Aku : – Que dites-vous là, monsieur ? Répliquai-je indigné, - plutôt cent fois la mort
Nrt 7 : Oui, la mort , – Et d’ailleurs, me répétait je ne sais quelle voix intérieure, qu’est-ce que je risque à dire cela ? A-t-on jamais prononcé sentence de mort autrement qu’à minuit, aux flambeaux, dans une salle sombre et
noire, et par une froide nuit de pluie et d’hiver ? Mais au mois d’août, à huit heures du matin, un si beau jour, ces bons jurés, c’est impossible Et mes yeux revenaient se fixer sur la jolie fleur jaune au soleil.
4LDJC 41 Nrt 6 :
Di saat itu pembelaku datang. Orang-orang menunggunya. Ia baru saja makan banyak dan dengan lahap. Sampai di tempatnya, ia mencondongkan tubuhnya ke arahku sambil tersenyum :
Avocat : – Mudah-mudahan, katanya kepadaku. Aku : – Harus jawabku ringan, juga sambil tersenyum.
Avocat : – Ya, lanjutnya, Aku belum tahu pernyataan mereka, tapi mungkin mereka mengesampingkan unsur ”terencana” hingga jadi kerja paksa seumur hidup. Aku : - Bapak ini bicara apa? tukasku marah, Seratus kali lebih baik mati
Nrt 7 : Ya, mati - Dan lagi, kudengar di dalam diriku sendiri, entah suara dari mana, apa yang kukhawatirkan untuk mengatakan hal itu? – Bukankah hukuman mati hanya dijatuhkan di tengah malam saja, di bawah
penerangan cahaya obor, di dalam ruangan suram dan gelap, dan di malam hujan serta di musim dingin? Tapi di bulan Agustus, jam delapan pagi, di pagi yang sedemikian indah dan oleh para juri yang baik ini, itu tidak mungkin Dan mataku kembali menatap bunga kuning di sinar matahari itu.
6. Dialog 4 : Le Président : Mematuhi prinsip kesantunan, maksim kearifan
Aku :Melanggar prinsip kesantunan, maksim kedermawanan
5 Konteks : Di ruang pengadilan, panitera pengadilan telah selesai membacakan keputusan pengadilan, kemudian ketua hakim Le Président menanyakan kepada pengacara Avocat apakah ada pembelaan atau tanggapan,
namun tokoh “Aku” marah pada pembelanya yang melakukan pembelaan atas keputusan pengadilan.
Le Président : – Avocat, avez-vous quelque chose à dire sur l’application de la peine? demanda le président.
Aku : J’aurais eu, moi, tout à dire, mais rien ne me vint. Ma langue resta collée à mon palais.
Nrt 8 : Le défenseur se leva.
Je compris qu’il cherchait à atténuer la déclaration du jury, et à mettre dessous, au lieu de la peine qu’elle provoquait, l’autre peine, celle que j’avais été si blessé de lui voir espérer. Il fallut que l’indignation fût bien forte, pour se faire jour à travers les mille émotions qui se disputaient ma pensée. Je voulus répéter à haute voix ce que je lui avais déjà dit : Plutôt cent fois la mort Mais
l’haleine me manqua et je ne pus que l’arrêter rudement par le bras, en criant avec une force convulsive:
Aku : – Non
5LDJC 42
Le Président : – Apakah ada yang ingin disampaikan oleh pembela atas keputusan hukuman ini? Tanya ketua hakim
Aku : Banyak yang ingin kukatakan, tapi tak satu-pun keluar. Lidahku seolah melekat pada langit-langit.
Nrt 8 : Pembela berdiri.
Aku mengerti bahwa ia mencoba untuk meringankan pernyataan para juri dengan tujuan agar hukumannya juga diperingan. Menjadi seperti yang ia harapkan, yang telah membuatku sangat sakit hati karena ia berani mengharapkan hal itu.
Kemarahanku sedemikian hebatnya sehingga mengalahkan ribuan perasaan lain yang bertengkar memperebutkan pikiranku. Aku ingin mengulang dengan suara keras apa yang telah kukatakan kepadanya : Seratus kali lebih baik mati. Namun nafasku habis, dan aku hanya bisa menghentikannya dengan kasar melalui lengannya, sambil berteriak dengan keras dan tidak terkendali:
Aku : – Tidak
7. Dialog 5 : Sama-sama Melanggar prinsip kesantunan, maksim kesimpatian