BAB VII PENGEMBANGAN KLASTER AGROINDUSTRI SUTERA ALAM
7.1. Kebijakan Pengembangan Klaster
Dalam era globalisasi dan peningkatan persaingan timbul banyak tantangan terhadap kemampuan perusahaan-perusahaan untuk menyesuaikan diri secara fleksibel
dari aspek pasar, produk, teknologi dan organisasi. Secara individual, usaha agroindustri sutera alam yang pada umumnya merupakan usaha kecil menengah
UKM seringkali tidak sanggup menangkap peluang pasar yang membutuhkan jumlah volume produksi yang besar, standar yang homogen dan penyerahan yang
teratur. Usaha ini seringkali mengalami kesulitan mencapai skala ekonomis dalam pembelian inputs seperti peralatan, dan bahan baku dan akses jasa keuangan dan
konsultasi. Jaringan bisnis dan klaster industri sudah terbukti merupakan suatu alat
means yang baik untuk mengatasi hambatan akibat ukuran usaha tersebut dan berhasil mengatasi persaingan dalam suatu lingkungan pasar yang semakin kompetitif.
Melalui jaringan bisnis, usaha kecil menengah individual dapat mengatasi masalah akibat ukuran dan memperbaiki posisi kompetitifnya. Melalui kerja-sama horizontal
misalnya bersama UKM lainnya menempati posisi yang sama dalam mata-rantai nilai value chain secara kolektif perusahaan-perusahaan dapat mencapai skala ekonomis
melampaui jangkauan perusahaan kecil individual dan dapat memperoleh input pembelian-curah bulk-purchase, mencapai skala optimal dalam penggunaan
peralatan, dan menggabung kapasitas produksi untuk memenuhi order skala besar. Kerjasama antar perusahaan juga memberi kesempatan tumbuhnya ruang
belajar secara kolektif yang terjadi pengembangan saling tukar pendapat dan saling bagi pengetahuan dalam suatu usaha kolektif untuk meningkatkan kualitas produk dan
pindah ke segmen pasar yang lebih menguntungkan. Terakhir, jaringan bisnis diantara perusahaan, penyedia jasa layanan usaha misalnya institusi pelatihan, sentra
teknologi, dan sebagainya dan perumus kebijakan lokal, dapat mendukung pembentukan suatu visi pengembangan lokal bersama dan memperkuat tindakan
kolektif untuk meningkatkan daya-saing UKM UNIDO, 1999.
Menurut Raines 2002 cara pemerintah melakukan intervensi pada kebijakan pengembangan klaster antara lain :
1. Tindakan yang difokuskan pada keterkaitan spesifik yang dapat meningkatkan jejaring antara anggota klaster, antara satu pelaku dengan pelaku usaha lain atau
antara pelaku usaha dengan lembaga penelitian. Keterkaitan antara pelaku usaha sangat penting terutama dengan para pemasok dalam rangka mencapai skala
ekonomi atau terjadinya alih pengalaman, keterampilan dan teknologi. Keterkaitan antara pelaku usaha dengan lembaga penelitian dapat meningkatkan komersialisasi
dan kemampuan riset. 2. Aktivitas untuk meningkatkan common resources dalam rangka peningkatan daya
saing seperti: penyediaan informasi pasar dan informasi bisnis, peningkatan sumber daya manusia, serta peningkatan infrastruktur umum dan khusus.
3. Tindakan untuk meningkatkan community building, yang bertujuan untuk mengupayakan agar anggota klaster berpikir dan bertindak untuk menciptakan
identitas klaster tersebut. Selanjutnya Raines 2002 berpendapat bahwa identitas klaster dapat dibangun
melalui dukungan terhadap pembentukan asosiasi diantara para pelaku usaha klaster, mendorong hubungan yang lebih sering diantara para anggota, meningkatkan
pemahaman anggota dan meningkatkan sense of belongings para anggota. Identitas yang terbentuk dapat memberikan image tertentu yang bermanfaat untuk kegiatan
pemasaran dan menarik investasi ke dalam klaster. Identitas klaster tersebut dapat diciptakan melalui kegiatan antara lain : a Melaksanakan pertemuan reguler para
anggota klaster untuk membahas masalah, mencari solusi dan menumbuhkan perasaan kebersamaan, b Menjalin komunikasi secara terus menerus untuk meningkatkan
kepercayaan sesama anggota klaster, c Branding digunakan untuk menghimpun potensi berbagai bagian dari klaster.
Pemerintah dalam hal ini Departemen Perindustrian mengimplementasikan Rencana Pembangunan Jangka Menengah RPJM 2005-2009 yang mengarahkan
pengembangan 10 sepuluh industri prioritas melalui pendekatan klaster. Salah satu industri prioritas yang perlu dikembangkan adalah industri tekstil produk tekstil TPT
dimana sutera alam termasuk dalam subsektor industri tersebut. Dengan demikian
pengembangan agroindustri sutera alam juga harus mengikuti arahan dimaksud. Dalam rangka menentukan industri yang prospektif untuk dikembangkan di
masa depan telah dilakukan pengukuran daya saing. Pengukuran dilakukan terhadap faktor-faktor yang mempengaruhi daya saing internasional industri Indonesia.
Indikator yang digunakan untuk melihat faktor yang mempengaruhi daya saing internasional terdiri atas 15 parameter dari sisi penawaran supply side dan 8
parameter dari sisi permintaan demand side. Adapun ke-23 parameter tersebut adalah sebagai berikut : 1 Modal Dasar, 2 Ukuran Perusahaan, 3 Struktur
Kepemilikan, 4 Spesialisasi, 5 Penganekaragaman, 6 Keluaran, 7 Nilai Tambah, 8 Biaya Tenaga Kerja, 99 Asset Tetap, 10 Produktivitas, 11 Cakupan Ekspor,
12 Ketrgantungan Impor, 13 FDI dan Cakupan Ekspor, 14 Faktor Intensitas, 15 Teknologi, 16 Nilai Ekspor, 17 Pangsa Pasar di Dunia, 18 Impor, 19 Intra
Industry Trade, 20 Keunggulan Komparatif RCA, 21 Dinamisme Ekspor, 22 Struktur Pasar Impor Dunia, 23 Struktur Persaingan Dunia Depperin, 2006a.
Hasil analisis pengukuran daya saing terhadap industri yang sudah berkembang di Indonesia tersebut dibagi ke dalam dua kelompok berdasarkan
orientasi pasarnya, yaitu Kelompok Industri Potensi Ekspor dan Kelompok Industri Potensi Pasar Dalam Negeri. Selanjutnya edua kelompok tersebut dibedakan kembali
atas 4 empat kategori, sebagai berikut: 1. Industri Padat Sumber Daya Alam, meliputi industri-industri yang banyak
menggunakan sumber daya alam sebagai bahan baku. Industri ini mempunyai potensi yang kuat dari sisi internal supply, dan untuk pengembangan produk ini
sudah dapat didukung oleh litbang dalam negeri. 2. Industri Padat Tenaga Kerja, meliputi industri-industri yang banyak menggunakan
tenaga kerja. Untuk dapat mengembangkan produk ini diperlukan usaha meningkatkan keterampilan dan produktivitas tenaga kerja, baik melalui
pendidikan dan pelatihan maupun penerapan teknologi. 3. Industri Padat Modal, meliputi industri-industri yang banyak menggunakan modal.
Dalam pengembangan produk ini diperlukan usaha meningkatkan penanaman modal asing. Pada umumnya untuk mengembangkan produk ini sangat tergantung
pada faktor eksternal.
4. Industri Padat Teknologi, meliputi industri-industri yang mengandalkan teknologi sebagai faktor keunggulan untuk bersaing. Untuk mengembangkan produk ini
diperlukan usaha meningkatkan penguasaan teknologi, baik melalui alih teknologi antara lain melalui teknologi yang menyatu pada barang modal yang diimpor, dan
lain-lain maupun melalui libang teknologi oleh bangsa Indonesia sendiri Depperin 2006a.
Kriteria pemilihan industri inti Core Industry potensial ekspor untuk setiap sub sektor industri dalam masing-masing kelompok adalah sebagai berikut:
• Industri padat sumber daya alam: nilai ekspor, kandungan lokal, orientasi pasar, dan nilai produksi
• Industri padat tenaga kerja: nilai ekspor, penyerapan tenaga kerja, nilai tambah per tenaga kerja, orientasi pasar, clan nilai produksi
• Industri padat modal: total investasi, ICOR, nilai tambah, orientasi pasar, dan nilai produksi
• Industri padat teknologi: nilai ekspor, kandungan impor, nilai tambah, nilai
produksi, orientasi pasar, biaya litbang, dan pelatihan tenaga kerja.
Kriteria pemilihan industri potensi dalam negeri untuk setiap sub sektor industri dalam masing-masing kelompok sama dengan potensi ekspor, tetapi kriteria
nilai ekspornya diganti dengan prosentase output yang dijual ke pasar dalam negeri. Industri potensi ekspor menunjukkan bahwa industri tersebut telah dapat
memenuhi kebutuhan pasar dalam negeri, sehingga produksinya diekspor karena tingginya permintaan pasar dunia. Sedangkan pada industri potensi pasar dalam negeri
menunjukkan bahwa industrinya saat ini masih berorientasi untuk memenuhi permintaan pasar dalam negeri, dan diharapkan pada masa mendatang mampu bersaing
di pasar dunia Depperin 2006a. Uraian di atas menjelaskan bahwa Departemen Perindustrian mengembangkan
klaster industri dengan menetapkan industri inti melalui beberapa kriteria, sedangkan untuk pengembangan klaster IKM hanya batu mulia dan perhiasan yang dijadikan
industri inti. Pemilihannya dilakukan karena industri tersebut mempunyai ciri produksi berupa kerajinan dan barang seni atau produk-produk yang berhubungan dengan
industri pariwisata .
Pengembangan klaster industri yang dilakukan tidak membatasi wilayah geografis, sebagai contoh klaster rotan dengan industri intinya berada di Cirebon
sedangkan pasokan bahan baku berasal dari Sulawesi Tengah dan Kalimantan Tengah serta pemasarannya tidak hanya untuk lokal tetapi juga untuk ekspor. Pengembangan
klaster di Departemen Perindustrian tidak bertentangan dengan pengembangan agroindustri sutera alam yang dilakukan dalam penelitian ini.
7.2. Pengembangan Klaster Agroindustri Sutera Alam