Konsep Klaster TINJAUAN PUSTAKA

ketinggian 400-800 meter di atas permukaan laut untuk menghasilkan murbei dan kokon yang baik. 2. Produk sutera memiliki nilai ekonomi tinggi dan banyak digemari masyarakat tidak hanya di dalam negeri, tetapi juga di luar negeri. 3. Usaha persuteraan alam dapat dikelola masyarakat pedesaan secara luas, dapat meningkatkan pendapatan masyarakat secara cepat untuk segera mengurangi masalah kemiskinan dan dapat mengembangkan ekonomi kerakyatan. 4. Permintaan pasar produk sutera baik oleh pasar domestik maupun ekspor dari tahun ke tahun cenderung meningkat seperti raw silk, yarn silk dan grey fabrics. Perkembangan kebutuhan benang sutera dunia meningkat dari tahun 2002 sebesar 92.742 ton dan pada tahun 2005 mencapai 118.000 ton atau meningkat 27,3 . Sedangkan Indonesia hanya mampu menghasilkan benang sutera rata-rata 78 ton per tahun. Demikian pula dengan barang-barang jadi sutera seperti finishing silk fabrics dyed maupun printed, ready made garment, made up goods dan bahan-bahan untuk interior dan dekorasi pasarannya cukup baik untuk tujuan pasar dalam negeri dan ekspor. Indonesia memiliki peluang besar untuk mengembangkan persuteraan alam, baik untuk memenuhi kebutuhan pasar domestik, maupun untuk memenuhi pasar global. Diharapkan dalam waktu tidak terlalu lama usaha persuteraan alam dapat memberikan kontribusi yang berarti dalam perekonomian nasional. Hal ini akan segera terwujud apabila pengembangan persuteraan alam nasional dikelola dengan cermat dan konsepsional oleh instansi pembina dan para stakeholders.

2.8. Konsep Klaster

Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2005-2009 mengamanatkan bahwa lima tahun ke depan fokus pengembangan industri diarahkan kepada pengembangan 10 klaster industri antara lain kelompok industri tekstil produk tekstil. Definisi mengenai klaster antara lain sebagai berikut : 1. Depperin 2006e, mendefinisikan klaster sebagai kelompok yang secara geografis berdekatan, yang terdiri dari perusahaan-perusahaan dan institusi- institusi terkait dalam bidang tertentu, yang dihubungkan dengan adanya kebersamaan commonalities dan sifat saling melengkapi complementaries satu sama lain. 2. Porter 1998a, menyatakan bahwa klaster adalah suatu kelompok perusahaan yang saling terkait satu dengan lainnya interconnected memiliki asosiasi kelembagaan dalam satu bidang tertentu yang saling melengkapi, kompetitif dan kooperatif. 3. Morosini 2003 menyatakan “An industrial cluster is a socioeconomic entity characterized by a social community of people and a population of economic agents localized in close proximity in a specific geographic region. Within an industrial cluster, a significant part of both the social community and the economics agents work together in economically link activities, sharing and nurturing a common stock of product, technology and organizational knowledge in order to generate superior products and services in the marketplace.” 4. Doeringer dan Terkla 1995 memberi definisi sebagai “Geographical concentration of industries that gain performance advantages through co- location”. 5. Definisi yang digunakan oleh UNIDO OECD 1999 adalah: “The term cluster is used to indicate a sectoral and geographical concentration of enterprises which, first, give rise to external economics such as the emergence of specialized suppliers of raw materials and component or the growth of a pool of sector specific skills and, second, favours the rise of specialized services create a conducive ground for the development of a network of public and private local institutions which support local economic development by promoting collective learning and innovation through implicit and explicit co-ordination”. 6. Cooke 2001 mendefinisikan klaster dengan: “Geographically proximate firms in vertical and horizontal relationships, involving a localized enterprise, support infrastructure, with a shared developmental vision for business growth, based on competition and co-operation in a specific market field”. 7. Bregman and Feser 2000 mendefinisikan “An industry cluster is a group of business enterprises and non business organization industry associations, technical and community colleges with specialized industry programs, network brokers, and the like for whom membership within the group is an important element of each member firm’s individual competitiveness”. Binding the cluster together are “buyer-supplier relationships, or common technologies, common buyers or distribution channel, or common labor pools”. 8. Ketels 2004 dalam Sa’id dan Rahayu 2006, menyatakan bahwa klaster merupakan suatu terminologi yang digunakan untuk menggambarkan suatu kelompok perusahaan, universitas dan lembaga-lembaga lainnya, misalnya dalam bidang produksi otomotif, pengolahan pangan atau turisme, yang secara geografik berada dalam lokasi yang berdekatan. Karena lokasinya yang berdekatan satu sama lainnya tersebut, maka perusahaan-perusahaan di atas dapat mengambil manfaat dari peningkatan perekonomian daerah, yang memungkinkan mereka menciptakan nilai tambah bagi para pelanggan bisnisnya. Knorringa dan Meyer 1998 menyatakan bahwa klaster industri yang terdapat di negara-negara berkembang pada umumnya adalah klaster yang masih pada tahapan embrio dengan skala yang masih sangat kecil dan hanya memproduksi barang-barang konsumsi yang berkualitas rendah. Klaster ini hanya melakukan spesialisasi horizontal dan belum melakukan pembagian pekerjaan sebagaimana yang terdapat dalam suatu rantai nilai value-chain. Manfaat aglomerasi yang diperoleh baru berupa kemudahan untuk dapat bertemu dengan calon pembeli dan terdapatnya pool dari tenaga kerja. Klaster demikian ini disebut sebagai survival cluster. Klaster jenis ini sebagian besar bersifat stagnan, sehingga akan tetap hanya berupa aglomerasi dari sekumpulan perusahaan yang kurang mendapatkan manfaat dari terbentuknya klaster. Meskipun di negara-negara berkembang pembangunan industri melalui pendekatan klaster belum terlalu maju, namun beberapa pengalaman di berbagai negara memperlihatkan bahwa wilayah-wilayah dimana terdapat klaster-klaster industri telah mengalami pertumbuhan ekonomi yang mengesankan. Penelitian Porter 1998a memperlihatkan bahwa sejumlah kecil klaster industri biasanya merupakan kontributor terbesar dari kegiatan ekonomi di suatu wilayah geografis dan juga merupakan pemberi kontribusi terbesar untuk kegiatan ekspor ke luar daerahnya. Dalam penelitian ini definisi yang dipakai adalah yang digunakan oleh Depperin 2006e meskipun pelaku tidak terkonsentrasi semua secara geografis. Bila melihat definisi klaster industri yang telah diuraikan di atas, maka klaster industri dapat menciptakan suatu competitive advantages dilihat dari beberapa terminologi kunci Depperin, 2006e, yaitu: 1. Klaster industri melibatkan perusahaan-perusahaan yang saling berhubungan dan terkait dengan supplier yang terspesialisasi, service providers, dan lain- lain. Klaster industri merupakan associated institutions 2. Keterlibatan dan partisipasi dari universitas, asosiasi, dan LSM diperlukan untuk melakukan penelitian, pelatihan tenaga kerja dan konsultasi untuk pemantapan klaster. 3. Klaster industri memiliki konsentrasi geografi untuk memudahkan pengembangan dan akses antar pelaku yang terlibat dalam klaster. 4. Klaster dan komponen-komponen lainnya yang berasosiasi dan terkonsentrasi dalam wilayah geografis memungkinkan terjadinya interaksi dan efisiensi yang dapat dikembangkan antara perusahaan yang berhubungan dan juga menyediakan akses pada tenaga kerja yang lebih terspesialisasi. Perusahaan dalam klaster berkompetisi tetapi juga berkooperasi. Secara individual, perusahaan-perusahaan yang terlibat dalam klaster industri berkompetisi satu dengan yang lain tetapi juga menunjukkan suatu kerjasama. Karena tanpa kooperasi, suatu wilayah tidak memiliki klaster industri. Semua komponen dalam klaster berperan secara sinergi sepanjang mata rantai nilai. Setiap perusahaan secara inheren merupakan bagian dari klaster, oleh karena keunggulan kompetitif tidak hanya ditentukan oleh satu perusahaan sendiri. Peningkatan efisiensi pada tingkat perusahaan sangat penting, tetapi dalam persaingan global hal tersebut tidaklah cukup. Menurut Depperin 2006e, pengembangan klaster industri meliputi perencanaan bisnis dari sekumpulan industri industri inti ditunjang industri terkait dan industri pendukung yang diintegrasikan sepanjang rantai nilai dan didukung oleh adanya kelembagaan. Ada lima elemen kunci dari suatu klaster yaitu 1 Pengelompokan clustering, 2 Adanya mata rantai nilai, 3 Memiliki industri inti, 4 Memiliki keterkaitan baik secara vertikal maupun secara horizontal, dan 5 Adanya kelembagaan. Menurut Anderson 2004, klaster saat ini merupakan alat yang sangat penting untuk meningkatkan industri, menciptakan temuan-temuan baru, meningkatkan daya saing dan pertumbuhan industri. Disamping upaya-upaya yang telah dilakukan oleh sektor swasta dalam pengembangan klaster peran dari pelaku-pelaku lainnya juga cukup penting misalnya pemerintah dan instansi-instansi terkait lainnya baik regional maupun nasional. Konsep klaster seharusnya diarahkan dan digunakan berdasarkan kompetensi bagaimana mengatur dan mensosialisasikannya tapi bukan menetapkan untuk distandarkan. Ada tujuh elemen yang perlu diidentifikasi dalam pengembangan klaster yaitu : 1 konsentrasi geografis, 2 industri inti dan menetapkan spesialisasi dari klaster, 3 pelaku-pelaku, 4 keterkaitan linkages, 5 critical mass 6 cluster life cycle, 7 inovasi. Namun demikian tidak harus semua elemen tersebut terpenuhi untuk setiap klaster spesifik. Kekuatan daripada klaster terletak pada konsep keterkaitan klaster itu sendiri dengan persepsi-persepsi yang menguntungkan. Klaster industri merupakan bentukan organisasi industri yang paling sesuai guna menjawab tantangan globalisasi, tuntutan desentralisasi, dan sekaligus mendorong terbentuknya jaringan kegiatan produksi dan distribusi serta pengembangan pengusaha kecil, menengah dan koperasi untuk meningkatkan keunggulan kompetitifnya. Tambunan 2001, menyatakan bahwa dalam menyusun strategi pengembangan, harus dapat 1 menciptakan keterkaitan produksi antar sektor pertanian dengan sektor agroindustri dan keterkaitan antar unit produksi di dalam satu industri secara kuat; 2 pengembangan spesialisasi berdasarkan faktor keunggulan komparatif dan kompetitif dan 3 pendalaman struktur industri diversifikasi. Lebih lanjut dinyatakan bahwa untuk mencapai pengembangan industri tersebut, klaster industri merupakan salah satu strategi pengembangan yang tepat. Porter 1998a menjelaskan bahwa konsep klaster menunjukkan pola berpikir tentang ekonomi nasional dan menggambarkan peran baru bagi perusahaan, pemerintah dan institusi lainnya dalam upaya peningkatan daya saing. Selanjutnya, menurut Porter 1994, keterkaitan adalah hubungan antar suatu aktivitas dengan aktivitas lain. Keunggulan bersaing adalah pelaksanaan suatu aktivitas secara lebih murah atau lebih baik dari pesaing. Keterkaitan dapat menghasilkan keunggulan bersaing melalui optimalisasi dan koordinasi. Keterkaitan sering mencerminkan trade off antar aktivitas untuk mencapai keseluruhan tujuan. Sebagai contoh, spesifikasi bahan baku yang lebih berkualitas akan memunculkan harga pembelian yang lebih mahal, akan tetapi akan menurunkan biaya produksi dan meningkatkan kualitas produk yang dihasilkan, keterkaitan tersebut perlu dioptimalkan. Keterkaitan mungkin pula mencerminkan kebutuhan untuk koordinasi antar aktivitas. Secara garis besar dapat dijelaskan bahwa pengembangan industri dengan pendekatan klaster banyak memiliki keunggulan antara lain : a. Meningkatkan daya saing dan meningkatkan nilai tambah para anggota klaster, juga akan menumbuhkan inovasi yang berkelanjutan bagi setiap anggota klaster dan memiliki posisi tawar menawar yang kuat. Inovasi akan muncul karena pada dasarnya konsep klaster memberikan peluang yang besar bagi para anggota untuk melaksananakan proses pembelajaran. Perusahaan tertentu akan belajar pada perusahaan lainnya yang memiliki keunggulan atau kemajuan, sebaliknya perusahaan yang unggul perlu terus memacu keunggulan yang telah dimiliki agar memiliki daya saing yang berkelanjutan. Begitu pula, dalam konteks yang lebih luas bahwa klaster industri juga dapat belajar pada klaster industri lainnya yang lebih maju baik yang ada di dalam negeri maupun yang ada di luar negeri. b. Karena banyak perusahaan dalam klaster memerlukan tenaga dengan keterampilan yang sama, maka akan terjadi perpindahan tenaga kerja antar perusahaan dalam klaster yang berakibat terjadinya transfer pengetahuan kepada perusahaan yang menerima tenaga kerja tersebut. Hal ini akan meningkatkan persaingan, yang pada gilirannya akan meningkatkan pertumbuhan. Pertumbuhan ini dapat memperdalam integrasi vertikal ataupun integrasi horizontal dari klaster tersebut. c. Doeringer dan Terkla 1995 menjelaskan bahwa manfaat yang diperoleh dari aglomerasi sangat berperan dalam perkembangan klaster. Perusahaan yang berlokasi saling berdekatan, akan mendapat manfaat berupa biaya transportasi dan biaya transaksi yang lebih rendah serta mendapatkan akses yang lebih mudah untuk memperoleh tenaga kerja yang diperlukan. Aglomerasi juga akan mendorong persaingan melalui transfer dari informasi serta pengetahuan dan teknologi di antara perusahaan yang saling terkait. Transfer pengetahuan dan teknologi ini dapat memunculkan industri baru yang menyebabkan klaster menjadi lebih besar dan tumbuh. Selain itu munculnya kerjasama sesama anggota dalam klaster antara lain disebabkan oleh karena : ”common customers, common suppliers and service providers, common infrastructures, common pool of human talent, common educational, common universities, research center and technology institute, and common risk capital markets.” Morosini, 2003. d. Porter 1990 menyampaikan argumentasinya, bahwa adanya persaingan merupakan kekuatan yang mendorong perkembangan klaster. Pembentukan klaster clustering merupakan suatu proses yang dinamis, yang pertumbuhan satu perusahaan yang memiliki daya saing pada klaster tersebut akan membangkitkan kebutuhan akan adanya industri terkait lainnya pada klaster dimaksud. Dengan berkembangnya klaster, akan terjadi sistem yang saling memperkuat dimana manfaatnya akan mengalir ke depan dan ke belakang pada seluruh industri yang terdapat dalam klaster. Porter 1990 berpendapat bahwa persaingan antara perusahaan dalam klaster akan mendorong pertumbuhan karena persaingan akan memaksa perusahaan dalam klaster untuk lebih inovatif dan didorong untuk melakukan perbaikan serta menciptakan teknologi baru. Keadaan ini dapat mendorong terjadinya spin off, menstimulasi kegiatan penelitian dan pengembangan dan mendorong diterapkannya keterampilan dan jenis pelayanan yang baru. e. Cheney 2002 menguraikan manfaat yang diperoleh dari klaster sebagai berikut: 1 Iklim persaingan antar perusahan dalam klaster memacu dan memaksa perusahaan ke arah diversifikasi produk dan penciptaan-penciptaan produk baru baik di dalam klaster tersebut maupun klaster-klaster lainnya. Persaingan perlu tetap berlangsung karena apabila perusahaan berhenti bersaing, maka industri tersebut akan stagnan. 2 Munculnya pendatang baru dalam klaster memungkinkan terjadinya peningkatan diversifikasi dan inovasi melalui penelitian dan pengembangan serta memperkenalkan strategi dan keterampilan baru. 3 Aliran informasi secara cepat, bebas dan menyebar kepada para pemasok, dan melalui supply chain kepada para pelanggan. Faktor paling penting yang diperoleh melalui klaster adalah informasi, dan hasil dari berbagai informasi sesama anggota klaster adalah pengurangan biaya, differensiasi, kemajuan teknologi dan ruang gerak yang lebih baik dalam rantai nilai. 4 Cara-cara baru untuk bersaing dan kesempatan baru untuk diverifikasi, baik melalui penghematan biaya, penurunan harga maupun melalui operasi yang lebih efektif dapat diperoleh dari interkoneksi di dalam klaster. 5 Klaster akan mendorong pertumbuhan dan berperan dalam menimbulkan dorongan untuk diferensiasi dan membantu mengatasi sikap yang hanya fokus ke dalam, tidak fleksibel dan sikap cepat puas dengan apa yang telah dicapai, yang merupakan ciri-ciri perusahaan yang sudah mendekati akhir kurva pertumbuhannya maturing industries. f. Menurut Mitsui 2003, pada awalnya dianggap bahwa ekonomi regional hanya tergantung kepada sumber daya alam, lokasi, dan biaya murah. Namun banyak daerah yang perekonomiannya meningkat meskipun mempunyai kekurangan dalam hal tersebut di atas traditional comparative advantage misalnya Silicon Valley yang berhasil karena penemuan-penemuan baru di bidang teknologi informasi dan Jepang negara yang sangat kekurangan sumber daya alam berhasil mengembangkan industri dengan kemampuan kelas dunia. Keberhasilan ekonomi seperti ini digerakkan oleh klaster industri. Namun demikian pengembangan industri melalui pendekatan klaster mempunyai beberapa kelemahan. Morosini 2003 melihat bahwa kedekatan geografis usaha yang ada dalam klaster dapat menimbulkan terjadinya pembajakan tenaga kerja terlatih antar perusahaan, meningkatkan persaingan meskipun di lain pihak kompetisi dapat menciptakan inovasi dan perpindahan dapat menciptakan transfer teknologi bagi usaha lainnya, penjiplakan teknologi maupun produk yang cepat, dan lain-lain. Tidak semua perusahaan memiliki budaya untuk menjalankan proses pembelajaran sehingga diperlukan adanya agenda perubahan yang fundamental bagi setiap perusahaan yang akan menjalankan strategi klaster. Menurut Prahalad 1994 terdapat tiga agenda perubahan yang perlu dilakukan oleh perusahaan apabila ingin mengubah paradigma yaitu agenda intelektual, behaviour dan manajemen. Rosenfeld 1995 mengkhawatirkan kebijakan pengembangan industri melalui pendekatan klaster dapat menyebabkan over-specialization dalam suatu ekonomi. Seluruh ekonomi di wilayah tersebut dapat terganggu apabila kebijakan tersebut gagal dilaksanakan. Disamping itu, klaster industri lebih sesuai untuk perusahaan- perusahaan yang kecil, terutama karena suksesnya suatu klaster tergantung sikap saling percaya dan kerjasama yang baik antar anggota klaster. Padahal dalam kenyataannya, perusahaan-perusahaan multi nasional banyak mendominasi ekonomi saat ini dan perusahaan besar cenderung akan meremehkan rasa saling percaya yang diperlukan untuk suksesnya suatu klaster. Selanjutnya, klaster industri hanya sesuai untuk daerah urban karena daerah pedalaman tidak memiliki skala yang diperlukan untuk berkembangnya suatu klaster. Kemajuan telekomunikasi tidak lagi memerlukan spatial clustering. Karena itu perusahaan tidak memperoleh keunggulan kompetitif dari kedekatan geografis. Glasmeier dan Harrison 1997 menyatakan bahwa pengembangan klaster hanya sesuai untuk suatu daerah dimana sudah ada basis ekonomi yang beragam yang mampu mendukung pasar yang baru dan diversifikasi. Kritik selanjutnya adalah bahwa klaster industri hanya dapat menjawab perubahan permintaan pasar dan perubahan teknologi secara lambat dan incremental. Untuk perubahan-perubahan yang besar dan cepat, klaster cenderung akan menolaknya karena hal itu dapat berakibat perubahan drastis dari proses terdahulu yang telah pernah membawa sukses. Melalui penelitiannya di Amerika Latin, Altenburg dan Meyer 1999 membuktikan bahwa terdapat beberapa bentuk klaster di negara berkembang antara lain : a. Survival cluster merupakan bentuk klaster yang terbanyak, terdiri dari perusahaan berskala usaha mikro dan usaha kecil. Klaster ini memproduksi barang-barang konsumsi dengan kualitas yang rendah dan pasarnya hanya sebatas lokal. Pada umumnya barrier to entry-nya rendah, produktivitas dan upah pada perusahaan dalam klaster tersebut juga masih rendah. b. Klaster maju yang melakukan produksi massal dan menghasilkan berbagai jenis barang seperti barang substitusi impor, tetapi pasarnya juga sebagian besar masih untuk pasar lokal dan belum banyak melakukan ekspor. Perusahaan yang terlibat dalam klaster ini terdiri dari berbagai skala mulai dari yang kecil sampai perusahaan yang berskala besar. c. Klaster trans-nasional dimana perusahaan yang terlibat di dalamnya merupakan perusahaan yang bergerak dalam bidang produksi barang yang mengandung muatan teknologi yang tinggi, seperti elektronika dan kendaraan bermotor. Jumlah klaster seperti ini belum begitu banyak dan didominasi oleh cabang dari perusahaan multi-nasional, yang melayani baik pasar dalam negeri maupun pasar internasional. Dalam mengidentifikasi klaster, Porter 1998 merekomendasikan beberapa langkah yang dimulai dari suatu perusahaan yang besar atau suatu konsentrasi dari perusahaan-perusahaan serupa seperti sentra industri kecil menengah kemudian melihat keterkaitan ke depan upstream dan keterkaitan ke belakang downstream dalam rantai vertikal vertical chain perusahaan dan institusi. Langkah selanjutnya adalah melihat hubungan horisontal untuk mengidentifikasikan industri yang juga melalui saluran pemasaran bersama common channels atau yang memproduksi produk-produk yang bersifat melengkapi complementary products. Hubungan antara industri utama atau industri inti dengan semua industri vertikal merupakan pengembangan konsep sistem nilai value system yang dikembangkan oleh Porter 1994 dalam buku Competitive Advantage. Hubungan ini ditampilkan dalam Gambar 9. Kotler et al. 1997 menjabarkan rantai nilai vertikal dan horisontal tersebut secara lebih rinci. Rantai vertikal vertical chain adalah bidang-bidang yang merupakan input ataupun output dari industri tersebut. Ada dua macam rantai vertikal: rantai ke depan dan rantai ke belakang. Dari sudut pandang industri utama atau industri inti, semua industri yang terkait secara vertikal disebut “industri Rantai nilai pemasok Rantai nilai peru- sahaan Rantai nilai jalur distribusi Rantai nilai pembeli Gambar 9. Sistem Nilai Porter, 1994 pendukung”: a. Rantai ke depan upstream chain, adalah industri-industri hilir yang menjadi pelanggan industri utama. Contohnya, industri peralatan kendaraan bermotor, industri permesinan, industri konstruksi, dan sebagainya b. Rantai ke belakang downstream chain, adalah industri-industri hulu yang merupakan pemasok industri utama. Contohnya, industri batu bara, batu gamping dan biji besi. Rantai horisontal horizontal chain adalah industri lain yang bersifat saling melengkapi dalam teknologi danatau pemasaran. Semua industri yang terlibat dalam rantai horisontal disebut “industri terkait” Kotler et al. 1997. Salah satu determinan utama daya saing klaster tersebut adalah hadirnya industri-industri terkait dan pendukung dalam suatu klaster. Keberhasilan inovasi dalam suatu klaster sangat tergantung pada kontak pemakai dengan pemasokpenghasil yang dekat dan terus-menerus Kotler, et.al 1997. Berhubung banyak pihak-pihak terkait yang mempunyai berbagai kepentingan dalam pengembangan klaster maka perlu diperhatikan faktor-faktor penting terkait untuk membangun klaster tersebut. Morosini 2003 mengidentifikasi 5 faktor penting yang diperlukan untuk membangun suatu klaster yaitu : 1. Adanya Leadership. Klaster industri akan terbentuk dan berkembang dengan baik jika dipimpin oleh group atau individu yang mempunyai keahlian atau kemampuan dalam meningkatkan kerjasama, dapat membagi ilmu pengetahuan yang dimilikinya, mampu mengatasi permasalahanperselisihan yang terjadi dalam klaster sehingga dapat memenuhi keinginan semua anggota 2. Membangun Kerjasama. Klaster akan berjalan dengan baik jika para anggotanya telah mengetahui secara jelas tugas dan tanggung jawabnya sesuai aturan dan fungsi-fungsi organisasi, mengerti budaya dan lingkungan spesifik perusahaan. Membangun ikatan sosial budaya yang kuat antara pelaku-pelaku yang terlibat dalam klaster sehingga mampu menciptakan kerjasama aktif dan saling mempercayai, kesamaan bahasa meliputi kesamaan dalam terminologi teknologi dan business, kesamaan dalam budaya dan iklim industri, kesamaan dalam philosofi dan pendekatan dalam pengembangan kemampuan sumberdaya manusia, kesamaan dalam pengertian persaingan dalam business, dan kesamaan pengertian dalam pendekatan pengukuran kinerja perusahaan. 3. Pentingnya komunikasi yang intensif. Di dalam pengembangan klaster industri harus ada kesempatan-kesempatan berkomunikasi, saling berinteraksi secara reguler dan terus menerus yang akan meningkatkan kebersamaan sesama anggota klaster. Interaksi dan komunikasi dalam mendukung pengembangan kesamaan identitas dalam klaster industri termasuk komunikasi dengan asosiasi industri serta instansi-instansi terkait lainnya. 4. Berbagi ilmu dan pengetahuan tentang teknologi maupun ilmu bisnis lainnya antar sesama anggota sehingga dapat meningkatkan dan mengembangkan usaha para anggota klaster. 5. Di dalam perkembangan klaster-klaster industri yang sudah maju dan berdaya saing tinggi kemungkinan besar terjadi perpindahan sumber daya manusia yang mempunyai keterampilan maupun kemampuan khusus di lingkup usahanya ke usaha lainnya. Perpindahan tenaga-tenaga profesional tersebut antar klaster industri dapat meningkatkan kinerja klaster lainnya. Selain itu perpindahan tersebut dapat juga mempunyai kontribusi dalam pengembangan pengetahuan dan teknologi baru antar perusahaan. Brenner 2004 menyampaikan tiga faktor yang mempengaruhi keberhasilan suatu daerah dalam menumbuhkan klaster yang berlokasi di daerah tersebut. Pertama, terdapatnya kondisi lokal tertentu, karena tanpa terdapatnya kondisi tersebut maka tidak akan ada klaster yang dapat tumbuh di daerah tersebut. Kondisi yang dimaksud adalah: 1 Terdapatnya suatu perguruan tinggi, 2 Terdapatnya lembaga penelitian, dan 3 Terdapatnya sumber daya dan lokasi yang secara geografis sesuai. Kedua, terdapatnya faktor-faktor yang memberi daya tarik sehingga dapat diharapkan tumbuhnya klaster di daerah tersebut, seperti: 1 Faktor budaya kewirausahaan dan kemampuan berinovasi, 2 Kondisi politik dan hukum, 3 Lokasi geografis, 4 Tipe daerah kota atau rural, 5 Perguruan tinggi dan lembaga penelitian, 6 Kegiatan ekonomi di bidang terkait. Ketiga, terdapat perkembangan yang tidak dapat diramalkan sejak awal, dan hanya dapat diketahui setelah terjadi, seperti: 1 : Terdapatnya promotor lokal, 2 Adanya kebijakan khusus, 3 Kejadian historis tertentu, 4 Munculnya inovasi, 5 Dibangunnya suatu perusahaan yang sangat mempengaruhi perkembangan. Depperin 2006e, menunjukkan bahwa dari hasil penelitian terdapat beberapa hal yang menentukan keberhasilan suatu klaster yaitu : a. Keberadaan jejaring dan kemitraan. Salah satu keuntungan yang diperoleh melalui network atau jaringan adalah kesempatan untuk memperoleh ilmu pengetahuan dan informasi baik secara formal maupun informal. Akses pada ilmu pengetahuan dan informasi dapat mendukung pembelajaran kolektif serta dapat meningkatkan kinerja yang lebih kompetitif. Selain itu, bagi perusahaan kecil yang ada dalam klaster, kunci keberhasilan pengembangannya terdapat pada kemampuan dalam melakukan kerjasama dan kolaborasi dengan jejaring yang formal dan nonformal. Keberhasilan klaster dapat ditentukan oleh sistem jaringan dan hubungan yang dimiliki. Semakin baik hubungan antar anggota klaster semakin meningkatkan kepercayaan sesama anggota. Dengan adanya peningkatan kepercayaan dan hubungan interpersonal akan melahirkan klaster klaster yang memiliki modal sosial yang kuat. Mengembangkan hubungan di atas membutuhkan waktu. Pembentukan jaringan dapat dilakukan melalui struktur kelembagaan yang kuat. Transfer ilmu pengetahuan di sekitar klaster dimungkinkan terjadi disebabkan nilai jaringan informal yang berbasis hubungan sosial dan bahkan pergerakan pekerjaan. Kolaborasi informal dan jaringan yang luas dapat menciptakan ’komunitas ilmu pengetahuan’. Jaringan kemitraan melalui internet memungkinkan diperolehnya pembagian ilmu pengetahuan seiring dengan perkembangan teknologi yang demikian pesat. Portal klaster dapat dimanfaatkan untuk memfasilitasi jaringan sekaligus sharing informasi mengenai klaster, terutama pada klaster besar yang mempunyai banyak perusahaan. Bentuk jaringan mempunyai variasi yang beragam mulai dari kerjasama perusahaan padat karya sampai asosiasi dengan ratusan anggota. Ukuran bukan faktor yang terpenting, tetapi yang paling penting adalah pelayanan jaringan tersebut dapat bermanfaat bagi anggotanya. Pengembangan jaringan dan kemitraan pada umumnya terjadi melalui hubungan sosial dan budaya yang dikembangkan oleh perusahaan dalam klaster atau oleh organisasi sektor publik. Dalam hal ini, pengelola klaster harus berperan aktif dalam penguatan jaringan dan kemitraan antar pelaku klaster melalui pemberian informasi mengenai manfaat dan peluang yang diperoleh bila terjadi kerjasama dan kemitraan. Adanya pelaku yang terlibat dalam klaster mempunyai alasan yang berbeda-beda dan kebutuhan pelaku tersebut juga harus bisa berubah-ubah setiap saat. Tampaknya jaringan akan terus terbentuk dan terbentuk kembali seperti perubahan keanggotaan dan kebutuhan. Salah satu elemen yang paling penting dalam strategi pengembangan klaster adalah mendorong terbentuknya keterkaitan antar anggota klaster. Pada umumnya, jaringan terbentuk oleh perusahaan berbasis klaster sehingga memudahkan dalam pembentukan dinamisme internal sekaligus bekerjasama dalam mendorong kolaborasi dan kerjasama. Hal ini memerlukan pengembangan struktur atau format kelembagaan baru yang akan memegang peran tersebut pada masa mendatang. Biasanya jaringan yang ada dalam klaster terbentuk sebagai respon terhadap kebutuhan anggota perusahaan atau berasal dari inisiatif satu atau dua individu kunci. Yang terpenting adalah semua anggota klaster memperoleh sesuatu dengan adanya partisipasinya dalam klaster. Dengan kondisi jaringan yang terbentuk dari bawah ke atas bottom up maka setiap anggota yang terlibat cenderung untuk bekerja sebaik mungkin. Sekali jaringan terbentuk, maka manfaat besar akan dapat terealisasi, yaitu membangun kepercayaan dan pemahaman bersama, serta penyebaran ilmu pengetahuan dan pengalaman antar pelaku klaster. Selain itu, adanya jaringan dapat berfungsi sebagai fasilitator dan penyedia bagi anggota untuk bekerjasama dan berkolaborasi. b. Menurut literatur faktor kunci keberhasilan klaster adalah jika klaster tersebut dapat mengakses dan memelihara dasar keahlian yang kuat semua anggota yang terlibat dalam klaster mulai dari tingkat manajemen sampai ke tingkat tenaga kerja terendah. Kualitas dan kuantitas pelaku-pelaku yang tersedia dalam klaster merupakan komponen penting dalam mengembangkan keberhasilan klaster. c. Kemampuan menciptakan inovasi yang didukung oleh kegiatan riset dan pengembangan merupakan hal yang sangat penting dalam pengembangan klaster. Promosi inovasi dan RD adalah dua kegiatan yang berbeda meskipun saling berkaitan. Inovasi secara umum berkenaan dengan pengembangan produk atau proses, sedangkan riset dan pengembangan berkenaan dengan pengembangan ilmu pengetahuan. Inovasi yang berhasil adalah outcome dari proses riset dan pengembangan yang baik. Inovasi dapat meningkat seperti halnya produk dan proses. Klaster yang berhasil adalah yang inovatif, sebaiknya klaster dapat mendukung proses inovasi melalui peningkatan jaringan dan sharing ide. Untuk mendukung peningkatan jaringan, jaringan yang ada sebaiknya tidak hanya antar pelaku klaster, namun juga hingga pelaku di luar klaster. Di samping itu, jasa informasi dan intelejensi juga sangat diperlukan. d. Peranan perusahaan besar dalam pengembangan klaster yang dapat berfungsi sebagai sistem inovasi miniatur yang menyediakan ruang inkubasi bagi pekerja, membiayai pembangunannya sendiri, menyediakan ahli teknis, serta memproduksi pasar spesifik, menyediakan orang-orang terlatih yang dapat disewa oleh perusahaan kecil inovatif dan dapat sharing keahlian dengan rantai supply. Perusahaan besar dapat bertindak sebagai industri inti yang mampu menjadi penggerak utama. Peran perusahaan besar dapat diuraikan sebagai berikut : 1 Sebagai katalisator, perusahaan besar mengendalikan kekuatan dalam pengembangan klaster, menstimulasi masuknya usaha baru dan menarik perusahaan terkait ke dalam kawasan dimaksud, sehingga perusahaan besar dapat mendukung pengembangan klaster. 2 Sebagai inovator, perusahaan besar dapat memainkan peran kunci dalam penyebaran ilmu pengetahuan dan teknologi UKM, stimulasi inovasi penjualan dan ekspor, dan menyediakan ’rute pasar’ bagi UKM secara langsung dan sebagai basis akses pada pasar dunia. 3 Sebagai pengembang pasar baru, manajemen pengembangan intervensi, pengembangan rantai persediaan supply serta improvisasi produk dan proses, termasuk pengembangan manajemen yang ada di perusahaan dalam klaster 4 Sebagai Pengelola Rantai Persediaan Management Supply Chain. Hal ini termasuk kaitan rantai persediaan supply dengan perusahaan luar negeri seperti sertifikasi pemasok, serta membangun pembelipemasok yang lebih baik seperti kaitan subkontrak dan aliansi strategi. Memfasilitasi keterkaitan dengan perusahaan kunci lainnya. 5 Sebagai penyedia dana bagi anggota klaster 6 Sebagai pengembang citra image positif suatu kawasan melalui pemasaran dan promosi sebagai klaster untuk menarik investor. Pengembangan merek brand atau citra image untuk suatu kawasan merupakan hal yang penting dalam strategi pengembangan klaster. e. Faktor kunci dalam pengembangan klaster yang berhasil seperti telah diidentifikasi sebelumnya antara lain hubungan komunikasi, infrastruktur fisik, dan lokasi. Peran infrastruktur fisik modern termasuk adanya fasilitas bagi perusahaan dan pekerja dan juga hubungan transportasi dan komunikasi yang baik, merupakan pertimbangan penting bagi para pengelola klaster. f. Jiwa kewirausahaan merupakan faktor penting dalam pengembangan klaster. Kemampuan kewirausahaan merupakan kemampuan dalam mengadaptasi perubahan pasar dan berkeinginan untuk mencoba ide-ide baru. Mereka dapat memanfaatkan peluang-peluang atau teknologi baru, membawa inovasi ke dalam pasar atau berani mengambil resiko yang telah diperhitungkan. Jika diinginkan klaster yang maju dan berkembang maka setiap pengusaha dalam klaster harus meningkatkan jiwa kewirausahaannya. g. Akses pada pembiayaan merupakan faktor penting dalam pengembangan klaster. Akses pada pembiayaan meliputi akses pada modal ventura, sumber daya dan pembiayaan khusus, pendanaan riset pengembangan swasta dan pemerintah, jasa pendukung bisnis dan jaringan investasi. h. Faktor lingkungan yang mendukung antara lain : 1 Pentingnya pemimpin, 2 Kompetisi sebagai kekuatan penggerak, 3 Manfaat kedekatan dengan pasar, 4 Kualitas hidup, 5 Kebijakan yang mendukung Keterpaduan dari perusahaan-perusahaan yang berada di suatu klaster sangat ditentukan oleh kuat atau tidaknya jaringan kerjasama baik dengan industri terkait maupun industri pendukung serta infrastruktur ekonomi yang dinamis. Keterkaitan yang terbentuk di antara anggota klaster lebih disebabkan untuk memperkuat atau mendukung kompetensi inti yang akan diciptakan. Untuk meningkatkan efisiensi produksi, setiap perusahaan secara bersama- sama bekerjasama dengan industri berskala kecil melalui pola sub-kontraktor. Industri kecil yang menjadi sub-kontraktor diarahkan pada kemampuan yang spesifik sehingga akan mewujudkan spesialisasi kemampuan di antara industri kecil tersebut, pada gilirannya akan meningkatkan produktivitas pada seluruh mata rantai produksi. Peningkatan kemampuan spesifik pada industri kecil dapat dilakukan melalui proses pembelajaran sehingga proses kreatif dan inovasi bukan hanya pada industri inti tetapi juga pada industri kecil. Aspek keterkaitan dalam pengembangan strategi klaster merupakan faktor kunci dalam keberhasilan dari penerapan strategi klaster ini. Pengembangan elemen keterkaitan ini merupakan salah satu elemen kritis dalam pengembangan klaster. Ditinjau dari aspek ekonomi, terdapat 4 empat tipe keterkaitan meliputi : 1 integrasi vertikal dengan pelanggan, 2 integrasi vertikal dengan pemasok, 3 integrasi horizontal dan 4 diversifikasi. Keterkaitan Horizontal Arena Baru Industri Inti Pemasok Keterkaitan Ke Depan Konsumen Keterkaitan Ke Belakang Keterkaitan Diversifikasi PERSAINGAN Gambar 10. Model Keterkaitan Strategi Klaster Depperin, 2006e Gambar 10 menunjukkan bahwa terdapat 4 model keterkaitan yang mungkin, dapat mendukung kemampuan industri inti, dan tidak semua model ini harus dilakukan dalam suatu klaster, tetapi perlu dilakukan pemilihan, sehingga integrasi yang dilakukan oleh suatu klaster akan saling memperkuat. Integrasi vertikal dapat berasal dari faktor-faktor teknologi dan atau faktor-faktor informasi dan perilaku yang mengakibatkan kesulitan-kesulitan perjanjian, distribusi kepemilikan dan kendali, jika pihak-pihak yang ada terpisah dan bersifat independen. Kendali vertikal dapat diperoleh melalui kepemilikan, tetapi integrasi vertikal seutuhnya mengikat sumber daya modal dan ada kecenderungan akan menimbulkan masalah-masalah manajemen yang cukup berat. Hal ini disebabkan perusahaan akan terlibat dalam tahap-tahap produksi dan distribusi tetapi mereka tidak mempunyai pengalaman dari bisnis tersebut. Apabila dalam pengembangan bisnisnya, pelanggan dipandang sebagai faktor yang penting bagi keberhasilan, maka dipertimbangkan untuk melakukan keterkaitan ke depan dengan pelanggan. Sebaliknya apabila input atau bahan baku sulit didapat atau membutuhkan penyesuaian-penyesuaian terhadap proses produksi keterkaitan ke belakang perlu dipertimbangkan. Berdasarkan studi yang dilakukan di Swedia tentang jaringan kerja dengan pemasok dan pelanggan yang bertahan lama dalam pasar industri adalah hubungan vertikal melalui kontrak yang tersirat implicit dan saling percaya. Di Jepang misalnya, kontrak-kontrak produksi dan teknologi merupakan ikatan vertikal antar perusahaan yang paling umum, dan diikuti oleh kontrak-kontrak pemasaran. Tetapi di Eropa, kontrak-kontrak pemasaran yang paling umum. Kontrak pemasaran yang dapat memiliki jaminan jangka panjang adalah kontrak franchising waralaba, pola kerjasama ini bertahan lama dan memperlihatkan perkembangan yang cukup pesat Depperin 2006e. Strategi yang digunakan dalam integrasi horizontal biasanya digunakan dengan merger dan akuisisi, dan strategi ini perlu diperkuat atau hanya dengan argumen skala biaya murni. Merger di antara beberapa perusahaan terkadang mengarah kepada merger diantara banyak perusahaan yang tersisa sampai dihasilkan beberapa macam aligopoli yang seimbang. Strategi horizontal yang didasarkan pada pertimbangan skala ekonomi dapat berkembang menjadi suatu strategi yang mengarah pada aspek monopoli, mengakibatkan kesejahteraan pelanggan dikorbankan. Begitu pula, skala ekonomi dapat diperoleh melalui joint ventura tetapi banyak para manajemen menjadi lebih kompleks. Strategi joint venture akan lebih efektif sebagai alat ekspansi horizontal apabila sumber daya modal yang dimiliki terbatas dan atau perusahaan menghadapi hambatan dalam ekspansi. Bentuk strategi-strategi di atas merupakan usaha yang kreatif dari aliansi-aliansi, dengan maksud untuk memperoleh keuntungan di atas rata-rata. Sebagai contoh, retailer-retailer pebisnis eceran membentuk suplai chain untuk membentuk perusahaan-peruasahaan joint venture dengan para pemasok agar diperoleh persyaratan perdagangan yang lebih baik sehingga akan mempermudah kontrak dengan para pelanggan. Kebanyakan perusahaan menerapkan strategi diversifikasi untuk meningkatkan daya saing perusahaan secara keseluruhan sehingga nilai total perusahaan akan meningkat. Disamping itu terdapat alasan lain suatu perusahaan untuk menerapkan strategi diversifikasi, yaitu: 1. Menetralisir kekuatan pasar pesaing menetralisir keunggulan perusahaan lain dengan mengakuisisi outlet distribusi yang mirip dengan milik perusahaan lain, 2 Memperluas portfolio perusahaan untuk mengurangi resiko pekerjaan manajerial.

2.9. Membangun Keunggulan Daya Saing