38
BAB 4 ANALISIS DATA
Setelah dilakukan pengklasifikasian secara mendalam berdasarkan metode dan teknik penyediaan data, ditemukan 50 data. 50 data tersebut terdiri dari 13
data mematuhi prinsip kesantunan, 16 melanggar prinsip kesantunan, serta 22 data mematuhi sekaligus melanggar prinsip kesantunan.
Hal yang akan dianalisis dari ke-50 data tersebut adalah 1 pematuhan prinsip kesantunan, dan 2 pelanggaran prinsip kesantunan dan implikasi
pragmatisnya. Kedua analisis tersebut disampaikan satu persatu berikut ini.
4.4. Pematuhan Prinsip Kesantunan.
Tuturan-tuturan pada roman Le Dernier Jour d’un Condamné karya Victor Hugo dimungkinkan mematuhi prinsip kesantunan dengan lebih dari satu maksim.
Hal ini dikarenakan adanya percakapan antara Pn dan Pt yang masing-masing bisa mematuhi prinsip kesantunan berupa maksim-maksim yang sama maupun
berbeda. Ditemukan 13 data yang mematuhi prinsip kesantunan, yakni maksim kearifan 19 tuturan, kedermawanan 1 tuturan, karendahan hati 1 tuturan,
kesepakatan 1 tuturan, dan kesimpatian 2 tuturan.
4.1.1. Pematuhan Prinsip Kesantunan, Maksim Kearifan.
Kesantunan wacana pada roman Le Dernier Jour d’un Condamné karya
Victor Hugo yang mematuhi prinsip kesantunan, maksim kearifan ini adalah
percakapan yang meminimalkan biaya sosial kepada pihak lain. Maksim kearifan ini memberikan petunjuk bahwa pihak lain Pt maupun pihak ketiga
yang dibicarakan antara Pn dan Pt di dalam tuturan hendaknya dibebani kerugian sekecil-kecilnya tetapi dengan keuntungan sebesar-besarnya. Ditemukan 7 wacana
dialog sama-sama mematuhi prinsip kesantunan, yakni maksim kearifan. Dari 7 wacana dialog tersebut, ditampilkan 2 wacana dialog sebagai sampel.
Contoh dialog 1 di bawah ini adalah dialog yang mematuhi prinsip kesantunan, yaitu maksim kearifan.
1 Konteks : Seorang pendeta prêtre mengunjungi tokoh Aku di dalam
selnya Aku, hal itu membuatnya Aku tenang setelah mengalami kekhawatiran akan pelaksanaan eksekusi mati.
Nrt-1 : Je suis calme maintenant. Tout est fini, bien fini. Je suis sorti de
l’horrible anxiété où m’avait jeté la visite du directeur. Car, je l’avoue, j’espérais encore. –Maintenant, Dieu merci, je n’espère
plus. Voici ce qui vient de se passer :
Au moment où six heures et demie sonnaient, – non, c’était l’avant-quart – la porte de mon cachot s’est rouverte.
Un vieillard à tête blanche, vêtu d’une redingote brune, est entré. Il a entr’ouvert sa redingote. J’ai vu une soutane, un
rabat. C’était un prêtre. Ce prêtre n’était pas l’aumônier de la prison. Cela était sinistre. Il s’est assis en face de moi avec un
sourire bienveillant ; puis a secoué la tête et levé les yeux au ciel, c’est-à-dire à la voûte du cachot. Je l’ai compris
Prêtre : – Mon fils, m’a-t-il dit, êtes-vous préparé ?
Nrt-2 : Je lui ai répondu d’une voix faible :
Aku : – Je ne suis pas préparé, mais je suis prêt.
Nrt-3 : Cependant ma vue s’est troublée, une sueur glacée est sortie à la fois de tous mes membres, j’ai senti mes tempes se gonfler, et
j’avais les oreilles pleines de bourdonnements.
18LDJC69-70
Nrt-1 : Sekarang aku tenang. Semua telah selesai, benar-benar selesai. Aku telah keluar dari kecemasanku yang mengerikan yang
disebabkan oleh kunjungan direktur. Sebab, kuakui, saat itu aku masih berharap. – Sekarang, puji syukur kepada Tuhan, aku tidak
berharap lagi. Inilah yang baru saja terjadi:
Pada saat lonceng menunjukkan pukul setengah tujuh, - tidak, menunjukkan kurang seperempat, - pintu selku kembali terbuka.
Seorang pria tua yang rambutnya putih, mengenakan jas panjang coklat, masuk. Ia sedikit membuka jasnya. Kulihat sebuah jubah,
sebuah dasi lebar. Ia seorang pendeta. Ia bukan pastor penjara. Itu menakutkan. Ia duduk di hadapanku dengan senyuman baik hati,
kemudian menggeleng-gelengkan kepalanya dan lalu melihat ke langit, yaitu ke atap melengkung ke selku. Aku memahaminya
Prêtre : - Anakku, katanya kepadaku, kau sudah siap-siap?
Nrt-2 : Aku menjawabnya dengan suara lemah:
Aku : - Aku belum siap-siap, tapi aku siap.
Nrt-3 : Sementara itu pandanganku menjadi kacau, keringat dingin serentak mengalir dari seluruh tubuhku, aku merasa pelipisku
membengkak, dan telingaku dipenuhi dengungan.
Prêtre yang menanyakan kepada tokoh Aku tentang kesiapannya untuk menjalani eksekusi mati merupakan tugasnya sebagai seorang pendeta. Prêtre
telah melakukan tugasnya dengan benar. Melalui tuturannya Mon fils, m’a-t-il dit, êtes-vous préparé ?, ‘Anakku, katanya kepadaku, kau sudah siap-siap?’,
Prêtre ingin memberikan pendampingan yang terbaik kepada tokoh Aku. Tuturan tersebut, selain sebagai pertanyaan sekaligus juga memberi kesempatan kepada
tokoh Aku untuk bersiap-siap menjelang pelaksanaan eksekusi mati. Maka tindakan Prêtre dapat dikategorikan mematuhi prinsip kesantunan, yakni maksim
kearifan karena memaksimalkan keuntungan bagi pihak lain Aku dan meminimalkan kerugian bagi pihak lain Aku.
Sementara itu, tokoh Aku yang mengatakan dirinya belum memiliki kesiapan namun siap menghadapi eksekusi mati. Hal itu berarti tokoh Aku
berusaha memberikan keuntungan sebesar-besarnya kepada pihak lain pretre. Usaha tokoh Aku tersebut juga mematuhi prinsip kesantunan, maksim kearifan
karena membuat kerugian orang lain pretre sekecil-kecilnya dan membuat keuntungan orang lain pretre sebesar-besarnya.
Wacana dialog 2 di bawah ini juga mematuhi prinsip kesantunan, maksim kearifan.
2 Konteks : Setelah Prêtre memberikan petuah dan nasihat kepada tokoh
Aku, maka masuklah petugas pelaksana keputusan pengadilan l’hussier ke dalam sel tokoh Aku untuk menyampaikan surat
surat keputusan pengadilan kepada tokoh Aku.
Nrt-4 : Pendant que je vacillais sur ma chaise comme endormi, le bon vieillard parlait. C’est du moins ce qu’il m’a semblé, et je crois
me souvenir que j’ai vu ses lèvres remuer, ses mains s’agiter, ses yeux reluire.
La porte s’est rouverte une seconde fois. Le bruit des verrous nous a arrachés, moi à ma stupeur, lui à son discours. Une
espèce de monsieur, en habit noir, accompagné du directeur de la prison, s’est présenté, et m’a salué profondément. Cet homme
avait sur le visage quelque chose de la tristesse officielle des employés des pompes funèbres. Il tenait un rouleau de papier à la
main.
L’hussier : – Monsieur, m’a-t-il dit avec sourire de courtoisie, je suis huissier près la cour royale de Paris. J’ai l’honneur de
vous apporter un message de la part de monsieur le procureur général.
Nrt-5 : La première secousse était passée. Toute ma présence d’esprit m’était revenue.
Aku : – C’est monsieur le procureur général, lui ai-je répondu, qui
a demandé si instamment ma tête ? Bien de l’honneur pour moi qu’il m’écrive. J’espère que
ma mort lui va faire grand plaisir ? Car il me serait dur de
penser qu’il l’a sollicité avec tant d’ardeur et qu’elle lui était indifférente.
Nrt-6 : J’ai dit tout cela, et j’ai repris d’une voix ferme :
– Lisez, monsieur
Nrt-7 : Il s’est mis à me lire un long texte, en chantant à la fin de chaque ligne et en hésitant au milieu de chaque mot. C’était le rejet de
mon pourvoi.
19LDJC 70 Nrt-4 : Selama aku goyah di atas kursiku seperti mengantuk, orang tua
itu berbicara. Paling tidak itu yang kurasakan, dan rasanya aku ingat melihat bibirnya komat-kamit, tangannya bergerak-gerak,
matanya berkilat. Pintu terbuka untuk kedua kalinya. Bunyi gerendel menyandarkan
kami
kembali, menyandarkanku
dari rasa
terpukau, menyandarkannya dari pidatonya. Sesosok lelaki berpakaian
hitam, ditemani direktur penjara, memperkenalkan diri dan memberiku
salam dalam-dalam.
Orang ini
wajahnya menampakkan semacam kesedihan resmi
para pegawai pemakaman. Ia memegang sebuah gulungan kertas di tangannya.
l’hussier : – Tuan, ia berkata kepadaku dengan sebuah senyum basa-basi, saya pelaksana keputusan pengadilan kerajaan di Paris.
Saya mendapat kehormatan untuk menyampaikan kepada Anda surat dari Jaksa Tinggi.
Nrt-5 : Guncangan pertama lewat. Semua jiwaku telah kembali mengumpul.
Aku : - Itu bapak Jaksa Tinggi yang dengan sangat telah
meminta kepalaku? Jawabku kepadanya. Benar-benar suatu kehormatan ia mau menulis surat
kepadaku. Moga-moga kematianku akan membuatnya senang ?
Sebab sangat sukar bagiku untuk membayangkan bagaimana
ia, yang
dulu sedemikian
bernafsu menginginkan kematianku, kini bersikap masa bodoh
tentang hal itu.
Nrt-6 : Kukatakan semua itu, dan kulanjutkan dengan tegas
- Bacalah, Tuan
Nrt-7 : Ia kemudian memulai membacakan sebuah naskah yang panjang, dengan memberi irama di setiap akhir baris dan dengan keraguan
di setiap tengah kata. Itu penolakan permohonan bandingku.
L’hussier yang mengatakan dirinya merasa terhormat untuk membawakan
dan membacakan surat dari jaksa tinggi kepada tokoh Aku J’ai l’honneur de vous apporter un message de la part de monsieur le procureur général, ‘Saya
mendapat kehormatan untuk menyampaikan kepada Anda surat dari Jaksa Tinggi’, merupakan bentuk penghormatan l’hussier kepada tokoh Aku. Tindakan
l’hussier tersebut adalah sebuah usaha untuk memaksimalkan keuntungan kepada
pihak lain Aku dan meminimalkan kerugian kepada pihak lain Aku.
Dengan dasar itu, l’hussier mematuhi prinsip kesantunan, yaitu maksim kearifan karena membuat kerugian orang lain Aku sekecil-kecilnya dan
membuat keuntungan orang lain Aku sebesar-besarnya. Selain dari itu, tokoh Aku juga berusaha memaksimalkan keuntungan bagi
pihak lain l’hussier dengan meminta l’hussier agar segera membacakan isi surat dari kejaksaan tinggi. Walaupun tokoh Aku telah menduga isi surat tersebut
tentang keputusan vonis hukuman mati dan penolakan banding tokoh Aku seperti pada Nrt-7. Maka tindakan tokoh Aku mematuhi prinsip kesantunan, yaitu
maksim kearifan karena membuat kerugian orang lain l’hussier sekecil-kecilnya dan membuat keuntungan orang lain l’hussier sebesar-besarnya.
4.1.2. Pematuhan