Nrt 12 : Aku berkata pada diriku sendiri :
Aku Pn : Sekarang semua keperluan manusia telah tersedia, kenapa aku tidak melakukannya? Tapi apa yang akan kutulis? Terkungkung di antara empat tembok batu dingin tanpa hiasan apapun, tanpa kebebasan melangkah, tanpa cakrawala yang bisa kupandang, dan pelipur lara satu-satunya hanyalah menyibukkan diri tanpa berfikir mengikuti pantulan cahaya yang masuk melewati lubang pintu sel
dan membentuk pesegi keputih-putihan yang merayap pelahan di tembok suram di hadapannya, dan, seperti kukatakan barusan, seorang diri berhadapan dengan suatu pikiran, pikiran tentang kejahatan dan kematian Adakah yang bisa dikatakan oleh orang yang tidak mempunyai apa-apa lagi untuk dilakukan di dunia ini? Dan apa ada yang berharga untuk dituliskan di dalam otakku yang
telah layu dan kosong ini? Dan apa ada yang berharga untuk dituliskan di dalam otakku yang telah layu dan kosong ini? Kenapa tidak? Meski semua yang berada di sekelilingku monotan dan tidak berwarna, bukankah di dalam diriku terjadi badai, pergulatan dan tragedi? Pikiran yang selalu sama, yang menguasai diriku
saat ini, tidakkah ia menampakkan dirinya terus kepadaku dalam bentuk yang selalu berubah, menjadi semakin mengerikan dan semakin berlumuran darah seiring dengan semakin mendekatnya waktu yang telah ditentukan? Kenapa aku tidak mencoba mengatakan kepada diriku sendiri mengenai semua yang kurasa kejam dan asing di dalam keadaan terlantar ini, di mana aku berada sekarang? Pasti
banyak bahan, dan sesingkat apa pun hidupku, pasti masih akan ada sesuatu di dalam kekhawatiran, ketakutan, dan siksaan, yang akan mengisi hidupku ini, dari sekarang hingga akhir, yang akan mengusangkan bulu-bulu pena dan mengeringkan botol tinta.
Aku Pt : – Selain itu, satu-satunya cara untuk mengurangi rasa was-was ini adalah dengan mengamatinya. Melukiskannya akan membuatku melupakannya.
10. Dialog 6 : PJT : mematuhi prinsip kesantunan, maksim kearifan,
Aku : mematuhi prinsip kesantunan, maksim kedermawanan
9 Konteks : Di dalam sel, masa eksekusi mati yang tinggal enam minggu lagi, tokoh Aku mempertimbangkan untuk naik banding agar bebas dari eksekusi mati.
Nrt 8 : Comptons ce qui me reste. Trois jours de délai après l’arrêt prononcé pour le pourvoi en cassation.
Huit jours d’oubli au parquet de la cour d’assises, après quoi les pièces, comme ils disent, sont envoyées au ministre. Quinze jours d’attente chez le ministre, qui ne sait seulement pas qu’elle existe, et qui, cependant, est supposé les transmettre, après examen, à la cour de cassation.
Là, classement, numérotage, enregistrement ; car la guillotine est encombrée, et chacun ne doit passer qu’à son tour. Quinze jours pour veiller à ce qu’il ne vous soit pas fait de passe-droit.
Enfin la cour s’assemble, d’ordinaire un jeudi, rejette vingt pourvois en masse, et renvoie le tout au ministre, qui renvoie au procureur général, qui renvoie au bourreau. Trois jours. Le matin du quatrième jour, le substitut du procureur général se dit, en mettant sa cravate :
Pengganti Jaksa Tinggi : – Il faut pourtant que cette affaire finisse.
Aku : – Alors, si le substitut du greffier n’a pas quelque déjeuner d’amis qui l’en empêche, l’ordre d’exécution est minuté, rédigé, mis au net, expédié, et le lendemain dès l’aube on entend dans la place de
Grève clouer une charpente, et dans les carrefours hurler à pleine voix des crieurs enroués. En tout six semaines.
9LDJC 48 Nrt 8 : Coba kuhitung yang masih tersisa padaku :
Tiga hari tenggang waktu untuk naik banding setelah keputusan dijatuhkan. Delapan hari dilupakan di Dewan Magistratur Pengadilan Tinggi, baru kemudian surat-surat itu, demikian mereka menyebutnya, dikirimkan ke menteri.
Lima belas hari menunggu di tempat menteri, yang bahkan tidak mengetahui adanya permohonan banding itu, dan meskipun demikian dibayangkan lalu mengirimkannya ke Pengadilan Kasasi, setelah memeriksanya. Di sana, ada pengelompokkan, penomoran, pencatatan sebab yang mengantri guillotine banyak, masing-masing harus menunggu gilirannya.
Lima belas hari untuk memastikan bahwa Anda tidak mendapat perkecualian.
Akhirnya dewan berkumpul, biasanya hari kamis, lalu menolak dua puluh permohonan banding sekaligus, dan mengirimkannya semua kembali ke menteri, yang mengirimkannya lagi kepada Jaksa Tinggi. Pagi di hari keempat, pengganti Jaksa Tinggi berkata kepada dirinya sendiri, sambil mengenakan dasinya :
Pengganti Jaksa Tinggi : - Urusan ini memang harus diselesaikan.
Aku : - Maka, bila Pengganti Panitera tidak terganggu oleh acara makan siangnya bersama teman-temannya, perintah pelaksanaan hukuman dijadwalkan dengan ketat, disusun, dibikin dengan rapi,
dikirimkan, dan keesokan harinya begitu fajar menyingsing, di bunderan Grève terdengar suara orang memaku tiang hukuman, dan di persimpangan-persimpangan, orang-orang berteriak keras-keras dengan suara parau. Semuanya enam minggu.
11. Monolog 4 :Pn mematuhi prinsip kesantunan, maksim kearifan,