baku kain paling tinggi Rp. 65.312. Tabel 30 perihal hasil analisa sensitivitas penurunan biaya pemasaran sebesar
50 dari biaya pemasaran awal terhadap kriteria investasi pada masing-masing usaha menunjukkan bahwa terjadi peningkatan nilai tambah atau pendapatan masing-masing
usaha. Penurunan biaya pemasaran sebesar 50 dikaitkan dengan asumsi atau prediksi jika peran pedagang perantara dihilangkan karena pengintegrasian usaha
dalam klaster tidak memerlukan perantara. Penurunan biaya pemasaran usaha tani dari 2,5 menjadi 1,25 meningkatkan NPV sebesar Rp. 3,5 juta, pemintalan dari 1
menjadi 0,5 meningkatkan NPV sebesar Rp. 53,7 juta, pertenunan dari 1 menjadi 0,5 meningkatkan NPV sebesar Rp. 95,3 juta dan pembatikan dari 1 menjadi 0,5
meningkatkan NPV sebesar Rp. 73,3 juta. Untuk kriteria lainnya juga mengalami peningkatan, namun peningkatan pendapatan atau NPV usaha tani masih tetap kurang
signifikan dibandingkan dengan ketiga usaha lainnya.
7.3.9. Analisa Usaha Integrasi Agroindustri Sutera Alam
Konsep pengembangan agroindustri melalui pendekatan klaster mengutamakan adanya integrasi antar usaha. Dari hasil pembahasan sebelumnya
diperoleh hasil sebagai berikut : 1. Pada usaha integrasi pemeliharaan ulat sutera, pemintalan, pertenunan dan
pembatikan ditemukan bahwa dengan kesetaraan BC sebesar 1,34, harga batik sebesar Rp. 560.000, maka harga kain dapat ditingkatkan menjadi Rp. 61.030 dari
harga semula Rp. 60.000, harga benang dapat ditingkatkan menjadi 329.150 dari Rp. 315.000 dan harga kokon dapat ditingkatkan menjadi Rp. 27.726 dari Rp.
26.000. Namun industri pembatikan akan mengalami penurunan NPV dari Rp. 103,337 juta menjadi Rp. 83,3 juta.
Meskipun keempat usaha tersebut dapat diintegrasikan ke dalam satu klaster industri namun dapat diasumsikan akan terjadi kendala dalam pengkoordinasian
para anggota khususnya karena usaha pembatikan yang akan tergabung dari luar Kab. Wajo. Data finansial industri pembatikan yang dimasukkan dalam penelitian
ini adalah data sampling industri pembatikan di Bandung. Di Kabupaten Wajo belum terdapat usaha pembatikan yang berproduksi secara mandiri atau secara
individu perusahaan. Ada beberapa usaha pembatikan yang belum berkembang
karena masih melekat pada usaha pertenunannya. Sebelumnya pernah dilakukan pelatihan pembatikan di Kabupaten Wajo dalam rangka menciptakan usaha baru di
bidang pembatikan dengan mendatangkan tenaga instruktur dari Bandung, namun sampai saat ini usaha tersebut belum berkembang. Kurang berkembangnya upaya
tersebut dapat disebabkan karena budaya setempat yang kurang mendukung karena belum terbiasa memproduksi kain batik serta para pengusaha kurang
mampu melakukan pemasaran batik tersebut di daerah Sulawesi Selatan. 2. Hasil analisa kelayakan untuk usaha integrasi petanipemelihara ulat sutera,
pemintalan dan pertenunan bahwa untuk mencapai kesetaraan dengan harga kain tenun sutera Rp. 60.000 diperoleh kesetaraan harga pada BC 1,26. Dengan
kesetaraan BC sebesar 1,26 harga kain tenun sebesar Rp. 60.000, maka harga benang dapat ditingkatkan menjadi Rp. 320.904 dari harga semula Rp. 315.000,
dan harga kokon dapat ditingkatkan menjadi Rp. 26.904 dari Rp. 26.000. Namun NPV untuk kain menurun dari Rp. 99,158 juta menjadi Rp. 82,312 juta.
Meskipun ketiga usaha tersebut dapat diintegrasikan ke dalam satu klaster industri dengan nilai BC ratio masih cukup tinggi yaitu 1,26 dan secara finansial masih
layak dapat diasumsikan akan terjadi kendala karena industri pertenunan tentunya merasa dirugikan dengan penurunan pendapatan tersebut.
Peluang terbesar untuk pembentukan klaster di Kabupaten Wajo adalah integrasi usaha petanipemelihara ulat sutera, pemintalan dan pertenunan karena ketiga
usaha tersebut terkonsentrasi secara geografis di Kab. Wajo dan ketiga usaha tersebut telah berkembang.
2. Hasil analisa kelayakan untuk usaha integrasi petanipemelihara ulat sutera, dan pemintalan menunjukkan bahwa usaha integrasi memberikan kinerja yang cukup
baik. Dari hasil perhitungan untuk mencapai kesetaraan dengan harga benang sutera Rp. 315.000 diperoleh kesetaraan harga pada BC 1,21. Dengan kesetaraan
BC sebesar 1,21 harga benang sebesar Rp. 315.000kg, maka harga kokon dapat ditingkatkan dari Rp 26.000kg menjadi Rp. 26.346kg. Namun NPV untuk
industri pemintalan menurun dari Rp. 79,571 juta menjadi Rp. 57,11 juta. Meskipun kedua usaha tersebut dapat diintegrasikan ke dalam satu klaster industri
dengan nilai BC ratio masih cukup tinggi yaitu 1,21 dapat diasumsikan akan
terjadi kendala karena industri pemintalan tentunya merasa dirugikan dengan penurunan pendapatan tersebut.
Melihat kendala yang mungkin terjadi pada usaha integrasi perlu dilakukan upaya untuk memberikan pemahaman kepada semua usaha bahwa dalam rangka
mempertahankan kelangsungan usaha dalam agroindustri diperlukan keseimbangan pendapatan.
7.3.10. Analisa Kapasitas Produksi Usaha Integrasi