31 V: e
ij
= 1 dan e
ji
= 0 A: e
ij
= 0 dan e
ji
= 1 X: e
ij
= 1 dan e
ji
= 1 O: e
ij
= 0 dan e
ji
= 0 Simbol angka 1 menunjukan adanya hubungan kontekstual dan simbol 0
menunjukan tidak terdapat hubungan kontekstual antar sub elemen. SSIM selanjutnya ditransformasi menjadi RM yang merupakan matriks bilangan biner.
Saxena 1992 mengembangkan metode klasifikasi sub elemen yang distrukturisasi berdasarkan tingkat driver power dan dependence, serta
menentukan elemen kunci dari sistem yang dikaji. Klasifikasi sub-elemen dikasi sub-elemen dibagi dalam empat sektor :
Sektor 1 : Weak driver – weak dependent variables autonomous. Peubah di sektor ini umumnya tidak berkaitan dengan sistem dan mungkin mempunyai
hubungan kecil, meskipun hubungan tersebut bisa saja kuat. Sektor 2 : Weak driver – strongly dependence variables dependent. Umumnya
peubah di sektor ini adalah peubah tak bebas Sektor 3 : Strong driver –strong dependence variables linkages. Peubah di
sektor ini harus dikaji secara hati-hati sebab hubungan antar peubah tidak stabil. Setiap tindakan pada peubah tersebut akan memberikan dampak terhadap peubah
lainnya dan umpan balik pengaruhnya bisa memperbesar dampak. Sektor 4 : Strong driver – weak dependent variables independent. Peubah pada
sektor ini merupakan bagian sisa dari sistem dan disebut peubah bebas. Nilai driver power untuk sub elemen ke-i,
∑
=
=
n j
ij i
e DP
1
untuk setiap i = 1, 2, … n, dimana e
ij
adalah entri pada matriks RM. Sedangkan nilai dependence untuk sub elemen ke-i,
∑
=
=
n j
ij j
e D
1
untuk setiap i = 1, 2, … n, dimana e
ij
adalah entri pada matriks RM. Elemen kunci adalah sub elemen yang memiliki driver
power paling tinggi atau maksimum DP
i
. Klasifikasi sub elemen ke dalam empat sektor dilakukan atas dasar posisi
sub elemen pada sumbu absis nilai dependence dan sumbu ordinat driver power dengan aturan sebagai berikut :
32 Sub elemen ke-i masuk ke dalam kelompok autonomous jika:
2
1
∑
=
≤
n j
i i
DP DP
dan
2
1
∑
=
≤
n j
j j
D DP
untuk i, j = 1, 2,…, n 1
Sub elemen ke-i masuk ke dalam kelompok dependent jika:
2
1
∑
=
≤
n j
i i
DP DP
dan 2
1
∑
=
≥
n j
j j
D DP
untuk i, j = 1, 2,…, n 2
Sub elemen ke-i masuk ke dalam kelompok linkage jika:
2
1
∑
=
≥
n j
i i
DP DP
dan 2
1
∑
=
≥
n j
j j
D DP
untuk i, j = 1, 2,…, n 3
Sub elemen ke-i masuk ke dalam kelompok independent jika:
2
1
∑
=
≥
n j
i i
DP DP
dan 2
1
∑
=
≤
n j
j j
D DP
untuk i, j = 1, 2,…, n 4
2.9 Penelitian Terdahulu
Sarter et al. 2010 melakukan penelitian implementasi HACCP dan Good Handling Practices
di Madagaskar menggunakan analisa SWOT. Hasil analisa SWOT menunjukkan kekuatan yang teridentifikasi meliputi penerapan kebijakan
pemerintah, pengetahuan ilmiah resiko pangan, legislasi dan enforcement regulasi pemerintah, kekuatan dari lembaga masyarakat. Kelemahan yang teridentifikasi
meliputi tidak ada strategi untuk penerapan HACCP dan GHPs, tidak ada fasilitas bagi industri untuk melaksanakan HACCP dan GHPs, sistem manajemen yang
dibangun tidak berdasarkan analisa resiko, tidak didukung penelitian analisis resiko, kurangnya kapabilitas laboratorium uji pangan, kurangnya standar dan
pedoman bagi operator pangan, lemahnya penegakan regulasi, kurang jelasnya dan duplikasi wewenang dan tanggung jawab lembaga pemerintah terkait.
Peluang yang teridentifikasi meliput bantuan keuangan dan teknis dari lembaga internasional, ketersediaan laboratorium dan lembaga sertifikasi terakreditasi,
pengalaman komunikasi yang sukses untuk masalah kesehatan masyarakat
33 vaksin. Ancaman meliputi permintaan pemerintah asing dalam kualitas dan
keamanan makanan yang diproduksi dalam negeri , terbatas tingkat pendidikan stakeholder dan konsumen , sangat terbatas pengetahuan tentang kebersihan
makanan di antara operator dan konsumen makanan , daya beli konsumen tidak mendorong operator untuk berinvestasi ke dalam kualitas yang lebih mahal
kebersihan, HACCP rencana, jaminan kualitas. Ada empat faktor utama yang disimpulkan menjadi penghalang dalam
penerapan HACCP pada UKM yaitu 1 adanya persepsi bahwa HACCP tidak cocok untuk perusahaan, 2 skala dan ruang lingkup perubahan yang diperlukan
untuk menerapkan pengendalian keamanan pangan, 3 HACCP bukan menjadi program prioritas perusahaan, 4 kendala keuangan Herath et al., 2005.
Hasil penelitian Yapp et al. 2006 menggambarkan hambatan UKM di United Kingdom
dalam mematuhi regulasi keamanan pangan HACCP yaitu: 1 kurangnya pengetahuan; 2 kurangnya kepercayaan; 3 faktor eksternal seperti
ketidakmampuan menemukan tenaga kerja yang cakap; 4 keuangan dalam hal investasi dalam struktur bangunan, peralatan dan staf pelatihan; 5 kurangnya
waktu untuk menerapkan sistem yang sesuai; 6 kurangnya kesadaran terhadap masalah keamanan pangan; 7 kurangnya motivasi dan 8 kurangnya manajemen
yang efektif. Hal serupa juga ditemukan Bass et al. 2007 pada penelitiannya di Turki, bahwa hambatan utama industri pangan dalam menerapkan HACCP yaitu
kurangnya pengetahuan tentang HACCP dan kurang terpenuhinya program prasyarat serta kondisi fisik fasilitas yang tidak memadai. Wilcock, et al. 2011
juga meneliti faktor yang mempengaruhi penerapan HACCP pada SME’s di Southwestern Ontario
yaitu 1 komitmen manajemen puncak sebagai prioritas pertama, 2 dukungan dari eksternal seperti tingkat kepedulian aparat pemerintah ,
3 keterlibatan karyawan, 4 komunikasi yang efektif, 5 memiliki karyawan yang tepat. Kepedulian aparat pemerintah dapat dalam bentuk program keamanan
pangan maupun keuangan kepada industri, program pelatihan bagi manajercoordinator keamanan pangan, pelatihan bagi pekerja produksi, pedoman
dan manual dari pemerintah lembaga tehnologi pangan lokal, bantuan konsultasi, bantuan insentif keuangan.