Model Lokasi Pengembangan PEMODELAN SISTEM KLASTER

Penentuan tingkat kepentingan rantai nilai dan setiap elemen sistem dilakukan melalui pendapat pakar dengan menggunakan metode Interpretative Preference Evaluation IPE dan agregasinya dilakukan dengan metode Ordered Weighted Averaging OWA operator. Penentuan industri inti dilakukan dengan prosedur Analytical Hierarchy Process. Tahap strukturisasi elemen-elemen penting pengembangan industri inti dilakukan dengan teknik Interpretative Structural Modelling Eriyatno 2003. Model kelayakan agroindustri sutera alam usaha tani pemeliharaan ulat sutera, pemintalan, pertenunan dan usaha integrasi dilakukan dengan menggunakan tolok ukur finansial meliputi Internal Rate of Return IRR, Net Present Value NPV, Net BC ratio, dan Pay Back Period PBP. Selanjutnya model ini dilengkapi dengan model kesetaraan harga.

6.1. Model Lokasi Pengembangan

Daerah penghasil sutera alam terbesar di Indonesia adalah Propinsi Sulawesi Selatan. Tabel-Tabel 8, 9, 10 dan 11 berikut menggambarkan daerah kabupatenkota penghasil agroindustri sutera alam mulai dari pemeliharaan ulat sutera, pemintalan dan pertenunan di Sulawesi Selatan : Tabel 8. Data Kegiatan Budidaya Sutera Alam Di Sulawesi Selatan Tahun 2006 NO KAB JUMLAH PETANI KK TANAMAN MURBEI ha PENYE- RAPAN TELUR BOKS PRO- DUKSI KOKON KG PRO- DUKSI BENANG KG RATA - RATA RATIO KOKON BENANG 1 SOPPENG 625 426 2.244 49.689 6.762 7,35 2 WAJO 373 209 2.044 45.843 6.389 7,18 3 SIDRAP 76 35 34 1.036 130 7,97 4 BARRU 42 23 13 302 43 7,02 5 BONE 14 5 - - - - 6 ENREKANG 1.372 576 6.741 195.811 28.481 6,88 7 TATOR 192 69 254 7.620 1.018 7,49 8 GOWA 35 27 70 2.710 260 10,42 9 SINJAI 62 46 18 483 68 7,10 10 MAROS 26 13 6 129 14 9,21 JUMLAH 2.817 1.429 11.424 303.623 43.208 Sumber : Dinas Perindag Propinsi Sulsel, 2006 Tabel 9. Data Industri Pemintalan Sutera Alam di Sulsel Tahun 2006 NO KAB UNIT USAHA UU TENAGA KERJA orang JUMLAH MESIN REELING Unit KAPASITAS PRODUKSI TERPASANG KG RIEL KG 1 SIDRAP 235 473 280 84.000 130 2 ENREKANG 708 1.787 808 242.400 28.481 3 B O N E 2 8 2 600 - 4 SOPPENG 575 1.781 589 176.700 6.762 5 WAJO 74 822 274 82.200 6.389 6 GOWA 1 15 4 1.200 260 7 SINJAI 1 10 3 900 68 8 TATOR 1 4 2 600 150 9 Barru 9 30 12 3.600 43 JUMLAH 1.606 4.930 1.962 592.200 43.208 Sumber : Dinas Perindag Propinsi Sulsel 2006 Tabel 8 di.atas menunjukkan bahwa produksi kokon di Sulawesi Selatan hanya mencapai 303.623 kg pertahun yang digunakan sebagai bahan baku untuk pemintalan sehingga hasil benang yang diproduksi hanya mencapai 43.208 kg. Dengan demikian industri pemintalan yang mempunyai kapasitas terpasang sebesar 592.200 kg benang pertahun hanya mampu dimanfaatkan sekitar 7,3. Jika lahan seluas 1.429 ha seharusnya dapat digunakan untuk memproduksi kokon sebanyak 1.078.895 kg. Kenyataannya hanya mampu memproduksi sebesar 303.623 kg. Tabel 10. Data Industri Pertenunan Sutera Alam Sulawesi Selatan Tahun 2006 NO KOTA KABUPATEN UNIT USAHA UU TENAGA KERJA ORG NILAI PRODUKSI Rp.000 ATBM GEDOGAN JUMLAH 1 BARRU 9 37 - 38.000 38.000 2 BANTAENG 208 303 440.000 440.000 3 BULUKUMBA 680 1.278 300.000 1.194.000 1.494.000 4 BONE 635 1.291 1.963.500 795.000 2.758.500 5 WAJO 5.208 9.133 68.449.500 20.000.000 88.449.500 6 JENEPONTO 352 352 - 672.350 672.350 7 PANGKEP 13 54 - 6.500 6.500 8 TANATORAJA 1 5 7.000 7.000 9 PINRANG 439 746 412.500 412.500 10 SIDRAP 1.274 2.228 337.500 1.493.000 1.830.500 11 SOPPENG 48 138 360.000 96.000 456.000 12 TAKALAR 334 538 334.800 334.800 13 MAKASSAR 1 32 240.000 240.000 14 GOWA 185 253 396.800 396.800 793.600 JUMLAH 9.387 16.388 72.054.300 25.878.950 97.933.250 Sumber : Dinas Perindag Propinsi Sulsel 2006 Tabel 11. Jumlah Unit Usaha Sutera Alam Sulawesi Selatan Tahun 2006 NO KABKOTA Produsen Kokon Unit Usaha Pemintalan Unit Usaha Pertenunan Unit Usaha Total Unit Usaha 1 WAJO 373 74 5.208 5.655 2 ENREKANG 1.372 708 - 2.080 3 SIDRAP 76 235 1.274 1.585 4 SOPPENG 625 575 48 1.248 5 BULUKUMBA 680 680 6 BONE 14 2 635 651 7 PINRANG 439 439 8 JENEPONTO 352 352 9 TAKALAR 334 334 10 GOWA 35 1 185 221 11 BANTAENG 208 208 12 TATOR 192 1 1 194 13 SINJAI 62 1 - 63 14 BARRU 42 9 9 60 15 MAROS 26 - 26 16 PANGKEP 13 13 17 MAKASSAR 1 1 2.815 1.606 9.387 13.810 Sumber : Dinas Perindag Propinsi Sulsel 2006 Untuk menentukan daerah atau lokasi potensial agroindustri sutera alam digunakan teknik Location Quotion LQ. KabupatenKota potensial yang dipilih adalah KabupatenKota yang mempunyai usaha agroindustri sutera alam. Hasil dari perhitungan LQ dapat disajikan sebagai berikut : Tabel 12. Jumlah Usaha Sutera Alam dan Hasil Perhitungan LQ Sulawesi Selatan Tahun 2006 Unit. NO KABKOTA UU Sutera KAB UU IKM KAB UU Sutera Nas UU IKM Nas LQ 1 WAJO 5.655 9.356 34.737 3.434.530 22,97 2 SIDRAP 1.585 10.699 34.737 3.434.530 8,59 3 ENREKANG 2.080 10.349 34.737 3.434.530 8,78 4 SOPPENG 1.248 3.500 34.737 3.434.530 5,47 5 BONE 651 2.920 34.737 3.434.530 3,44 Sumber : Dinas Perindag Propinsi Sulsel, 2006 dan Depperin 2006c Dari hasil identifikasi dengan menggunakan teknik LQ daerah daerah yang paling potensial dalam agroindustri sutera alam adalah Kabupaten Wajo, Sidrap, Enrekang, Soppeng dan Bone. Dari keempat daerah alternatif tersebut dipilih salah satu untuk menjadi fokus daerah pengembangan klaster dengan metode Analytical Hierarchy Process AHP. Dari hasil kajian pustaka dan diskusi dengan pakar, penentuan lokasi pengembangan klaster agroindustri sutera alam dapat digunakan kriteria yaitu : 1 Keterkaitan Usaha, 2 Ketersediaan infrastruktur ekonomi, 3 Dukungan Perguruan Tinggi, 4 Potensi agroindustri sutera alam, 5 Dukungan Pemerintah Daerah dan tujuan adalah 1 Memudahkan koordinasi dan 2 Memudahkan pembentukan klaster. Gambar 30 berikut menunjukkan hasil pemilihan lokasi dengan menggunakan metode AHP. Bobot kriteria keterkaitan usaha 0,330 dengan Rasio Konsistensi CR 0,0122, ketersediaan infrastruktur ekonomi 0,1164 dengan CR 0,0046, dukungan perguruan tinggi 0,1568 dengan CR 0,081, potensi agroindustri sutera alam dengan CR 0,0189 dan dukungan pemerintah daerah 0,2262 dengan CR 0,0147. Bobot tujuan memudahkan koordinasi 0,335 dengan CR 0,0109 dan memudahkan pembentukan klaster 0,645 dengan CR 0,0016. Hasil dari dari ratio konsistensi menunjukkan bahwa semua penilaian konsisten. Integrasi Kab. Wajo Usaha 0,330 0,4453 Dukungan Kab. Pemda Soppeng 0,2262 0,215 Menudahkan Koordinasi 0,355 Potensi Kab. Pemilihan Industri Enrekang Lokasi 0,1675 0,1845 1.00 Memudahkan Pembentukan Klaster Ketersediaan Kab. 0,645 Infrastruktur Sidrap 0,1164 0,092 Dukungan Perguruan Tinggi Kab. Bone 0,1568 0,0631 Gambar 36. Hirarki Pemilihan Lokasi Pengembangan Gambar 37. Hirarki Elemen dan Vektor Pemilihan Lokasi Pengembangan Dari hasil pemilihan dengan menggunakan metode AHP diperoleh hasil bahwa lokasi pengembangan klaster yang prioritas adalah daerah Kabupaten Wajo. Dari hasil pengamatan situasi dan kondisi agroindustri di Kabupaten Wajo yang sebagian besar terdiri dari usaha kecil menengah dengan pasarnya masih lokal dengan kualitas produksi yang rendah sehingga bentuk klaster yang dikembangkan adalah ”survival cluster”

6.2. Model Industri Inti