Pematuhan Prinsip Kesantunan, Maksim Kedermawanan dan

Tuturan tokoh Aku yang melanggar prinsip kesantunan, maksim kedermawanan itu memiliki fungsi sebagai sumber implikatur percakapan. Hal itu terjadi karena inferensi atas pelanggaran submaksim itu menghasilkan simpulan bahwa tuturan itu mengandung implikatur percakapan. Adapun implikatur percakapan yang dikandung tuturan yang melanggar maksim kedermawanan itu adalah menyatakan penolakan, yaitu penolakan tokoh Aku yang tidak mau dirinya dianggap lebih muda daripada l’huissier. Sementara itu, tuturan l’huissier mengandung implikasi penghormatan, yaitu penghormatan tokoh kepada Aku.

4.3.18. Pematuhan Prinsip Kesantunan, Maksim Kedermawanan dan

Pelanggaran Prinsip Kesantunan, Maksim Kesimpatian. Maksim kedermawanan menegaskan kepada setiap peserta tindak tutur untuk meminimalkan kepentingan pribadi. Akibatnya setiap peserta tindak tutur meminimalkan perannya untuk memujudkan keinginannya, pada prakteknya setiap tuturan diusahakan seminimal mungkin untuk menyebut nama peserta tindak tutur yang memiliki kepentingan pribadi. Lain halnya, setiap peserta tindak tutur hendalnya memberikan kesimpatian kepada mitra tuturnya ketika mendapat musibah. Ketika mitra tutur mendapat musibah, namun peserta tindak tutur tidak memberikam kesimpatian maka peserta tindak tutur tersebut melanggar prinsip kesantunan, yakni makism kesimpatian. Pada roman Le Dernier Jour d’un Condamné ditemukan 1 wacana monolog yang mematuhi prinsip kesantunan, maksim kedermawanan dan melanggar prinsip kesantunan, yakni maksim kesimpatian. 23 Konteks : Di dalam selnya Aku, tokoh Aku memperkirakan peluang naik banding agar dapat bebas dari vonis hukuman mati yang telah ia Aku terima. Nrt-50 : Plus de chance maintenant Mon pourvoi sera rejeté, parce que tout est en règle ; les témoins ont bien témoigné, les plaideurs ont bien plaidé, les juges ont bien jugé. Je n’y compte pas, à moins que… Non, folie Plus d’espérance Le pourvoi, c’est une corde qui vous tient suspendu au-dessus de l’abîme, et qu’on entend craquer à chaque instant, jusqu’à ce qu’elle se casse. C’est comme si le couteau de la guillotine mettait six semaines à tomber. Aku Pn : – Si j’avais ma grâce ? Aku Pt : – Avoir ma grâce Et par qui ? Et pourquoi ? Et comment ? Il est impossible qu’on me fasse grâce. L’exemple Comme ils disent. Je n’ai plus que trois pas à faire : Bicêtre, la Conciergerie, la Grève. 14LDJC63 Nrt-50 : Sekarang sudah tidak ada lagi kesempatan Permohonan bandingku akan ditolak, sebab semuanya beres : para saksi telah bersaksi dengan baik, para pembela telah membela dengan baik, para hakim telah menghakimi dengan baik. Aku tidak mengharapkannya, kecuali..... Tidak, gila Tidak ada harapan lagi Banding adalah tali yang menggantungku di atas jurang yang setiap saat seratnya terdengar meretas, hingga akhirnya putus. Itu seperti kalau pisau guilottine memerlukan waktu enam minggu untuk meluncur sampai bawah. Aku Pn : – Kalau aku mendapat pengampunan? Aku Pt : – mendapat pengampunan Dari siapa? dan kenapa? dan bagaimana? Tidak mungkin orang memberiku pengampunan. Buat contoh Seperti kata mereka. Hanya tiga langkah lagi yang harus kulalui : penjara Bicêtre, gedung Conciergerie, bunderan Grêve. Pn yang mengandaikan Si j’avais ma grâce ?, ’Kalau aku mendapat pengampunan?’ adanya pengampunan dari hasil banding atas vonis hukuman mati yang telah ia Pn terima adalah sebuah kewajaran dan hal itu adalah hak dari Pn. Namun tokoh Aku mengurungkan niat untuk melakukan banding seperti pada Nrt 49 maka Pn mematuhi submaksim pertama membuat keuntungan diri sendiri sekecil-kecilnya prinsip kesantunan, maksim kedermawanan. Di sisi lain, Pn tidak memaksimalkan keuntungan bagi dirinya sendiri dengan mengajukan banding atas kasusnya Aku. Tindakan Pn telah mematuhi prinsip kesantunan, yaitu maksim kedermawanan karena membuat keuntungan diri sendiri Pn sekecil-kecilnya dan membuat kerugian diri sendiri Pn sebesar-besarnya. Lain halnya, Sikap Pt yang meragukan harapan Pn tentang pengampunan dan mempertanyakan dari siapa serta mengapa Pn bisa mendapat pengampunan dari vonis hukuman mati merupakan ekspresi keantipatian Pt kepada Pn. Sikap Pt tersebut melanggar submaksim pertama mengurangi rasa antipati antara diri dengan pihak lain hingga sekecil-kecilnya maksim kesimpatian. Lebih dari itu, Pt menegaskan keantipatiannya dengan mengatakan bahwa terpidana mati Aku hanya memiliki tiga langkah lagi, yaitu penjara Bicêtre, gedung Conciergerie, bunderan Grêve. Penjara Bicêtre merupakan pertanda masa menunggu bagi terpidana mati sebelum melaksanakan eksekusi mati, gedung Conciergerie adalah tempat bagi terpidana mati untuk didata ulang dalam rangka prosesi eksekusi mati, bunderan Grève adalah tempat terpidana mati dieksekusi mati. Pt yang mengatakan Pn tinggal memiliki tiga langkah lagi penjara Bicêtre, gedung Conciergerie, bunderan Grêve menyiratkan bahwa Pn sudah tidak memiliki harapan bebas vonis hukuman mati. Maka sikap Pt tersebut melanggar prinsip kesantunan, yakni maksim kesimpatian karena tidak mengurangi rasa antipati antara diri Pt dengan pihak lain Pn hingga sekecil-kecilnya dan meningkatkan rasa simpati sebanyak-banyaknya antara diri Pn dengan pihak lain Pt. Pt seharusnya ikut memberikan dukungan kepada Pn yang mengharapkan kebebasan dari vonis hukuman mati, dukungan itu bisa diungkapkan dengan kalimat, semisal, 23a Vous pourriez monter en appel au tribunal ou vous pourriez demander la cassation à la cour supreme pour d’être lavé de ce condamné à mort. ‘Sudilah kiranya Anda mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi atau Anda meminta kasasi ke Mahkamah Agung agar bisa bebas dari tuntututan hukuman mati itu.’ Ketika Pt memberikan saran seperti pada 23a maka akan membuat Pn memiliki keyakinan dan harapan untuk bebas dari hukuman mati. Saran Pt juga bisa diungkapkan dengan kalimat lain, semisal, 23b Il serait bien que vous le portiez en cassation. Anda lebih baik membawa kasus vonis hukuman mati ke tingkat kasasi. Kalimat 23b juga bisa digunakan oleh Pt sebagai bentuk simpati sekakigus saran kepada Pn yang mendapat vonis hukuman mati. Tuturan tokoh Pt yang melanggar prinsip kesantunan, maksim kesimpatian itu memiliki fungsi sebagai sumber implikatur percakapan. Hal itu terjadi karena inferensi atas pelanggaran submaksim itu menghasilkan simpulan bahwa tuturan itu mengandung implikatur percakapan. Adapun implikatur percakapan yang dikandung tuturan yang melanggar maksim kesimpatian itu adalah menyatakan keraguan, yaitu keraguan Pt terhadap Pn yang mengharapkan ampunan dari hukuman mati. Sementara itu, tuturan Pn mengandung implikasi harapan, yaitu tokoh Aku yang mengharapkan bandingnya diterima ke tingkat pengadilan tinggi atau kasasi. 4.3.19. Pematuhan Prinsip Kesantunan, Maksim Kerendahan Hati dan Pelanggaran Prinsip Kesantunan, Maksim Kedermawanan. Pn yang memiliki kepentingan untuk disampaikan kepada Pt atau pihak ketiga, dituntut untuk menyampaikan dengan mengurangi sekecil-kecilnya peran dirinya Pn yang memiliki kepentingan. Pn juga dituntut untuk menyampaikan kepentingannya dengan tuturan yang diutarakan secara tidak langsung yang lazimnya lebih sopan dibandingkan dengan tuturan yang diutarakan secara langsung. Selain dari itu, memerintah dengan kalimat berita atau kalimat tanya dipandang lebih sopan dibandingkan dengan kalimat perintah. Di sisi lain, Pn dituntut meminimalkan memuji diri sendiri dan memaksimalkan mengecam diri sendiri. Dialog 24 di bawah ini adalah dialog yang mematuhi prinsip kesantunan, kerendahan hati karena meminimalkan memuji diri sendiri. Dialog 24 juga melanggar prinsip kesantunan, maksim kedermawan karena memaksimalkan kepentingan diri sendiri. 24 Konteks : Di ruang jenguk narapidana. Tokoh Aku tidak mampu menahan perasaan sedih ketika mengetahui kertas yang dibaca oleh putrinya adalah kertas keputusan vonis hukuman mati bagi dirinya Aku. Aku : – Voyons, lis un peu, lui ai-je dit en lui montrant un papier qu’elle tenait chiffonné dans une de ses petites mains. Nrt-51 : Elle a hoché sa jolie tête. Marie : – Ah bien Je ne sais lire que des fables. Aku : – Essaie toujours. Voyons, lis. Nrt-52 : Elle a déployé le papier, et s’est mise à épeler avec son doigt : Marie : – A, R, ar, R, Ê, T, rêt, ARRÊT… Nrt-53 : Je lui ai arraché cela des mains. C’est ma sentence de mort qu’elle me lisait. Sa bonne avait eu le papier pour un sou. Il me coûtait plus cher, à moi. Il n’y a pas de paroles pour ce que j’éprouvais. Ma violence l’avait effrayée ; elle pleurait presque. Tout à coup elle m’a dit : Marie : – Rendez-moi donc mon papier; tiens C’est pour jouer. Nrt-54 : Je l’ai remise à sa bonne. Aku : – Emportez-la. Nrt-55 : Et je suis retombé sur ma chaise, sombre, désert, désespéré. À présent ils devraient venir ; je ne tiens plus à rien ; la dernière fibre de mon cœur est brisée. Je suis bon pour ce qu’ils vont faire. 48LDJC111 Aku : – Coba bacalah sedikit, kataku kepadanya sambil menunjuk kertas lusuh yang berada di tangannya yang mungil. Nrt-52 : Ia menganggukkan kepalanya yang indah. Marie : – Ah, aku hanya bisa membaca dongeng tentang binatang. Aku : – Cobalah. Ayo, baca. Nrt-52 : Ia membentangkan kertasnya, dan mulai mengeja sambil menunjuk dengan jarinya : Marie : – K, E, ke, P, U, pu, T, U, tu, S, A, N, san, KEPUTUSAN… Nrt-53 : Kurebut kertas itu dari tangannya. Yang ia baca itu adalah keputusan eksekusi hukuman matiku. Pengasuhnya membelinya seharga satu kelip. Aku harus membayarnya lebih mahal. Tidak ada kata-kata yang bisa mengungkapkan bagaimana perasaanku saat itu. Kekasaranku membuatnya takut. Ia hampir menangis. Mendadak ia berkata kepadaku : Marie : – Tolong kembalikan kertasku Untuk mainan. Nrt-54 : Kukembalikan anak itu ke pengasuhnya Aku : – Bawa ia pergi. Nrt-55 : Dan aku kembali terduduk di kursiku, sedih, sunyi, putus asa. Saat mereka seharusnya tiba. Tidak ada lagi yang kupegangi. Serat terakhir jantungku sudah putus. Sudah pas aku sekarang untuk menjalani apa yang mereka lakukan. Tokoh Aku meminta Marie untuk membaca kertas yang dipegangnya Marie. Permintaan tokoh Aku tersebut dilakukan agar ia Aku bisa semakin dekat dengan Marie yang sudah tidak mengenalnya lagi sebagai ayahnya Marie. Namun perintah tokoh Aku yang menyuruh Marie membaca menyuratkan kepentingan diri sendiri Aku. Tokoh Aku memaksimalkan keuntungan diri sendiri dengan tuturan kalimat perintah yang diutarakan secara langsung. Maka tokoh Aku melanggar prinsip kesantunan, maksim kedermawanan karena tidak membuat keuntungan diri sendiri sekecil-kecilnya dan tidak membuat kerugian diri sendiri sebesar-besarnya. Tokoh Aku sebaiknya menyampaikan keinginannya meminta Marie untuk membaca dengan tuturan yang diutarakan secara tidak langsung dan tanpa harus menggunakan kalimat perintah walaupun bermakna memerintah. Tuturan tokoh Aku semisal diutarakan dengan tuturan 24a di bawah ini, maka akan terasa lebih sopan. 24a Marie pourriez lire un peu, s’il vous plaît Marie sudilah Anda membaca sedikit Lain halnya, Marie merendahkan dirinya dengan mengatakan bahwa dia hanya bisa membaca dongeng tentang binatang Ah bien Je ne sais lire que des fables, ’Ah, aku hanya bisa membaca dongeng tentang binatang’. Sikap merendahkan diri yang dilakukan oleh Marie merupakan bentuk pematuhan prinsip kesantunan, maksim kerendahan diri karena memuji diri sendiri sedikit- dikitnya. Tuturan tokoh Aku yang melanggar prinsip kesantunan, maksim kedermawanan itu memiliki fungsi sebagai sumber implikatur percakapan. Hal itu terjadi karena inferensi atas pelanggaran submaksim itu menghasilkan simpulan bahwa tuturan itu mengandung implikatur percakapan. Adapun implikatur percakapan yang dikandung tuturan yang melanggar maksim kedermawanan itu adalah menyatakan harapan, yaitu harapan agar Marie semakin dekat dengannya Aku dan akhirnya mengenalnya sebagai ayahnya. Sementara itu, tuturan Marie mengandung implikasi penolakan, yaitu menolak permintaan tokoh Aku untuk membaca kertas yang dipegangnya Marie.

4.3.20. Pematuhan