Sentra utama industri pembatikan sutera terdapat di Jambi, DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, DI. Yogyakarta, Jawa Timur, Lampung dan Bali. Pada tahun
2005 jumlah industri kecil menengah batik sebesar 40.549 unit usaha, menyerap tenaga kerja sebanyak 703.560 orang dengan nilai produksi sebesar Rp. 2.506
milyar. Industri penghasil batik dunia adalah Indonesia meskipun saat ini telah banyak negara khususnya di Asia mulai memproduksi batik. Penghasil batik terbesar
setelah Indonesia antara lain Malaysia, Singapore, dan bahkan Thailand juga telah mulai memproduksi batik. Industri batik Indonesia yang menggunakan sutera sebagai
bahan bakunya sekitar 15.
Gambar 6. Proses Pembatikan dengan Cap dan Tulis serta Kain Batik.
2.6. Pemasaran
Pada umumnya pasar produk sutera di dalam negeri. Produk sutera di distribusikan mulai dari petani kokon ke sentra-sentra industri pemintalan kemudian
benangnya dijual ke pelaku usaha industri pertenunan sutera. Secara tradisional sudah terbentuk jaringan distribusi pemasaran dengan pendekatan market operation, artinya
pemasaran produk sutera telah berjalan sesuai mekanisme pasar. Permintaan kain sutera oleh industri pembatikan sekitar 1 juta meter atau
setara 200 ton benang sutera per bulan, permintaan kain sutera untuk industri gaun pengantin, interior, garmen dan produk jadi lainnya di dalam negeri cukup besar. Di
samping tujuan pasar dalam negeri, produk sutera juga di ekspor ke Jepang, Italia, Perancis dan Amerika Serikat. Ekspor produk sutera alam dari tahun 2001 sd 2005
ditunjukkan pada Gambar 7.
- 2.000.000,00
4.000.000,00 6.000.000,00
8.000.000,00 10.000.000,00
12.000.000,00
2001 2002
2003 2004
2005
Tahun US
Kokon Benang
Kain
Gambar 7. Grafik Perkembangan Ekspor Produk Sutera Depperin 2006b Realisasi produksi benang dan kain sutera dalam negeri belum memenuhi
kebutuhan pasar dalam negeri sehingga kekurangannya diimpor. Impor benang sutera pada tahun 2005 mencapai US. 1.365.320,00 dan impor kain sutera pada
tahun yang sama mencapai US.1.135.998,00. Perkembangan impor produk- produk persuteraan alam pada tahun 2001 sd 2005 ditunjukkan pada Gambar 8.
- 500.000,00
1.000.000,00 1.500.000,00
2.000.000,00
2001 2002
2003 2004
2005
Tahun US
Kokon Benang
Kain
Gambar 8. Grafik Perkembangan Impor Produk Sutera Depperin 2006b
2.7. Prospek Pengembangan
Persuteraan alam Indonesia merupakan kelompok agro-industri yang sangat potensial untuk dikembangkan, karena memiliki berbagai keunggulan
antara lain sebagai berikut : 1.
Geografis alam Indonesia sangat mendukung, karena ketersediaan lahan dengan
ketinggian 400-800 meter di atas permukaan laut untuk menghasilkan murbei dan kokon yang baik.
2. Produk sutera memiliki nilai ekonomi tinggi dan banyak digemari masyarakat
tidak hanya di dalam negeri, tetapi juga di luar negeri. 3.
Usaha persuteraan alam dapat dikelola masyarakat pedesaan secara luas, dapat meningkatkan pendapatan masyarakat secara cepat untuk segera mengurangi
masalah kemiskinan dan dapat mengembangkan ekonomi kerakyatan. 4.
Permintaan pasar produk sutera baik oleh pasar domestik maupun ekspor dari tahun ke tahun cenderung meningkat seperti raw silk, yarn silk dan grey fabrics.
Perkembangan kebutuhan benang sutera dunia meningkat dari tahun 2002 sebesar 92.742 ton dan pada tahun 2005 mencapai 118.000 ton atau meningkat
27,3 . Sedangkan Indonesia hanya mampu menghasilkan benang sutera rata-rata 78 ton per tahun. Demikian pula dengan barang-barang jadi sutera seperti finishing silk
fabrics dyed maupun printed, ready made garment, made up goods dan bahan-bahan untuk interior dan dekorasi pasarannya cukup baik untuk tujuan pasar dalam negeri
dan ekspor. Indonesia memiliki peluang besar untuk mengembangkan persuteraan alam,
baik untuk memenuhi kebutuhan pasar domestik, maupun untuk memenuhi pasar global. Diharapkan dalam waktu tidak terlalu lama usaha persuteraan alam dapat
memberikan kontribusi yang berarti dalam perekonomian nasional. Hal ini akan segera terwujud apabila pengembangan persuteraan alam nasional dikelola dengan
cermat dan konsepsional oleh instansi pembina dan para stakeholders.
2.8. Konsep Klaster