga menjadi sebuah paribahasa. Contoh:
3 اًدْيَز َاِإ َكِلَذ ُلَعْفَي ٍلُجَر ُلَقَأ
Aqallu rajulin yaf’alu dzalikan illâ zaidan Aqallu
sedikit :N.nom.S
Rajulin orang
:N.gen Yaf’alu
melakukan :v.imp.III.tg.mask
Dzalika Iitu
:N.dem Illâ
kecuali :par.exc
Zaidan Zaid
:N.ak “Hanya zaid yang bisa melakukan itu”
Menurut Barakat bahwa kalimat
اًدْيَز َاِإ َكِلَذ ُلَعْفَي ٍلُجَر ُلَقَأ aqallu
rajulin yaf’alu dzalikan illâ zaidan pada contoh 3 tidak bisa menjadi isim karena menjadi penjelas dari potongan kalimat sebelumnya yang
tidak tersebutkan. Sebagaimana kata ُ
لَقَأ aqallu ‘sangat sedikit’ tidak
bisa dibersamai verba kâna atau salah satu saudaranya karena kalimat tersebut juga bagian dari kalimat sebelumnya sehingga bergandengnya
dengan verba kâna tidak bisa memberikan makna sempurna karenanya bagian atau potongan dari kalimat lain.
124
Talqis Nurdianto, Lc., MA
5. Mubtada` yang menjadi isim kâna tidak termasuk isim yang wajib diawal kalimat lantara bergandengan kata lain. Seperti
mubtada` yang bergandeng dengan kata َ اْوَل laula alfujâiyyah
‘seandainya tidak’. Karenanya hanya bergandengan mubtada` jumlah ismiyyah.
Kelima syarat di atas menjadi syarat bagi mubtada` jumlah ismiyyah bisa menjadi isim kâna, Hal ini menunjukkan bahwa tidak
semua mubtada` boleh dan bisa menjadi isim bagi verba kâna atau salah satu saudaranya. Tuntutan verba kâna dan akhwatuha dengan
memberikan syarat bagi mubtada` menjadikan verba kâna untuk berperilaku secara maksimal serta memberikan pengaruh dan
perubahan makna yang ditimbulkan sekaligus pembeda makna jumlah ismiyyah dari sebelum dan setelah berterima kâna wa akhwâtuhâ.
2. Khabar dan Kâna wa Akhwâtuhâ
Mengingat tidak semua mubtada` bisa menjadi isim kâna wa akhwatuha kecuali dengan persyaratan di atas, maka khabar mubtada`
bisa menjadi khabar kâna wa akhwâtuhâ selama memenuhi persyaratan sebagai berikut Al-Makârim, 2007:77.
1. Khabar yang terletak setelah verba kâna wa akhwâtuhâ tidak berupa uslûb thalab permintaan. Termasuk uslûb thalab
adalah i’il amr verba imperaktif yang berarti permintaan
untuk melakukan sesuatu atau perintah untuk meninggal suatu pekerjaan
i’il nahyi. Maka khabar tidak boleh berupa uslûb thalab seperti contoh:
4 ُ هْنِواَع ُرْيِقَفلا َناَك
Kânal faqîru ‘âwinhu Kâna
adalah :v.perf
Al-faqîru orang fakir
:N.nom.S ‘âwin
tolonglah :v.impt.II.tg.mask
hu Ia
:pron.ak.O “Tolonglah orang fakir itu”