Asumsi dalam Pendekatan Willingness to Pay dari Pengrajin Hipotesa Definisi Operasional

4.5 Asumsi dalam Pendekatan Willingness to Pay dari Pengrajin

Asumsi-asumsi yang diperlukan dalam pelaksanaan pengumpulan nilai WTP dari masing- masing responden pengrajin, adalah : 1. Responden mengenal baik kawasan Ciluar. 2. Pemerintah Kota Bogor memberikan perhatian yang besar terhadap pencemaran limbah cair dan pengelolaan limbah cair dari industri aci . 3. Responden merupakan seluruh pengrajin aci . 4. Responden merupakan pemilik pabrik.

4.6 Pengolahan dan Analisis Data

Pengolahan dan analisis data dilakukan secara manual dan dengan menggunakan program Microsoft Excel, Minitab Release 14 for Windows, dan Eviews 4.1.

4.6.1 Analisis Karakteristik Peng rajin dan Persepsinya Terhadap

Pengelolaan Limbah Analisis karakteristik pengrajin dilakukan secara kualitatif dan kuantitatif. Analisa kuantitatif dilakukan dengan membuat tabulasi data dan tabulasi silang. Analisa kualitatif dilakukan dengan mendeskripsikan dan menginterpretasikan fenomena yang ada di lapang berdasarkan kuisioner terhadap industri aci di Kelurahan Ciluar dan wawancara dengan aparat kelurahan, masyarakat di sekitar industri, dan instansi- instansi yang relevan dengan penelitian ini. Sedangkan analisis persepsi pengrajin terhadap pengelolaan limbah dilakukan dengan cara menganalisis faktor- faktor yang mempengaruhi pengrajin telah atau tidak melakukan pengelolaan limbah. Analisis ini delakukan dengan pendekatan CVM yang menggunakan alat analisis regresi probit. Bentuk model probit yang digunakan dalam analisis ini adalah sebagai berikut : π i = Fgx = p 2 1 ds e x g s 2 ∞ − ∫ sehingga dapat diperoleh bentuk model probit : gx = F -1 π i dengan gx = β + β 1 LU i - β 2 TK i + β 3 PDPT i + β 4 JRK i + e i dimana : π i = Sebuah kemungkinan dengan Yi = 1peluang pengrajin melakukan pengelolaan limbah ß = Intersep ß 1, .., ß 4 = Koefisien Regresi LU = Lama usaha tahun TK = Biaya tenaga kerja Rphari PDPT = Pendapatan usaha Rphari JRK = Jarak pabrik ke badan air i = Responden ke- i i=1,2,…,35 e = Galat e = Eks β ; ds = Sebaran normal Variabel-variabel bebas tersebut dipilih berdasarkan teori-teori, penelitian terdahulu dan observasi di lapang. Peluang pengrajin melakukan pengelolaan limbah dipengaruhi oleh kepemilikan dan kemampuan kapitalnya dan alokasi dananya untuk pengelolaan limbah. Sehingga peluang pengrajin untuk melakukan pengelolaan limbah dipengaruhioleh faktor- faktor: lama usaha, biaya tenaga kerja, pendapatan usaha, dan jarak pabrik ke badan air. Variabel lama usaha, pendapatan usaha, dan jarak pabrik ke badan air berbanding lurus dengan peluang pengrajin melakukan pengelolaan limbah, sedangkan variabel biaya tenaga kerja berbanding terbalik dengan peluang pengrajin melakukan pengelolaan limbah. Apabila lama usaha pengrajin semakin lama, maka pengrajin tersebut memiliki akumulasi kapital yang memadai untuk melakukan pengelolaan limbah. Hal tersebut juga terjadi dengan variabel pendapatan usaha, semakin besar pendapatan pengrajin maka, pengrajin memiliki alokasi dana yang memadai untuk melakukan pengelolaan limbah, sehingga memiliki peluang yang lebih besar dibandingkan dengan pengrajin yang me miliki pendapatan usaha yang kecil. Sama halnya dengan variabel jarak pabrik ke badan air, semakin jauh jarak pabrik ke badan air maka peluang pengrajin untuk melakukan pengelolaan limbah semakin besar. Hal itu disebabkan karena dengan jarak yang semakin jauh maka pencemaran yang ditimbulkannya semakin luas sehingga menuntut kwajiban pengrajin untuk melakukan pengelolaan limbah agar tidak menimbulkan pencemaran yang luas. Hal yang terbalik terjadi dengan variabel biaya tenaga kerja. Apabila biaya tenaga kerja semakin besar maka keuntungan pengrajin semakin kecil asumsi decreasing return to scale sehingga alokasi dana untuk pengelolaan limbah semakin kecil atau bahkan tidak ada. Dengan demikian peluang pengrajin melakukan pengelolaan limbah semakin kecil. Untuk menguji kebaikan model, dapat diuji dengan menggunakan Uji G, dan Uji Wald. Model probit mangasumsikan bahwa makin besar nilai probit gx maka semakin besar pula kemungkinan seseorang menjawab yasetuju. Model probit tidak dapat langsung menginterpretasikan secara langsung, yaitu bahwa setiap perubahan satu satuan independent variable akan berpengaruh terhadap dependent variable , namun terhadap probabilitas menjawab ya Sarwoko, 2005.

4.6.2 Analisis Kesediaan atau Ketidaksediaan Membayar dari Pengrajin

untuk Pengelolaan Limbah Analisis data yang digunakan untuk menjawab faktor- faktor yang mempengaruhi kesediaan membayar dari responden terhadap pengelolaan limbah yang menggunakan alat analisis regresi probit, dimana variabel bersifat dikotomi dichotomous choice. Dengan model probit ini dapat diduga peluang responden untuk memilih bersedia membayar atau tidak membayar retribusi atau kompensasi untuk pengelolaan limbah. Bentuk model probit yang digunakan dalam analisis ini adalah sebagai berikut : π i = Fgx = p 2 1 ds e x g s 2 ∞ − ∫ sehingga dapat diperoleh gx = F -1 π i dengan gx = β + β 1 UM i + β 2 PDDK i - β 3 TK i + β 4 SKG i + β 5 PDPT i + β 6 LTU i + β 7 DM i + β 8 PLB i + e i dimana : π i = Sebuah kemungkinan dengan Yi = 1peluang pengrajin bersedia membayar ß = Intersep ß 1, .., ß 8 = Koefisien Regresi UM = Umur tahun PDDK = Pendidikan tahun TK = Biaya tenaga kerja Rphari SKG = Bahan baku singkong ubi kayu kw PDPT = Pendapatan Usaha Rphari LTU = Luas tempat usaha m 2 DM = Tingkat masalah akibat dampak negatif limbah sedikit masalah = 1, tidak masalah = 0 PLB = Pengetahuan manfaat pengelolaan limbah tahu = 1, tidak = 0 i = Responden ke- i i=1,2,…,35 e = Galat e = Eks β ; ds = Sebaran normal Variabel-variabel bebas tersebut dipilih berdasarkan teori-teori, penelitian terdahulu dan observasi di lapang. Peluang membayar pengrajin dipengaruhi oleh kepemilikan dan kemampuan kapitalnya dan alokasi dananya untuk pengelolaan limbah. Sehingga peluang pengrajin untuk melakukan pengelolaan limbah dipengaruhioleh faktor- faktor: umur, pendidikan, biaya tenaga kerja, bahan baku singkong, pendapatan usaha, luas tempat usaha, tingkat masalah akibat dampak negatif limbah, dan pengetahuan manfaat pengelolaan limbah. Variabel umur, pendidikan, bahan baku singkong, pendapatan usaha, luas tempat usaha, tingkat masalah akibat dampak negatif limbah, dan pengetahuan manfaat pengelolaan limbah berbanding lurus dengan peluang membayar pengrajin, sedangkan variabel biaya tenaga kerja berbanding terbalik dengan peluang pengrajin melakukan pengelolaan limbah. Apabila umur pengrajin semakin tua, maka pengrajin tersebut memiliki akumulasi kapital yang memadai untuk melakukan pengelolaan limbah dan juga pemikiran akan sadar lingkungan yang dimiliki pengrajin lebih baik. Dengan demikian semakin tua umur pengrajin maka peluang membayar pengrajin semakin besar. Variabel pendidikan juga memiliki hubungan yang sama dengan umur terhadap peluang membayar pengrajin. Apabila pendidikan pengrajin semakin baik maka peluang membayar pengrajin juga semakin besar. Hal itu disebabkan karena dengan pendidikan yang lebih baik, maka pengetahuan sadar lingkungan dari pengrajin semakin baik, dengan demikian peluang membayar pengrajin untuk pengelolaan limbah semakin besar. Hal di atas juga terjadi dengan variabel pendapatan usaha, semakin besar pendapatan pengrajin maka, pengrajin memiliki alokasi dana yang memadai untuk melakukan pengelolaan limbah, sehingga memiliki peluang yang lebih besar dibandingkan dengan pengrajin yang memiliki pendapatan usaha yang kecil. Sama halnya dengan variabel luas tempat usaha, semakin besar luas tempat usaha maka peluang pengrajin untuk membayar semakin besar. Hal itu disebabkan karena dengan dengan luas tempat usaha yang semakin luas maka diasumsikan bahwa kapital yang dimiliki pengrajin juga semakin besar, dengan demikian pengrajin memiliki alokasi dana untuk membayar pengelolaan limbah. Dampak negatif yang dirasakan pengrajin juga memiliki hubungan yang lurus dengan peluang pengrajin untuk membayar. Apabila dampak yang ditimbulkan oleh limbah semakin mengganggu pengrajin maka pengrajin akan berpeluang lebih besar untuk membayar. Hal yang terbalik terjadi dengan variabel biaya tenaga kerja. Apabila biaya tenaga kerja semakin besar maka keuntungan pengrajin semakin kecil asumsi decreasing return to scale sehingga alokasi dana untuk membayar pengelolaan limbah semakin kecil atau bahkan tidak ada. Dengan demikian peluang pengrajin untuk membayar semakin kecil. Untuk menguji kebaikan model, dapat diuji dengan menggunakan Uji G, dan Uji Wald. Model probit mangasumsikan bahwa makin besar nilai probit gx maka semakin besar pula kemungkinan seseorang menjawab yasetuju. Model probit tidak dapat langsung menginterpretasikan secara langsung, yaitu bahwa setiap perubahan satu satuan independent variable akan berpengaruh terhadap dependent variable , namun terhadap probabilitas menjawab ya Sarwoko, 2005.

4.6.3 Analisis Nilai WTP dari Pengrajin untuk Pengelolaan Limbah

Tahap-tahap dalam melakukan penelitian untuk menentukan WTP dengan menggunakan CVM dalam penelitian ini meliputi Hanley dan Spash, 1993 :

1. Membangun Pasar Hipotetis Setting up The Hypothetical Market

Pasar hipotetis dalam penelitian ini dibentuk dengan memberikan informasipernyataan tentang air di sungai, got, maupun air tanah di sekitar industri aci sudah tercemar, karena adanya pencemaran air akibat buangan limbah cair dari pembuatan aci. Hal itu dapat diatasi dengan perbaikan lingkungan yang akan dilakukan oleh Pemerintah Kota, industri, dan masyarakat sekitar. Pasar hipotetis yang ditawarkan adalah : Pasar Hipotetis : Pertumbuhan industri aci di Kelurahan Ciluar dari tahun ke tahun terus meningkat. Peningkatan jumlah industri tersebut tidak disertai dengan usaha penanganan lingkungan terutama air sungat atau saluran air got yang tercemar oleh limbah cair industri. Dengan makin banyaknya industri maka jumlah limbah yang dibuang makin besar volumenya. Pabrik aci yang membuang limbah tersebut mayoritas tidak mengolahnya terlebih dahulu, sehingga pencemaran air semakin tinggi, hal itu dapat dilihat dengan kadar BOD, COD dan keasaman yang tinggi dari badan air yang menjadi tempat pembuangan limbah. Penanganan limbah dan menjaga kelestarian lingkungan bukan menjadi tanggung jawab pemerintah sendiri, namun masyarakat dan terutama dari pihak industri. Pemerintah sendiri tidak mampu menangani permasalahan ini jika tidak dibantu. Oleh sebab itu industri dapat membantunya dengan melakukan pengelolaan limbah secara individu atau kelompok dengan dana swadaya atau membayarkan retribusi atau iuran kepada pemerintah untuk pengelolaan limbah. Pilihan kedua merupakan pilihan yang lebih baik karena pengelolaan limbah dilakukan secara bersama dan diorganisir oleh pemerintah akan efektif dan efisien, dimana dana yang dikeluarkan lebih kecil apabila pengelolaan limbah dilakukan secara individu oleh pengrajin. Namun pemerintah dalam hal ini harus dibantu di bidang danakeuangan, karena dana yang dimiliki pemerintah, terutama Pemerintah Kota atau Pemerintah Propinsi terbatas. Sehingga diharapkan bantuan dari pengrajin untuk membayar retribusiiuran pengelolaan limbah yang akan digunakan untuk pembangunan IPAL dan kegiatan operasional IPAL pemerintah masih memberikan bantuan berupa dana dan tenaga ahli. Berdasarkan pasar hipotetis tersebut, dapat dibuat empat skenario, yaitu sebagai berikut :

1. Skenario 1

Jika pemerintah Dinas Lingkungan Hidup dan Kebersihan Kota Bogor membantu untuk membangun IPAL teknik biogas dengan dana pembangunan sebesar Rp 26 juta dapat digunakan oleh 10 pabrik, dan untuk kegiatan operasional IPAL langsung diserahkan dan menjadi tanggung jawab pabrik-pabrik yang menggunakan IPAL tersebut. Namun, dana pembangunan itu seluruhnya tidak berasal dari pemerintah. Pemerintah mengharapkan bantuan dari pengusahapengrajin yang direncanakan menggunakan IPAL tersebut untuk membayar iuran pembangunan IPAL. Iuran yang dikenakan pada masinhg- masing pengrajin yang mempergunakan IPAL tersebut besarnya tidak sama. Besarnya iuran yang dikenakan disesuaikan dengan jarak pabrik ke sungai, yang menjadi tempat pembuangan akhir IPAL. Pengrajin yang memiliki lokasi pabrik yang lebih dekat dengan sungai akan dikenakan iuran yang lebih rendah dibandingkan dengan pengrajin yang memiliki lokasi pabrik lebih jauh dengan sungai. Hal itu disebabkan karena biaya pembangunan penggunaan pipa untuk pabrik yang lokasinya lebih jauh dari sungai lebih mahal dibandingkan dengan pabrik yang lokasinya dekat dengan sungai.

2. Skenario 2

Jika pemerintah Dinas Lingkungan Hidup dan Kebersihan Kota Bogor membantu untuk membangun IPAL teknik biogas dengan dana pembangunan sebesar Rp 26 juta dapat digunakan oleh 10 pabrik, dan untuk kegiatan IPAL tetap menjadi tanggung jawab pemerintah. Untuk dana operasional selama setahun dibutuhkan dana sebesar Rp 12 juta. Namun, dana pembangunan dan dana operasional tersebut seluruhnya tidak berasal dari pemerintah. Pemerintah mengharapkan bantuan dari pengusahapengrajin yang direncanakan menggunakan IPAL tersebut untuk membayar iuran pembangunan dan retribusi per bulan untuk perawatan IPAL. Besarnya iuran yang dikenakan disesuaikan dengan jarak pabrik ke sungai, yang menjadi tempat pembuangan akhir IPAL. Pengrajin yang memiliki lokasi pabrik yang lebih dekat dengan sungai akan dikenakan iuran yang lebih rendah dibandingkan dengan pengrajin yang memiliki lokasi pabrik lebih jauh dengan sungai. Hal itu disebabkan karena biaya pembangunan penggunaan pipa untuk pabrik yang lokasinya lebih jauh dari sungai lebih mahal dibandingkan dengan pabrik yang lokasinya dekat dengan sungai.

3. Skenario 3

Jika pemerintah Dinas Lingkungan Hidup dan Kebersihan Kota Bogor membantu untuk membangun IPAL teknik penge ndapan dengan dana pembangunan sebesar Rp 10 juta, dan untuk kegiatan operasional IPAL langsung diserahkan dan menjadi tanggung jawab pabrik-pabrik yang menggunakan IPAL tersebut. Namun, dana pembangunan itu seluruhnya tidak berasal dari pemerintah. Pemerintah mengharapkan bantuan dari pengrajin yang direncanakan menggunakan IPAL tersebut untuk membayar retribusi pembangunan IPAL. Besarnya iuran yang dikenakan disesuaikan dengan jarak pabrik ke sungai, yang menjadi tempat pembuangan akhir IPAL. Pengrajin yang memiliki lokasi pabrik yang lebih dekat dengan sungai akan dikenakan iuran yang lebih rendah dibandingkan dengan pengrajin yang memiliki lokasi pabrik lebih jauh dengan sungai. Hal itu disebabkan karena biaya pembangunan penggunaan pipa untuk pabrik yang lokasinya lebih jauh dari sungai lebih mahal dibandingkan dengan pabrik yang lokasinya dekat dengan sungai.

4. Skenario 4

Jika pemerintah Dinas Lingkungan Hidup dan Kebersihan Kota Bogor membantu untuk membangun IPAL dengan dana pembangunan sebesar Rp 10 juta, dan untuk kegiatan IPAL tetap menjadi tanggung jawab pemerintah. Untuk dana operasional selama setahun dibutuhkan dana sebesar Rp 2,4 juta. Namun, dana pembangunan dan dana operasional tersebut seluruhnya tidak berasal dari pemerintah. Pemerintah mengharapkan bantuan dari pengrajin yang direncanakan menggunakan IPAL tersebut untuk membayar retribusi pembangunan IPAL. Besarnya iuran yang dikenakan disesuaikan dengan jarak pabrik ke sungai, yang menjadi tempat pembuangan akhir IPAL. Pengrajin yang memiliki lokasi pabrik yang lebih dekat dengan sungai akan dikenakan iuran yang lebih rendah dibandingkan dengan pengrajin yang memiliki lokasi pabrik lebih jauh dengan sungai. Hal itu disebabkan karena biaya pembangunan penggunaan pipa untuk pabrik yang lokasinya lebih jauh dari sungai lebih mahal dibandingkan dengan pabrik yang lokasinya dekat dengan sungai.

2. Mendapatkan Nilai WTP Obtaining Bids

Teknik yang digunakan dalam mendapatkan nilai penawaran pada penelitian ini dilakukan dengan pendekatan metode referendum tertutup dichotomous choice, karena metode ini memudahkan pengrajin memahami maksud dan tujuan penelitian ini. Teknik ini memudahkan pengklasifikasian responden yang memiliki kecenderungan bersedia membayar retribusi pengelolaan limbah dengan responden yang tidak bersedia, sehingga dari kemungkinan jawaban “ya” untuk setiap nilai yang diberikan dapat diestimasi.

3. Menghitung Dugaan Rata-Rata Nilai WTP Estimating Mean WTPEWTP

Menurut Jordan dan Elnagheeb dalam Arianti 1999 WTPi dapat diduga dengan menggunakan nilai tengah dari kelas atau interval WTP responden ke-i. Dari jawaban responden dapat diketahui WTP yang benar adalah berada antara jawaban yang dipilih batas bawah kelas WTP dengan WTP berikutnya batas atas kelas WTP. Pada tahapan ini biasanya diabaikan adanya sanggahan protest bid . Yang diamaksud penawaran sanggahan adalah respon dari responden yang bingung untuk menentukan jumlah yang mereka ingin bayarkan karena mereka tidak ingin ikut serta dalam pengelolaan limbah. Perhitungan dari dugaan rata-rata nilai WTP pengrajin aci ditentukan dengan rumus : n EWTP = S Wi.Pfi ........1 i=0 dimana : EWTP : Dugaan rata-rata nilai WTP Wi : Batas bawah WTP kelas ke-i midWTP = fLU, PDDK, TK, PDPT, LTU, e midWTP = fLU, PDDK, TK, PDPT, LTU, e midWTP = fLU, PDDK, TK, PDPT, LTU, e Pfi : Frekuensi relatif kelas ke- i n : Jumlah kelas i : Sampel 1,2,…,n

4. Menduga Bid Curve

Pendugaan bid curve yang dilakukan dalam penelitian ini menggunakan persamaan seperti berikut ini :

1. Skenario Pertama

dimana : midWTP = Nilai tengah WTP LU = Lama usaha tahun PDDK = Pendidikan tahun TK = Biaya tenaga kerja Rphari PDPT = Pendapatan usaha Rphari LTU = Luas tempat usaha m 2 e = Galat

2. Skenario Kedua

dimana : midWTP = Nilai tengah WTP LU = Lama usaha tahun PDDK = Pendidikan tahun TK = Biaya tenaga kerja Rphari PDPT = Pendapatan usaha Rphari LTU = Luas tempat usaha m 2 e = Galat

3. Skenario Ketiga

dimana : midWTP = Nilai tengah WTP LU = Lama usaha tahun PDDK = Pendidikan tahun TK = Biaya tenaga kerja Rphari PDPT = Pendapatan usaha Rphari LTU = Luas tempat usaha m 2 e = Galat midWTP = fLU, PDDK, TK, PDPT, LTU, e 4. Skenario Keempat dimana : midWTP = Nilai tengah WTP LU = Lama usaha tahun PDDK = Pendidikan tahun TK = Biaya tenaga kerja Rphari PDPT = Pendapatan usaha Rphari LTU = Luas tempat usaha m 2 e = Galat Kurva penawaran WTP menggambarkan hubungan antara nilai WTP dengan jumlah limbah. Kurva penawaran WTP yang digambarkan dalam penelitian ini adalah kurva yang menggambarkan hubungan anatara nilai WTP dengan jumlah pengrajin. Hal tersebut juga dapat memproyeksikan bahwa makin banyak jumlah pengrajin maka jumlah limbah yang dihasilkan makin besar, karena rata-rata setiap pengrajinmengeluarkan limbah sebesar 0,4 m 2 per hari.

5. Menjumlahkan Data Agregating Data atau Menentukan Total WTP

Menurut Pearce dan Turner dalam Arianti 1999 total WTP dapat digunakan untuk menduga WTP populasi secara keseluruhan dengan rumus : n TWTP = S WTPi niNP ..... 2 i=0 dimana : TWTP : Total WTP WTPi : WTP kelas ke- i P : Jumlah populasi ni : Jumlah sampel pada kelas WTP ke- i N : Jumlah sampel P : Jumlah populasi i : Kelas WTP 1,2,…,n

6. Mengevaluasi Penggunaan CVM Evaluating The CVM Exercise

Hal ini merupakan penilaian sejauh mana penggunaan CVM telah berhasil. Pada tahap ini memerlukan pendekatan seberapa besar tingkat keberhasilan dalam pengaplikasian CVM. Menurut Whittington et.al. 1993 dalam Arianti 1999 isu yang paling penting dalam CVM adalah apakah respon responden atas pertanyaan-pertanyaan teknik CVM secara akurat menggambarkan preferensi yang sesungguhnya dari responden yang bersangkutan. Uji yang dapat dilakukan adalah uji keandalan Reliability Test atas penawaran-penawaran WTP yang ditunjukkan dengan koefisien determinasi R 2 dari model OLS Ordinary Least Square WTP.

4.6.4 Analisis Fungsi WTP Willingness to Pay

Analisis ini digunakan untuk menge tahui faktor-faktor yang mempengaruhi WTP pengrajin. Model yang digunakan adalah model regresi linear berganda. Persamaan regresi besarnya nilai WTP dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Skenario Pertama

dimana : midWTPi = Nilai tengah WTP ß = Intersep ß 1 , .. , ß 4 = Koefisien Regresi LU = Lama usaha tahun PDDK = Pendidikan tahun TK = Biaya tenaga kerja Rphari PDPT = Pendapatan usaha Rphari LTU = Luas tempat usaha m 2 i = Responden ke- i i=1,2,…,21 e = Galat midWTPi = β + β 1 LU i + β 2 PDDK i - β 3 TK i + β 4 PDPT i + β 5 LTU i + e i midWTPi = β + β 1 LU i + β 2 PDDK i - β 3 TK i + β 4 PDPT i + β 5 LTU i + e i midWTPi = β + β 1 LU i + β 2 PDDK i - β 3 TK i + β 4 PDPT i + β 5 LTU i + e i midWTPi = β + β 1 LU i + β 2 PDDK i - β 3 TK i + β 4 PDPT i + β 5 LTU i + e i

2. Skenario Kedua

dimana : midWTPi = Nilai tengah WTP ß 1, .. ß 4 = Koefisien Regresi LU = Lama usaha tahun PDDK = Pendidikan tahun TK = Biaya tenaga kerja Rphari PDPT = Pendapatan usaha Rphari LTU = Luas tempat usaha m 2 i = Responden ke- i i=1,2,…,20 e = Galat

3. Skenario Ketiga

dimana : midWTPi = Nilai tengah WTP ß = Intersep ß 1, .., ß 5 = Koefisien Regresi LU = Lama usaha tahun PDDK = Pendidikan tahun TK = Biaya tenaga kerja Rphari PDPT = Pendapatan usaha Rphari LTU = Luas tempat usaha m 2 i = Responden ke- i i=1,2,…,23 e = Galat

4. Skenario Keempat

dimana : midWTPi = Nilai tengah WTP ß = Intersep ß 1, .., ß 5 = Koefisien Regresi LU = Lama usaha tahun PDDK = Pendidikan tahun TK = Biaya tenaga kerja Rphari PDPT = Pendapatan usaha Rphari LTU = Luas tempat usaha m 2 i = Responden ke -i i=1,2,…,23 e = Galat Variabel-variabel bebas tersebut dipilih berdasarkan teori-teori, penelitian terdahulu dan observasi di lapang. Nilai WTP pengrajin dipengaruhi oleh kepemilikan dan kemampuan kapitalnya dan alokasi dananya untuk pengelolaan limbah. Sehingga nilai WTP dipengaruhi oleh faktor- faktor: lama usaha, pendidikan, biaya tenaga kerja, pendapatan usaha, dan luas tempat usaha. Variabel lama usaha, pendidikan, pendapatan usaha, dan luas tempat usaha berbanding lurus dengan nilai WTP pengrajin, sedangkan variabel biaya tenaga kerja berbanding terbalik dengan nilai WTP pengrajin. Apabila lama usaha pengrajin semakin lama, maka pengrajin tersebut memiliki akumulasi kapital yang memadai untuk melakukan pengelolaan limbah, sehingga nilai WTPnya semakin besar. Variabel pendidikan juga memiliki hubungan yang sama dengan umur terhadap peluang membayar pengrajin. Apabila pendidikan pengrajin semakin baik maka nilai WTPnya juga semakin besar. Hal itu disebabkan karena dengan pendidikan yang lebih baik, maka pengetahuan sadar lingkungan dari pengrajin semakin baik, dengan demikian pengrajin bersedia membayar dengan nilai yang lebih besar. Hal di atas juga terjadi dengan variabel pendapatan usaha, semakin besar pendapatan pengrajin maka, pengrajin memiliki alokasi dana yang memadai untuk melakukan pengelolaan limbah, sehingga memiliki nilai WTP yang lebih besar dibandingkan dengan pengrajin yang memiliki pendapatan usaha yang kecil. Sama halnya dengan variabel luas tempat usaha, semakin besar luas tempat usaha maka nilai WTP pengrajin semakin besar. Hal itu disebabkan karena dengan dengan luas tempat usaha yang semakin luas maka diasumsikan bahwa kapital yang dimiliki pengrajin juga semakin besar, dengan demikian pengrajin memiliki alokasi dana untuk membayar pengelolaan limbah dan nilai WTP semakin besar. Hal yang terbalik terjadi dengan variabel biaya tenaga kerja. Apabila biaya tenaga kerja semakin besar maka keuntungan pengrajin semakin kecil asumsi decreasing return to scale sehingga alokasi dana untuk membayar pengelolaan limbah semakin kecil atau bahkan tidak ada. Dengan demikian nilai WTPnya pun semakin kecil.

4.7 Metode Uji Statistik

Untuk mengetahui kebaikan suatu moedl, pengaruh dari variabel- variabel bebas, maka dilakukan uji statistik. Uji statistik yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Uji G

The log-likelihood biasa dikenal sebagai -2LL -two times the log likelihood dimana nilai tersebut dapat memperkirakan distribusi chi-square ? 2 dan memungkinkan penentuan level signifikansi. Satatistik uji G adalah uji rasio kemungkinan maksimum likelihood ratio test yang digunakan untuk menguji peranan variabel bebas 22 secara serentak. Rumus umum untuk uji G adalah : Hosmer dan Lemeshow,1989 G = - 2 ln li lo Dimana : lo : log-likelihood tanpa variabel bebas li : log-likelihood dengan variabel bebas Ukuran dari pengaruh semua variabel bebas dalam model memakai variabel respon dapat diperoleh dengan membandingkan -2LL untuk model dengan tanpa variabel bebas model nol atau biasa dikenal sebagai the initial 22 dikenal dengan variabel penjelas ß i SE ß i log-likelohood function dengan -2LL untuk model dengan semua variabel bebas. Perbedaan dalam -2LL antara kedua model tersebut menunjukkan pengaruh dari variabel bebas. Pengujian terhadap hipotesis pada uji G responden pengrajin di Kelurahan Ciluar sebagai berikut : H : ß 1 = ß 2 = ... = ß k = 0 H 1 : ß 1 = ß 2 = ... = ß k ? 0 Statistik G, akan mengikuti sebaran ? 2 dengan derajat bebas a. Kriteria keputusan yang diambil adalah jika G ? 2 a atau nilai P-Value a maka hipotesis nol H ditolak. Uji G juga dapat digunakan untuk memeriksa apakah nilai yang diduga dengan variabel di dalam model lebih baik jika dibandingkan dengan model tereduksi Hosmer dan Lemeshow, 1989.

2. Uji Wald

Uji statistik Wald digunakan untuk menguji perbedaan pengaruh antara taraf atribut yang variabel bonekanya bernilai 1 dengan taraf lain dari atribut tersebut yang semua variabelnya bernilai nol. W = H : ß i = 0 H 1 : ß i ? 0 dimana : ß i : Vektor koefisien dihubungkan dengan penduga koefisien x SE ß i : Galat kesalahan dari ß i Uji Wald mengikuti sebaran normal baku dengan kaidah keputusan menolak H jika W Z a2 Hosmer dan Lemeshow, 1989.

3. Uji Keandalan

Uji ini dilakukan dalam evaluasi pelaksanan CVM. Berhasil tidaknya pelaksanaan CVM dilihat dengan nilai koefisien determinasi R 2 , terutama nilai R 2 adj dari OLS Ordinary Least Square WTP. Penelitian ini menggunakan data cross section sehingga diduga nilai dari koefisien determinasi R 2 tidak tinggi.

4. Uji Normalitas

Uji normalitas diperlukan untuk menguji apakah error term dari dataobservasi yang jumlahnya kurang dari 30 mendekati sebaran normal sehingga statistik t sah. Uji yang dapat dilakukan adalah uji Jarque Bera, dengan prosedur sebagai berikut : H : error term terdistribusi normal H 1 : error term tidak terdistribusi normal Terima H jika jika statistik J-B ? 2 df-2 atau nilai probabilitasnya lebih besar dari a.

5. Uji Statistik t

Uji statistik t dilakukan untuk mengetahui seberapa jauh masing- masing variabel bebasnya X i mempengaruhi sosial ekonomi masyarakat setempat Y i sebagai variabel tidak bebas, prosedur pengujiannya Ramanathan, 1997 adalah sebagai berikut : H : ßi = 0 atau Variabel bebas X i tidak berpengaruh nyata terhadap variabel tidakbebasnya Y i H 1 : ßi ≠ 0 atau Variabel bebas X i berpengaruh nyata terhadap variabel tidak bebasnya Y i t hit n-k = ßi – 0 S ßi Jika t hit n -k tabel, maka H diterima, artinya variabel X i tidak berpengaruh nyata terhadap Y i Jika t hit n -k tabel, maka H ditolak, artinya variabel X i berpengaruh nyata terhadap Y i Namun untuk uji t, dapat dilakukan dengan cara melihat output perhitungan komputer dengan melihat nilai P di masing- masing variabel independen. Apabila nilai P pada masing- masing variabel lebih kecil dari a maka tolak H variabel X i berpengaruh nyata terhadap Y i .

6. Uji Statistik F

Pengujian ini dilakukan untuk mengetahui pengaruh variabel X i secara bersama-sama terhadap variabel tidak bebasnya Y i . Prosedur pengujiannya Ramanathan, 1997 antara lain : H : ß 1 = ß 2 = ß 3 = ... =ß k = 0 H1 : ß 1 = ß 2 = ß 3 =... = ß k ? 0 F hit = JKK k – 1 JKG k n – 1 dimana: JKK = Jumlah Kuadrat untuk Nilai Tengah Kolom JKG = Jumlah Kuadrat Galat n = Jumlah Sampel k = Jumlah Variabel Jika F – hit F tabel, maka H diterima, artinya variabel X i secara serentak tidak berpengaruh nyata terhadap Y i Jika F – hit F tabel, maka H ditolak, artinya variabel X i secara serentak berpengaruh nyata terhadap Y i Uji F, dapat dilakukan dengan cara melihat output perhitungan komputer dengan melihat nilai P dari Statistik F a. Apabila nilai P-Value a maka tolak H variabel X i secara serentak berpengaruh nyata terhadap Y i .

7. Uji Terhadap Multikolinear Multicollinearity

Dalam model yang melibatkan banyak variabel bebas sering terjadi masalah multicollinearity, yaitu terjadinya korelasi yang kuat antar variabel- variabel bebas. Menurut Koutsoyiannis 1977, untuk mendeteksi adanya multicollinearity dalam sebuah model dapat dilakukan dengan membandingkan besarnya nilai koefisien determinasi R 2 dengan koefisien determinasi parsial antar dua variabel bebas r 2 . Untuk hal ini dapat dibuat suatu matriks koefisien determinasi parsial antar variabel bebas. Multicollinearity dapat dianggap bukan merupakan suatu masalah apabila koefisien determinasi parsial antar dua variabel bebas tidak melebihi nilai koefisien determinasi atau koefisien korelasi berganda antar semua variabel secara simultan. Namun multicollinearity dianggap sebagi masalah serius jika koefisien determinasi parsial antar dua variabel bebas melebihi atau sama dengan nilai koefisien determinasi atau koefisien korelasi berganda antar semua variabel secara simultan, atau r 2 xj,xj R 2 x 1 ,x 2 ,.....,x k Masalah multicollinearity juga dapat dilihat langsung melalui output komputer, dimana apabila nila VIF 10 maka tidak ada masalah multicollinearity atau dengan melakukan uji correlations matrix. Apabila nilai korelasi antar variabel bebas kurang dari satu maka tidak ada masalah multicollinearity .

8. Uji Heterokedastisitas

Salah satu asumsi metode pendugaan metode kuadrat terkecil adalah homoskedastisitas, yaitu ragam galat konstan dalam setiap amatan. Pelanggaran atas asumsi homoskedastisitas adalah heterokedastisitas.Untuk mendeteksi adanya masalah heterokedastisitas maka dilakukan uji heterokedastisitas seperti yang disarankan oleh Goldfeld dan Quandt 1965 dalam Ramanathan 1997. Langkah- langkah pengujian heteroskedastisidas dengan uji White heteroskedasdicity sebagai berikut : H : Tidak ada heteroskedastisitas H 1 : Ada masalah heteroskedastisitas Tolak H jika obs R-square ? 2 df-2 atau probability obs R-square a.

4.8 Hipotesa

1. Karakteristik sosial ekonomi pengrajin aci bervariasi. 2. Mayoritas pengrajin tidak melakukan pengelolaan limbah, dan apabila ada pengrajin yang sudah melakukannya namun, tidak dilakukan secara optimal. 3. Pengrajin yang bersedia membayar dalam partisipasi pengelolaan limbah adalah pengrajin yang merasakan secara langsung dampak negatif dari limbah tersebut dan mempunyai kesadaran lingkungan tinggi yang ditandai dengan tingkat pendidikan. . 4. Nilai WTP dari pengrajin yang skala produksinya besar lebih tinggi dibandingkan dengan mereka yang memilki skala produksi yang kecil. 5. Besarnya nilai WTP pengrajin dipengaruhi oleh faktor sosial ekonomi.

4.9 Definisi Operasional

Definisi operasional yang digunakan dalam penelitian ini : 1. Limbah yang dimaksud dalam penelitian ini adalah limbah cair, yaitu limbah yang berasal dari air buangan pada proses produksi tepung tapioka kasaraci contoh : air buangan pencucian singkong, air buangan proses pengendapan. 2. Wilayah penelitian adalah Kelurahan Ciluar, Kecamatan Bogor Utara, Kota Bogor. 3. Objek penelitian adalah industi tepung tapioka kasarindustri aci, yang meliputi seluruh pengrajin aci yang ada di Kelurahan CIluar. 4. Pengrajin aci adalah orang yang bekerja sebagai produsen aci. 5. Aci adalah tepung tapioka kasar, yaitu tepung yang berasal dari hasil endapanpati singkong yang dijemur dan belus dihaluskan. 6. WTP adalah sejumlah uang yang diberikan sesorang untuk memperoleh suatu peningkatan kondisi lingkungan danakan lebih baik dari kondisi sebelumnya. 7. CVM digunakan untuk menampung preferensi responden pada kondisi tertentu guna mengetahui keinginan untuk menerima kompensasi dan keinginan untuk membayar. 8. Maksimum dalam satu bulan terdapat 20 hari kerja September – Oktober 2005, dimana satu kali proses produksi membutuhkan waktu satu hari.

V. IDENTIFIKASI UMUM

5.1 Gambaran Umum Lokasi Penelitian 5.1.1 Keadaaan Umum Ciluar adalah salah satu kelurahan di Kecamatan Bogor Utara, Kota Bogor, yang terdiri dari sepuluh RW dan 49 RT. Kelurahan ini dibagi menjadi lima kampung, yaitu : Ciluar RW 01, Babakan RW 02, Bubulak RW 03, Tarikolot RW 04, Rambai RW 05 dan RW 06, dan empat perumahan KPR- BTN, yaitu : Pondok Aren RW 07, Bogor Ciluar Indah RW 08, Ciluar Asri RW 09, dan Taman Kenari RW 10. Kelurahan ini memiliki luas wilayah 220,30 ha, dan merupakan kelurahan perbatasan antara Kota Bogor dengan Kabupaten Bogor. Kelurahan ini berbatasan dengan Desa Cimandala Kecamatan Sukaraja, Kabupaten Bogor pada bagian utara, pada bagian selatan dan barat berbatasan dengan Kelurahan Cimahpar Kecamatan Bogor Utara, Kota Bogor, dan bagian timur berbatasan dengan Desa Pasir Laja Kecanmatan Sukaraja, Kabupaten Bogor Monografi Kelurahan, 2004. Untuk mencapai Kelurahan Ciluar dapat ditempuh perjalanan 45-60 menit dari terminal Bubulak dengan menggunakan kendaraan angkutan umum seperti angkutan kota Angkot 32 - jurusan Cibinong yang kemudian dilanjutkan dengan angkot 08 – jurusan Citereup yang dilanjutkan dengan menggunakan sepeda motor ojek 23 . Jarak kelurahan dari Kecamatan Bogor Utara 7 km dan 10 km dari Kota Bogor Monografi kelurahan. Kelurahan Ciluar dilalui berbagai macam kendaraan, seperti mobil dan sepeda motor. Sepeda motor merupakan sarana 23 Pekerjaan jasa yang dibayar, dengan mengangkut penumpang menggunakan sepeda motor ke tempat tujuan penumpang.