Strategy of improving food safety for bakery at small medium enterprise based on implementation good manufacturing practices

(1)

 

STRATEGI PENINGKATAN MUTU KEAMANAN

PRODUK ROTI INDUSTRI KECIL MENENGAH MELALUI

PENERAPAN GOOD MANUFACTURING PRACTICES (GMP)

 

 

 

 

 

 

TRININGSIH HERLINAWATI

 

 

 

 

 

 

 

 

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2012


(2)

(3)

i

PERNYATAAN MENGENAI TESIS

DAN SUMBER INFORMASI

Dengan ini, saya menyatakan bahwa tesis yang berjudul: “Strategi Peningkatan Mutu Keamanan Produk Roti Industri Kecil Menengah Melalui

Penerapan Good Manufacturing Practices (GMP)” adalah karya saya sendiri

dengan arahan Komisi Pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka dibagian akhir tesis ini.

Bogor, Agustus 2012

Triningsih Herlinawati


(4)

(5)

iii ABSTRACT

Triningsih Herlinawati. Strategy of improving food safety for bakery at small medium enterprise based on implementation good manufacturing practices (GMP’s). Supervised by Dr. Ir. Yandra Arkeman, MEng as the advisory committee chairman, Prof. Ir. Himawan Adinegoro, MSc. DFT as the members.

The role of processing industry sector is great enough, its contribution is reached 26.8% of national GDP. Among processing industry sectors, the food industry gives the second largest contribution at least 27%. The same situation occurred in Bogor. Processing industry contributed the second largest, reached 19.72% of the Gross Regional Domestic Product in 2010, where the sub sectors of the food industry play a part. The structure of the food industry in Bogor is dominated by small enterprise (96%). One of the problems on small medium enterprise is the emergency of food safety issues due to low sanitation and hygiene practices. Based on the data from outbreaks (epidemics) of Indonesia in 2001-2006 is known that the major cause of poisoning is due to microbes and are common in food products produced by small-medium enterprise and catering.

The objective of this research is to formulate strategy of improving food safety base on implementation Good Manufacturing Practices (GMP’s). This research presents I’SWOT analysis regarding the implementation GMP’s on bakery at small-medium enterprises in Bogor. I’SWOT is an expert choice justification model which is used for structural analysis model by taking several elements for the strategic environmental factors. SWOT analysis for the strategic environmental factors has identified the significant aspect of the supporting elements, constraints and, the groups of the alternative strategy. Interpretive Structural Modelling (ISM) is used to find out the principal sub-elements of each strategy and stakeholders elements have been analysed to enrich the formulate strategy. Complete analysis of this research has built five alternative formulation strategy for improving food safety base on implementation GMP’s, with considering respective limitation.

Keywords : GMP, SWOT Analysis, ISM, Sme’s, bakery


(6)

(7)

v

RINGKASAN

Triningsih Herlinawati. Strategi Peningkatan Mutu Keamanan Produk Roti

Industri Kecil Menengah Melalui Penerapan Good Manufacturing Practices.

Dibawah bimbingan: Dr. Ir. Yandra Arkeman, M.Eng sebagai ketua komisi pembimbing, Prof. Ir. Himawan Adinegoro, M.Sc DFT. sebagai anggota komisi pembimbing.

Peranan sektor industri pengolahan cukup besar, kontribusinya mencapai 26,8% dari PDB Nasional. Dari sub sektor industri pengolahan, industri makanan memberikan kontribusi terbesar kedua mencapai 27%. Situasi yang sama terjadi di Kota Bogor, industri pengolahan memberikan kontribusi terbesar kedua mencapai 19,72% terhadap PDRB Bogor tahun 2010 , dimana industri makanan menjadi sub sektor yang ikut berperan penting. Struktur industri makanan di Kota Bogor didominasi oleh industri skala kecil (96%). Permasalahan pada industri kecil antara lain munculnya isu keamanan pangan karena rendahnya praktek sanitasi dan hygiene. Untuk memperoleh jaminan keamanan pangan perlu diterapkan sistem keamanan pangan dalam setiap proses produksi melalui

penerapan cara-cara produksi makanan yang baik atau Good Manufacturing

Practices (GMP). GMP menyediakan kebutuhan dasar yang harus dipenuhi untuk menjamin baik praktek-praktek yang berkaitan pekerja, fasilitas dan lingkungan, peralatan dan pengendalian proses.

Penelitian ini bertujuan untuk membuat perancangan strategi peningkatan mutu keamanan pangan produk roti industri kecil menengah di wilayah Kota

Bogor berdasarkan praktek cara produksi makanan yang baik (Good

Manufacturing Practices/ GMP.

Penelitian dilakukan di Kota Bogor. Data diperoleh melalui kajian literatur, observasi, wawancara mendalam dan pengisian kuisioner. Perumusan strategi menggunakan analisis I-SWOT (ISM-SWOT). I-SWOT adalah sebuah model pemilihan pakar yang digunakan untuk model analisis struktural dengan mengambil beberapa elemen dari faktor lingkungan strategis.

Analisis SWOT dilakukan menggunakan matriks IEF (Internal Evaluation

Factor) dan matriks EEF (Eksternal Evaluation Factor), berdasarkan agregasi pendapat pakar dengan teknik perbandingan berpasangan. Hasil penelitian

menunjukan terdapat 7 faktor kekuatan (strengths) meliputi letak geografis

strategis, sektor basis perekonomian, infrastruktur laboratorium pendukung, sarana-prasarana, kebijakan, keuangan dan koordinasi. Selain itu diidentifikasi 7

faktor kelemahan (weakness) meliputi ketiadaan rencana strategis, kurangnya

jumlah dan keahlian SDM, kurang modal, media informasi kurang memadai dan kurangnya mekanisme pengawasan.Nilai/skor IFE adalah 2,33 menunjukkan pemerintah kota Bogor cukup baik dalam mengelola kondisi internalnya, dengan faktor kekuatan yang memiliki skor bobot tertinggi adalah kebijakan pemerintah dalam pembebasan biaya SP-PIRT ( skor 2,78). Hasil analisis lingkungan

eksternal menunjukan 5 faktor peluang (opportunities) meliputi peluang pasar,

bantuan eksternal, perubahan pola konsumsi, perkembangan tehnologi informasi dan lembaga pendidikan/penelitian. Terdapat 4 faktor ancaman (treaths) meliputi persaingan bakery sejenis, kenaikan listrik/BBM , perkembangan produk substitusi dan kekuatan pembeli. Nilai/skor EFE yang diperoleh adalah 2,48, menunjukkan pemerintah Kota Bogor belum cukup mampu memanfaatkan


(8)

vi

peluang dan meminimalkan ancamam lingkungan eksternal. Peluang yang dinilai utama adalah potensial peluang pasar dalam negeri (skor 0,457), sedang ancaman

yang dianggap utama adalah persaingan dari produk roti sejenis (franchaise) /

produk dari luar kota (skor 0,156).

Penentuan posisi pemerintah kota Bogor dalam peningkatan GMP

menggunakan matriks IE (Internal Eksternal), dan diperoleh posisi pemerintah

Kota Bogor berada pada posisi kuadran V dengan koordinat (2,33; 2,476). Posisi sel ini menunjukkan peningkatan penerapan GMP industri IKM roti dapat ditangani dengan baik melalui strategi menjaga dan mempertahankan IKM yang telah memenuhi GMP melalui pengawasan. Adapun strategi penetrasi dilakukan terhadap IKM roti yang belum memenuhi penerapan GMP melalui kegiatan penyuluhan, publikasi, promosi. Adapun pengembangan yang dapat dikembangkan pada posisi ini adalah mengembangkan alternatif metode, panduan, publikasi agar mendorong persyaratan GMP dapat lebih dipahami oleh IKM roti.

Interpretive Structural Modelling (ISM) digunakan untuk mengetahui hirarki dan elemen kunci sub-elemen dari setiap strategi dan aktor pelaku yang dianalisis untuk memperkaya perumusan strategi . Elemen yang dianalisis

menggunakan Interpretive Structural Modelling (ISM) yaitu elemen kendala,

pendukung dan aktor pelaku. Elemen kunci faktor kendala yang mempengaruhi peningkatan penerapan GMP IKM roti yaitu belum adanya Rencana Strategis Aksi Pangan-Gizi Daerah maupun Rencana Strategis Pengembangan Industri yang ditetapkan oleh pemerintah daerah Kota Bogor. Elemen kunci faktor pendukung yaitu letak Kota Bogor yang strategis; dukungan sarana prasarana yang memadai; peluang potensial pasar; perubahan pola konsumsi dan kesadaran

hidup sehat konsumen; serta penggunaan tehnologi dan informasi. Elemen kunci

aktor pelaku yang mempengaruhi penerapan Good Manufacturing Practices IKM

Bakeri yaitu Badan Perencanaan Daerah, Dinas Kesehatan, Dinas Perindustrian

dan Perdagangan Kota Bogor serta Perguruan tinggi.

Analisis lengkap penelitian ini telah membangun perumusan 5 strategi alternatif untuk meningkatkan keamanan pangan dasar produk IKM roti di kota Bogor melalui penerapan GMP, dengan mempertimbangkan keterbatasan masing-masing.


(9)

vii © Hak Cipta milik IPB, Tahun 2012

Hak Cipta dilindungi Undang-undang

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya penulis ini tanpa

mencantumkan atau menyebutkan sumber.

a. Penggunaan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan

karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah.

b. Pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar bagi IPB.

2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis


(10)

(11)

ix

STRATEGI PENINGKATAN MUTU KEAMANAN

PRODUK ROTI INDUSTRI KECIL MENENGAH MELALUI

PENERAPAN GOOD MANUFACTURING PRACTICES (GMP)

TRININGSIH HERLINAWATI

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Program Studi Teknologi Industri Pertanian

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2012


(12)

x


(13)

xi

Judul Tesis : Strategi Peningkatan Mutu Keamanan Produk Roti

Industri Kecil Menengah Melalui Penerapan

Good Manufacturing Practices (GMP)

Nama : Triningsih Herlinawati

NRP : F351100221

Program Studi : Teknologi Industri Pertanian

Disetujui Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Yandra Arkeman, MEng Prof.Ir. Himawan Adinegoro, MSc. DFT

Ketua Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana

Teknologi Industri Pertanian

Dr. Ir. Machfud, MS Dr. Ir. Dahrul Syah, MSc. Agr


(14)

(15)

xiii PRAKATA

Puji dan syukur hanyalah milik Allah SWT, Tuhan alam semesta, pemilik segala ilmu dan kekuasaan, yang atas kehendak dan izin-Nya penulis dapat menyelesaikan pendidikan S2 di Program Studi Teknologi Industri Pertanian IPB Bogor. Pada kesempatan ini, penulis menghaturkan terima kasih yang tak terhingga khususnya kepada:

1. Bapak Dr. Yandra Arkeman, MEng dan Bapak Prof. Ir. Himawan Adinegoro,

MSc. DFT selaku pembimbing yang senantiasa memberikan bimbingan, arahan, masukan dengan sabar dan penuh perhatian selama melaksanakan penelitian dan penulisan.

2. Bapak Dr. Ir. Machfud, MS dan Ibu Dr. Ir. Titi Chandra Sunarti, MS selaku

penguji

3. Keluarga besar Darmanto Hadiwidjaya dan Fauzan, suamiku tercinta Imam

Wahyudi serta ananda Dimas AW, Raihan AW, Ranaa A. Salsabilla yang senantiasa menanti dengan sabar dan mendoakan agar tugas belajar ini dapat selesai.

4. Bapak Ir.M. Maman Rohaman, MSc., Gupuh Samirono, BBA., H. Maman

Surahman, Ibu Dr. Ratih Dewanti Harijadi, MSc. dan Dra. Nurhaedah, Apt., atas kesediaannya menjadi nara sumber pada penelitian ini.

5. Kementrian Riset dan Teknologi serta Badan Standardisasi Nasional yang

memberi kesempatan penulis untuk menempuh pendidikan lanjut.

6. Rekan-rekan S2/S3 di Program Studi Teknologi Industri Pertanian IPB Bogor

khususnya angkatan 2010 yang menyertai penulis dalam menjalani pendidikan dan group CIGARIS bimbingan Pak Yandra yang selalu kompak, saling dukung dan saling berbagi dalam proses penyelesaian studi.

7. Semua pihak yang memberikan kontribusi dalam penyusunan karya tulis ini

yang tidak bisa disebutkan satu persatu.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa karya tulis ini masih memiliki banyak kekurangan dan dengan lapang dada penulis akan menerima segala bentuk masukan, saran dan kritik dari semua pihak.

Bogor, Agustus 2012


(16)

(17)

xv

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Salatiga, pada tanggal 17 September 1973 dari ayah Darmanto Hadiwidjaya dan Ibu Tjijih Suwarsih. Penulis adalah anak ketiga dari lima bersaudara.

Penulis menyelesaikan pendidikan dasar pada tahun 1986 di SD Negeri 1 Salatiga. Pada tahun 1989 menamatkan pendidikan menengah di SMP Negeri 1 Salatiga dan pada tahun 1991 lulus dari SMA Negeri 1 Salatiga. Penulis diterima untuk melanjutkan pendidikan tinggi di Institut Pertanian Bogor pada tahun 1991 dan belajar di Fakultas Pertanian, Jurusan Budidaya Pertanian hingga lulus pada tahun 1995. Selanjutnya penulis melanjutkan program master pada tahun 2010 di program studi Teknologi Industri Pertanian, Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Saat ini penulis bertugas di Pusat Akreditasi Lembaga Sertifikasi Badan Standardisasi Nasional dari tahun 2000 sampai tahun 2010. Jabatan terakhir sebagai Kepala Sub Bidang Proses Akreditasi LSSM, LSSHACCP, selain itu penulis aktif sebagai Lead Auditor Sistem Manajemen Mutu, Sistem HACCP dan Produk.

Penulis menikah dengan Imam Wahyudi, SP dan telah dikarunia dua putra bernama Dimas Amanullah Wahyudi dan Raihan Athaillah Wahyudi serta seorang putri bernama Ranaa Aulia Salsabila.


(18)

(19)

xvii DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL ... xix

DAFTAR GAMBAR ... xxi

DAFTAR LAMPIRAN ... xxiii

1. PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar belakang ... 1

1.2 Tujuan dan manfaat penelitian ... 4

1.3 Ruang lingkup penelitian ... 4

2. TINJAUAN PUSTAKA ... 5

2.1 Industri Kecil dan Menengah ... 5

2.2 Keamanan Pangan ... 8

2.3 Cara Produksi Yang Baik/ Good Manufacturing Practices ... 15

2.4 Sertifikat Produksi Pangan Industri Rumah Tangga (SP-PIRT) ... 20

2.5 Industri Roti ... 22

2.6 Manajemen Strategis ... 24

2.7 Metode Analisis SWOT ... 28

2.8 Metode ISM (Interpretive Structural Modelling) ... 30

2.9 Penelitian Terdahulu ... 32

3. METODOLOGI PENELITIAN ... 37

3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian ... 37

3.2 Kerangka Pemikiran ... 37

3.3 Metode Pengumpulan Data dan Instrumentasi ... 38

3.4 Metode Penentuan Responden ... 38

3.5 Tahapan Penelitian ... 38

4. GAMBARAN UMUM KOTA BOGOR ... 51

4.1 Potensi IKM Makanan Kota Bogor ... 51

4.2 Potensi IKM Roti Kota Bogor ... 53

4.3 Kondisi Umum Pemenuhan GMP/ CPPB pada IKM Roti ... 54


(20)

xviii

5. HASIL DAN PEMBAHASAN……. ... 73

5.1 Identifikasi dan Analisis Lingkungan Internal ... 73

5.2 Identifikasi dan Analisis Lingkungan Eksternal ... 82

5.3 Matrik IFE dan EFE ... 88

5.4 Matrik Internal- Eksternal (IE) ... 91

5.5 Strukturisasi ISM ( Interpretive Structural Modeling) ... 92

5.6 Perumusan Strategi (Matriks I’SWOT) ... 100

5.7 Pembuatan Keputusan Strategi ... 107

6. KESIMPULAN DAN SARAN ... 109

6.1 Kesimpulan ... 109

6.2 Saran ... 109

DAFTAR PUSTAKA ... 111


(21)

xix

DAFTAR TABEL

1 Struktur industri Indonesia tahun 2005 – 2009 ... 6

2 Ambang batas cemaran mikroba pada produk roti ... 23

3 Persentase penerapan hiegiene pada industri kecil pangan ... 34

4 Simbol hubungan dan definisi kontekstual antar elemen ISM-VAXO ... 46

5 Elemen dan hubungan kontekstual ... 46

6 Matriks I’SWOT ... 49

7 Jumlah industri makanan di kota Bogor tahun 2009 – 2011. ... 52

8 Perkembangan penyerapan tenaga kerja industri pangan di kota Bogor tahun 2009 – 2011 ... 52

9 Perkembangan nilai investasi industri pangan di kota Bogor tahun 2009 – 2011 ... 53

10 Distribusi jumlah industri roti di kota Bogor tahun 2011 berdasarkan pengelompokan nilai investasi ... 54

11 Distribusi jumlah industri roti di kota Bogor tahun 2011 berdasarkan pengelompokan jumlah tenaga kerja ... 54

12 Jumlah industri pangan kota Bogor yang memperoleh SP-PIRT dan sertifikat produk yang terbit tahun 2006-2011 ... 55

13 Faktor-faktor lingkungan internal ... 73

14 Jumlah pelanggan listrik dan daya tersambung menurut kecamatan di kota Bogor tahun 2008 ... 76

15 Realisasi penerimaan daerah Kota Bogor tahun 2011 ... 77

16 Program dan indikator pelaksanaan strategi peningkatan pengawasan mutu dan keamanan pangan RAN PG Tahun 2011-2015 ... 79

17 Faktor-faktor lingkungan eksternal ... 83

18 Daftar nama balai penelitian di Kota bogor ... ... 85

19 Perkembangan Harga Gas Elpiji per Kemasan (Rp/Kg) ... 86

20 Matriks IFE (Internal Factor Evaluation) ... 89

21 Matriks EFE (External Factor Evaluation) ... 90

22 Elemen kunci peningkatan penerapan GMP di IKM roti ... 99


(22)

(23)

xxi

DAFTAR GAMBAR

1 Persentase pelanggaran produk pangan ... 11 2 Model komprehensif manajemen strategis ... 25 3 Diagram alir penelitian ... 39 4 Matriks internal-eksternal (IE) ... 44 5 Matriks klasifikasi sub – elemen berdasarkan tingkat pengaruh dan

ketergantungan ... 48

6 Perkembangan jumlah industri kecil formal dan non formal

di kota Bogor (2007-2009) ... 51

7 Prosentase kategori hasil penilaian SP-PIRT tahun 2006- 2010 ... 58

8 Pola kecenderungan hasil pemeriksaan 13 parameter/ grup CPPB-IRT

di 21 propinsi tahun 2003-2005 ... 58 9 Dinding tidak seluruhnya dari bahan kedap ... 60 10 Jendela tidak dilengkapi pintu kasa yang mudah dibersihkan ... 60 11 Peralatan proses produksi yang tidak terpelihara kebersihannya ... 61 12 Letak peralatan proses produksi di sebelah jendela berpotensi kontaminasi 61 13 Belum tersedia sarana cuci tangan di dekat ruang produksi ... 63

14 Pembersihan peralatan proses produksi yang tidak rutin dilakukan .... 63

15 Pekerja pengolah pangan yang tidak menggunakan tutup kepala dan sarung

tangan ... 64 16 Penyimpanan bahan baku ... 65 17 Penyimpanan kemasan ... 65 18 Matriks IE posisi pemerintah Kota Bogor ... 91 19 Matriks driver power-dependence untuk elemen pendukung. ... 93 20 Struktur hirarki dan faktor kunci elemen pendukung. ... 94 21 Struktur hirarki dan faktor kunci elemen kendala. ... 96 22 Struktur hirarki dan faktor kunci elemen aktor pelaku. ... 98


(24)

(25)

xxiii

DAFTAR LAMPIRAN

1. Kualifikasi pakar yang digunakan dalam penelitian ... 119 2. Struktur Organisasi Dinas Kesehatan Bogor ... 120

3. Struktur Organisasi Dinas Perindustrian dan Perdagangan Bogor ... 121

4. Jumlah unit usaha industri di Kota Bogor tahun 2006 – 2011 ... 122 5. Industri roti yang terdaftar di Dinasperindag Kota Bogor ... 123

6. Industri roti yang mendapat SP-PIRT dari Dinas Kesehatan Bogor . 124

7. Formulir penilaian CPPB-IRT... ... 155 8. Hasil pengolahan ISM ... 132 9. Hasil penentuan rating pada Matrik IEF dan Matrik EFE ... 135 10. Hasil penentuan bobot pada Matrik IEF dan Matrik EFE ... 136


(26)

(27)

1  

1. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Salah satu kelompok utama industri pengolahan non-migas yang memberikan sumbangan tertinggi pada PDB Nasional adalah cabang industri makanan, minuman dan tembakau. Pertumbuhan PDB industri makanan, minuman dan tembakau pada tahun 2004-2009 diperkirakan rata-rata 3,26% per tahun dan tahun 2009-2014 diproyeksikan menempati urutan kedua (KADIN, 2010). Hal ini membuktikan bahwa peranan industri makanan minuman di Indonesia cukup penting, karena pangan merupakan kebutuhan yang paling mendasar bagi manusia.

Saat ini, dunia telah memasuki era globalisasi yang berdampak terhadap sistem perdagangan international yang bebas dan lebih terbuka. Perdagangan global juga memberikan dampak terhadap industri makanan minuman dengan munculnya isu keamanan pangan. Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 28 tahun 2004 tentang Keamanan, Mutu dan Gizi Pangan, keamanan pangan adalah kondisi dan upaya yang diperlukan untuk mencegah pangan dari kemungkinan cemaran biologis, kimia dan benda lain yang mengganggu, merugikan dan membahayakan kesehatan manusia.

Foodborne disease merupakan penyakit yang diakibatkan karena mengkonsumsi makanan yang tercemar mikroba pathogen (Riemann dan Bryan, 1979). Sebagian besar penyakit pada manusia disebabkan oleh makanan yang tercemar bakteri patogen, seperti penyakit tipus, disentri, botulisme, dan hepatitis A (Winarno, 1997). Data kejadian luar biasa (KLB) tahun 2001-2006 adalah 610 KLB, diketahui bahwa penyebab keracunan utama adalah karena mikroba dan umumnya terjadi pada produk pangan yang dihasilkan oleh IRT (Industri Rumah Tangga) dan jasa boga (BPOM, 2008).

Menurut Fardiaz (2006) selama ini ada empat masalah utama keamanan pangan di Indonesia yaitu: 1) pencemaraan pangan oleh mikroba karena rendahnya praktek-praktek sanitasi dan hygiene, 2) pencemaran pangan oleh bahan kimia berbahaya, 3) pengunaan yang salah (misuse) bahan berbahaya yang dilarang digunakan untuk pangan dan 4) penggunaan melebihi batas maksimum


(28)

2  

yang diijinkan (abuse) dari tambahan pangan yang sudah diatur penggunaannya oleh BPOM. Hariyadi (2008) menyimpulkan bahwa Indonesia menghadapi permasalahan pangan pada dua tingkat yang berbeda yaitu: 1) tingkat mendasar. karena buruknya praktek-praktek pengolahan pangan; dan 2) tingkat "emerging" yang selalu berubah.

Menurut data BPS, sebagian besar industri makanan adalah dari skala kecil yang menggunakan teknologi sederhana dengan pengetahuan dalam keamanan makanan yang kurang memadai. Di Indonesia, dari 6 juta unit industri makanan kebanyakan adalah skala mikro dengan aset kurang dari Rp 200.000.000 dan

mempekerjakan 1-4 orang; atau merupakan skala kecil dengan asset Rp 200.000.000- Rp 1.000.000.000 dan memperkerjakan 5-19 karyawan). 

Sebagian besar industri makanan di negara-negara berkembang adalah industri berskala kecil yang belum memenuhi standar GMP ( Dewanti, 2009). Hal ini sesuai dengan hasil inspeksi BPOM yang mengatakan bahwa dari 4.007 sarana produksi yang diperiksa tahun 2007, sebanyak 2.271 (57 %) sarana yang tidak memenuhi ketentuan; sehingga tidak rnampu menerapkan GMP secara konsisten. Bahkan pada industri rumah tangga pangan (IRTP) sebesar 76% dari total sarana tidak memenuhi ketentuan (BPOM, 2008). Hasil pemeriksaan terhadap sarana produksi makanan/minuman skala rumah tangga, menengah dan besar menemukan sekitar 33,15% – 42,18% sarana tidak memenuhi persyaratan higiene dan sanitasi (Fardiaz, 1996). Secara kualitatif, data yang ada menunjukkan rendahnya kondisi sanitasi dan higienitas sarana produksi pangan di Indonesia.

Cara-cara produksi makanan yang baik atau Good Manufacturing Practices (GMP) adalah dasar operasi pengolahan makanan untuk mencapai kualitas yang konsisten dan keamanan. GMP menyediakan kebutuhan dasar yang harus dipenuhi untuk menjamin baik praktek-praktek yang berkaitan pekerja, fasilitas dan lingkungan, peralatan dan pengendalian proses. Salah satu cara pemerintah menjamin agar industri pangan kecil dan menengah memenuhi cara produksi pangan yang baik adalah melalui penerbitan sertifikat produksi pangan industri rumah tangga. Sertifikat Produksi Pangan Industri Rumah Tangga, yang selanjutnya disingkat SP-PIRT.


(29)

3  

Produk roti merupakan salah satu jenis produk pangan yang cukup digemari di Indonesia. Saat ini roti bahkan sering dikonsumsi oleh masyarakat Indonesia sebagai pengganti nasi saat sarapan, terutama dikarenakan kepraktisan dan sebagai variasi dalam mengkonsumsi pangan. Produk roti sebagai alternatif sumber karbohidrat pengganti nasi, perannya tidak lagi sebatas sebagai menu untuk sarapan, tetapi juga untuk menu makan siang dan makan malam. Oleh karena itu, mutu dan gizi produk roti sangat perlu untuk diperhatikan agar dapat memberikan sumbangan gizi yang berarti bagi manusia. Industri yang memproduksi roti juga beragam jenisnya mulai dari industri skala kecil hingga besar, dikarenakan pembuatan dapat dilakukan secara manual maupun otomatis (menggunakan mesin).

Berdasarkan data Disperindag Kota Bogor tahun 2012, terdapat 46 industri kecil formal yang terdaftar di Disperindag Kota Bogor yang bergerak pada pembuatan roti di Kota Bogor, dimana potensi volume produksi per tahun untuk golongan IKM relatif cukup besar dengan kontinuitas produksi cenderung tidak berfluktuasi tajam. Berdasarkan data hasil pemeriksaaan sarana produksi industri rumah tangga pangan (IRTP) roti pada tahun 2006-2011 oleh petugas inspektor pengawas pangan Kota Bogor dalam rangka proses SP-PIRT, menunjukan 75,51% IRTP yang dinilai memperoleh skala nilai kategori C (cukup). Hal ini berarti 4 grup utama aspek penilaian suplai air, pengendalian hama, kesehatan dan hygiene karyawan, pengendalian proses bernilai cukup dan grup lainnya bernilai kurang maksimal 4. Hal ini menandakan bahwa belum semua aspek GMP diterapkan dengan baik oleh IKM/ IRTP roti di Kota Bogor.

Berdasarkan hal tersebut, adanya potensi industri IKM roti di Kota Bogor, perlu diimbangi dengan peningkatan mutu keamanan pangan melalui pembinaan industri untuk dapat menerapkan GMP. Secara khusus, pemerintah daerah perlu memberikan prioritas yang cukup pada pembinaan dan fasilitasi prasarana keamanan pangan untuk industri kecil dan menengah. Peningkatan kondisi keamanan pangan industri kecil menengah ini akan memberikan dampak pada peningkatan status kesehatan masyarakat, peningkatan daya saing produk, dan pada gilirannya akan meningkatkan produktivitas dan akan berkontribusi pada peningkatan daya saing bangsa.


(30)

4  

1.2 Tujuan dan Manfaat Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk membuat perancangan strategi peningkatan mutu keamanan pangan produk roti industri kecil menengah di wilayah Kota Bogor berdasarkan praktek cara produksi makanan yang baik (Good Manufacturing Practices/ GMP), sehingga pada akhirnya dapat meningkatkan dan menjamin mutu produk industri IKM yang aman dan sesuai dengan keinginan dan harapan konsumen.

Manfaat penelitian diharapkan sebagai sebagai alat bantu dalam perumusan strategi bagi pemerintah daerah dan instansi terkait untuk meningkatan mutu keamanan produk roti industri IKM melalui penerapan GMP.

1.3 Ruang Lingkup

Lingkup penelitian ini dilakukan pada IKM roti di wilayah Kota Bogor. Penelitian ini dibatasi pada lingkup industri kecil menengah roti yang terdaftar di Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kota Bogor dan/atau Dinas Kesehatan Kota Bogor. Kategori industri kecil menengah (IKM) yang digunakan berdasarkan kategori yang ditetapkan Dinas Perindustrian dan Perdagangan dan/atau kategori Industri Rumah Tangga Pangan (IRTP) yang ditetapkan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM). Ruang lingkup penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Pengkajian faktor lingkungan eksternal dan internal yang mempengaruhi

penerapan GMP di IKM roti Kota Bogor.

2. Strukturisasi elemen kunci yang mempengaruhi peningkatan mutu keamanan melalui penerapan GMP pada industri IKM roti Kota Bogor

3. Penyusunan formulasi strategi peningkatan mutu keamanan produk IKM roti melalui penerapan GMP berdasarkan hasil analisa SWOT dan ISM (Interpretive Structural Modelling)


(31)

5  

2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Industri Kecil dan Menengah

Industri Kecil Menengah di Indonesia merupakan bagian penting dari sistem perekonomian nasional karena peranannya dapat mempercepat pemerataan pertumbuhan ekonomi melalui misi penyediaan lapangan usaha dan lapangan kerja, peningkatan pendapatan masyarakat dan ikut berperan dalam memperoleh devisa serta memperkokoh struktur industri nasional (Hubies, 1997).

Definisi Usaha Kecil menurut Undang- undang No. 20 tahun 2008 adalah usaha ekonomi produktif yang berdiri sendiri, yang dilakukan oleh orang perorangan atau badan usaha, dan memiliki kriteria usaha Kecil yaitu: a) memiliki kekayaan bersih lebih dari Rp 50.000.000 (lima puluh juta rupiah) sampai dengan paling banyak Rp 500.000.000 (lima ratus juta rupiah) tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha; atau b) memiliki hasil penjualan tahunan lebih dari Rp 300.000.000 (tiga ratus juta rupiah) sampai dengan paling banyak Rp 2.500.000.000 (dua milyar lima ratus juta rupiah). Definisi Usaha Menengah

adalah usaha ekonomi produktif yang berdiri sendiri, yang dilakukan oleh orang perorangan atau badan usaha dan miliki jumlah kekayaan bersih atau hasil penjualan tahunan sebagai berikut: a) memiliki kekayaan bersih lebih dari Rp 500.000.000 (lima ratus juta rupiah) sampai dengan paling banyak Rp 10.000.000.000 (sepuluh milyar rupiah) tidak termasuk tanah dan bangunan

tempat usaha; atau b) memiliki hasil penjualan tahunan lebih dari Rp 2.500.000.000 (dua milyar lima ratus juta rupiah) sampai dengan paling

banyak Rp 50.000.000.000 (lima puluh milyar rupiah).

Menurut Biro Pusat Statistik (1998), definisi industri rumah tangga adalah unit usaha dengan pekerja paling banyak 4 orang termasuk pengusaha, sedangkan industri kecil adalah unit usaha dengan jumlah pekerja paling sedikit 5 orang dan paling banyak 19 orang. Industri menengah adalah unit usaha dengan jumlah pekerja paling sedikit 20 dan paling banyak 99 orang.

Menurut Keppres RI No. 99 Tahun 1998 pengertian usaha kecil adalah kegiatan ekonomi rakyat yang berskala kecil dengan bidang usaha yang secara


(32)

6  

mayoritas merupakan kegiatan usaha kecil dan perlu dilindungi untuk mencegah dari persaingan usaha yang tidak sehat.

Menurut Departemen Perindustrian dan Perdagangan, IKM adalah kelompok industri kecil modern, industri tradisional, dan industri kerajinan yang mempunyai investasi modal untuk mesin-mesin dan peralatan sebesar Rp 70 juta ke bawah dan usahanya dimiliki oleh warga Negara Indonesia (Hubeis, 1977).

Menurut Peraturan Pemerintah No. 28 tahun 2004 yang termasuk industri rumah tangga pangan (IRTP) adalah perusahaan pangan yang memiliki tempat usaha di tempat tinggal dengan peralatan pengolahan pangan manual hingga semi otomatis.

Berdasarkan data BPS tahun 2009, jumlah industri kecil / menengah di Indonesia sebesar 3.755.238 juta unit usaha, sedangkan industri besar berkisar 2.867 unit usaha . Laju pertumbuhan industri mikro dan kecil pada akhir tahun 2011 telah mencapai 1,48% (BPS, 2011). Perkembangan struktur industri di Indonesia seperti terlihat dalam Tabel 1.

Tabel 1 Struktur industri Indonesia tahun 2005 – 2009

N O

Uraian Satu an

2005 2006 2007 2008* 2009** 1 Unit Usaha/Unit Unit 2.811.468,0 3.220.061,0 3.442.306,0 3.545.100 3.758.105 1.1 Industri Kecil Unit 2.795.237,0 3.200.620,0 3.422.672,0 3.526.420 3.739.507 1.2 Industri Menengah Unit 13.712,0 16.886,0 15.782,0 15.709 15.731 1.3 Industri Besar Unit 2.519,0 2.555,0 3.852,0 2.971 2.867 2 Tenaga Kerja Orang 10.971.630,0 12.597.214,0 13.223.776,0 13.424.341 13.987.659 2.1 Industri Kecil Orang 6.745.086,0 7.195.356,0 7.441.995,0 7.800.576 7.871.888 2.2 Industri Menengah Orang 140.992,0 175.901,0 190.936,0 190.696 201.966 2.3 Industri Besar Orang 4.085.552,0 5.011.535,0 5.590.844,0 5.433.069 5.913.805 3 PDB (adhk2000) Mil Rp 491.422,0 514.192,0 538.078,0 557.766 570.629 3.1 Industri Kecil Mil Rp 64.073,1 66.271,5 69.350,0 71.887 73.545 3.2 Industri Menengah Mil Rp 59.726,0 62.034,7 64.916,4 67.292 68.843 3.3 Industri Besar Mil Rp 367.622,8 385.886,0 403.811,5 418.587 428.241

Sumber: BPS diolah Kemenperin (2009) * ) Angka Sementara, ** ) Perkiraan

Kontribusi industri selama ini masih disumbang sebesar 75% dari industri-industri yang berada di Pulau Jawa dan sisanya di luar Pulau Jawa dan Bali. Hal ini dapat dimengerti karena penyebaran masih terkonsentrasi di Pulau Jawa. Lokasi industri untuk Pulau Jawa, berada di Jawa Tengah sebesar 38.71%, diikuti Jawa Timur 31,05% dan Jawa Barat sebesar 21,29%.


(33)

7  

Sesuai Rencana Kerja Jangka Panjang pada tahun 2011-2014, Kementerian Perindustrian memfokuskan 6 kelompok industri yang berpeluang dikembangkan salah satunya adalah industri kecil dan menengah makanan karena mempunyai kedudukan strategis dalam perekonomian nasional. Industri kecil dan menengah berkontribusi dalam penyerapan tenaga kerja yang banyak, membuka peluang usaha secara luas dengan produk bervariasi dan beragam, mampu mengolah sumberdaya lokal baik untuk pasar dalam negeri maupun ekspor. Data pertumbuhan industri makanan minuman cenderung naik dari tahun 2004 sampai tahun 2009, dimana pada tahun 2009 mencapai 11,29%.

Sukarman (2007) mencirikan bahwa karakteristik usaha mikro kecil dan menengah di Indonesia secara umum yaitu: a) tradisional, b) perorangan, c) sarat penggunaan sumber daya lokal, d) menghasilkan produk sederhana, e) teknologi yang digunakan tepat guna, f) usaha lebih fleksibel dan padat karya, g) khusus usaha mikro terutama berada pada golongan masyarakat miskin dan berpenghasilan rendah. Kendala umum yang dihadapi oleh usaha mikro kecil dan menengah di Indonesia sebagai berikut a) kualitas SDM rendah (94,7% SLTP ke

bawah ), b) akses pasar terbatas, c) manajemen sederhana atau tradisional, d) sistem pembukuan / administrasi keuangan belum baik, e) belum terdaftar

secara formal, f) tidak memenuhi persyaratan bank teknis, g) kurang akses informasi dan pemanfaatan teknologi, h) kurang menjaga kualitas produk, i) permodalan untuk mengembangkan usahanya.

Sedangkan menurut Hubeis (1997), kendala pengembangan industri kecil dapat disebabkan oleh faktor kemampuan yang bersifat alamiah (mental dan budaya kerja), tingkat pendidikan SDM, terbatasnya keterampilan dan keahlian, keterbatasan modal dan informasi pasar, volume produksi yang terbatas, mutu yang beragam, penampilan yang sederhana, infrastruktur dan peralatan yang usang, beberapa kebijaksanaan dan tingkah laku dari pelaku bisnis yang bersangkutan. Hal ini menyebabkan produk yang dihasilkannya sangat beragam, baik dalam mutu, ukuran, warna maupun bentuk/desain, yang pada akhimya berdampak terhadap harga jual yang kurang kompetitif.

Menurut Departemen Perindustrian (2008), keadaan spesifik industri makanan di Indonesia antara lain kurang memperhatikan aspek higienis; masih


(34)

8  

ada penggunaan bahan tambahan pangan (BTP) tidak benar/bahan tambahan yang dilarang; pengelolaan/manajemen usaha masih sederhana; mutu sangat beragam dan masih banyak yang belum memenuhi standar; kemasan sangat sederhana, tidak menarik, dan label tidak sesuai dengan isi; masuknya produk-produk makanan dari negara lain yang mempunyai daya saing cukup tinggi.

Selain itu industri kecil belum memiliki bentuk organisasi yang mampu untuk menghadapi perubahan dengan cepat, karena struktur organisasi internalnya masih sederhana (mendekati organisasi lini), yaitu manajer umum (pemilik) merangkap jabatan pengawas, dan bagian lain (produksi, penjualan dan pemasaran, serta pembelian) diserahkan kepada orang tertentu di lingkungan keluarga atau pegawai yang telah dipercayai. Struktur tersebut pada dasarnya telah mencerminkan adanya lalu lintas wewenang dan tanggung jawab secara vertikal, serta hubungan antar bagian secara horisontal, tetapi yang menjadi persoalan masil dominannya keterlibatan pemilik dalam segala kegiatan usaha (one man show). Untuk memperbaiki situasi tersebut diperlukan peningkatan. kemampuan personil (komunikasi, kerja kelompok, inovasi dan leadership) dan kemampuan manajerial (kepemimpinan dan penerapan manajemen fungsional), serta gaya kerja, baik secara mutlak (necessary condition) maupun tambahan (sufficient condition) dalam mencapai kompetivitas secara spesifik maupun global (Hubeis, 1997).

2.2 Keamanan Pangan

2.2.1 Definisi Keamanan Pangan

Menurut Undang-undang RI No.7 tahun 1996 tentang Pangan, mutu pangan adalah nilai yang ditentukan atas dasar kriteria keamanan pangan, kandungan gizi dan standar perdagangan terhadap bahan makanan, makanan dan minuman. Berdasarkan pengertian tersebut, mutu pangan tidak hanya mengenai kandungan gizi tetapi mencakup keamanan pangan dan kesesuaiannya dengan standar perdagangan yang berlaku.

Definisi keamanan pangan menurut Codex adalah jaminan bahwa makanan tidak akan mengakibatkan bahaya bagi konsumen ketika itu dipersiapkan dan atau dimakan menurut pemakaian yang dimaksudkan atau dikehendaki (Hariyadi, 2007). Joint Expert Committee of Food Safety (JECFA) menyatakan keamanan


(35)

9  

pangan sebagai semua kondisi dan upaya yang diperlukan selama produksi, pengolahan, penyimpanan, distribusi, dan penyiapan makanan untuk memastikan bahwa makanan tersebut aman, bebas dari penyakit, sehat, dan baik dikonsumsi manusia.

Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 28 tahun 2004, keamanan pangan didefinisikan sebagai kondisi dan upaya yang diperlukan untuk mencegah pangan dari kemungkinan cemaran biologis, kimia, dan bahan lain yang dapat mengganggu, merugikan, dan membahayakan kesehatan manusia. Aman untuk dikonsumsi dapat diartikan, bahwa produk pangan tidak mengandung bahan yang dapat membahayakan kesehatan atau keselamatan manusia, yaitu menimbulkan penyakit atau keracunan. Disamping itu produk pangan juga harus layak untuk dikonsumsi, yaitu harus dalam keadaan normal, tidak menyimpang misalnya busuk, kotor dan menjijikkan. Pangan yang aman adalah pangan yang tidak mengandung bahaya biologi atau mikrobiologi, bahaya kimia, dan bahaya fisik.

Menurut Lawley (2008), secara sederhana aplikasi keamanan pangan diartikan sebagai praktik-praktik untuk memastikan bahwa produk pangan tidak menyebabkan kerugian bagi konsumen. Definisi tersebut mencakup topik-topik keamanan pangan secara luas mulai dari pengetahuan dasar dan higiene personal sampai prosedur teknis yang kompleks untuk menghilangkan kontaminan dari produk pangan dan bahan-bahan yang diolah dengan teknologi canggih. Pada dasarnya, praktik keamanan pangan dapat dikelompokan atas tiga dasar operasi: 1. Perlindungan rantai suplai pangan dari bahaya kontaminasi;

2. Pencegahan dari perkembangan dan penyebaran bahaya kontaminasi; dan 3. Penghilangan dampak kontaminasi dan zat-zat kontaminan secara efektif.

2.2.2 Sumber Bahaya Keamanan Pangan

Bahaya keamanan pangan tertuju pada faktor-faktor dalam bahan pangan yang berpotensi membahayakan kesehatan konsumen. Sumber-sumber bahaya keamanan pangan digolongkan menjadi tiga kategori, yaitu fisik, kimia, dan mikrobiologi. Bahaya yang bersifat fisik, contohnya serpihan batu dan logam; bersifat kimia, contohnya toksin yang diproduksi selama proses pengolahan pangan dan zat-zat alergenik; dan bersifat mikrobiologi, contohnya bakteri


(36)

10  

patogen, virus, parasit, prion, protozoa, dan gejala infeksi serta intoksikasi (Lawley 2008).

Menurut Rahayu (2008), kasus sumber kontaminan bahan pangan terdiri dari kontaminan biologi / mikrobiologi, kimia, dan kontaminan fisik. Kontaminan tersebut dapat mencemari pangan sejak masih berupa bahan mentah sampai siap dikonsumsi. Menurut FAO (1979) sebagian besar terjadinya keracunan makanan dan penyakit yang ada kaitannya dengan konsumsi pangan disebabkan oleh mikroorganisme dan toksin yang diproduksinya.

Lebih dari 90% kasus keracunan pangan disebabkan oleh kontaminasi mikroorganisme yang berasal dari air, tanah, udara, peralatan, bahan, dan tubuh manusia. Sisanya sekitar kurang dari 10% disebabkan oleh bahan kimia, baik yang berasal dari alam seperti aflatoksin, zat warna, monomer plastik, obat dan hormon pada tanaman dan ternak, maupun dalam bentuk kontaminan lingkungan seperti pestisida, logam berat seperti Pb, Arsen, Kadmium (Winarno, 1993).

Adanya bahaya atau cemaran pada pangan seringkali ditemukan karena rendahnya mutu bahan baku, teknologi pengolahan, belum diterapkannnya praktek sanitasi dan higinitas yang memadai, dan kurangnya kesadaran pekerja maupun produsen yang menangani pangan tradisional (Dewanti & Nuraida, 2001). Hasil penelitian Sapers et al. (2006) menyimpulkan ada empat faktor yang menjadi penyebab utama kasus keracunan pangan antara lain, praktik yang meragukan terhadap penggunaan air yang diklaim aman, lemahnya tindakan dalam manajemen hama atau hewan pengganggu, fasilitas dan peralatan yang tidak saniter, serta kurangnya penerapan praktik-praktik yang sehat dan higiene.

2.2.3 Permasalahan Keamanan Pangan

Data kinerja produk Indonesia untuk menembus pasar AS (tahun 2001-2005), dilihat dari aspek keamanan pangan masih sangat memprihatinkan. Sekitar 33-80% (rata-rata 62%) produk pangan ditolak karena alasan "filthy". Secara umum, filthy dapat diartikan bahwa pada produk tersebut mengandung "sesuatu yang tidak selayaknya ada dalam bahan pangan tersebut". Penyebab adanya filthy adalah karena masih kurang diterapkannya prinsip-prinsip penanganan dan pengolahan yang baik. Dengan kata lain, kepada produsen produk pangan dan


(37)

11  

hasil pertanian Indonesia masih perlu diperkenalkan, disosialisasikan. dan diawasi untuk menerapkan good practices (Hariyadi & Dewanti, 2003).

Peredaran produk pangan yang tercemar mikroba, tercemar logam, yang menggunakan bahan tambahan pangan (BTP) yang dilarang atau melebihi batas yang diperbolehkan (terutama zat pewarna, pengawet dan pemanis), adanya residu pestisida yang masih tinggi pada produk-produk hortikultura masih banyak ditemukan. Disamping itu banyak pula ditemukan peredaran produk pangan yang komposisinya tidak sesuai dengan label dan iklan pangan dipromosikan, produk pangan yang tidak mencantumkan masa kadaluwarsa dan produk pangan yang tidak memenuhi standar mutu (Anggrahini, 1997).

Berdasarkan data inspeksi 2001-2006 menunjukan bahwa beberapa jenis pelanggaran produk pangan yang sering terjadi adalah penggunaan pemanis buatan TMS, pengawet TMS, formalin, boraks, pewarna bukan untuk makanan, cemaran mikroba TMS, dan lain-lain. Persentase berbagai jenis pelanggaran produk pangan tahun 2001-2006 ditunjukkan pada Gambar 1. Penggunaaan pemanis buatan TMS merupakan pelanggaran dengan persentase relatif terbesar. Pada tahun 2001, pelanggaran jenis ini merupakan 15,65% dari keseluruhan jenis pelanggaran produk. Persentase tersebut meningkat menjadi 26,50% atau meningkat rata-rata 11,1% per tahun selama 2001-2006 (Hanani, 2009).

Sumber : Hanani (2009)


(38)

12  

Pada kenyataannya Indonesia harus menanggung beban ganda keamanan pangan yaitu masih belum diaplikasikannya prinsip GMP dengan baik dan khusus berkaitan dengan industri pangan berorientasi ekspor harus menghadapi berbagai isu keamanan pangan baru yang selalu bermunculan dari waktu ke waktu, berubah-ubah dan berbeda dari satu negara ke negara lainnya. Penyebab permasalahan beban ganda keamanan pangan di Indonesia ini adalah beium dipahami dan disadarinya arti strategis keamanan pangan. Oleh karena itu, pemerintah perlu memberikan perhatian yang layak pada (i) pembenahan infrastruktur keamanan pangan, (ii) program pendidikan pada produsen dan konsumen, (iii) prioritas alokasi dana untuk pembangunan keamanan pangan dan (iv) pembinaan dan fasilitasi prasarana untuk industri kecil dan menengah (Hariyadi, 2008).

Penanggulangan terhadap keamanan pangan sangat dibutuhkan, salah satunya yaitu dengan melakukan GAP (good agricultural practices) pada usaha produksi di farm, terutama untuk penggunaan pestisida, pupuk buatan, hormone pertumbuhan, pencemaran lingkungan, sedangkan dipabrik perlu diperhatikan penerapan GMP (good manufacturing practices) dan HACCP (hazard analysis critical control point) untuk mencapai mutu dan standar yang diperlukan, baik untuk konsumsi dalam negeri maupun untuk tujuan ekspor (Bintoro, 2009).

Hasil inspeksi BPOM tahun 2007 menunjukan bahwa dari 4.007 sarana produksi yang diperiksa terdapat 2.271 (57%) sarana yang tidak memenuhi ketentuan, sehingga tidak mampu menerapkan GMP (good manufacturing practices) secara konsisten. Bahkan pada industri rumah tangga pangan (IRTP), sebesar 76% dari total sarana tidak memenuhi ketentuan. Masalah utama yang perlu segera dipecahkan pemerintah adalah memfasilitasi IRTP mampu melengkapi dirinya dengan sarana dan prasarana sanitasi dan higienitas sehingga melaksanakan proses produksi pangan sesuai dengan kaidah GMP (Hariyadi, 2008). Penelitian Sudibyo et al. (2001) menunjukkan bahwa dari sebanyak 80 sampel industri pangan yang digunakan dalam penelitian hanya sekitar 35-40% industri pangan berskala menengah yang mempunyai kesadaran, tanggung jawab dan komitmen untuk menghasilkan produk pangan yang aman ditinjau dari aspek penerapan GMP, sanitasi dan higiene serta SOP.


(39)

13  

Penyebab masalah keamanan pangan di Indonesia antara lain karena masih kurangnya pengawas makanan (food inspector), adanya technical barrier terhadap berbagai kemampuan deteksi kimiawi atau mikrobiologis di daerah (masalah sumber daya manusia, equipment dan dana), standar mutu, isu lingkungan, dan data-base tentang pangan (Bintoro, 2009).

2.2.4 Kelembagaan dan Regulasi Keamanan Pangan

Keamanan pangan merupakan prasyarat bagi suatu produk pangan, yang harus ditangani secara terpadu, melibatkan berbagai stake holder baik dari pemerintah, industri, dan konsumen. Pengembangan sistem mutu dan keamanan pangan merupakan tanggung jawab bersama antara pemerintah, industri yang meliputi produsen bahan baku, industri pangan dan distributor, serta konsumen (WHO, 1999). Pengawasan pangan merupakan kegiatan pengaturan wajib baik oleh pemerintah pusat maupun daerah untuk memberi perlindungan kepada konsumen dan menjamin bahwa semua produk pangan sejak produksi, penanganan, penyimpanan, pengolahan, dan distribusi adalah aman, layak dan sesuai untuk konsumsi manusia, memenuhi persyaratan keamanan dan mutu pangan, dan telah diberi label dengan jujur dan tepat sesuai hukum yang berlaku (FAO, 2003). Menurut Bintoro (2009) stakeholder bidang pangan antara lain pemerintah, produsen (on-farm mapun off-farm), konsumen, peneliti, distributor, dan fihak lain. Keterlibatan stake holder tersebut sangat berpengaruh terhadap keberhasilan pengembangan sistem mutu dan keamanan pangan.

Undang-Undang RI Nomor 7 tahun 1996 pasal 3 menegaskan pengaturan, pembinaan, dan pengawasan pangan bertujuan untuk: 1) tersedianya pangan yang memenuhi persyaratan keamanan, mutu, dan gizi bagi kepentingan kesehatan manusia, 2) terciptanya perdagangan pangan yang jujur dan bertanggungjawab, dan 3) terwujudnya tingkat kecukupan pangan dengan harga yang wajar dan terjangkau sesuai dengan kebutuhan masyarakat.

Indonesia menganut multiple agency system (sistem berbagai lembaga) dalam pengorganisasian pengawasan mutu pangan. Peraturan Pemerintah No 28 tahun 2004 mengatur tanggung jawab badan usaha yang memproduksi pangan olahan untuk diedarkan dan atau orang perseorangan dalam badan usaha yang diberi tanggung jawab terhadap jalannya usaha tersebut atas keamanan pangan


(40)

14  

yang diproduksinya terhadap kesehatan orang lain yang mengkonsumsi pangan tersebut dalam Pasal 41 ayat (1). Tanggung jawab industri pangan diatur dalam pasal 41, 42 dan 43. BPOM merupakan lembaga yang bertanggung jawab terhadap pengawasan pangan bersama-sama dengan tiga kementrian, yakni Kementrian Kesehatan, Kementrian Pertanian, dan Kementrian Perikanan dan Kelautan. Kementerian Perindustrian juga menangani pengawasan keamanan pangan khusus dalam hubungannya dengan industri dan perdagangan pangan. Tanggung jawab masing-masing instansi telah ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah RI Nomor 28 Tahun 2004 pasal 22.

Penanggulangan masalah keamanan pangan harus didukung adanya regulasi yang komprehensif, tegas dan mencakup berbagai pihak yang terlibat. Pemerintah Indonesia telah mengeluarkan berbagai macam aturan agar setiap industri pangan mampu dan sanggup menghasilkan pangan yang memenuhi persyaratan keamanan, mutu dan gizi pangan bagi kepentingan kesehatan manusia serta tercipta perdagangan pangan yang jujur dan bertanggung jawab. Beberapa peraturan itu antara lain : Undang-undang No.7 tahun 1996 tentang Pangan; Undang-undang No. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen; Peraturan Pemerintah No. 69 tahun 1999 tentang Label dan Iklan Pangan; Peraturan Pemerintah No. 28 tahun 2004 tentang Keamanan, Mutu dan Gizi Pangan; PerMenKes No. 23/MenKes/SK/I/1978 tentang pedoman cara produksi pangan yang baik (CPPB) atau good manufacturing practice (GMP); PerMenKes No. 722/MenKes/IX/1988 tentang bahan tambahan pangan (BTP) dan penggunaannya; Permenkes RI No. 329/Menkes/Per/VII/76 tentang Produksi dan Peredaran Makanan; Permenkes RI No.382/Menkes/Per/VI/1989 tentang pendaftaran makanan; Kepmenkes RI No.02912/B/SK/IX/1986 tentang penyuluhan bagi perusahaan makanan industri rumah tangga; Keputusan Kepala Badan POM Nomor : HK. 00.05.5.1640 Tata cara penyelenggaraan SP-PIRT;  Keputusan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan No. Nomor HK.03.1.23.04.12.2206 Tahun 2012 tentang Cara Produksi Pangan yang Baik untuk Industri Rumah Tangga (CPPB-IRT).

Pemerintah Indonesia mengeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) Republik Indonesia No. 69 Tahun 1999 tentang label dan iklan pangan dengan tujuan


(41)

15  

dan pertimbangan supaya : (1) Setiap industri pangan memberi informasi mengenai pangan yang disampaikan kepada masyarakat adalah benar tidak menyesatkan, (2) Konsumen/masyarakat berhak menuntut dan mengetahui bagaimana produk pangan dihasilkan mulai dari hulu sampai di hilirnya baik menyangkut aspek gizi, mutu dan keamanan pangan maupun lingkungannya. Sesuai Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang perlindungan konsumen pada pasal 4 ayat a dan b disebutkan bahwa konsumen mempunyai hak atas kenyamanan, keamanan dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang serta jaminan yang dijanjikan. Hal tersebut berimplikasi konsumen pangan di Indonesia berhak mendapat jaminan mutu dan keamanan pangan dari setiap produsen/industry pangan yang memperdagangkan produk pangannya di Indonesia, tidak terkecuali bagi industri pangan skala menengah maupun skala kecil tanpa kecuali diharuskan memenuhi kaidah/aturan dan persyaratan yang ditetapkan oleh pemerintah dari aspek penyediaan fasilitas produksi, proses produksi/pengolahan, pengemasan produk, distribusi dan perdagangannya guna menjamin mutu dan keamanan produk pangannya. Makanan berlabel diawasi dan dikendalikan BPOM, sedang makanan tidak berlabel oleh Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota. Ijin produksi, pengawasan proses produksi, dan hasil produksi yang sepenuhnya wewenang BPOM adalah untuk industri obat, kosmetika, obat tradisional, narkotika, alat kesehatan, minuman keras. 

Melalui Keputusan Menteri Kesehatan RI No. 23/Menkes/SK/I/1978 telah diatur Cara Produksi Makanan yang Baik (CPMB) atau yang dikenal GMP, sedang Cara Produksi Pangan yang Baik untuk Industri Rumah Tangga (CPPB-IRT) diatur melalui Keputusan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan No. Nomor HK.03.1.23.04.12.2206 Tahun 2012.

2.3 Cara Produksi Pangan Yang Baik/ Good Manufacturing Practices

Menurut Fardiaz (1992) Good Manufacturing Practices (GMP) atau Cara Pengolahan Makanan yang Baik (CPMB) merupakan suatu pedoman cara produksi makanan yang memiliki tujuan untuk menghasilkan produk makanan yang bermutu, aman dikonsumsi dan sesuai dengan tuntutan konsumen. GMP sebagai persyaratan sanitasi dan proses minimum yang harus diaplikasikan oleh industri pangan.


(42)

16  

Pedoman Cara Produksi Pangan Olahan yang Baik menurut Peraturan Pemerintah No. 28 tahun 2004 dalam Pasal 3 huruf c adalah cara produksi yang memperhatikan aspek keamanan pangan, antara lain dengan cara :

a. mencegah tercemarnya pangan olahan oleh cemaran biologis, kimia dan benda lain yang dapat mengganggu, merugikan dan membahayakan kesehatan;

b. mematikan atau mencegah hidupnya jasad renik patogen,serta mengurangi jumlah jasad renik lainnya; dan

c. mengendalikan proses, antara lain pemilihan bahan baku, penggunaan bahan tambahan pangan, pengolahan, pengemasan, penyimpanan atau pengangkutan.

GMP untuk pengolahan pangan di AS tercantum di dalam Seksi 21 dari Kode Peraturan Federal, bagian 110 (21 CFR 110) yang secara umum menggambarkan kebutuhan pengaturan untuk personel dan manajemen (personel dan manajemen yang terlatih baik), bangunan dan fasilitas yang dirancang dengan baik, terpelihara dan bersih, Standard operating procedures (SOPs) tertulis, serta adanya unit mutu yang independent (seperti unit kendali dan/atau jaminan mutu).

Codex Allimentarius Commission telah menerbitkan persyaratan acuan The Codex General Principles of Food Hygiene yang mengidentifikasi prinsip-prinsp food higien yang dapat diterapkan di seluruh rantai pangan (termasuk produksi primer hingga konsumsen akhir), untuk mencapai tujuan dalam menjamin pangan yang aman dan layak untuk dikonsumsi (CAC, 2003) . Pengendalian dalam The Codex General Priciples of Food Hygiene ini diakui oleh internasional sebagai cara penting untuk menjamin keamanan dan kelayakan pangan yang dikonsumsi manusia.

Acuan yang digunakan oleh industri dibidang pangan di Indonesia adalah Pedoman Penerapan Cara Produksi Makanan Yang Baik (CPMB) yang dibuat oleh Direktorat Pengawasan Makanan dan Minuman, Direktorat Jendral Pengawasan Obat dan Makanan, Departemen Kesehatan (1996) yang sekarang berubah menjadi Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM). Pada dasarnya, program persyaratan kelayakan dasar terdiri dari dua bagian, yaitu cara produksi pangan yang baik (CPPB) atau good manufacturing practice (GMP) dan standard prosedur oprasional sanitasi atau sanitation standard operating procedure (SSOP). GMP ini disusun berdasarkan pedoman umum


(43)

17  

higiene pangan dan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai produksi pangan. SSOP juga merupakan salah satu unsur / komponen program persyaratan kelayakan dasar yang penting untuk mengimplementasikan dan menjaga sistem HACCP berjalan dengan baik dan sukses; bahkan SSOP yang sudah tertulis dan terdokumentasi dengan baik telah direkomendasikan untuk diimplementasikan secara wajib dalam industri pangan.

Tujuan penerapan GMP adalah menghasilkan produk akhir pangan yang bermutu, aman dikonsumsi, dan sesuai dengan selera atau tuntutan konsumen, baik konsumen domestik maupun internasional. Sedang tujuan khusus penerapan GMP adalah: (1) Memberikan prinsip-prinsip dasar yang penting dalam produksi pangan yang dapat diterapkan sepanjang rantai pangan mulai dari produksi primer sampai konsumen akhir, untuk menjamin bahwa pangan yang diproduksi aman dan layak untuk dikonsumsi; (2) Mengarahkan industri agar dapat memenuhi berbagai persyaratan produksi, seperti persyaratan lokasi, bangunan dan fasilitas, peralatan produksi, bahan, proses, mutu produk akhir, serta persyaratan penyimpanan dan distribusi; dan (3) Mengarahkan pendekatan dan penerapan sistem HACCP sebagai suatu cara untuk meningkatkan keamanan pangan (Ditjen POM, 1996).

Pedoman penerapan GMP ini berguna bagi pemerintah sebagai dasar untuk mendorong dan menganjurkan industri pangan untuk menerapkan cara produksi pangan yang baik dalam rangka : (1) Melindungi konsumen dari penyakit atau kerugian yang diakibatkan oleh pangan yang tidak memenuhi persyaratan, (2) Memberikan jaminan kepada konsumen bahwa pangan yang dikonsumsi merupakan pangan yang layak, (3) Mempertahankan atau meningkatkan kepercayaan terhadap pangan yang diperdagangkan secara internasional, dan (4) Memberikan bahan acuan dalam program pendidikan kesehatan di bidang pangan kepada industri dan konsumen. Sedang bagi industri pangan sebagai acuan dalam menerapkan praktek cara produksi pangan yang baik dalam rangka : (1) Memproduksi dan menyediakan pangan yang aman dan layak bagi konsumen; (2) Memberikan informasi yang jelas dan mudah dimengerti kepada masyarakat, misalnya dengan pelabelan dan pemberian petunjuk mengenai cara penyimpanan dan penyediaannya, sehingga masyarakat dapat


(44)

18  

melindungi pangan terhadap kemungkinan terjadinya kontaminasi dan kerusakan pangan, yaitu dengan cara penyimpanan, penanganan dan penyiapan yang baik; dan (3) Mempertahankan atau meningkatkan kepercayaan dunia internasional terhadap pangan yang diproduksinya (Ditjen POM, 1996).

Menurut Codex Alimentarius Commission atau CAC (2003) General Principles of Food Hygienemencakup : desain bangunan, fasilitas dan peralatan produksi; pengendalian proses produksi (pengendalian bahaya, sistem pengendalian higiene, persyaratan bahan mentah, pengemasan, pengolahan air, manajemen dan supervisi, dokumentasi dan rekaman, prosedur penarikan produk); pemeliharaan dan sanitasi (pemeliharaan dan pembersihan, program pembersihan, sistem pengendalian hama dan penyakit menular, pengelolaan dan pengolahan limbah dan keefektifan pemantauan); higiene/kebersihan personil/ karyawan (status kesehatan karyawan, kebersihan personil, tingkah laku personil, prosedur penerimaan tamu/pengunjung); transportasi (persyaratan, penggunaan dan pemeliharaannya); informasi produk dan kesadaran (identifikasi lot, informasi produk, labelling); pendidikan konsumen; serta pelatihan.

Cakupan secara umum dari penerapan pedoman cara produksi pangan yang baik untuk industri rumah tangga (CPPB-IRT) berdasarkan Surat Keputusan Kepala Badan POM RI Nomor : HK. 00.05.5.1639 tahun 2003 yang diperbaharui dengan Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat Dan Makanan Republik Indonesia Nomor HK.03.1.23.04.12.2206 Tahun 2012 adalah sebagai berikut: 1. Lokasi dan lingkungan produksi. Untuk menetapkan lokasi industri perlu

dipertimbangkan keadaan dan kondisi lingkungan yang mungkin dapat merupakan sumber pencemaran potensial dan telah mempertimbangkan berbagai tindakan pencegahan yang mungkin dapat dilakukan untuk melindungi pangan yang diproduksinya.

2. Bangunan dan fasilitas. Bangunan dan fasilitas industri dapat menjamin bahwa pangan selama dalam proses produksi tidak tercemar oleh bahaya fisik, biologis dan kimia serta mudah dibersihkan dan disanitasi.

3. Peralatan produksi. Tata letak kelengkapan ruang produksi diatur agar tidak terjadi kontaminasi silang. Peralatan produksi yang kontak langsung dengan pangan seharusnya didesain, dikonstruksi dan diletakkan sedemikian untuk


(45)

19  

menjamin mutu dan keamanan pangan yang dihasilkan.

4. Suplai air atau sarana penyediaan air. Air yang digunakan selama proses produksi harus cukup dan memenuhi persyaratan kualitas air bersih dan atau air minum.

5. Fasilitas dan kegiatan higiene dan sanitasi. Fasilitas dan kegiatan higiene dan sanitasi diperlukan untuk menjamin agar bangunan dan peralatan selalu dalam keadaan bersih dan mencegah terjadinya kontaminasi silang dari karyawan. 6. Kesehatan dan higiene karyawan. Kesehatan dan higiene karyawan yang baik

dapat menjamin bahwa pekerja yang kontak langsung maupun tidak langsung dengan pangan tidak menjadi sumber pencemaran.

7. Pemeliharaan dan program hygiene sanitasi karyawan. Pemeliharaan dan program sanitasi terhadap fasilitas produksi (bangunan, mesin/ peralatan, pengendalian hama, penanganan limbah dan lainnya) dilakukan secara berkala untuk menjamin terhindarnya kontaminasi silang terhadap pangan yang diolah.

8. Penyimpanan. Penyimpanan bahan yang digunakan dalam proses produksi (bahan baku, bahan penolong, BTP) dan produk akhir dilakukan dengan baik sehingga tidak mengakibatkan penurunan mutu dan keamanan pangan.

9. Pengendalian proses. Untuk menghasilkan produk yang bermutu dan aman, proses produksi harus dikendalikan dengan benar. Pengendalian proses produksi pangan industri rumah tangga dapat dilakukan dengan cara sebagai berikut : (1) Penetapan spesifikasi bahan baku; (2) Penetapan komposisi dan formulasi bahan; (3) Penetapan cara produksi yang baku; (4) Penetapan jenis, ukuran, dan spesifikasi kemasan; (5) Penetapan keterangan lengkap tentang produk yang akan dihasilkan termasuk nama produk, tanggal produksi, tanggal kadaluarsa.

10. Pelabelan pangan. Label pangan harus jelas dan informatif agar memudahkan konsumen memilih, menyimpan, mengolah dan mengkonsumsi pangan. Kode produksi pangan diperlukan untuk penarikan produk, jika diperlukan.

11. Pengawasan oleh penangungjawab pangan. Seorang penanggung jawab diperlukan untuk mengawasi seluruh tahap proses produksi serta


(46)

20  

pengendaliannya untuk menjamin dihasilkannya produk pangan yang bermutu dan aman.

12. Penarikan produk. Penarikan produk pangan adalah tindakan menghentikan peredaran pangan karena diduga sebagai penyebab timbulnya penyakit atau keracunan pangan. Tujuannya adalah mencegah timbulnya korban yang lebih banyak karena mengkonsumsi pangan yang membahayakan kesehatan.

13. Pencatatan dan dokumentasi. Pencatatan dan dokumentasiyang baik diperlukan untuk memudahkan penelusuran masalah yang berkaitan dengan proses produksi.

14. Pelatihan karyawan. Pimpinan dan karyawan harus mempunyai pengetahuan dasar mengenai prinsip–prinsip dan praktek higiene dan sanitasi pangan serta proses pengolahan pangan yang ditanganinya agar dapat memproduksi pangan yang bermutu dan aman.

Salah satu cara pemerintah menjamin agar industri pangan kecil dan menengah memenuhi cara produksi pangan yang baik adalah melalui penerbitan sertifikat produksi pangan industri rumah tangga. Sertifikat Produksi Pangan Industri Rumah Tangga, yang selanjutnya disingkat SP-PIRT.

Pangan olahan yang diproduksi oleh industri rumah tangga wajib memiliki sertifikat produksi pangan industri rumah tangga diterbitkan oleh Bupati/Walikota didasarkan atas dipenuhinya persyaratan cara produksi yang baik (good manufacturing practices) untuk industri rumah tangga yang meliputi antara lain persyaratan sanitasi, penggunaan bahan tambahan pangan dan label.

2.4 Sertifikat Produksi Pangan Industri Rumah Tangga (SP-PIRT)

Dalam rangka produksi dan peredaran pangan oleh IRTP, Pasal 43 Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2004 tentang Keamanan, Mutu dan Gizi Pangan mengamanatkan bahwa pangan olahan yang diproduksi oleh industri rumah tangga wajib memiliki Sertifikat Produksi Pangan Industri Rumah Tangga (SP-PIRT) yang diterbitkan oleh Bupati/Walikota dan Kepala Badan POM menetapkan pedoman pemberian SP-PIRT.

Sementara itu, Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota mengamanatkan bahwa


(47)

21  

pengawasan dan registrasi makanan minuman produksi rumah tangga merupakan urusan pemerintahan yang wajib diselenggarakan oleh Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota. SP-PIRT adalah jaminan tertulis yang diberikan oleh Bupati/Walikota terhadap pangan produksi IRTP di wilayah kerjanya yang telah memenuhi persyaratan pemberian SP-PIRT dalam rangka peredaran Pangan Produksi IRTP. Nomor P-IRT adalah nomor pangan IRT yang menjadi bagian tidak terpisahkan dari SP-PIRT dan wajib dicantumkan pada label pangan IRT yang telah memenuhi persyaratan pemberian SP-PIRT. SP-PIRT berlaku 5 (lima) tahun dan dapat diperpanjang selama memenuhi persyaratan.

Tata cara pemberian sertifikat produksi pangan industri rumah tangga (SP-PIRT) diatur melalui Peraturan Kepala BPOM Nomor HK.03.1.23.04.12.2205 tahun 2012 tentang pedoman pemberian sertifikat produksi pangan industri rumah tangga. Tata cara memperoleh SP-PIRT yaitu dengan mengajukan berkas permohonan secara tertulis kepada Bupati/Walikota c.q. Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota disertai kelengkapannya. Pemilik atau penanggung jawab IRTP diharuskan mengikuti penyuluhan keamanan pangan yang diselenggarakan oleh Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota. Sertifikat diberikan kepada pemilik/ penanggung jawab yang telah lulus mengikuti Penyuluhan Keamanan Pangan dengan hasil evaluasi minimal nilai cukup (60).

Pemeriksaan sarana dilakukan setelah pemilik atau penangungjawab telah memiliki sertifikat penyuluhan keamanan pangan. Pemeriksaan sarana produksi pangan IRT dilakukan oleh tenaga pengawas Pangan (District Food Inspector) Kabupaten/Kota. Pemeriksaan sarana produksi IRTP sesuai dengan Keputusan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia tentang Tata Cara Pemeriksaan Sarana Produksi Pangan Industri Rumah Tangga. Jika hasil pemeriksaan sarana produksi berdasarkan tatacara penyelenggaraan SP-PIRT menunjukkan hasil IRTP masuk level I – II maka diberikan SP-PIRT . SPP-IRT dicabut apabila terjadi salah satu dari hal-hal berikut: 1) Pemilik dan atau penanggung jawab perusahaan melakukan pelanggaran terhadap peraturan yang berlaku; 2) Pangan terbukti sebagai penyebab KLB keracunan pangan; 3) Pangan mengandung Bahan Berbahaya; 4) Sarana terbukti tidak sesuai dengan kriteria IRTP.


(48)

22  

2.5 Industri Roti

Berdasarkan Surat Keputusan BPOM Nomor HK.00.05.52.4040 tahun 2006 tentang kategori pangan, produk bakeri termasuk dan produk roti tawar dan produk roti istimewa yang manis, asin maupun gurih. Produk bakeri antara lain roti, cake, donat, biskuit, roll, kraker, dan pie. Secara garis besar produk bakeri bisa dikelompokkan menjadi kelompok roti dan kelompok biskuit.

Roti adalah produk makanan yang terbuat dari tepung terigu yang difermentasikan dengan ragi roti ( Saccharomyces cerevisiae ), air dan atau tanpa penambahan bahan makanan lain dan dipanggang. Kedalam adonan dapat ditambahkan gula, garam, susu atau susu bubuk, lemak, pengemulsi dan bahan-bahan pelezat seperti cokelat, keju, kismis dan lain-lain. Produk roti mempunyai struktur berongga-ronga dan produk akhirnya bersifat plastis, elastis karena kadar air tinggi. Produk biskuit terdiri dari berbagai bentuk dan mempunyai struktur lebih padat dengan tektur mulai dari rapuh atau renyah sampai relatif keras, serta kadar airnya rendah sehingga lebih awet. Selain kedua kelompok bakeri tersebut ada jenis lain yaitu cake, yang merupakan produk hasil pemanggangan yang dikembangkan dengan pengembang kimia. Sel-sel udara yang terbentuk dihasilkan dengan cara pengocokan (terutama putih telur) yang menyebabkan udara terperangkap dalam adonan, serta adanya pembentukan gas dari bahan pengembang dan terbentuk uap air pada waktu pemanggangan (Wibowo, 2009).

Prinsip pembuatan roti adalah mencampurkan tepung terigu dan bahan penyusun lainnya mejadi adonan, kemudian difermentasikan lalu dipanggang. Proses produksi meliputi tahap penimbangan, pencampuran dan pengadukan, fermentasi awal, penimbangan bahan, pembulatan (rounding), fermentasi kedua (intermediate proofing), penipisan (sheeting), pembentukan (moulding), peloyangan (panning), pemolesan, fermentasi akhir (final proofing), pemanggangan (baking), pembongkaran dari loyang ( depanning), pendinginan (cooling) dan pengemasan (Tarigan, 2010).

Berdasarkan formulasi adonan roti dapat dibedakan menjadi tiga jenis yaitu adonan roti manis, roti tawar dan adonan soft rolls. Adonan roti manis adalah adonan yang dibuat dari formulasi yang banyak menggunakan gula, lemak dan telur. Adonan roti tawar adalah adonan roti yang mengunakan sedikit/tanpa gula,


(49)

23  

susu skim dan lemak. Adonan soft roll adalah adonan roti yang dibuat dari formula yang menggunakan gula dan lemak relatif lebih banyak dari adonan roti tawar. Kualitas roti secara umum disebabkan karena variasi dalam penggunaan bahan baku dan proses pembuatannya.

Bahan baku yang digunakan dalam pembuatan roti dapat digolongkan bahan utama dan bahan pembantu. Bahan utama yang digunakan dalam pembuatan roti adalah tepung terigu, air, ragi roti dan garam. Bahan pembantu adalah bahan-bahan yang menyertai bagian utama dalam pembuatan roti untuk mendapatkan aroma, rasa dan tekstur yang diinginkan. Bahan pembantu ini terdiri darishortening, bread improver, susu skim, telur, gula, bahan pengisi serta flavoring. Pemberian antioksidan (asam askorbat, bromat ), dan anti kapang seperti kalium propionat dan kalsium pospat ditambahkan untuk memperpanjang keawetan roti (Wibowo, 2009).

Syarat mutu produk roti juga mengacu ke Peraturan Kepala Badan POM RI No. Hk.00.06.1.52.4011 tentang penetapan batas maksimum cemaran mikroba dan kimia dalam makanan seperti pada Tabel 2.

Tabel 2 Ambang batas cemaran mikroba pada produk roti Karakteristik Syarat Mutu 1 Roti dan produk roti

tawar dan premiks (termasuk tepung panir)

ALT (30oC, 72 jam) 1 x 104 koloni/g

APM Escherichia coli 10/g

Salmonella sp. negatif/25 g

Bacillus cereus 1x102 koloni/g

Kapang dan khamir 1 x 104 koloni/g 2 Produk roti istimewa

(manis, asin, gurih)

ALT (30oC, 72 jam) 1 x 104 koloni/g APM Koliform 20/g

APM Escherichia coli <3 /g

Salmonella sp. negatif/25 g

Staphylococcus aureus 1 x102 koloni/g

Bacillus cereus 1x102 koloni/g

Kapang dan khamir 2 x 104 koloni/g

Ambang batas maksimum cemaran logam berat pada produki roti untuk cemaran arsen adalah 0,5 ppm atau mg/kg; cadmium yaitu 0,2 ppm atau mg/kg ; merkuri (Hg) yaitu 0,05 ppm atau mg/kg ; timah (Sn) adalah 40 ppm atau mg/kg ; timbal (Pb) adalah 0,5 ppm atau mg/kg .


(50)

24  

2.6 Manajemen Strategis

Menurut David (2006), manajemen strategis dapat didefinisikan sebagai seni dan ilmu untuk memformulasi, mengimplementasi, dan mengevaluasi keputusan lintas fungsi yang memungkinkan organisasi dapat mencapai tujuannya. Proses manajemen strategis terdiri dari tiga tahap, yaitu formulasi strategi, implementasi strategi, dan evaluasi strategi.

1) Formulasi Strategi. Hal-hal yang termasuk dalam formulasi strategi antara lain mengembangkan visi dan misi, mengidentifikasi peluang dan ancaman eksternal perusahaan, menentukan kekuatan dan kelemahan internal, menetapkan tujuan jangka panjang, merumuskan alternatif strategi dan memilih strategi tertentu yang akan dilaksanakan

2) Implementasi Strategi. Implementasi strategi sering disebut sebagai tahap pelaksanaan dalam manajemen strategis. Implementasi strategi membutuhkan disiplin pribadi, komitmen, dan pengorbanan. Implementasi strategi mensyaratkan perusahaan untuk menetapkan tujuan tahunan, membuat kebijakan, memotivasi karyawan, dan mengalokasikan sumber daya sehingga strategi yang telah diformulasikan dapat dijalankan. Implementasi strategi termasuk mengembangkan budaya yang mendukung strategi, menciptakan struktur organisasi yang efektif dan memberdayakan sistem informasi, serta menghubungkan kinerja karyawan dengan kinerja organisasi.

3) Evaluasi Strategi. Evaluasi strategi merupakan tahap final dalam manajemen strategis. Tiga aktivitas dasar evaluasi strategi adalah meninjau ulang faktor eksternal dan internal yang menjadi dasar strategi saat ini, mengukur kinerja, dan mengambil tindakan korektif. Salah satu cara yang digunakan untuk mempelajari dan mengaplikasikan proses manajemen strategis adalah dengan sebuah model, dimana setiap model mempresentasikan semacam proses. Model manajemen strategis menurut David (2006) seperti pada Gambar 2.

Menurut Rangkuti (1999) proses analisis, perumusan dan evaluasi strategi disebut sebagai perencanaan strategis. Tujuan utama perencanaan  strategis adalah agar organisasi atau perusahaan dapat mengantisipasi perubahan lingkungan eksternal.


(51)

25  

Wahyudi (1996) menyatakan bahwa strategi adalah suatu alat untuk mencapai tujuan perusahaan. Strategi memiliki sifat antara lain : menyatu (unified), yaitu menyatukan seluruh bagian-bagian dalam perusahaan; menyeluruh (comprehensive), yaitu mencakup seluruh aspek dalam perusahaan; integral (integrated), yaitu seluruh strategi akan cocok/sesuai dari seluruh tingkatan (corporate, business dan functional).

Gambar 2 Model komprehensif manajemen strategis (David, 2006).

Pokok perumusan strategi bersaing adalah menghubungkan perusahaan dengan lingkungannya. Walaupun lingkungan yang relevan sangat luas, meliputi kekuatan-kekuatan sosial sebagaimana juga kekuatan-kekuatan ekonomi, aspek utama dari lingkungan perusahaan adalah industri dimana perusahaan tersebut bersaing (Porter, 1995). Perumusan strategi sangat diperlukan oleh perusahaan untuk mencapai tujuan sehingga membentuk industri yang berdaya saing. Agar strategi yang dijalankan tepat, maka perusahaan harus mengetahui faktor internal dan eksternalnya sehingga kombinasi strategi yang digunakan tepat dengan posisi perusahaan saat ini (Marimin, 2004). Hal terpenting dalam perumusan strategi yang baik adalah bahwa strategi yang dibuat harus berpijak pada situasi riil di

Melakukan audit eksternal

Membuat Pernyataan Visi & Misi

Mengukur dan Mengevalu asi Kinerja Implementasi

Strategi Isu-isu Pemasaran, Keuangan, Akuntasi, Penelitian & Pengembangan Sistem Informasi Manajemen Implementasi Strategi Isu-isu Manajemen Merumuskan Mengevaluasi dan Memilih Strategi Menetapkan Tujuan Jangka Panjang Melakukan audit internal

Formulasi Strategi Implementasi Strategi Evaluasi S


(52)

26  

lingkungan eksternal dan internal perusahaaan Untuk melakukan hal ini dapat digunakan alat bantu berupa matriks SWOT.

Analisis lingkungan merupakan suatu proses yang digunakan perencana strategis untuk memonitor sektor lingkungan dalam menentukan peluang-peluang ataupun ancaman-ancaman terhadap perusahaan (Jauch dan Glueck, 1995). Lingkungan perusahaan dibagi menjadi dua, yaitu lingkungan eksternal dan lingkungan internal.

2.6.1 Analisis Lingkungan Internal

Analisis lingkungan internal merupakan tahap pengkajian faktor-faktor yang menjadi kekuatan dan kelemahan dalam suatu perusahaan. Kekuatan merupakan suatu kelebihan khusus yang memberikan keunggulan komparatif di dalam suatu industri yang berasal dari organisasi. Sedangkan kelemahan merupakan keterbatasan dan kekurangan dalam hal sumber daya, keahlian dan kemampuan yang secara nyata menghambat aktivitas keragaan organisasi.

Menurut David (2006), terdapat beberapa faktor yang diidentifikasi dalam lingkungan internal perusahaan, yaitu :

1) Manajemen. Manajemen adalah proses perencanaan, pengorganisasian, pemimpinan, dan pengendalian upaya anggota organisasi dan proses penggunaan semua sumberdaya organisasi untuk tercapainya tujuan organisasi yang telah ditetapkan. Ada lima fungsi manajemen, yaitu perencanaan, pengorganisasian, pemberian motivasi, pengelolaan staf, dan pengendalian. 2) Pemasaran. Pemasaran dapat dideskripsikan sebagai proses mendefinisikan,

mengantisipasi, menciptakan, serta memenuhi kebutuhan dan keinginan pelanggan atas barang dan jasa. Menurut Kotler (1999), terdapat empat macam bauran pemasaran, yaitu produk, harga, distribusi, dan promosi.

3) Keuangan / Akuntansi. Dana dibutuhkan dalam operasional perusahaan. Oleh karena itu, faktor-faktor yang harus diperhatikan dalam aspek keuangan/akuntansi, adalah kemampuan perusahaan memupuk modal jangka pendek dan jangka panjang, beban yang harus ditanggung perusahaan sebagai upaya memperoleh modal tambahan, hubungan baik dengan penanam modal dan pemegang saham, pengelolaan keuangan, struktur modal kerja, harga jual


(53)

27  

produk, pemantauan penyebab inefisiensi, dan sistem akunting yang andal (Umar, 2008).

4) Produksi/Operasi. Fungsi produksi/operasi dari suatu bisnis terdiri atas semua

aktivitas yang mengubah input menjadi barang dan jasa. Menurut David (2006), manajemen produksi/operasi terdiri atas lima area keputusan

atau fungsi yaitu proses, kapasitas, persediaan, tenaga kerja, dan kualitas.

5) Sumber Daya Manusia. Manusia merupakan sumber daya terpenting bagi perusahaan. Oleh karenaitu, manajer perlu berupaya agar terwujud perilaku positif di kalangan karyawan perusahaan. Beberapa faktor yang perlu diperhatikan pada aspek sumber daya manusia, antara lain langkah yang jelas mengenai manajemen SDM, keterampilan dan motivasi kerja, produktivitas, dan sistem imbalan (Umar, 2008).

6) Penelitian dan Pengembangan. Perusahaan yang menjalankan strategi pengembangan produk khususnya harus memiliki orientasi litbang yang kuat. Pengeluaran litbang ditujukan pada pengembangan produk baru sebelum pesaing melakukannnya untuk memperbaiki kualitas produk atau untuk memperbaiki proses produksi untuk menurunkan biaya.

2.6.2 Analisis Lingkungan Eksternal

Analisis lingkungan eksternal diperlukan untuk mengetahui faktor-faktor yang dapat memberikan peluang dan ancaman bagi perusahaan. Pada umumnya lingkungan eksternal berada di luar kontrol perusahaan. Menurut Pearce dan Robinson (1997), lingkungan eksternal terdiri dari lingkungan jauh dan lingkungan industri. Lingkungan jauh terdiri dari faktor-faktor yang bersumber dari luar dan biasanya tidak berhubungan dengan situasi operasional suatu perusahaan tertentu, yaitu :

a) Faktor Ekonomi. Dalam perencanaan strategiknya, setiap perusahaan harus mempertimbangkan kecenderungan ekonomi di segmen-segmen yang mempengaruhi industri yang bersangkutan tersebut, misalnya pola konsumsi, ketersediaan kredit secara umum, tingkat penghasilan yang siap dibelanjakan (disposable income), kecenderungan belanja masyarakat (propensity to spend), suku bunga primer, laju inflasi, dan kecenderungan pertumbuhan PNB (Pearce dan Robinson, 1997).


(54)

28  

b) Faktor Sosial. Faktor sosial yang mempengaruhi suatu perusahaan meliputi kepercayaan, nilai, sikap, opini, dan gaya hidup dari orang-orang di lingkungan ekstern perusahaan. Faktor sosial ini biasanya dikembangkan dari kondisi kultural, ekologi, demografi, agama, pendidikan, dan kondisi etnik.

c) Faktor Politik. Arah dan stabilitas faktor-faktor politik merupakan pertimbangan penting bagi para manajer dalam merumuskan strategi perusahaan. Faktor-faktor politik menentukan parameter legal dan regulasi yang membatasi operasi perusahaan.

d) Faktor Teknologi. Untuk menghindari keusangan dan mendorong inovasi, perusahaan harus mewaspadai perubahan teknologi yang mungkin mempengaruhi industrinya. Adaptasi teknologi yang kreatif dapat membuka kemungkinan terciptanya produk baru, penyempurnaan produk yang sudah ada, atau penyempurnaan dalam teknik produksi dan pemasaran (Pearce dan Robinson, 1997).

Lingkungan industri dapat berupa persaingan antar perusahaan sejenis, kemungkinan masuknya pesaing baru, potensi pengembangan produk substitusi, kekuatan tawar-menawar penjual/pemasok, dan kekuatan tawar-menawar pembeli/konsumen (Porter, 1997).

2.7 Metode Analisis SWOT

Analisa SWOTmerupakan salah satu alat analisis kualitatif yang digunakan untuk mengidentifikasi peluang dan ancaman dalam melakukan suatu kegiatan dengan mengacu pada kekuatan dan kelemahan yang dimiliki oleh perusahaan (Pearce dan Robinson, 1997). Analisis SWOT adalah identifikasi berbagai faktor secara sistematis untuk merumuskan strategi perusahaan. Analisis ini didasarkan pada logika yang dapat memaksimalkan kekuatan (Strengths) dan peluang (Oportunities), namun secara bersamaan dapat meminimalkan kelemahan (Weakness) dan ancaman (Threats).

Analisis SWOT adalah alat perencanaan strategis terdiri dari dua bagian (FAO, 2006) :

1. Analisis kekuatan dan kelemahan internal: setiap asset atau kekurangan internal (seperti ketrampilan staf, peralatan, keuangan, prosedur,


(1)

131

Penilaian unsur hanya ada "B" dan "K".

GRUP M: PELATIHAN KARYAWAN

1. Pengetahuan karyawan

B : pemilik/penanggungjawab telah mengikuti penyuluhan CPPBIRT dan mengajarkannya

kepada karyawan

C : pemilik/penanggungjawab belum mengajarkan pengetahuan dan keterampilannya kepada

karyawan yang lain meskipun telah mengikuti penyuluhan CPPB-IRT


(2)

132

Lampiran 8 Hasil pengolahan ISM

A.

Untuk Elemen Pendukung (

Strengths –Opportunities

)

1.

Hasil Pendapat Agregat Pakar

2.

Transformasi Matrik SSIM menjadi Matrik Reachability


(3)

133

B.

Untuk Elemen Kendala (

Weakness –Threats)

1.

Hasil Pendapat Agregat Pakar

2.

Transformasi Matrik SSIM menjadi Matrik Reachability


(4)

134

C.

Untuk Elemen Aktor Pelaku

1. Hasil Pendapat Agregat Pakar

2. Transformasi Matrik SSIM menjadi Matrik Reachability


(5)

135

Lampiran 9 Hasil penentuan rating pada Matrik IEF dan Matrik EFE

A.

Rating pada Matrik IEF

A

B

C

D

E

Rata

rata

Kekuatan (STRENGH)

A Lokasi Bogor yang strategis

3

4

4

3

4

3.6

B Sektor industri makanan-minuman menjadi sector basis dalam

perekonomian Bogor

4

4

3

4

4

3.8

C Memiliki infrastruktur pendukung laboratorium uji terakreditasi

4

4

4

3

4

3.8

D Dukungan Sarana dan Prasarana kota memadai

4

3

4

3

3

3.4

E Kebijakan Pembebasan biaya SPP-IRT

3

4

4

4

4

3.8

F Sumber keuangan daerah cukup baik

4

3

3

3

3

3.2

G Sudah memiliki jaringan koordinasi lintas SKPD

4

3

3

3

3

3.2

Kelemahan (WEAKNESS)

H Belum ada Rencana Strategis Aksi Pangan-Gizi Daerah

maupun Rencana Strategis Pengembangan Industri

1

2

1

2

1

1.4

I Jumlah dan keahlian tenaga PKP dan FDI masih terbatas

1

1

1

1

1

1.0

J Komitmen dan budaya kerja IKM masih kurang

1

1

1

1

1

1.0

K Keterbatasan modal IKM

2

2

2

2

1

1.8

L Media informasi/penerbitan publikasi/ tehnologi informasi

masih terbatas

2

2

2

2

2

2.0

M Keterbatasan pemahaman tenaga kerja di IKM

1

1

1

2

1

1.2

N Mekanisme pengawasan/survailen belum berjalan reguler

1

1

1

1

1

1.0

 

No Faktor Internal

Nilai

 

Rating

 

Masing

masing

 

Pakar

B.

Rating pada Matriks EEF

Faktor Eksternal

Nilai Rating Masing‐masing Pakar

Rating

PELUANG

A

B

C

D

E

Rata‐Rata

A

Pontensialnya peluang pasar dalam negeri

4

4

4

4

4

4,0

B

Adanya bantuan program dari pemerintah pusat

4

3

3

3

3

3,2

C

Perubahan pola konsumsi masyarakat

4

4

3

4

3

3,6

D

Perkembangan teknologi dan informasi

3

4

4

4

4

3,8

E

Keberadaan dari lembaga pendidikan/peneliti di Kota

Jakarta/Bogor

3

4

3

3

3

3,2

ANCAMAN

F

Persaingan dari produk bakery sejenis (franchaise) dan

produk luar kota

2

1

1

1

1

1,2

G

Kenaikan Biaya Produksi yang mempengaruhi harga produk

1

2

1

2

1

1,4

H

Perkembangan jenis makanan jadi lain produk substitusi

roti

2

2

2

2

1

1,8

i

Pembeli memiliki kekuatan untuk menentukan pilihan


(6)

136

Lampiran 10 Hasil penentuan bobot pada Matrik IEF dan Matrik EFE

A.

Bobot pada Matrik IEF

A

B

C

D

E

Rata

rata

Kekuatan

A Lokasi Bogor yang strategis

3

4

4

3

4

3.6

B Sektor industri makanan-minuman menjadi sector basis dalam

perekonomian Bogor

4

4

3

4

4

3.8

C Memiliki infrastruktur pendukung laboratorium uji terakreditasi

4

4

4

3

4

3.8

D Dukungan Sarana dan Prasarana kota memadai

4

3

4

3

3

3.4

E Kebijakan Pembebasan biaya SPP-IRT

3

4

4

4

4

3.8

F Sumber keuangan daerah cukup baik

4

3

3

3

3

3.2

G Sudah memiliki jaringan koordinasi lintas SKPD

4

3

3

3

3

3.2

Kelemahan

H Belum ada Rencana Strategis Aksi Pangan-Gizi Daerah

maupun Rencana Strategis Pengembangan Industri

1

2

1

2

1

1.4

I Jumlah dan keahlian tenaga PKP dan FDI masih terbatas

1

1

1

1

1

1.0

J Komitmen dan budaya kerja IKM masih kurang

1

1

1

1

1

1.0

K Keterbatasan modal IKM

2

2

2

2

1

1.8

L Media informasi/penerbitan publikasi/ tehnologi informasi

masih terbatas

2

2

2

2

2

2.0

M Keterbatasan pemahaman tenaga kerja di IKM

1

1

1

2

1

1.2

N Mekanisme pengawasan/survailen belum berjalan reguler

1

1

1

1

1

1.0

 

No Faktor Internal

Nilai

 

Rating

 

Masing

masing

 

Pakar

B.

Bobot pada Matrik EEF

Faktor Eksternal

Bobot

PELUANG

A

B

C

D

E

Rata‐rata

A

Pontensialnya peluang pasar dalam negeri

0,104

0,106

0,104 0,1389

0,119

0,114

B

Adanya bantuan program dari pemerintah pusat

0,125

0,141

0,132 0,1111

0,147

0,131

C

Perubahan pola konsumsi masyarakat

0,104

0,134

0,083 0,0972

0,084

0,100

D

Perkembangan teknologi dan informasi

0,083

0,070

0,132 0,0903

0,063

0,088

E

Keberadaan dari lembaga pendidikan/peneliti di Kota

Jakarta/Bogor

0,063

0,056

0,076 0,0694

0,070

0,067

ANCAMAN

F

Persaingan dari produk bakery sejenis (franchaise) dan

produk luar kota

0,132

0,134

0,111 0,1389

0,133

0,130

G

Kenaikan Biaya Produksi yang mempengaruhi harga produk

0,167

0,120

0,097 0,1389

0,147

0,134

H

Perkembangan jenis makanan jadi lain produk substitusi

roti

0,104

0,092

0,125 0,0833

0,119

0,105

i

Pembeli memiliki kekuatan untuk menentukan pilihan

diantara perusahaan roti yang ada

0,118

0,148

0,139 0,1319

0,119

0,131

1,000

1,000

1,000

1,000

1,000

1,000