Strukturisasi Elemen Pendukung SO

96 pemerintah daerah Kota Bogor w1; 2 Keterbatasan jumlah dan keahlian tenaga penyuluh PKP dan pengawas DFI w2; 3 Kurangnya komitmen dan budaya kerja IKM w3; 4 Keterbatasan modal IKM w4; 5 Keterbatasan media informasi, publikasi w5; 6 Keterbatasan pemahaman keamanan pangan tenaga kerja IKM w6; 7 Mekanisme survailen belum berjalan regular w7; 8 Persaingan dari produk bakery sejenis berasal dari industri franchaise dan dari luar t1; 9 Kenaikan biaya produksi t2; 10 Perkembangan produk substitusi t3; 11 Pembeli memiliki kekuatan menentukan pilihan t4. Analisis dengan teknik ISM transitivity = 70 seperti disajikan pada Gambar 21 menunjukkan bahwa elemen kunci dalam upaya peningkatan penerapan good manufacturing practices di IKM roti Kota Bogor adalah belum adanya rencana strategis Aksi Pangan-Gizi Daerah maupun rencana strategis pengembangan industri yang ditetapkan oleh pemerintah Kota Bogor w1. Sub elemen kendala WT Hirarki Dependency Kategori Driver power Depe ndenc e 1 W1 Belum ada Rencana Strategis Aksi Pangan‐Gizi Daerah maupun Rencana Strategis Pengembangan Industri yang ditetapkan 11 1 Indepen ‐ dent 2 W2 Keterbatasan Jumlah dan keahlian tenaga penyuluh PKP dan pengawas DFI 10 2 Indepen ‐ dent 3 W3 Kurangnya Komitmen dan budaya kerja IKM 1 11 depen ‐ dent 4 W4 Keterbatasan Modal IKM 7 10 Linkage 5 W5 Keterbatasan Media informasi, publikasi 9 3 Indepen ‐ dent 6 W6 Keterbatasan Pengetahuan Tenaga kerja IKM 7 10 Linkage 7 W7 Mekanisme survailen belum berjalan reguler 8 4 Indepen ‐ dent 8 T1 Persaingan dari produk bakery sejenis franchaise dan dari luar kota 7 10 Linkage 9 T2 Kenaikan Biaya Produksi 7 10 Linkage 10 T3 Perkembangan produk substitusi 7 10 Linkage 11 T4 Pembeli memiliki kekuatan menentukan pilihan 7 10 Linkage Sub elemen kunci kendala: Belum ada Rencana Stategis 1. Gambar 21 Struktur hierarki elemen kunci kendala. Ketiadaan rencana strategis berdampak pada keterbatasan jumlah maupun keahlian tenaga penyuluh keamanan pangan PKP w2 sehingga berpengaruh pada 3 10 9 8 4 6 11 1 7 5 2 97 minimnya informasi, publikasi, media w5 yang disediakan pemerintah untuk mendukung program penerapan GMP pada IKM. Ketiadaan rencana strategis yang berdampak pula pada keterbatasan jumlah tenaga pengawas panganDFI yang berpengaruh menyebabkan mekanisme survailen pengawasan penerapan GMP pada IKM tidak berjalan regular setahun sekali w7. Ketiadaan rencana strategis pemerintah daerah w1; keterbatasan jumlah dan keahlian tenaga penyuluh dan pengawas keamanan w2; keterbatasan media informasi, publikasi w5; serta mekanisme survailen tidak berjalan secara regular w7 sebagai faktor independent.. Kelemahan tingkat pemahaman keamanan pangan tenaga kerja IKM kurang w6 ditambah dengan keterbatasan modal IKM w4, serta adanya ancaman kenaikan biaya produksi t2 akan mempengaruhi daya saing produk IKM roti di Kota Bogor dibanding dengan produk sejenis industri franchaise atau dari luar kota t1. Selain itu daya saing produk IKM juga dipengaruhi oleh faktor kekuatan pembeli menentukan pilihannya T4 dan perkembangan dari produk substitusi t3. Pada akhirnya komitmen dan budaya kerja IKM dalam menerapkan GMP w3 menjadi faktor dependent yang sangat dipengaruhi faktor-faktor diatas. Hambatan penerapan HACCP di IKM juga telah dipresentasikan oleh Jirathana 1998 dan Taylor 2000, yaitu adanya hambatan internal dan hambatan eksternal pada IKM. Hambatan internal antara lain : tidak mencukupinya praktek kebersihan dasar, kurangnya keahlian dan informasi, kendala sumber daya manusia, prasarana dan sarana yang tidak memadai, dan persepsi dan kendala finansial yang nyata. Adapun hambatan eksternal yaitu pemerintah yang memiliki komitmen dan infrastruktur yang memadai; tidak adanya persyaratan sanksi hukum untuk GHPs atau HACCP; kurangnya kesadaran bisnis dan sikap positif dari asosiasi industri dan perdagangan; kurangnya kesadaran pelanggan atau permintaan untuk GHPs HACCP; kurangnya pendidikan yang efektif dan program pelatihan; tidak ada dukungan keahlian, informasi dan teknis tersedia untuk UKM; dan tidak ada komunikasi yang mamadai.

5.5.3 Strukturisasi Aktor Pelaku

Untuk melihat interaksi pengaruh semua pelaku, dalam kajian ini ditambahkan analisis aktor pelaku dengan menggunakan metode ISM. Hasil depth 98 interview dengan para pakar dan pelaku diperoleh identifikasi pelaku yang berkaitan dengan penerapan GMP di IKM roti yaitu : 1 Badan perencanaan daerah P1; 2 Dinas kesehatan daerah p2; 3 Dinas perindustrian dan perdagangan p3; 4 Asosiasi IKM p4; 5 Peneliti perguruan tinggi p5; 6 Tenaga penyuluh keamanan panganPKP p6; 7 Tenaga inspektur pengawas panganFDI p7; 8 Konsumen masyarakat p8; 9 Pemilik IKM p9; 10 Karyawan IKM p10. Hasil analisis dengan metode ISM seperti disajikan pada Gambar 22 menunjukkan bahwa Badan Perencanaan Daerah 1 merupakan elemen yang kunci paling berpengaruh menggerakkan aktor lain, diikuti oleh Dinas Kesehatan 2, Dinas Perindustrian dan Perdagangan 3 serta Perguruan Tinggi 5 sebagai faktor independent strong driver – weak dependent. Sub elemen Aktor Pelaku Hirarki Dependency Kategori Driver power Depen dence P ‐1 Badan Perencanaan Daerah Bapeda 10 4 Independent P ‐2 Dinas Kesehatan Daerah 10 4 Independent P ‐3 Dinas Perindustrian dan Perdagangan 10 4 Independent P ‐4 Asosiasi industri 6 5 Linkage P ‐5 Peneliti Perguruan Tinggi 10 4 Independent P ‐6 Tenaga Penyuluh Keamanan Pangan 5 8 Dependent P ‐7 Tenaga Inspector pengawas 5 8 Dependent P ‐8 Konsumenmasyarakat 5 8 Dependent P ‐9 Pemilik IKM 1 9 Dependent P ‐10 Karyawan IKM 1 9 Dependent Sub elemen kunci Aktor Pelaku: P1. P2, P3, P5 Gambar 22 Struktur hierarki dan faktor kunci elemen aktor pelaku Badan Perencanaan Daerah Bapeda memiliki kekuatan penggerak driver power yang besar dan punya sedikit ketergantungan dengan pelaku lain. Bapeda dapat menjadi penggerakpendorong koordinasi pelaku kunci antara Dinas Kesehatan, Dinas Perindustrian dan Perdagangan serta Perguruan Tinggi yang 9 10 6 7 4 8 3 2 5 1 99 saling terkait dalam tujuan meningkatan penerapan Good Manufacturing Practices di IKM roti. Asosiasi industri 4 merupakan faktor linkage strong driver – strong dependence variables , yang artinya peranan asosiasi industri dapat dipengaruhi oleh dorongan pemerintah daerah dalam hal ini Bapeda, Dinas Kesehatan, Dinas Perindustrian dan Perdagangan. Sementara petugas penyuluh keamanan panganPKP 6, petugas pengawas panganDFI 7, konsumen 8 merupakan faktor dependent weak driver – strongly dependent variables, dimana posisi ketiga pelaku tersebut punya cukup kekuatan penggerak namun punya ketergantungan dengan pelaku lain tinggi. Pemilik IKM 9 dan Karyawan IKM 10 mempunyai tingkat ketergantungan yang paling tinggi dan kekuatan penggerak yang paling rendah termasuk faktor dependent weak driver – strongly dependent variables . Hal ini berarti pemilik IKM dan karyawan IKM untuk menerapkan Good Manufacturing Practices sangat memerlukan daya dorong dari peranan pelaku kunci yaitu pemerintah daerah dalam hal ini Bapeda, Dinas Kesehatan dan Dinas Perindustrian dan Perdagangan. Berdasarkan hasil analisis ISM, diperoleh sub-elemen kunci seperti disajikan pada Tabel 22 yang dijadikan pertimbangan dalam perumusan strategi peningkatan mutu keamanan produk IKM roti di Kota Bogor melalui penerapan Good Manufacturing Practices. Tabel 22 Elemen kunci peningkatan penerapan GMP di IKM roti No. Elemen Sub elemen kunci 1 Pendukung 1. Lokasi Kota Bogor yang strategis S1, 2. Dukungan sarana prasarana yang memadai S4 3. Peluang potensial peluang pasar dalam negeri O1 4. Perubahan pola konsumsi dan kesadaran hidup sehat konsumen O3 5. Penggunaan tehnologi dan informasi O4 2 Kendala 1. Belum adanya Rencana Strategis Aksi Pangan-Gizi Daerah maupun Rencana Strategis Pengembangan Industri yang ditetapkan oleh pemerintah Kota Bogor W1 3 Pelaku 1. Badan Perencanaan Daerah P1 2. Dinas Kesehatan DaerahP2 3. Dinas Perindustrian dan PerdaganganP3 4. Perguruan Tinggi