Limbah cair ini tidak dikelola terlebih dahulu sebelum dibuang, sehingga semakin lama menimbulkan bau busuk dan bau asam. Para pengrajin aci di
Kelurahan Ciluar tidak melakukan pengelolaan limbah disebabkan karena mereka tidak memiliki modal untuk membuat IPAL atau melakukan pengolahan limbah.
Selain itu mereka juga tidak mengetahui cara-cara atau teknologi yang dapat digunakan untuk mengelola limbah yang dihasilkan.
Pada tahun 2002 Pemerintah Kota Bogor melalui Dinas Irigasi dan pengairan melakukan proyek pengolahan limbah IPAL aci untuk 5 pabrik aci di
Kampung Babakan, tepatnya berada di lahan Bapak Lili Dimyati. IPAL tersebut dibangun dari dana kesehatan Pemerintah Kota Bogor sebesar Rp 5 juta rupiah,
dan setelah pembangunan selesai, eluruh kegiatan perawatan diserahkan kepada pabrik-pabrik yang berkaitan dengan IPAL tersebut. Namun saat ini Oktober
2005 IPAL tersebut masih berjalan, tetapi tidak terawat sehingga kinerja dari IPAL tidak optimal. Hal tersebut disebabkan karena pabrik-pabrik tersebut tidak
memiliki kesadaran, dan menyerahkan tanggung jawab kepada pemilik lahan untuk merawatnya, selain itu dari lima pabrik yang menggunakan IPAL tersebut,
saat ini Oktober 2005 hanya tinggal tiga pabrik yang masih berjalan, dimana dua pabrik tersebut dimiliki hanya oleh seorang pengrajin dan satu pabrik lainnya
dimiliki oleh seorang pengrajin.
5.2 Karakteristik Responden 5.2.1 Karakteristik Umum Pengrajin Aci Ciluar
Karakteristik umum pengrajin aci di Kelurahan Ciluar ini didasarkan pada survei terhadap 35 responden, dimana seluruhnya adalah pengrajin aci yang ada di
Kelurahan Ciluar. Karakteristik umum responden ini dapat dilihat dari beberapa variabel, yaitu jenis kelamin, tingkat umur, status perkawinan, tingkat pendidikan,
dan jumlah tanggungan.
5.2.1.1 Jenis Kelamin
Menurut hasil survei terhadap 35 responden, diketahui bahwa sebagian besar pengrajin aci berjenis kelamin laki- laki, yaitu sebanyak 34 orang pengrajin
97 , sementara seorang pengrajin 3 adalah perempuan Gambar 8. Dominannya laki- laki ini disebabkan karena usaha penggilingan singkong
dijadikan sebagai mata pencaharian utama, bahkan satu-satu bagi 35 rumah tangga pengrajin responden. Sehingga yang bertanggung jawab dalam pengambilan
keputusan dan pengelolaannya adalah laki- laki, selain itu juga bertindak sebagai kelapa rumah tangga.
Gambar 8. Karakteristik Pengrajin Aci Berdasarkan Jenis Kelamin di Kelurahan Ciluar tahun 2005
5.2.1.2 Tingkat Umur
Distribusi tingkat umur dari pengrajin aci bervariasi, dimulai dari umur 20- an sampai dengan umur 70-an. Tingkat umur pengrajin aci tersebar pada
kelompok umur sebagaimana terlihat pada Gambar 9.
Gambar 9. Distribusi Umur Pengrajin Aci di Kelurahan Ciluar Tahun 2005
Penyebaran umur responden terbesar pada kelompok umur 40 – 50 tahun, yaitu sebesar 37 13 orang. Kemudian pengrajin yang termasuk dalam
kelompok umur 30 – 40 tahun sebanyak 31 11 orang, kelompok umur 50 – 60 tahun sebesar 11 4 orang. Sedangkan pengrajin yang berumur 20 – 30 tahun
dan 60 – 70 tahun masing- masing sebanyak 9 3 orang, dan pengrajin yang berumur 70 – 80 tahun, memiliki jumlah yang paling sedikit yaitu 3 1 orang.
Dapat dilihat bahwa rata-rata pengrajin aci berumur 30 - 50 tahun, dan merupakan usia angkatan kerja. Hal tersebut disebabkan karena berprofesi sebagai
pengrajin aci merupakan mata pencaharian utama rumah tangga, sehingga keputusan dan pengelolaan dilakukan oleh orang dewasa. Sedangkan untuk
kelompok umur lebih dari 60 tahun, bekerja sebagai pengrajin aci merupakan pekerjaan yang telah lama mereka lakukan, dan tidak menjadi beban berat bagi
kehidupan mereka lagi. Mereka sudah tidak lagi menanggung anak-anaknya karena umumnya mereka sudah berkeluarga. Sedangkan pengrajin yang memiliki
kelompok umur 20 – 30 tahun merupakan pengrajin aci baru, yaitu mereka yang baru memulai bekerja sebagai pengrajin aci. Mereka memilih bekerja sebagai
pengrajin aci disebabkan karena keterbatasan tingkat pendidikan, sehingga jenis
pekerjaan yang dapat dipilih terbatas. Sebagai pengrajin aci tidak dibutuhkan tingkat pendidikan yang tinggi, tetapi diperlukan keterampilan dan lahan untuk
tempat usaha. Disamping itu modal untuk memulai sebagai pengrajin aci juga tidak terlalu besar yaitu antara 15 – 25 juta rupiah.
5.2.1.3 Tingkat Pendidikan
Kualitas pendidikan pengrajin aci rendah. Hal itu ditunjukkan oleh penyebaran tingkat pendidikan pengrajin yang berada pada tingkat pendidikan
dasar. Tingkat pendidikan paling tinggi yang dicapai adalah SMP, berjumlah 17 6 orang, bahkan terdapat beberapa pengrajin yang tidak tamat SD,
berjumlah 17 6 orang. Mayoritas tingkat pendidikan dari pengrajin aci hanya mencapai sekolah dasar, yaitu 66 23 orang dan disajikan pada Gambar 10.
Gambar 10. Distribusi Tingkat Pendidikan Pengrajin Aci di Kelurahan Ciluar Tahun 2005
Kualitas pendidikan memberi refleksi akan pola dan aktivitas seseorang
dalam menjalankan usahanya. Selain itu juga mempengaruhi persepsinya terhadap pengelolaan limbah. Pengrajin yang memiliki tingkat pendidikan yang lebih tinggi
akan cenderung memiliki persepsi terhadap pengelolaan limbah dan lingkungan
yang lebih baik dibandingkan dengan pengrajin yang memiliki tingkat pendidikan yang lebih rendah.
5.2.1.4 Status Perkawinan
Seluruh pengrajin aci yang ada di Kelurahan Ciluar sudah menikah. Hal ini disebabkan karena pengrajin aci dijadikan sebagai mata pencaharian utama
bahkan satu-satunya untuk menopang atau menjadi tulang punggung perekonomian rumah tangga. Dengan menjadi pengrajin aci, maka mereka dapat
menghidupi keluarga, dan anak-anak atau istri mereka dapat membantu dengan menjadi salah satu tenaga kerja, sehingga biaya tenaga kerja menjadi lebih murah.
5.2.1.5 Jumlah Tanggungan
Mayoritas pengrajin aci memiliki jumlah tanggungan 4 orang, yaitu sebanyak 11 orang pengrajin 30 . Pengrajin yang memilki jumlah tanggungan
1 orang sebanyak 10 orang pengrajin 29, sembilan orang pengrajin 26 memiliki jumlah tanggungan 3 orang. Sedangkan terdapat 3 orang pengrajin 9
yang memiliki jumlah tanggungan dua orang, jumlah tanggungan lima dan tujuh orang dimiliki oleh masing- masing seorang pengrajin 3 . Hal itu dapat dilihat
pada Gambar 11.
Gambar 11. Distribusi Jumlah Tanggungan Pengrajin Aci di Kelurahan Ciluar Tahun 2005
5.2.2 Karakteristik Usaha Pengrajin Aci
Karakteristik usaha dari 35 orang pengrajin aci di Kelurahan Ciluar bervariasi. Karakteristik usaha ini merupakan hal-hal atau variabel-variabel yang
menjadi ciri dari masing- masing pengrajin tersebut. Variabel-variabel tersebut adalah pengalaman menjadi pengrajin, jumlah tenaga kerja, waktu produksi per
hari, jumlah bahan baku ubi kayu, jumlah produksi aci per hari, jumlah onggok yang dihasilkan, luas tempat usaha, dan pendapatan.per hari.
5.2.2.1 Lama Usaha
Lama usaha pengrajin aci merupakan lamanya seseorang telah bekerja sebagai pengrajin aci. lama usaha dari 35 orang pengrajin aci bervariasi, dan
distribusinya dapat dilihat pada kelompok pengalaman usaha pengrajin aci Gambar 12.
Gambar 12. Distribusi Lama Usaha Pengrajin Aci di Kelurahan Ciluar Tahun 2005
Pengrajin telah melakukan usaha penggilingan singkong selam 4 – 6 tahun sebanyak 32 , dan kelompok yang memiliki jumlah pengrajin paling
besar. Kemudian 6 orang pengrajin 17 telah menjadi pengrajin aci selama 5 – 8 dan 8 - 10 tahun, selanjutnya sebanyak 2 orang pengrajin 2 termasuk
dalam pengrajin yang memiliki pengalaman usaha 0 – 2 tahun. Jumlah paling
kecil dimiliki oleh kelompok pengrajin yang memiliki lama usaha lebih dari 12 tahun, yaitu hanya berjumlah satu orang 3 .
5.2.2.2 Jumlah Tenaga Kerja
Tenaga kerja yang bekerja dalam satu pabrik aci terdiri dari tiga kelompok, yaitu buruh pikul, buruh giling, dan buruh jemur. Jumlah tenaga kerja
yang dimiliki oleh masing- masing pengrajin aci bervariasi, dan distribusinya dapat dilihat pada Gambar 13.
Jumlah Tenaga Kerja Pengrajin Aci
8 orang 9
9 orang 14
10 orang 37
11 orang 34
12 orang 6
Gambar 13. Distribusi Jumlah Tenaga Kerja Pengrajin Aci di Kelurahan Ciluar Tahun 2005
Mayoritas 7 atau 13 orang pengrajin aci di Kelurahan Ciluar memiliki tenaga kerja 10 orang. Sedangkan pengrajin yang me miliki tenaga kerja sebelas
orang, berjumlah sebelas orang 34 , 5 orang pengrajin 14 memilki tenaga kerja sembilan orang. Pengrajin yang memiliki tenaga kerja delapan orang
berjumlah 3 orang pengrajin 9 , dan pengrajin yang memiliki tenaga kerja 12 orang berjumlah 2 orang pengrajin 6 .
Perbedaan penggunaan tenaga kerja tersebut dipengaruhi oleh faktor lokasi usaha, upah yang diberikan, jumlah bahan baku dan ketersediaan tenaga kerja
yang terdapat di daerah sekitar tempat usaha. Perbedaan jumlah tenaga kerja itu
juga dapat mempengaruhi lamanya proses produksi per hari. Makin besar jumlah tenaga kerja maka memiliki kecenderungan waktu produksi per hari makin cepat.
5.2.2.3 Waktu Produksi
Waktu produksi adalah berapa jam lamanya dibutuhkan oleh pengrajin aci per harinya untuk melakukan kegiatan produksi. Waktu produksi ini bervariasi
tergantung dari masing- masing pengrajin. Ada beberapa pengrajin yang memulai kegiatan produksinya pada pagi hari hingga sore hari, dan ada beberapa pengrajin
yang melakukannya dari sore hari hingga subuh. Waktu dan lamanya kegiatan produksi ditentukan oleh waktu kedatangan bahan baku. Apabila bahan baku tiba
di tempat produksi pagi hari maka pada waktu itulah kegiatan produksi langsung berjalan, karena bahan baku ubi kayu jangan terlalu lama dibiarkan agar kualitas
aci yang dihasilkan baik. Distribusi waktu produksi dari 35 orang pengrajin aci dapat dilihat pada Gambar 14.
Gambar 14. Distribusi Waktu Produksi Pengrajin Aci per Hari di Kelurahan
Ciluar Tahun 2005
Mayoritas pengrajin aci di Ciluar melakukan kegiatan produksi per hari selama 6 jam. Hal itu dapat dilihat, berdasarkan survei sebesar 46 16 orang
pengrajin melakukan kegiatan produksi per harinya selama 6 jam, kemudian 31
6 jam 46
7 jam 31
8 jam 14
9 jam 6
10 jam 3
11 orang pengrajin melakukan kegiatan produksi per harinya selama 7 jam. Jumlah paling kecil adalah pengrajin yang melakukan kegiatan produksi per hari
selama 10 jam, yaitu hanya 3 1 orang pengrajin saja. Waktu produksi per hari lamanya ditentukan oleh banyaknya bahan baku
per hari, dan cuaca. Makin banyak bahan baku yang harus diolah maka memiliki kecenderungan makin lama waktu produksi yang dibutuhkan. Hal yang sama juga
terjadi dengan cuaca, kondisi cuaca yang cerah maka waktu produks per harinya pun bertambah lama. Hal ini disebabkan karena waktu untuk menjemur tapioka
basah dapat semakin lama, sehingga cepat kering.
5.2.2.4 Kapasitas Produksi
Kapasitas produksi pengrajin aci adalah kemampuan pengrajin aci mengolah bahan baku menjadi aci. Kemamp uan itu diukur dengan berapakah
jumlah bahan baku yang digunakan, jumlah aci, dan onggok yang dihasilkan untuk setiap kegiatan produksi. Jumlah bahan baku dan aci yang dihasilkan dapat
diukur per hari, namun untuk mengukur berapa jumlah onggok yang dapat dihasilkan memerlukan waktu dua minggu. Sebab ampas ubi kayu memerlukan
waktu sekitar dua minggu untuk dapat menjadi onggok.
Gambar 15. Distribusi Penggunaan Bahan Baku Pengrajin Aci kuintal Per
hari di Kelurahan Ciluar Tahun 2005
Gambar 15 memperlihatkan bahwa mayoritas dalam setiap kegiatan produksi per harinya pengrajin menggunakan bahan baku sebesar 15 – 20 kuintal,
yaitu sebanyak 19 orang pengrajin 54 . Sedangkan pada penggunaan bahan baku lebih dari 25 kuintal, hanya dilakukan oleh seorang pengrajin 3 . Hal
tersebut memperlihatkan bahwa umumnya penggunaan bahan baku oleh masing- masing pengrajin umumnya sama karena kemampuan keuangan dari masing-
masing pengrajin umumnya sama. Apabila mereka ingin menambah penggunaan bahan baku agar dapat menambah jumlah produksi, maka diperlukan tambahan
biaya, dan hanya beberapa pengrajin yang mampu melakukannya. Besarnya penggunaan bahan baku berdampak pada jumlah aci yang dapat
dihasilkan. Apabila semakin besar jumlah bahan baku yang digunakan maka jumlah aci yang dihasilkan juga bertambah besar, sehingga keduanya saling
berkaitan. Sama halnya dengan penggunaan bahan baku, jumlah aci yang dihasilkan
oleh pengrajin umumnya sama, yaitu sebesar 4 kuintal per hari Gambar 16. Hal itu ditunjukkan oleh banyaknya pengrajin yang memproduksi aci per harinya
sebesar 4 kuintal, yaitu sebanyak 21 pengrajin 60 . Sedangkan hanya seorang pengrajin 3 yang mampu memproduksi aci per harinya dalam jumlah yang
besar, yaitu sebesar 6 kuintal aci per hari. Fenomena tersebut disebabkan karena kemampuan keuangan pengrajin yang cenderung sama, sehingga jumlah bahan
baku yang digunakan sama, akhirnya jumlah produksi aci dari masing- masing pengrajin juga umumnya sama. Apabila ingin menambah jumlah produksi aci
maka mereka harus menambah modal, dan sedikit pengrajin yang mempunyai kemampuan seperti itu. Apabila hal itu mampu dilakukan oleh pengrajin maka
pengrajin itu mampu memperbesar kapasitas produksinya, karena indikator besarnya kapasitas produksi ditunjukkan oleh jumlah output aci yang dihasilkan.
Gambar 16. Distribusi Produksi Aci per Hari dari Pengrajin di Kelurahan Ciluar Tahun 2005
Selain menghasilkan aci, dalam proses produksinya juga dihasilkan onggok. Onggok adalah hasil sampingan dari proses produksi. Onggok terbuat
dari ampas ubi kayu yang dibentuk bulat dan telah dijemur hingga kering. Onggok ini dapat dijual, karena merupakan bahan baku bagi pakan ternak, bahan pembuat
saos, bahan baku pembuatan obat nyamuk, dan bahan campuran untuk membuatt roti gambang. Proses pembuatan onggok membutuhkan waktu selama seminggu
hingga dua minggu, bahkan dapat mencapai tiga minggu apabila cuaca hujan.
Gambar 17. Distribusi Produksi Onggok Pengrajin Aci di Kelurahan Ciluar Tahun 2005
Gambar 17 menunjukkan bahwa jumlah onggok yang dihasilkan oleh pengrajin umumnya sebesar 2 -3 kuintal per dua minggu. Terdapat 15 orang
pengrajin 44 yang menghasilkan onggok dalam jumlah tersebut. Jumlah onggok maksimal yang dapat dihasilkan oleh pengrajin aci di Ciluar sebesar 5
kuintal, dan hanya 4 orang pengrajin 11 yang mampu menghasilkan 4 – 5 kuintal onggok. Makin besar jumlah onggok yang dapat dihasilkan maka
tambahan pendapatan yang diterima pun semakin besar. Namun besarnya jumlah onggok yang mampu dihasilkan tergantung dari besarnya penggunaan bahan
baku, makin besar bahan baku yang digunakan, maka cenderung jumlah onggok yang dihasilkan juga bertambah.
5.2.2.5 Luas Tempat Usaha
Luas lahan yang dibutuhkan untuk tempat usaha penggilingan singkong harus cukup luas. Luas lahan itu digunakan untuk pendirian pabrik dan tanah
lapang untuk tempat menjemur tapioka basah. Luas pabrik memang tidak membutuhkan lahan yang luas, tetapi tanah lapang untuk tempat menjemur
tapioka basah harus luas, agar mampu menampung tapioka basah yang akan dijemur, yang ditempatkan dalam tampih-tampih, dan diusahakan agar tampih-
tampih tersebut tidak bertindihan satu sama lain. Keberadaan tempat usaha yang cukup jauh dari jalan utama,
memungkinkan dapat memiliki luas lahan yang luas. Luas lahan yang cukup luas tersebut dapat dimiliki oleh pengrajin aci karena seluruh pengrajin aci merupakan
orang asli daerah sehingga memiliki tanah warisan yang masih luas, selain itu harga tanah di sekitar tempat usaha tersbut masih cukup murah sehingga
memungkinkan sebagian dari pengrajin aci tersebut untuk membelinya.
Gambar 18. Distribusi Luas Tempat Usaha Pengrajin Aci m
2
di Kelurahan Ciluar Tahun 2005
Gambar 18 menunjukkan bahwa umumnya luas tempat usaha pengrajin sebesar 1.500 – 2.000 m
2
. Hal itu ditunjukkan banyaknya jumlah pengrajin yang memiliki luas tempat usaha pada kelompok tersebut, yaitu 59 21 orang.
Sedangkan untuk luas tempat usaha dibawah 1.000 m
2
dan diatas 2.500 m
2
masing- masing hanya dimiliki oleh seorang pengrajin 3 .
5.2.2.6 Pendapatan Usaha
Pendapatan usaha pengrajin aci adalah sejumlah uang yang diperoleh pengrajin dari hasil penjualan aci maupun onggok setelah dikurangi oleh biaya
produksi. Pendapatan tersebut dapat berbeda-beda tiap harinya, oleh sebab itu pendapatan yang dietrima dihitung dalam rata-rata per hari.
Gambar 19. Distribusi Pendapatan Pengrajin Aci di Kelurahan Ciluar Tahun 2005
23 54
6 11
3 3
0 - 20.000 20.000 - 40.000
40.000 - 60.000 60.000 - 80.000
80.000 - 100.000 100.000
Gambar 19 menunjukkan bahwa distribusi pendapatan pengrajin mayoritas berada pada kelompok pendapatan Rp 20.000,00 – Rp 40.000,00 per hari, yaitu
sebanyak 19 orang pengrajin 54 . Sedangkan terdapat masing- masing seorang pengrajin 3 yang memiliki pendapatan Rp 60.000,00 – Rp 80.000,00,
dan Rp 80.000,00 – Rp 100.000,00. Rata-rata pendapatan yang diterima oleh pengrajin tidak tinggi, dan pendapatan tersebut tidak konstan per harinya. Selain
itu terkadang pengrajin dalam beberapa hari tidak melakukan kegiatan produksi karena ketidaktersediaan ubi kayu sehingga tidak menerima pendapatannya tidak
konstan.
VI. PERSEPSI PENGRAJIN ACI TERHADAP LINGKUNGAN DAN PENGELOLAAN LIMBAH