1
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah
Bahasa adalah sebuah alat komunikasi untuk menganalisis pengalaman manusia secara berbeda di setiap masyarakat Martinet 1987:32. Sebagai alat
komunikasi, bahasa mempunyai fungsi sosial dan fungsi kultural. Bahasa sebagai fungsi sosial yaitu sebagai alat perhubungan antar anggota masyarakat. Sebagai
aspek kultural, bahasa sebagai sarana pelestarian budaya dari satu generasi ke generasi berikutnya. Hal ini meliputi segala aspek kehidupan manusia yang tidak
lepas dari peranan bahasa sebagai alat untuk memperlancar proses sosial manusia. Bahasa mempunyai peran dan fungsi yang penting dalam kehidupan
manusia. Sebagai mahluk sosial, manusia secara naluri terdorong untuk bergaul dengan orang lain, baik untuk menyatakan keberadaan dirinya, mengekspresikan
kepentingan maupun mengutarakan penilaiannya terhadap orang lain yang semuanya itu menggunakan bahasa. Kepentingan bahasa hampir mencangkupi
segala bidang kehidupan karena segala sesuatu yang dihayati, dialami, dirasakan, dan dipikirkan oleh seseorang dapat diketahui oleh orang lain jika telah
diungkapkan dengan bahasa. Bahasa sebagai alat untuk menyatakan ekspresi diri, yang dipergunakan
untuk mengekspresikan segala sesuatu yang tersirat di dalam pikiran dan perasaan penuturnya. Ungkapan pikiran dan perasaan manusia dipengaruhi oleh dua hal,
yaitu oleh keadaan pikiran dan perasaan itu sendiri. Ekspresi bahasa lisan dapat dilihat dari mimik, laguintonasi, tekanan, dan lain-lain. Ekspresi bahasa
tulis dapat dilihat dengan diksi, pemakaian tanda baca, dan gaya bahasa. Manusia dapat mengekspresikan dirinya dari segala sesuatu yang dirasakan untuk
diungkapkan kepada orang lain melalui bahasa. Bahasa sebagai alat komunikasi digunakan untuk merumuskan maksud kita, melahirkan perasaan kita, dan
memungkinkan kita untuk bekerjasama dengan orang lain Chaer 1999:42. Dengan kata lain, bahasa dapat dimanfaatkan untuk mengekspresikan segala
sesuatu yang mengendap dalam batin seseorang, baik itu perasaan senang, kecewa, marah, sedih, dan malu.
Di dalam mengatur mekanisme percakapan antar peserta tutur, kaidah itu dalam pragmatik disebut prinsip percakapan. Salah satu prinsip tersebut adalah
prinsip kesantunan. Dengan prinsip kesantunan ini, antar peserta tutur dapat mencapai kesantunan berbahasa. Kesantunan berbahasa merupakan bagian dari
kaidah-kaidah sosial dan kompetensi strategi berbahasa yang berperan penting dalam proses komunikasi. Peserta tutur akan merasa saling dihargai dalam proses
komunikasi apabila mereka saling menggunakan kesantunan berbahasa. Sebaliknya peserta tutur akan merasa tidak dihargai apabila para peserta tutur
tidak menggunakan kesantunan dalam berbahasa. Menurut Grice dalam Rustono 1999:66, prinsip kesantunan adalah
prinsip yang berkenaan dengan aturan tentang hal-hal yang bersifat sosial, estetis, dan moral di dalam bertindak tutur. Prinsip kesantunan diperlukan untuk
melengkapi prinsip kerjasama dan mengatasi kesulitan yang timbul akibat
penerapan prinsip kerjasama. Prinsip kerjasama juga bertujuan agar para peserta tutur dapat melakukan tuturan dengan santun dan dapat menjaga hubungan sosial
dengan mitra tuturnya. Jean Dubois dalam le dictionnaire linguistique mengatakan bahwa
le discours est une unité égale ou supérieure à la phrase, il est constitué par une suite formant un message ayant un commencement et une clôture
syn : énoncé. ‘wacana adalah satu kesatuan yang sama atau lebih tinggi dari frase,
wacana tersusun oleh sebuah bentuk pesan yang memiliki permualaan dan pengakhiran’.
Wacana ini direalisasikan dalam bentuk karangan yang utuh novel, buku,
seri ensiklopedia, dan sebagainya, paragraf, kalimat, atau kata yang membawa amanat yang lengkap. Sementara itu, Baryadi 2002:11 membagi wacana
menjadi i wacana monolog, ii wacana dialog, dan iii wacana polilog atau percakapan. Wacana-wacana tersebut ada yang berupa wacana lisan dan wacana
tertulis. Pada wacana tertulis, peserta tutur mengungkapkan tuturannya bisa dalam bentuk wacana eksposisi, wacana deskripsi, wacana jurnalistik, wacana
prosedural, wacana narasi tertulis. Pada saat memproduksi wacana, peserta tutur bisa berperan sebagai penutur selanjutnya disingkat Pn sekaligus sebagai petutur
Selanjutnya disingkat Pt karena dia sendiri yang memproduksi wacana tersebut, hal ini yang disebut wacana monolog. Sedangkan di dalam wacana dialog dan
wacana polilog, peserta tutur berbagi peran sebagai Pn dan Pt. Bentuk wacana monolog, wacana dialog, dan wacana polilog dapat kita
temui di karya fiksi seperti roman, teks drama, teks naratif dan lain sebagainya.
Salah satu karya fiksi yang memuat wacana monolog, wacana dialog, dan wacana polilog adalah roman Le Dernier Jour d’un Condamné karya Victor Hugo.
Victor Hugo, sebagai pengarang telah menggunakan tokoh-tokohnya dalam roman Le Dernier Jour d’un Condamné untuk mengungkapkan ide-ide atau
pendapat atas realita sosial. Dengan bentuk tuturan, pengarang menyampaikan idenya. Contoh tuturan tersebut adalah sebagai berikut.
1 Konteks : Di dalam selnya, tokoh Aku telah dibangunkan oleh sipir penjara
Guichetier, kemudian tokoh Aku memulai perbincangan basa- basi kepada Guichetier.
Aku : – Il fait beau, dis-je au guichetier.
La Narration 1: Il resta un moment sans me répondre, comme ne sachant si cela valait la peine de dépenser une parole ; puis avec
quelque effort il murmura brusquement :
Guichetier : – C’est possible.
2LDJC38-39 Aku
: – cuaca cerah, kataku kepada penjara itu.
Narasi 1 : Ia diam sesaat, seolah memikirkan apakah perkataanku itu
perlu ditanggapi atau tidak. Kemudian dengan susah payah tiba-tiba ia bergumam:
Guichetier : - mungkin.
Tokoh Aku memiliki pikiran positif, hal itu dapat dilihat melalui tuturannya Il fait beau, ’cuaca cerah’ yang menandakan bahwa Aku berharap
hari-hari yang akan dilaluinya berjalan dengan baik sebagaimana harapannya Aku pada hari-hari yang cerah. Tuturan Aku tersebut sekaligus sebagai kalimat
sapaan kepada Guichetier. Maka tindakan Aku telah meminimalkan kerugian dan memaksimalkan keuntungan kepada Guichetier. Tindakan tersebut mematuhi
prinsip kesantunan, yakni maksim kearifan karena telah membuat kerugian orang lain Guichetier sekecilnya-kecilnya dan membuat keuntungan orang lain
Guichetier sebesar mungkin. Sementara itu, tindakan Guichetier yang menanggapi pernyataan sekaligus
pertanyaan dari Aku merupakan bentuk kesepakatan Guichetier kepada Aku. Tuturan Guichetier – C’est possible, ‘-mungkin’ menyatakan bentuk
kesepakatan kepada Aku. Hal ini sesuai dengan bunyi maksim kesepakatan submaksim pertama yang menekankan untuk mengusahakan agar ketaksepakatan
antara diri sendiri dan pihak lain terjadi sedikit mungkin. Secara tersurat bentuk kesepakatan terjadi dikarenakan adanya tuturan Guichetier yang mengungkapkan
ketaksepakatan secara tidak frontal. Hal ini dapat dilihat pada tuturan Guichetier – C’est possible, ‘- mungkin’ yang tidak secara tegas menyepakati apakah cuaca
cerah atau tidak cerah seperti yang diinginkan Aku melalui tuturannya, namun sudah bisa mengarah pada kesepakatan kepada Aku karena ada kemungkinan
cuaca cerah,
sehingga dapat
dikatakan Guichetier
mengurangi ketidaksepakatannya dengan kesepakatan sebagian. Selain dari itu, Guichetier
tetap memberikan tanggapannya kepada Aku walaupun dengan susah payah seperti pada narasi 1, selanjutnya disingkat Nrt-1.
Dengan dasar itu, maka dapat dinyatakan bahwa Guichetier mematuhi prinsip
kesantunan, maksim
kesepakatan karena
mengusahakan agar
ketaksepakatan antara diri Sendiri Guichetier dan pihak lain Aku terjadi sedikit mungkin dan mengusahakan agar kesepakatan antara diri Sendiri Guichetier dan
pihak lain Aku terjadi sebanyak mungkin.
Berdasarkan contoh tuturan tersebut, wacana pada roman termasuk tuturan ringan yang menyajikan berbagai macam ide atau pendapat pengarang melalui
sudut pandang persona pertama Aku. Sudut pandang persona pertama Aku dipilih pengarang dengan tujuan sebagai tokoh cerita dan sebagai si pencerita
pengarang, Nurgiyantoro 2002 :246. Objek penelitian ini adalah kesantunan dalam wacana monolog wacana
dialog, dan wacana polilog dalam roman Le Dernier Jour d’un Condamné karya Victor Hugo. Kesantunan tersebut dijadikan sebagai objek penelitian karena di
dalam roman ini bahasa yang digunakan pengarang kadang kurang santun dan tidak menggunakan bahasa baku, tetapi menggunakan bahasa tidak baku yaitu
menggunakan bahasa sehari-hari. Alasan dipilihnya wacana monolog, wacana dialog, dan wacana polilog
dalam roman Le Dernier Jour d’un Condamné karya Victor Hugo sebagai objek penelitian dalam skripsi ini karena dalam roman tersebut banyak terdapat tuturan
yang melanggar dan yang mematuhi maksim-maksim prinsip kesantunan. Berdasarkan paparan tersebut, maka peneliti tertarik untuk meneliti
kesantunan wacana monolog, wacana dialog, dan wacana polilog dalam roman Le Dernier Jour d’un Condamné karya Victor Hugo. Penelitian ini dibatasi pada
maksim-maksim yang dipatuhi dan dilanggar serta implikasi pragmatisnya pada prinsip kesantunan.
1.2. Permasalahan