Keantunan Dalam Le Dernier Jour dâun Condamné Karya VÃctor Hugo.
KESANTUNAN DALAM ROMAN
LE DERNIER JOUR D’UN CONDAMNÉ
KARYA VICTOR HUGO
skripsi
disajikan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Sastra
Program Studi Sastra Prancis
Oleh :
TRI HARTANTO
NIM. 2350404051
JURUSAN BAHASA DAN SASTRA ASING
FAKULTAS BAHASA DAN SENI
UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG
(2)
ii
PENGESAHAN
Skripsi ini telah dipertahankan di hadapan Sidang Panitia Ujian Skripsi FBS, UNNES pada hari, tanggal : Kamis, 19 Agustus 2010
Panitia :
Ketua, Sekretaris,
Prof. Dr. Rustono, M. Hum Dra. Yuyun Rosliyah, M. Pd
NIP.195801271983031003 NIP. 196608091993032001
Penguji I,
Dra. Diah Vitri Widayanti, DEA NIP. 196508271989012001
Penguji II/ Pembimbing II Penguji III/ Pembimbing I
Dra. Anastasia Pudji T., M. Hum Dr.B. Wahyudi Joko Santoso, M.Hum. NIP. 196407121989012001 NIP.19611026 1991031 001
(3)
iii
PERNYATAAN
Dengan ini saya,
Nama : Tri Hartanto NIM : 2350404051 Prodi : Sastra Prancis
Jurusan : Bahasa dan Sastra Asing
Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi yang berjudul KESANTUNAN DALAM ROMAN LE DERNIER JOUR d’UN CONDAMNÉ KARYA VICTOR HUGO yang saya tulis dalam rangka memenuhi salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana sastra ini benar-benar merupakan hasil karya sendiri. Skripsi yang saya hasilkan melalui penelitian, bimbingan, dan pemaparan atau ujian. Semua kutipan baik langsung maupun tidak langsung dan dari sumber lainnya telah disertai dengan identitas dari sumbernya dengan cara yang lazim dalam penulisan karya ilmiah.
Dengan demikian, walaupun tim penguji dan pembimbing skripsi ini membubuhkan tanda tangan sebagai tanda keabsahannya, seluruh isi karya ilmiah ini menjadi tanggung jawab saya pribadi. Jika kemudian hari ditemukan ketidakbenaran dalam karya illmiah ini saya bersedia menerima akibatnya.
Demikian, harap pernyataan ini dapat digunakan seperlunya.
Semarang, 2010 Yang membuat pernyataan
Tri Hartanto NIM. 2350404051
(4)
iv
MOTTO DAN PERSEMBAHAN
Hidup adalah pilihan.
Keberanian bukanlah ketidakhadiran rasa takut, tetapi melakukannya. (Montaigne).
Ilmu itu lebih baik daripada harta. Ilmu menjaga engkau dan engkau menjaga harta. Ilmu itu penghukum (hakim) dan harta terhukum. Harta itu kurang apabila dibelanjakan tapi ilmu bertambah bila dibelanjakan.- (Saidina Ali bin Abi Talib).
Skripsi ini aku persembahkan untuk : Ayah dan Ibu tercinta untuk
perjuangan, semangat dan doa mereka untukku.
Generasi-generasi yang haus ilmu.
Keponakan kecilku Andika Fatikah Rahman.
(5)
v
PRAKATA
Puji syukur ke hadirat Allah S.W.T yang selalu melimpahkan rahmat dan pertolongan-Nya kepada penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul KESANTUNAN DALAM ROMAN LE DERNIER JOUR d’UN CONDAMNÉ KARYA VICTOR HUGO sebagai persyaratan untuk memperoleh gelar Sarjana Pendidikan. Penulis menyadari bahwa skripsi ini tidak akan selesai tanpa ada dukungan dan bimbingan dari semua pihak. Untuk itu, penulis menyampaikan terimakasih dan hormat kepada :
1. Prof. Dr. Rustono, M.Hum. Dekan Fakultas Bahasa dan Seni, Universitas Negeri Semarang yang telah memberikan kesempatan untuk mengadakan penelitian ini.
2. Dra. Diah Vitri Widayanti, DEA. Ketua Jurusan Bahasa dan Sastra Asing, Fakultas Bahasa dan Seni, Universitas Negeri Semarang, sekaligus sebagai penguji I yang telah memberikan masukan dan saran bagi penulis demi kesempurnaan skripsi ini.
3. Dr. B. Wahyudi Joko Santoso, M.Hum selaku dosen pembimbing I yang telah memberikan kesempatan untuk mengadakan penelitian ini dan telah memberikan pengarahan serta sumbangan pemikiran dengan penuh kesabaran demi kesempurnaan skripsi ini.
4. Dra. Anastasia Pudji Triherwanti, M.Hum, selaku dosen pembimbing II yang dengan penuh kesabaran telah memberikan pengarahan serta sumbangan pemikiran demi kesempurnaan skripsi ini.
5. Dra. Cony Handayani, M.Hum, yang telah memberikanku motivasi untuk menulis skripsi ini.
6. Dra. Yuyun Rosliyah, M.Pd, selaku sekretaris dalam panitia ujian skripsi yang telah membantu kelancaran jalannya proses pemertahanan skripsi ini.
7. Dra. Dwi Astuti, M.Pd, yang telah membantu proses penyusunan skripsi ini dari awal hingga akhir.
(6)
vi
8. Seluruh dosen Jurusan Bahasa dan Sastra Asing yang telah membagikan ilmunya serta menjadi orang tua kedua bagiku.
9. Kedua orang tuaku tercinta (Bapak Sutarwo dan Ibu Sadiyah) yang dengan tulus ikhlas dan sabar membiayai, memotivasi dan mengurai segala do`a demi keberhasilan asa, harapan dan cita-citaku.
10.Teman-teman senasib dan seperjuanganku Anggit, Agung, Danil, Arif, Hadi, Rio, Hilmi, Dedi, Raka, Nurul, Izmun, Tyas, Ucho, Mb Erna, Anasia, Lina, Diah, Cristina, Fitri, Fera, Ulfa,
11.Aziz Imam Mazalik, rekan diskusi dalam idealisme mahasiswa sastra Prancis, menyelami sastra, filsafat dan kritisisme religius.
12.Rekan kerja dan bercanda dalam usaha, ilmu, karya : ipung, hanityo, muslikah, dwee, neina, pu3, agus yahya, dea, ani w, rio r, ati w, yuniar, restu, toil, lukman, andika rahman, hakim, wahyu s.
13.Guru dan partnert kerja dalam mengarungi kehidupan : ust. Usep. Ust. Setiawan, ust. Zulfa, ust. Habib, Ust. Anif, ust. Ari (salam Antusias). 14.Rekan-rekan perjuangan BEM FBS 2005, HIMPRO BSA 2006, BEM
KM 2007
15.Rekan-rekan Ikatan Studi Mahasiswa Perancis, Herba Penawar Al-Wahida, Islamic Figure Community, Forum Berbisnis Berssama Allah, Majelis Syafaat Qur’an, KAMMI.
16.Semua pihak yang terlibat dalam penyusunan skripsi ini yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu.
Saran dan kritik yang membangun dari pelbagai pihak sangat penulis harapkan untuk melengkapi skripsi ini. Semoga skripsi ini bermanfaat bagi pembaca.
Semarang, 2010
(7)
vii
SARI
Hartanto, Tri. 2010. Keantunan Dalam Le Dernier Jour d’un Condamné Karya Víctor Hugo. Skripsi. Program Studi Sastra Prancis. Jurusan Bahasa dan Sastra Asing. Fakultas Bahasa dan Seni. Universitas Negeri Semarang. Pembimbing I Dr. B. Wahyudi Joko Santoso, M.Hum. Pembimbing II Dra. Anastasia Pudji Triherwanti, M.Hum
Kata kunci : Kesantunan, Pematuhan dan Pelanggaran Prinsip Kesantunan, Implikasi, Maksim
Bahasa adalah sebuah alat komunikasi untuk menganalisis pengalaman manusia secara berbeda di setiap masyarakat (Martinet 1987: 32). Di dalam mengatur mekanisme percakapan antar pesertanya, kaidah itu dalam pragmatik disebut prinsip percakapan. Salah satu prinsip tersebut adalah prinsip kesantunan. Prinsip kesantunan tersebut membuat antar peserta tutur dapat mencapai kesantunan berbahasa. Bentuk kesantunan tersebut, dapat kita temui di karya fiksi seperti roman, teks drama, dll. Salah satu karya fiksi yang memuat kesantunan adalah roman Le Dernier Jour d’un Condamné (LDJC) karya Victor Hugo. Pada roman tersebut, banyak terdapat tuturan yang melanggar dan yang mematuhi prinsip kesantunan. Kajian-kajian tentang kesantunan, terutama pada karya sastra masih terbatas. Hal tersebut yang mendasari peneliti untuk meneliti kesantunan pada roman LDJC. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pematuhan dan pelanggaran prinsip kesantunan serta implikasi pragmatisnya pada roman LDJC.
Teori yang digunakan untuk menganalisis data yakni prinsip kesantunan yang berupa maksim kearifan, maksim kedermawanan, maksim pujian, maksim kerendahan hati, maksim kesepakatan, dan maksim kesimpatian. Metode pendekatan penelitian ini menggunakan pendekatan pragmatis dan deskriptif kualitatif. Metode analisis data menggunakan metode padan sub-jenis pragmatis dengan alat penentu berupa mitra wicara. Teknik analisis data yang digunakan adalah teknik pilah unsur penentu, serta teknik lanjutan, yakni teknik hubung banding menyamakan dan teknik hubung banding memperbedakan.
Hasil identifikasi terhadap ke 50 data, ditemukan 13 data mematuhi prinsip kesantunan, yakni maksim kearifan (19 tuturan), kedermawanan (1 tuturan), karendahan hati (1 tuturan), kesepakatan (1 tuturan), dan kesimpatian (2 tuturan). Di sisi lain, Ditemukan 16 data melanggar prinsip kesantunan, yakni maksim kearifan (3 tuturan), kedermawanan (13 tuturan), pujian (3 tuturan), kerendahan hati (1 tuturan), dan kesimpatian (10 tuturan). Selain dari itu, ditemukan 22 data mematuhi dan melanggar prinsip kesantunan yang terdiri dari 16 tuturan mematuhi dan 4 tuturan melanggar maksim kearifan, 2 tuturan mematuhi dan 12 tuturan melanggar maksim kedermawanan, 3 tuturan melanggar maksim pujian, 3 tuturan mematuhi maksim kesepakatan, serta 5 tuturan mematuhi dan 5 tuturan melanggar maksim kesimpatian. Implikasi pragmatis akibat pelanggaran prinsip kesantunan terdiri atas 47 implikatur nonkonvensional dan 19 implikatur konvensional.
(8)
viii RESUME
Hartanto, Tri. 2010. La Politesse Dans Un Roman Le Dernier Jour d’un Condamné Par Víctor Hugo. Mémoire. Département des Langues et de Littérature Étrangère, Faculté des Langues et des Arts, Université d’État Semarang. Directeur I Dr. B. Wahyudi Joko Santoso, M.Hum. Directrice II Dra. Anastasia Pudji Triherwanti, M.Hum
Mots clés : politesse, l’obéissance et la transgression du principe de la politesse, implicature, maxime.
1. Introduction
La langue est un moyen de la communication. Pour se communiquer bien avec les autres, il faut que l’homme sache le principe de la conversation. Ce principe s’appelle la politesse de la conversation. On peut trouver la politesse de la conversation dans un monologue, dialogue, ou bien polilogue qui peuvent être trouvés dans un roman, un drame etc.
Le Dernier Jour d’un Condamné est un roman qui a été écrit par un grand écrivain français, Victor Hugo. Dans ce roman, il a utilisé le personnage «je» qui raconte les angoisses d'un prisonnier qui a été condamné à mort pour ses actions dans le passé. Derrière les barreaux, il a parlé de lui-même du passé, de la famille, et les gens aimés autour de lui.
La langue utilisée dans ce roman est parfois le registre courant et est moins poli. En plus, il n’y a pas seulement beaucoup d’obéissance mais aussi la transgression de la politesse dans ce roman. C’est pour quoi je décide d’analyser ce roman. Je parle trois choses, ce sont l’obéissance et la transgression, et les implications pragmatiques sur le principe de la politesse.
L’objectif majeur de cette recherche est de décrire le principe de la politesse qui obéit et transgressé dans le discours monologue, le discours dialogue et le discours polilogue dans le roman le Dernier Jour d’un Condamné.
2. Principe de la politesse
Grice (en Rustono 1999:66) affirme que le principe de la politesse est lié à la regle sur les choses qui sont d'ordre social, esthétique et morale dans l'acte de parole.
(9)
ix 3. Maxime de la politesse
Selon Leech (1983:206-219), il y a six maximes du principe de la politesse (voir aussi Wijana, 1996:55-62; Rustono, 1999:70). Ce sont la maxime de la sagesse, la maxime de la générosité, la maxime de l’approbation, la maxime de la modestie, la maxime de l’accord, et la maxime de la sympathie. Ensuite, les principes de politesse seront decrits un par un comme suit.
1. Maxime de la sagesse
Cette maxime est exprimée par les énoncés dispositifs (les énoncés qui sont utilisés pour donner des ordres ou des messages) et comissif (discours qui sert à exprimer une promesse ou un offre). Cette maxime oblige á chaque participant (a) de faire les pertes des autres le petit possible, et (b) de donner un profit aux autres nombreusement.
2. Maxime de la générosité
Cette maxime est aussi exprimée par les énoncés dispositifs et comissif. Elle exige chaque participant (a) de faire un profit le petit possible pour soi-même, et (b) de faire une perte le plus grand possible pour soi-même.
3. Maxime de l’approbation.
Cette maxime peut être exprimée par une manifestation expressive (des énoncés qui sont utilisés pour exprimer l’attitude psychologique de locuteur qui montre l’état d’object parole) et par une assertifs (discours couramment utilisée pour exprimer la vérité de la proposition exprimée). Cette maxime exige chaque participant (a) de critiquer des autres le petit possible, et (b) d’approuver des autres le plus grand possible.
4. Maxime de la modestie
Cette maxime est également exprimée par les énoncés expressifs et assertifs. Cette maxime exige chaque participant (a) de se féliciter le petit possible, et (b) de critiquer soi-même le plus grand possible.
(10)
x 5. Maxime de l’accord
Cette maxime est également exprimée par les énoncés expressifs et assertifs. Cette maxime exige chaque participant (a) de veiller à ce que le désaccord entre le locuteur et l’interlocuteur le plus petit possible et (b) de veiller à ce que l'accord entre le locuteur et l’interlocuteur le plus grand possible.
6. Maxime de la sympathie
Cette maxime est également exprimée par les énoncés expressifs et assertifs, qui exige chaque participant (a) de réduire le sentiment d'antipathie entre eux (les participants de l’énoncé) le plus petit possible, et (b) d’augmenter le sentiment de sympathie entre eux le plus grand possible.
4. Discours
Le discours est unité de la langue qui s’attaché dans une unité systématique. C’est pourquoi, le discours peut se former d’une phrase, d’un syntagme, et d’un mot. Le discours peut être réalisé dans une œuvre écrite intégral (un roman, un livre, encyclopédie, etc.) qui a plein d’ordre.
5. Implicature
Selon Wijana (1996 :38), implicature est une implication des énoncés qui ne font pas partie de ces énoncés.
6. Méthodologie de la recherche
L’approche choisie est l’approche pragmatique pour analyser l’utilisation de la langue et l’approche descriptive qualitative car on décrit le principe de la politesse. L’objet de cette recherche est la politesse dans le roman Le Dernier Jour d’un Condamné. La méthode de collecter des données est la méthode simak (porter l’attention sur l’utilisation de la langue). La technique de collecter des données est la technique sadap (mettre la citation) qui se continuer par la technique SBLC (simak bebas libat cakap). Les données sont notées, en suite elles ont été analysées en utilisant la méthode padan (mettre en corrélation) et le technique triage de constituant déterminant (pilah unsur penentu) continuer par la
(11)
xi
technique HBS (hubung banding menyamakan) et HBB (hubung banding memperbedakan).
7. Analyse
J’ai analysé 50 données qui sont tous les paroles obéissant et transgressant. En outre, j’ai aussi analysé les transgressions et leurs implications pragmatiques sur le principe de la politesse mais dans le résumé de ce mémoire, je montre un exemple pour chaque maxime car l’analyse complet est bien présentée dans le mémoire de la version Indonésienne.
1. Les Maximes qui ont été obéies
(Dans sa cellule, le personnage « je » ai été réveillé par le gardien de prison (Guichetier), puis le personnage « je » commence à faire une conversation avec Guichetier
Dialogue :
Je : « Il fait beau, dis-je au guichetier.
Nrt-1 : Il resta un moment sans me répondre, comme ne sachant si cela valait la peine de dépenser une parole ; puis avec quelque effort il murmura brusquement.
Guichetier : – C’est possible Analyse :
On peut savoir que le personnage « je » a une pensée positive par son terme (il fait beau) qui montre qu’il veut que ses jours soient marché comme des beaux matins. Le personnage « je » dit bonjour à Guichetier, c'est-à-dire qu’il respect à la maxime de sagesse parce qu’il fait les pertes d’autres (Guichetier) le petit possible, et il permet au profit nombreusement d’autres (Guichetier).
La figure « guichetier » respect à la maxime de l’accord parce qu’il répond à la question du personnage « je », c'est-à-dire qu’il essaie d’être d’accord avec la figure « je ».
2. Les maximes qui ont été transgressé
(Dans sa cellule, Guichetier dit au personnage « je » que tout le monde l’attend pour continuer à la siège qui le juge á la mort).
(12)
xii Dialogue :
Nrt-5 : Je demeurais immobile, l’esprit à demi endormi, la bouche souriante, l’œil fixé sur cette douce réverbération dorée qui diaprait le plafond.
Je : – Voilà une belle journée, répétai-je.
Guichetier : – Oui, me répondit l’homme, on vous attend. Analyse :
On peut savoir que dans ce dialogue Guichetier est transgressé la maxime de la sagesse parce qu’il ne fait pas les pertes aux autres le petit possible et il ne donne pas le profit aux autres le grand possible. Son acte de dire que tout le monde attendent le personnage « je » pour assister à la siège qui le juge à la mort. La parole de Guichetier donne le profit pour lui-même car c’est sa tâche mais donne la perte au personnage « je » qui est condamné à mort. Par contre le personnage « je » obéit la maxime de la sagesse parce qu’il fait les pertes des autres le petit possible, et donne un profit aux autres beaucoup possible. Son acte de dire « Voilà une belle journée » indique qu’il fait les pertes des autres petit possible par cette salutation.
8. Conclusion
A partir du résultat je pourrais conclure que l’obéissance et la transgression se produisent dans toutes les maximes du principe de la politesse.
8.1. Quant à l’obéissance, il y a 13 données qui obéissent les principes de la politesse. Ce sont 7 discours dialogue qui obéit la maxime de la sagesse, 1 discours dialogue qui obéit la maxime de la sagesse et qui obéit la maxime de la générosité, 1 discours monologue et 2 discours dialogue qui obéit la maxime de la sagesse et qui obéit la maxime de l’accord, 1 discours dialogue qui obéit la maxime de la sagesse et qui obéit la maxime de la sympathie, 1 discours dialogue qui obéit la maxime de la sympathie. 8.2. Quant à la transgression, il y a 16 transgressent les principes de la
politesse. Ce sont 1 discours monologue et 2 discours dialogue qui transgresse la maxime de la sagesse et qui transgresse la maxime de la
(13)
xiii
générosité, 5 discours dialogue qui la maxime de la générosité, 3 discours dialogue qui transgresse la maxime de la générosité et qui transgresse la maxime de la l’approbation, 1 discours monologue qui transgresse la maxime de la générosité et qui transgresse la maxime de la sympathie, 2 discours monologue et 2 discours dialogue qui transgresse la maxime de la sympathie. D’autre part, quant à l’implication pragmatique, il y a 47 implicature qui n’est pas conventionnel et 19 implicature qui est conventionnel. Les espèces d’implicature qui s’est trouvé à cause la transgression du principe de la politesse est l’implicature qui a le sens une moquerie, un espoir, un désir, une poussée contraire, une fierté, un affolement, une critique, une déception, un rapprochement, une inquiétude, un souci, une plainte, une incertitude, une peur, un indifférent,
8.3. Conclusion finale, il y a 22 données qui sont conformes à la fois obéissent et transgressent le principe de la politesse. Ce sont 3 discours dialogue et 1 discours polilogue qui obéit la maxime de la sagesse et qui transgresse la maxime de la sagesse, 7 discours dialogue qui obéit la maxime de la sagesse et qui transgresse la maxime de la générosité, 1 discours dialogue qui obéit la maxime de la sagesse et qui transgresse la maxime de l’approbation, 1 discours dialogue qui obéit la maxime de la sagesse et qui transgresse la maxime de la modestie, 1 discours dialogue qui obéit la maxime de la sagesse et qui transgresse la maxime de la sympathie, 1 discours dialogue qui obéit la maxime de la générosité et qui transgresse la maxime de l’approbation, 1 discours monologue qui obéit la maxime de la générosité et qui transgresse la maxime de la sympathie, 1 discours dialogue qui obéit la maxime de la modestie et qui transgresse la maxime de la générosité, 1 discours monologue qui obéit la maxime de l’accord et qui transgresse la maxime de la sympathie, 1 discours monologue qui obéit la maxime de la sympathie et qui transgresse la maxime de l’approbation, 2 discours monologue et 1 discours dialogue qui obéit la maxime de la sympathie et qui transgresse la maxime de la sympathie.
(14)
xiv
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL ... i
HALAMAN PENGESAHAN ... ii
PERNYATAAN ... iii
MOTTO DAN PERSEMBAHAN ... iv
PRAKATA ... v
SARI ... vii
RESUME ... viii
DAFTAR ISI ... xiv
DAFTAR LAMPIRAN ... xvii
BAB I PENDAHULUAN ... 1
1.1 Latar Belakang ... 1
1.2 Rumusan masalah ... 7
1.3 Tujuan Penelitian ... 7
1.4 Manfaat Penelitian ... 7
1.5 Sistematika Penelitian ... 8
LANDASAN TEORI 2.1 Prinsip Kesantunan………... 10
2.2 Maksim-maksim Prinsip Kesantunan………... 13
2.2.1 Maksim Kearifan (La Maxime de La Sagesse)……….. 14
2.2.2 Maksim Kedermawanan (La Maxime de La Générosité)………. 15
2.2.3 Maksim Pujian (La Maxime de L’approbation)……….………… 16
2.2.4 Maksim Kerendahan Hati (La Maxime de La Modestie)….…….. 17
2.2.5 Maksim Kesepakatan (La Maxime de L’accord)……… 18
2.2.6 Maksim Kesimpatian (La Maxime de La Sympathie)………. 19
2.3 Wacana…...………... 22
(15)
xv
2.3.2 Jenis Wacana…....………... 24
2.4 Implikatur…....………...…………... 25
2.4.1 Jenis Implikatur…....………...…………... 26
2.4.1.1Implikatur konvensional…...…………....…………... 26
2.4.1.2Implikatur nonkonvensional…...…………....………... 27
METODE PENELITIAN 3.1 Pendekatan Penelitian………... 30
3.2 Objek Penelitian………... 32
3.3 Data dan Sumber Data………..……... 32
3.4 Metode dan Teknik Penyediaan Data………...……... 32
3.5 Metode dan Teknik Analisis Data……...………...……... 34
3.6 Metode dan Teknik Penyajian Hasil Analisis Data……...…... 37
ANALISIS DATA 4.1. Pematuhan Prinsip Kesantunan. ……….…... 38
4.1.1.Pematuhan Prinsip Kesantunan, Maksim Kearifan.…....….. .... 38
4.1.2.Pematuhan Prinsip Kesantunan, Maksim Kearifan dan Kedermawanan……… 43
4.1.3.Pematuhan Prinsip Kesantunan, Maksim Kearifan dan Kesepakatan.………... 47
4.1.4.Pematuhan Prinsip Kesantunan, Maksim Kearifan dan Kesimpatian………... 51
4.1.5. Pematuhan Prinsip Kesantunan, Maksim Kesimpatian…... 54
4.2. Pelanggaran Prinsip Kesantunan. ………... 56
4.2.1.Pelanggaran Prinsip Kesantunan, Maksim Kearifan dan Kedermawanan. ………... 56
4.2.2.Pelanggaran Prinsip Kesantunan, Maksim Kedermawanan... 59
4.2.3.Pelanggaran Prinsip Kesantunan, Maksim Kedermawanan dan Pujian………... 67
4.2.4.Pelanggaran Prinsip Kesantunan, Maksim Kedermawanan dan Kesimpatian. ...………... 70
(16)
xvi
4.3. Pematuhan dan Pelanggaran Prinsip Kesantunan... 81 4.3.1.Pematuhan dan Pelanggaran Prinsip Kesantunan,
Maksim Kearifan. ..………... 82 4.3.2.Pematuhan Prinsip Kesantunan, Maksim Kearifan dan
Pelanggaran Prinsip Kesantunan, Maksim Kedermawanan... 91 4.3.3.Pematuhan Prinsip Kesantunan, Maksim Kearifan dan
Pelanggaran Prinsip Kesantunan, Pujian.…... 98 4.3.4.Pematuham Prinsip Kesantunan, Maksim Kearifan dan
Pelanggaran Prinsip Kesantunan, Kerendahan Hati... 101 4.3.5.Pematuhan Prinsip Kesantunan, Maksim Kearifan dan
Pelanggaran Prinsip Kesantunan, Kesimpatian... 103 4.3.6.Pematuhan Prinsip Kesantunan, Maksim Kedermawan dan
Pelanggaran Prinsip Kesantunan, Pujian……... 107 4.3.7.Pematuhan Prinsip Kesantunan, Maksim Kedermawanan dan
Pelanggaran Prinsip Kesantunan, Maksim Kesimpatian... 110 4.3.8.Pematuhan Prinsip Kesantunan, Maksim Kerendahan Hati dan
Pelanggaran Prinsip Kesantunan, Maksim Kedermawanan…… 114 4.3.9.Pematuhan Prinsip Kesantunan, Maksim Kesepakatan dan
Pelanggaran Prinsip Kesantunan, Maksim Kesimpatian……… 117 4.3.10.Pematuhan Prinsip Kesantunan, Maksim Kesimpatian dan
Pelanggaran Prinsip Kesantunan, Maksim Pujian. …... 120 4.3.11.Pematuhan dan Pelanggaran Prinsip Kesantunan,
Maksim Kesimpatian. …….. ... 125 PENUTUP
5.1. SIMPULAN………….………... 132
(17)
xvii
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman Lampiran 1. Rekapitulasi Pematuhan dan Pelanggaran Prinsip Kesantunan .. 136 Lampiran 2. Rekapitulasi Implikasi Pragmatis ... 140 Lampiran 3. Total Pematuhan dan Pelanggaran Prinsip Kesantunan ... 142 Lampiran 4. Total Pematuhan dan Pelanggaran Setiap Prinsip Kesantunan . 143 Lampiran 5. Daftar Data ... 145
(18)
1
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah
Bahasa adalah sebuah alat komunikasi untuk menganalisis pengalaman manusia secara berbeda di setiap masyarakat (Martinet 1987:32). Sebagai alat komunikasi, bahasa mempunyai fungsi sosial dan fungsi kultural. Bahasa sebagai fungsi sosial yaitu sebagai alat perhubungan antar anggota masyarakat. Sebagai aspek kultural, bahasa sebagai sarana pelestarian budaya dari satu generasi ke generasi berikutnya. Hal ini meliputi segala aspek kehidupan manusia yang tidak lepas dari peranan bahasa sebagai alat untuk memperlancar proses sosial manusia.
Bahasa mempunyai peran dan fungsi yang penting dalam kehidupan manusia. Sebagai mahluk sosial, manusia secara naluri terdorong untuk bergaul dengan orang lain, baik untuk menyatakan keberadaan dirinya, mengekspresikan kepentingan maupun mengutarakan penilaiannya terhadap orang lain yang semuanya itu menggunakan bahasa. Kepentingan bahasa hampir mencangkupi segala bidang kehidupan karena segala sesuatu yang dihayati, dialami, dirasakan, dan dipikirkan oleh seseorang dapat diketahui oleh orang lain jika telah diungkapkan dengan bahasa.
Bahasa sebagai alat untuk menyatakan ekspresi diri, yang dipergunakan untuk mengekspresikan segala sesuatu yang tersirat di dalam pikiran dan perasaan penuturnya. Ungkapan pikiran dan perasaan manusia dipengaruhi oleh dua hal,
(19)
2
yaitu oleh keadaan pikiran dan perasaan itu sendiri. Ekspresi bahasa lisan dapat dilihat dari mimik, lagu/intonasi, tekanan, dan lain-lain. Ekspresi bahasa tulis dapat dilihat dengan diksi, pemakaian tanda baca, dan gaya bahasa. Manusia dapat mengekspresikan dirinya dari segala sesuatu yang dirasakan untuk diungkapkan kepada orang lain melalui bahasa. Bahasa sebagai alat komunikasi digunakan untuk merumuskan maksud kita, melahirkan perasaan kita, dan memungkinkan kita untuk bekerjasama dengan orang lain (Chaer 1999:42). Dengan kata lain, bahasa dapat dimanfaatkan untuk mengekspresikan segala sesuatu yang mengendap dalam batin seseorang, baik itu perasaan senang, kecewa, marah, sedih, dan malu.
Di dalam mengatur mekanisme percakapan antar peserta tutur, kaidah itu dalam pragmatik disebut prinsip percakapan. Salah satu prinsip tersebut adalah prinsip kesantunan. Dengan prinsip kesantunan ini, antar peserta tutur dapat mencapai kesantunan berbahasa. Kesantunan berbahasa merupakan bagian dari kaidah-kaidah sosial dan kompetensi strategi berbahasa yang berperan penting dalam proses komunikasi. Peserta tutur akan merasa saling dihargai dalam proses komunikasi apabila mereka saling menggunakan kesantunan berbahasa. Sebaliknya peserta tutur akan merasa tidak dihargai apabila para peserta tutur tidak menggunakan kesantunan dalam berbahasa.
Menurut Grice (dalam Rustono 1999:66), prinsip kesantunan adalah prinsip yang berkenaan dengan aturan tentang hal-hal yang bersifat sosial, estetis, dan moral di dalam bertindak tutur. Prinsip kesantunan diperlukan untuk melengkapi prinsip kerjasama dan mengatasi kesulitan yang timbul akibat
(20)
3
penerapan prinsip kerjasama. Prinsip kerjasama juga bertujuan agar para peserta tutur dapat melakukan tuturan dengan santun dan dapat menjaga hubungan sosial dengan mitra tuturnya.
Jean Dubois dalam le dictionnaire linguistique mengatakan bahwa
le discours est une unité égale ou supérieure à la phrase, il est constitué par une suite formant un message ayant un commencement et une clôture (syn : énoncé).
‘wacana adalah satu kesatuan yang sama atau lebih tinggi dari frase, wacana tersusun oleh sebuah bentuk pesan yang memiliki permualaan dan pengakhiran’.
Wacana ini direalisasikan dalam bentuk karangan yang utuh (novel, buku, seri ensiklopedia, dan sebagainya), paragraf, kalimat, atau kata yang membawa amanat yang lengkap. Sementara itu, Baryadi (2002:11) membagi wacana menjadi (i) wacana monolog, (ii) wacana dialog, dan (iii) wacana polilog atau percakapan. Wacana-wacana tersebut ada yang berupa wacana lisan dan wacana tertulis. Pada wacana tertulis, peserta tutur mengungkapkan tuturannya bisa dalam bentuk wacana eksposisi, wacana deskripsi, wacana jurnalistik, wacana prosedural, wacana narasi tertulis. Pada saat memproduksi wacana, peserta tutur bisa berperan sebagai penutur (selanjutnya disingkat Pn) sekaligus sebagai petutur (Selanjutnya disingkat Pt) karena dia sendiri yang memproduksi wacana tersebut, hal ini yang disebut wacana monolog. Sedangkan di dalam wacana dialog dan wacana polilog, peserta tutur berbagi peran sebagai Pn dan Pt.
Bentuk wacana monolog, wacana dialog, dan wacana polilog dapat kita temui di karya fiksi seperti roman, teks drama, teks naratif dan lain sebagainya.
(21)
4
Salah satu karya fiksi yang memuat wacana monolog, wacana dialog, dan wacana polilog adalah roman Le Dernier Jour d’un Condamné karya Victor Hugo.
Victor Hugo, sebagai pengarang telah menggunakan tokoh-tokohnya dalam roman Le Dernier Jour d’un Condamné untuk mengungkapkan ide-ide atau pendapat atas realita sosial. Dengan bentuk tuturan, pengarang menyampaikan idenya. Contoh tuturan tersebut adalah sebagai berikut.
(1) Konteks : Di dalam selnya, tokoh Aku telah dibangunkan oleh sipir penjara (Guichetier), kemudian tokoh Aku memulai perbincangan (basa-basi) kepada Guichetier.
Aku : – Il fait beau, dis-je au guichetier.
La Narration 1: Il resta un moment sans me répondre, comme ne sachant si cela valait la peine de dépenser une parole ; puis avec quelque effort il murmura brusquement :
Guichetier : – C’est possible.
(2/LDJC/38-39) Aku : – cuaca cerah, kataku kepada penjara itu.
Narasi 1 : Ia diam sesaat, seolah memikirkan apakah perkataanku itu perlu ditanggapi atau tidak. Kemudian dengan susah payah tiba-tiba ia bergumam:
Guichetier : - mungkin.
Tokoh Aku memiliki pikiran positif, hal itu dapat dilihat melalui tuturannya (Il fait beau, ’cuaca cerah’) yang menandakan bahwa Aku berharap hari-hari yang akan dilaluinya berjalan dengan baik sebagaimana harapannya (Aku) pada hari-hari yang cerah. Tuturan Aku tersebut sekaligus sebagai kalimat sapaan kepada Guichetier. Maka tindakan Aku telah meminimalkan kerugian dan memaksimalkan keuntungan kepada Guichetier. Tindakan tersebut mematuhi
(22)
5
prinsip kesantunan, yakni maksim kearifan karena telah membuat kerugian orang lain (Guichetier) sekecilnya-kecilnya dan membuat keuntungan orang lain (Guichetier) sebesar mungkin.
Sementara itu, tindakan Guichetier yang menanggapi pernyataan sekaligus pertanyaan dari Aku merupakan bentuk kesepakatan Guichetier kepada Aku. Tuturan Guichetier (– C’est possible, ‘-mungkin’) menyatakan bentuk kesepakatan kepada Aku. Hal ini sesuai dengan bunyi maksim kesepakatan submaksim pertama yang menekankan untuk mengusahakan agar ketaksepakatan antara diri sendiri dan pihak lain terjadi sedikit mungkin. Secara tersurat bentuk kesepakatan terjadi dikarenakan adanya tuturan Guichetier yang mengungkapkan ketaksepakatan secara tidak frontal. Hal ini dapat dilihat pada tuturan Guichetier (– C’est possible, ‘- mungkin’) yang tidak secara tegas menyepakati apakah cuaca cerah atau tidak cerah (seperti yang diinginkan Aku melalui tuturannya), namun sudah bisa mengarah pada kesepakatan kepada Aku karena ada kemungkinan cuaca cerah, sehingga dapat dikatakan Guichetier mengurangi ketidaksepakatannya dengan kesepakatan sebagian. Selain dari itu, Guichetier tetap memberikan tanggapannya kepada Aku walaupun dengan susah payah (seperti pada narasi 1, selanjutnya disingkat Nrt-1).
Dengan dasar itu, maka dapat dinyatakan bahwa Guichetier mematuhi prinsip kesantunan, maksim kesepakatan karena mengusahakan agar ketaksepakatan antara diri Sendiri (Guichetier) dan pihak lain (Aku) terjadi sedikit mungkin dan mengusahakan agar kesepakatan antara diri Sendiri (Guichetier) dan pihak lain (Aku) terjadi sebanyak mungkin.
(23)
6
Berdasarkan contoh tuturan tersebut, wacana pada roman termasuk tuturan ringan yang menyajikan berbagai macam ide atau pendapat pengarang melalui sudut pandang persona pertama Aku. Sudut pandang persona pertama Aku dipilih pengarang dengan tujuan sebagai tokoh cerita dan sebagai si pencerita (pengarang), (Nurgiyantoro 2002 :246).
Objek penelitian ini adalah kesantunan dalam wacana monolog wacana dialog, dan wacana polilog dalam roman Le Dernier Jour d’un Condamné karya Victor Hugo. Kesantunan tersebut dijadikan sebagai objek penelitian karena di dalam roman ini bahasa yang digunakan pengarang kadang kurang santun dan tidak menggunakan bahasa baku, tetapi menggunakan bahasa tidak baku yaitu menggunakan bahasa sehari-hari.
Alasan dipilihnya wacana monolog, wacana dialog, dan wacana polilog dalam roman Le Dernier Jour d’un Condamné karya Victor Hugo sebagai objek penelitian dalam skripsi ini karena dalam roman tersebut banyak terdapat tuturan yang melanggar dan yang mematuhi maksim-maksim prinsip kesantunan.
Berdasarkan paparan tersebut, maka peneliti tertarik untuk meneliti kesantunan wacana monolog, wacana dialog, dan wacana polilog dalam roman Le Dernier Jour d’un Condamné karya Victor Hugo. Penelitian ini dibatasi pada maksim-maksim yang dipatuhi dan dilanggar serta implikasi pragmatisnya pada prinsip kesantunan.
(24)
7
1.2. Permasalahan
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, permasalahan yang akan peneliti rumuskan adalah sebagai berikut:
1. Prinsip kesantunan apakah yang dipatuhi di dalam roman Le Dernier Jour d’un Condamné karya Victor Hugo?
2. Prinsip kesantunan apakah yang dilanggar dan apa implikasi pragmatisnya di dalam roman Le Dernier Jour d’un Condamné karya Victor Hugo? 1.3. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah yang ada, penelitian ini bertujuan:
1. Mendeskripsikan pematuhan prinsip kesantunan pada roman Le Dernier Jour d’un Condamné karya Victor Hugo.
2. Mendeskripsikan pelanggaran prinsip kesantunan dan implikasi pragmatisnya pada roman Le Dernier Jour d’un Condamné karya Victor Hugo.
1.4. Manfaat Penelitian.
Hasil penelitian Kesantunan Dalam Roman Le Dernier Jour d’un Condamné karya Victor Hugo ini diharapkan bermanfaat baik secara praktis maupun teoretis.
1. Secara teoretis, penelitian ini di harapkan dapat:
a. bermanfaat bagi pengembangan ilmu pragmatik, khususnya jenis kesantunan yang mematuhi dan melanggar pada roman Le Dernier Jour d’un Condamné karya Victor Hugo.
(25)
8
b. menambah khasanah pematuhan dan pelanggaran pada prinsip kesantunan,
2. Secara praktis penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi:
a. mahasiswa : yakni memberikan informasi untuk penelitian-penelitian selanjutnya khususnya di bidang pragmatik.
b. dosen : masukan atas kajian yang lebih mendalam terhadap penelitian-penelitian di bidang pragmatik dengan pengenalan objek kesantunan bahasa perancis.
c. prodi /jurusan BSA : memperkaya jumlah pustaka yang berupa laporan penelitian (skripsi) di bidang pragmatik.
d. penulis: menambah pengalaman dalam penyusunan laporan penelitian (skripsi) di bidang pragmatik.
1.5. Sistematika Penulisan
Secara garis besar penyusunan skripsi ini terdiri atas tiga bagian, yakni bagian awal skripsi, bagian inti skripsi, dan bagian akhir skripsi. Bagian awal skripsi memuat halaman judul, pernyataan, pengesahan, extrait, motto dan persembahan, prakata, daftar isi dan daftar lampiran.
Bagian inti skripsi terdiri atas lima bab, yaitu pendahuluan, landasan teori, metode penelitian, hasil penelitian dan pembahasan, simpulan dan saran.
BAB I berisi tentang pendahuluan, yang berisi latar belakang masalah, permasalahan, tujuan penelitian, manfaat penelitian, dan sistematika penulisan skripsi.
(26)
9
BAB II berisi tentang landasan teori, yaitu memaparkan landasan teori penelitian yang mengungkapkan pendapat beberapa ahli dari berbagai sumber yang relevan yang secara umum meliputi : (1) prinsip kesantunan, (2) maksim-maksim prinsip kesantunan, (3) wacana, (4) implikatur.
BAB III menjelaskan mengenai metode penelitian yang berisi langkah-langkah yang digunakan dalam penelitian yang meliputi pendekatan penelitian, objek penelitian, data dan sumber data. Metode dan teknik penyediaan data, metode dan teknik analisis data, dan metode penyajian hasil analisis data.
BAB IV berisi hasil pengumpulan data, analisis data dan pembahasan hasil analisis kesantunan dalam roman Le Dernier Jour d’un Condamné karya Victor Hugo.
BAB V berisi simpulan dan saran. pada bagian akhir skripsi ini disajikan daftar pustaka dan lampiran-lampiran yang berhubungan dengan penelitian skripsi ini.
(27)
10
BAB 2
LANDASAN TEORI
Teori-teori yang digunakan untuk mendukung penelitian ini adalah (1) prinsip kesantunan, (2) maksim-maksim prinsip kesantunan, (3) wacana, (4) implikatur. Satu per satu teori-teori tersebut di bahas di bawah ini:
2.5 Prinsip Kesantunan
Grice (dalam Rustono 1999:66) mengatakan bahwa prinsip kesantunan (politenesse prinsiple) itu berkenaan dengan aturan tentang hal-hal yang bersifat sosial, estetis, dan moral di dalam bertindak tutur. Kebutuhan menjaga dan memelihara hubungan sosial antar peserta tutur dalam percakapan telah mengakibatkan lahirnya prinsip kesantunan ini. Alasan dicetuskannya prinsip kesantunan adalah bahwa di dalam tuturan penutur tidak cukup hanya dengan mematuhi prinsip kerjasama. Prinsip kesantunan diperlukan untuk melengkapi prinsip kerjasama dan mengatasi kesulitan yang timbul akibat penerapan prinsip kerjasama.
Secara umum, kesantunan atau sopan santun berkaitan dengan perilaku yang baik. Larousse (1988:321) mengatakan bahwa politesse, manière d’agir ou de parler conforme à la bienséance. ’kesantunan adalah cara bertindak atau berbicara yang sesuai dengan tata krama’. Sejalan dengan Larousse, Robert (1990:1475) berpendapat bahwa une politesse : action, parole exigée par les
(28)
11
usages. ’Kesopanan adalah tindakan, tutur kata yang dituntut sesuai dengan norma kesopanan.
Setiap kebudayaan selalu memiliki cara yang khas dalam mengekspresikan kesantunannya. Lakoff (1990:35 dalam Eelen, 2001:3) menganggap bahwa kebudayaan dalam mematuhi kesantunan selalu memperhatikan (i) strategi jarak atau distance, (ii) kaidah kepatuhan atau deference, (iii) kaidah persahabatan atau camaraderie. Jarak ditandai sebagai strategi impersonalitas, kepatuhan sebagai keraguan, dan persahabatan sebagai informalitas. Kecenderungan kesantunan di setiap daerah berbeda-beda. Secara garis besar, kesantunan dalam kebudayaan Eropa cenderung mengambil strategi jarak, kebudayaan-kebudayaan Asia cenderung mengambil sikap patuh, dan kebudayaan Amerika cenderung ke arah persahabatan. Untuk mengekspresikan kesantunan, diperlukan strategi kesantunan. Strategi kesantunan menurut Lakoff (1973), ada tiga, yakni (a) jangan mengganggu, (b) berikan pilihan, dan (c) buatlah pilihan menyenangkan atau bersikaplah ramah.
Teori kesantunan menurut Brown dan Levinson (1978) berfokus pada ’rasionalitas’ dan ’muka’. ’Muka’ terdiri atas dua ’keinginan’ yang berlawanan yaitu (1) muka positif, mengacu ke citra diri seseorang bahwa segala yang berkaitan dengan dirinya itu patut dihargai (jika tidak dihargai, orang yang bersangkutan dapat kehilangan muka), jadi muka positif ini merupakan representasi keinginan untuk dihargai oleh orang lain, (2) dan muka negatif, citra diri seseorang yang berkaitan dengan tindakan yang ingin bebas atau tidak ingin dihalangi oleh orang lain (kalau dihalangi, orang yang bersangkutan dapat
(29)
kehilangan muka), jadi muka negatif ini merupakan representasi keinginan untuk tidak ingin dihalangi oleh orang lain. Menurut teori ini, sebagian besar tindak tutur selalu mengancam keinginan muka para Pn dan atau Pt, dan bahwa kesantunan terlibat dalam upaya untuk memperbaiki ancaman muka tersebut (Brown dan Levinson, 1987 dalam Yule 1996:102-116; Yassi, 1996:6-8; Eelen, 2001:4-6). Untuk mencapai kesantunan positif maka harus mengacu pada strategi bertutur dengan cara menonjolkan kedekatan, keakraban, hubungan baik di antara Pn dan Pt. Di sisi lain, untuk mencapai kesantunan negatif harus merujuk ke strategi bertutur dengan cara menunjukkan adanya jarak sosial diantara Pn dan Pt.
Sementara itu, Sachiko Ide (1989:230), seorang ahli sosiolinguistik dari jepang, mengemukakan bahwa kaidah kesantunan erat kaitannya dengan kaidah gramatikal seperti kopula, verba, nomina, ajektiva, dan adverbia. Sachiko Ide juga menuturkan bahwa seorang Pn harus memilih bentuk tuturan yang santun atau tidak santun, tidak ada tuturan yang netral. Oleh karena itu santun bersifat absolut, tidak berkaitan dengan kehendak bebas Pn karena secara langsung memperlihatkan karakteristik struktur sosial Pn dan pendengar. Bentuk honorifik (kesantunan dalam bahasa) disatukan dengan pandangan kesantunan dalam konvensi masyarakat, yakni (i) bersikap santun kepada orang yang posisi sosialnya lebih tinggi, (ii) bersikap santun kepada orang yang memiliki kekuasaan, (iii) bersikap santun kepada orang yang lebih tua, dan (iv) bersikap santun dalam lingkungan formal yang ditentukan oleh faktor-faktor partisipan, kesempatan, atau topik.
(30)
Menyimak pendapat para ahli tersebut di atas tentang kesantunan, maka ada dua hal yang menjadi titik pikirannya, yakni: bahasa (teks) dipengaruhi oleh konteks, konteks mempengaruhi bahasa atau teks. Hal tersebut dikuatkan oleh Gunarwan (1999:52) yang menyatakan bahwa di dalam setiap tuturan selalu ada tambahan makna. Tambahan keterangan yang tidak diujarkan oleh Pn-nya itu tertangkap juga oleh pendengar sebagai Pt-nya. Makna ekstra atau makna tambahan itu tidaklah timbul karena penerapan kaidah sintaktis atau kaidah semantis, tetapi karena penerapan kaidah atau prinsip percakapan. Prinsip itu oleh Grice dinamakan prinsip kerjasama atau cooperative principle.
Kesantunan pada umumnya berkaitan dengan hubungan antara dua partisipan yang dapat kita sebut dengan diri sendiri dan orang lain (Tarigan 1990:82). Dalam percakapan, diri sendiri biasanya dikenal sebagai pembicara dan orang lain sebagai penyimak, tetapi para pembicara juga memperlihatkan kesopan- santunan kepada kelompok ketiga, yang mungkin hadir atau tidak dalam situasi ujar tersebut. Hal itu juga ditegaskan oleh Wijana (1996:65) bahwa prinsip kesopanan itu berhubungan dengan dua peserta percakapan, yakni diri sendiri (self) dan orang lain (other). Diri sendiri adalah Pn, dan orang lain adalah Pt dan orang ketiga yang dibicarakan Pn dan Pt.
2.6 Maksim-maksim Prinsip Kesantunan
Menurut Leech (1983:206-219), prinsip kesantunan memiliki enam maksim (lihat juga Wijana, 1996:55-62; Rustono, 1999:70). Kemudian prinsip kesantunan tersebut akan dibahas satu-persatu sebagai berikut.
(31)
2.2.7 Maksim Kearifan (La Maxime de La Sagesse)
Maksim ini diungkapkan dengan tuturan impositif (ujaran yang digunakan untuk menyatakan perintah atau suruhan) dan komisif (ujaran yang berfungsi untuk menyatakan janji atau penawaran). Maksim ini menggariskan setiap peserta pertuturan untuk (a) membuat kerugian orang lain sekecil mungkin dan (b) membuat keuntungan orang lain sebesar mungkin.
Perhatikan contoh tuturan (1) sampai (4) berikut ini. Tuturan dengan nomor yang lebih kecil memiliki tingkat kesopanan yang lebih rendah dibandingkan dengan yang lebih besar.
(1) Venez chez moi!
’Datanglah ke rumah saya!’ (2) Venez chez moi, s’il vous plaît!
’Silakan (anda) datang ke rumah saya!‘ (3) Vous voudriez venir chez moi?
‘Sudilah (anda) datang ke rumah saya?’ (4) Vous pourriez venir chez moi, s’il vous plaît? ‘Sudilah kiranya (anda) datang ke rumah saya?‘
Berdasarlan contoh di atas dapat dikatakan bahwa semakin panjang tuturan seseorang semakin besar pula keinginan orang itu untuk bersikap sopan kepada lawan bicaranya. Demikian pula tuturan yang diutarakan secara tidak langsung lazimnya lebih sopan dibandingkan dengan tuturan yang diutarakan secara langsung. Memerintah dengan kalimat berita atau kalimat tanya dipandang lebih sopan dibandingkan dengan kalimat perintah.
(32)
Maksim kearifan mengharuskan Pn berusaha memaksimalkan keuntungan orang lain, maka lawan bicara wajib pula memaksimalkan kerugian dirinya, bukan sebaliknya. Fenomena ini lazim disebut dengan paradoks pragmatik. Contoh (6) yang mematuhi paradoks pragmatik dan (7) yang melanggarnya.
(6) + Je porte vos valises, s’il vous plaît! + ‘mari, saya bawakan tas anda !’
- Non, merci.
- Tidak, terima kasih
(7) + Je porte vos valises, s’il vous plaît! + ‘mari, saya bawakan tas anda!’
- Oui, vous êtes exactement mon ami. - Ya, kamu benar-benar temanku.
2.2.8 Maksim Kedermawanan (La Maxime de La Générosité)
Maksim ini juga diutarakan dengan tuturan impositif dan komisif, yang mewajibkan setiap peserta tindak tutur untuk (a) membuat keuntungan diri sendiri sekecil mungkin dan (b) membuat kerugian diri sendiri sebesar mungkin.
Ujaran (8) dan (10) di bawah ini dipandang kurang santun dibandingkan dengan tuturan (9) dan (11).
(8) Tu peux me prêter ton dictionnaire?
‘Kamu dapat meminjamkan kamusmu pada saya?’ (9) Je peux te prêter mon dictinnaire.
‘Aku dapat meminjamkan kamusku kepadamu’. (10) On doit venir chez toi pour dîner.
(33)
‘Kami harus datang untuk makan malam di tempatmu’. (11) Tu dois venir chez nous pour dîner.
‘Kamu harus datang makan malam di rumah kami’.
Tuturan (8) dan (10) dari segi kesantunan yang absolut kurang berterima dibandingkan dengan tuturan (9) dan (11). Hal tersebut dikarenakan tuturan (9) dan (11) menyiratkan keuntungan untuk Pt dan terkesan merugikan bagi Pn. Akan tetapi pada tuturan (8) dan (10) hubungan antara Pn dan Pt pada skala untung-rugi menjadi terbalik.
2.2.9 Maksim Pujian (La Maxime de L’approbation)
Maksim pujian dapat diungkapkan dengan tuturan ekspresif (ujaran yang digunakan untuk menyatakan sikap psikologis pembicara terhadap sesuatu keadaan) dan asertif (ujaran yang lazim digunakan untuk menyatakan kebenaran proposisi yang diungkapkan). Maksim ini menuntut setiap peserta pertuturan untuk (a) mengecam orang lain sedikit mungkin dan (b) memuji orang lain sebanyak mungkin. Maksim pujian ini bisa diberi nama lain yang kurang baik, yakni ’maksim rayuan’, tetapi istilah ’rayuan’ biasanya digunakan untuk pujian yang tidak tulus. Pada maksim ini aspek negatif yang lebih penting, yaitu, ’jangan mengatakan hal-hal yang tidak menyenangkan mengenai orang lain, terutama mengenai Pt’. Contoh (12) dan (13) tampak bahwa Pn memaksimalkan pujian dan meminimalkan kecaman kepada orang lain, dalam hal ini, yaitu Pt.
(12) Jean, je sais que tu es génial. Pourrais-tu m’aider pour se resoudre un dévoir de mathémathique sur une équation et une énigme?
(34)
‘Jean, saya tahu bahwa kamu jenius. Sudilah kamu membantuku untuk memecahkan tugas matematika tentang soal persamaan dan teka-teki?’
(13) Je t’ai regardé quand tu avais chanté au café, hier soir. C’était extraordinaire!
‘Aku telah melihatmu ketika kamu menyanyi di kafe kemarin malam. kamu luar biasa!’
2.2.10 Maksim Kerendahan Hati (La Maxime de La Modestie)
Maksim kerendahan hati juga diungkapkan dengan tuturan ekspresif dan asertif. Maksim ini menuntut setiap peserta pertuturan untuk (a) memuji diri sendiri sedikit mungkin dan (b) mengecam diri sendiri sebanyak mungkin. Contoh tuturan berikut ini cukup santun (tuturan ini mengacu pada penampilan seorang musikus)
(14) A : Vous jouez du guitar très bien ! B : Merci !
A : ‘Permainan gitar anda bagus sekali !’ B : ‘Terima Kasih !’
Namun apabila B, musikus yang tampil menjawab seperti contoh di bawah ini, maka ia terkesan tidak rendah hati.
(15) A : Vous jouez du guitar très bien ! B : Oui, bien sûr !
A : ‘Permainan gitar anda bagus sekali !’ B : ‘Ya, memang !’
Ataupun ungkapan di bawah ini menunjukkan kerendahan hati dari Pnnya. (16) Vous pourriez accepter ces petits cadeaux, s’il vous plaît!
(35)
‘Sudilah (anda) menerima kado kecil ini!’ 2.2.11 Maksim Kesepakatan (La Maxime de L’accord)
Maksim Kesepakatan juga diungkapkan dengan tuturan ekspresif dan asertif. Maksim ini menggariskan setiap peserta tutur untuk (a) mengusahakan agar ketaksepakatan antara diri sendiri dan pihak lain terjadi sedikit mungkin dan (b) mengusahakan agar kesepakatan antara diri sendiri dan pihak lain terjadi sebanyak mungkin. Untuk jelasnya perhatikan wacana (17), (18), dan (19) berikut.
(17) + Le français est difficile, n’est-ce pas? - Mais non, il est très facile.
+ ‘Bahasa Prancis sukar ya ?‘ - ‘Tentu tidak, itu mudah sekali !’
(18) + Le français est difficile, n’est-ce pas?
- Oui, mais la grammaire n’est pas assez difficile. + ‘Bahasa Prancis sukar ya ?‘
- ‘Ya, tetapi tata bahasanya tidak begitu sukar’ (19) + Le français est facile, n’est-ce pas?
- Oui, bien sûr !
+ ‘Bahasa Prancis mudah ya ?‘ - ‘Ya, memang !’
Tuturan (18) terasa lebih santun daripada (17) karena ketidaksepakatan (-) tidak dinyatakan secara frontal (total) tetapi secara.
Pada Maksim kesepakatan, orang cenderung melebih-lebihkan kesepakatannya dengan orang lain, terlihat pada contoh (19), dan juga mengurangi
(36)
ketidaksepakatannya dengan ungkapan-ungkapan penyesalan, kesepakatan sebagian, terlihat pada contoh (18), dan sebagainya.
2.2.12 Maksim Kesimpatian (La Maxime de La Sympathie)
Maksim kesimpatian juga diungkapkan dengan tuturan ekspresif dan asertif, yang mengharuskan setiap peserta pertuturan untuk (a) mengurangi rasa antipati antara diri sendiri dengan pihak lain hingga sekecil mungkin dan (b) meningkatkan rasa simpati sebesar mungkin antara diri sendiri dengan pihak lain. Jika Pt mendapatkan kesuksesan atau kebahagiaan, Pn wajib memberikan ucapan selamat. Ketika Pt mendapatkan kesusahan atau musibah, Pn layak turut berduka atau mengucapkan bela sungkawa sebagai tanda kesimpatian. Maksim ini menjelaskan mengapa ucapan selamat dan ucapan belasungkawa adalah tindakan ujar yang sopan dan hormat, walaupun ucapan belasungkawa mengungkapkan keyakinan Pn yang bagi Pt merupakan keyakinan negatif.
Wacana (20) dan (21) termasuk santun karena Pt memberikan kesimpatian kepada Pt.
(20) A : Mon bébé est déjà né. B : Félicitations!
A : ‘Anakku sudah lahir’ B : ‘Selamat!’
(21) A : Ma tante est décedée la semaine dernière B : Oh, Je te présente mes condoléances A : ‘Bibiku seminggu yang lalu meninggal’ B : ’Oh, Aku turut berduka cita’
(37)
Pada dasarnya semua maksim yang telah dijelaskan di atas menganjurkan agar kita mengungkapkan keyakinan yang sopan dan bukan keyakinan-keyakinan yang tidak sopan, sehingga maksim-maksim ini dimasukkan ke dalam kategori prinsip sopan santun. Dapat dilihat bahwa empat maksim pertama berpasangan, yaitu (2.1) dengan (2.2) dan (2.3) dengan (2.4), karena maksim-maksim ini melibatkan skala-skala berkutub dua : skala untung-rugi dan skala pujian-kecaman. Dua maksim lainnya melibatkan skala-skala yang hanya satu kutubnya, yaitu skala kesepakatan (2.5) dan skala simpati (2.6).
Hal tersebut senada dengan pendapat Gunawan (1995:12), prinsip kesantunan Leech didasarkan pada nosi-nosi (1) biaya (cost) dan keuntungan (benefit), (2) celaan atau penjelekan (dispraise) dan pujian (praise), (3) kesetujuan (agreement), serta (4) kesimpatian dan keantipatian (sympathy / antipathy)
Walaupun antara skala yang satu dengan yang lain ada kaitannya, sikap maksim berbeda dengan jelas, karena setiap maksim mengacu pada sebuah skala penilaian yang berbeda dengan skala penilaian maksim-maksim lainnya. Skala untung-rugi pada maksim 2.1 dan 2.2 memeringatkan untung-rugi bagi orang lain (2.1) dan bagi diri sendiri (2.2) akibat suatu tindakan di masa depan, sedangkan skala pujian-kecaman pada maksim 2.3 dan 2.4 memeringkatkan baik-tidaknya penilaian yang diungkapkan oleh Pn mengenai orang lain (2.3) dan mengenai diri sendiri (2.4).
Maka dapat disimpulkan bahwa tidak semua maksim dan submaksim sama pentingnya. Maksim (2.1) tampaknya merupakan kendala perilaku percakapan yang lebih kuat daripada maksim (2.2), dan maksim (2.3) lebih kuat daripada
(38)
maksim (2.4). Kecenderungan ini, bila benar, mencerminkan berlakunya suatu hukum umum yang mengatakan bahwa sopan santun lebih terpusat pada pihak lain (Pt) daripada pada diri sendiri (Pn). Selain dari itu, dalam setiap maksim, submaksim (b) tampaknya tidak sepenting submaksim (a), sehingga ini juga mencerminkan suatu hukum umum yang mengatakan bahwa sopan santun negatif (pengelakan konflik) merupakan perimbangan yang lebih kuat daripada sopan santun positif (mencari kesesuaian). Satu perbedaan lagi pada aspek penting-tidaknya submaksim (namun perbedaan ini tidak dituangkan dalam bentuk maksim), yaitu sopan santun terhadap Pt pada umumnya lebih penting daripada sopan santun terhadap pihak ketiga.
2.7 Wacana
Wacana merupakan unit bahasa yang terikat oleh satu kesatuan. Kesatuan dalam wacana menurut Halliday (1979:1) adalah kesatuan yang bersifat sistematis. Oleh karena itu, sebuah wacana tidak selalu harus direalisasi dalam bentuk rangkaian kalimat. Wacana dapat berbentuk sebuah kalimat, bahkan dapat berupa sebuah frase atau kata. Kridalaksana (1984:208) berpendapat bahwa wacana (discourse) adalah satuan bahasa terlengkap, dalam hierarki gramatikal merupakan satuan gramatikal tertinggi atau terbesar. Wacana ini direalisasikan dalam bentuk karangan yang utuh (novel, buku, seri ensiklopedia, dan sebagainya), paragraf, kalimat, atau kata yang membawa amanat yang lengkap. Adapun wacana menurut Tarigan (1987:27) adalah satuan bahasa yang terlengkap dan tertinggi atau terbesar di atas kalimat atau klausa dengan kohesi dan koherensi
(39)
tinggi dan berkesinambungan dan mempunyai awal dan akhir yang nyata disampaikan secara lisan dan tertulis.
Selanjutnya, istilah wacana menurut Alwi (1998:419) berarti rentetan kalimat yang berkaitan dan menghubungkan proposisi yang satu dengan yang lain dan membentuk kesatuan. Senada dengan Alwi, Hams dalam Baylon (2002:235) menyatakan bahwa
discours est l’ensemble de règles d’enchaînement des suites de phrases composant l’énonce
‘wacana adalah keseluruhan peraturan-peraturan yang merangkai secara berturut-turut kalimat-kalimat yang mempunyai unsur penjelas’
Sementara itu, Hoed (1994:126-130) berpendapat bahwa wacana berada pada tuturan langue, yaitu bagian teoretis abstrak yang maknanya dikaji dalam kaitan dengan unsur-unsur lain di luar dirinya (dengan lingkungannya).
Berdasarkan pendapat-pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa wacana adalah satuan bahasa yang tertinggi dalam hierarki gramatikal atau rangkaian ujar atau rangkaian tindak tutur yang mengungkapkan suatu hal (subjek) yang menyatukan satu topik tertentu yang disajikan secara teratur dan sistematis dalam satu kesatuan yang koheren, dibentuk oleh unsur verbal ataupun nonverbal, baik dalam bentuk lisan atau tulis.
2.3.1 Unsur Wacana
Menurut Supardo, (1988:56) unsur wacana terdiri atas (1) unsur bahasa seperti kata, frase, klausa, dan kalimat; (2) konteks yang terdapat di sekitar wacana, (3) makna dan maksud, (4) koherensi, dan (5) kohesi.
(40)
Unsur bahasa dalam wacana berfungsi sebagai bahan atau substansi yang menampung gagasan-gagasan melalui bentuk-bentuk bahasa tertentu. Konteks dalam wacana berfungsi sebagai lingkungan yang menjadi ruang lingkup penguraian gagasan. Makna dan maksud berfungsi sebagai sasaran, tujuan berbahasa antara pengguna bahasa. Kohesi adalah keterpaduan makna yang terdapat dalam sebuah wacana, sedangkan koherensi adalah keserasian antara bentuk-bentuk bahasa yang disusun menurut organisasi-organisasi wacana yang utuh.
Senada dengan Suparjo, Tarigan (1987:96) membagi unsur wacana menjadi lima, yaitu: tema, unsur bahasa, konteks yang terdapat di sekitar wacana, makna dan maksud serta kohesi dan koherensi.
1. Tema adalah pokok pembicara yang ada di dalam sebuah karangan, baik karangan tulis maupun lisan. Tema itu dikembangkan dengan kalimat-kalimat yang dipadu sehingga akan melahirkan satu jenis wacana yang kohesif dan koherensif.
2. Unsur bahasa mencangkup kata, frasa, klausa, kalimat.
3. Konteks di sekitar wacana. Menurut Alwi (1998:421) konteks wacana dibentuk oleh berbagai unsur yaitu situasi, pembicara, pendengar, waktu, tempat, adegan, topik, peristiwa, bentuk amanat, kode, dan saluran.
4. Makna dan maksud. 5. Kohesi dan koherensi.
Kohesi adalah kesesuaian hubungan antara unsur-unsur yang satu dengan yang lain dalam wacana sehingga tercipta pengertian yang baik (koheren).
(41)
Kalimat atau kata yang dipakai bertautan dan saling mendukung makna. Pengertian yang satu menyambung pengertian yang lainnya secara berturut-turut. Dengan demikian ada wacana yang kohesif dan koheren dan ada wacana yang tidak kohesif tetapi koheren (Djajasudarna 1994:47).
Pada Roman Le Dernier Jour d’un Condamné karya Victor Hugo terdapat wacana dialog, wacana monolog, dan wacana polilog yang kohesif dan koheren. Wacana dialog, wacana monolog, dan wacana polilog tersebut disusun dengan kalimat atau kata yang bertautan dan saling mendukung makna. Sehingga membentuk kesatuan wacana pada roman yang utuh.
2.3.2 Jenis Wacana
Baryadi (2002:9-14) membagi berbagai jenis wacana dengan mengklasifikasikannya dengan dasar tertentu. Dasar klasifikasi itu antara lain, yaitu (i) media yang dipakai untuk mewujudkannya, (ii) keaktifan partisipan komunikasi, (iii) tujuan pembuatan wacana, (iv) bentuk wacana, (v) langsung tidaknya pengungkapan, (vi) genre sastra, dan (vii) isi wacana.
Sementara itu, menurut baryadi (2002:9-14), berdasarkan keaktifan partisipan komunikasi, wacana dapat dibedakan menjadi tiga jenis, yaitu (i) wacana monolog (monologue discourse), (ii) wacana dialog (dialogue discourse), dan (iii) wacana polilog (poyilogue discourse) atau percakapan (exchange atau conversation). Wacana monolog adalah wacana yang pemproduksiannya hanya melibatkan pihak pembicara (pembicara sebagai Pn dan Pt secara sekaligus). Wacana monolog dapat dibedakan menjadi wacana monolog lisan seperti ceramah, khotbah, kampanye, petuah dan wacana monolog tertulis seperti wacana
(42)
eksposisi, wacana deskripsi, wacana jurnalistik, wacana prosedural, wacana narasi tertulis. Wacana dialog adalah wacana yang pemproduksiannya melibatkan dua pihak yang bergantian peran sebagai pembicara dan pendengar. Contoh wacana dialog adalah sapa menyapa, tanya jawab, peristiwa tawar menawar dalam jual beli. Wacana polilog adalah wacana yang diproduksi melalui pertukaran tiga jalur atau lebih. Pemproduksian wacana polilog pada dasarnya sama dengan pemproduksian wacana dialog karena keduanya melibatkan pihak-pihak yang bergantian peran sebagai pembicara dan pendengar. Contoh wacana polilog adalah percakapan, diskusi, rapat, musyawarah.
2.8 Implikatur
Sebuah kalimat dapat mengimplikasikan kalimat yang lain. Grice (1975) dalam artikelnya yang berjudul Logic and Conversation yang dikutip dalam Wijana (1996:38) mengemukakan bahwa sebuah tuturan dapat mengimplikasikan proposisi yang bukan merupakan bagian dari tuturan yang bersangkutan. Proposisi yang diimplikasikan itu disebut implikatur (implicature). Karena implikatur bukan merupakan bagian tuturan yang mengimplikasikannya, maka hubungan kedua proposisi bukan merupakan konsekuensi mutlak (necessary consequence). Implikatur mencakupi pengembangan teori hubungan antara ekspresi makna, makna Pn dan implikasi suatu tuturan. Di dalam teorinya itu, Ia membedakan tiga macam implikatur, yaitu implikatur konvensional, implikatur nonkonvensional, dan praanggapan. Selanjutnya implikatur nonkonvensional dikenal dengan nama implikatur percakapan. Implikatur percakapan adalah implikasi pragmatis yang terdapat di dalam percakapan yang timbul sebagai akibat terjadinya pelanggaran
(43)
prinsip percakapan, jadi implikatur percakapan adalah proposisi atau pernyataan implikatif, yaitu apa yang mungkin diartikan, disiratkan, atau dimaksudkan oleh Pn yang berbeda dari apa yang sebenarnya dikatakan oleh Pn di dalam suatu percakapan.
2.4.1 Jenis Implikatur
Menurut Rustono (1999:85), implikatur itu dapat dibedakan menjadi dua jenis yaitu implikatur konvensional dan implikatur nonkonvensional
2.4.1.1 Implikatur konvensional
Implikatur konvensional adalah implikatur yang diperoleh langsung dari makna kata, dan bukan dari prinsip percakapan. Berikut ini merupakan salah satu contoh implikatur konvensional.
(22) Konteks : Di ruang pengadilan, tokoh Aku bersama pengacaranya mengharapkan mendapat keputusan yang terbaik dari ketua hakim pengadilan yang akan membacakan keputusan sidang pengadilan terkait kasus tokoh Aku.
Nrt-2 : Cependant mon avocat arriva. On l’attendait. Il venait de déjeuner copieusement et de bon appétit. Parvenu à sa place, il se pencha vers moi avec un sourire.
Avocat : – J’espère, me dit-il.
Aku : – N’est-ce pas ? Répondis-je, léger et souriant aussi.
Avocat : – Oui, reprit-il, Je ne sais rien encore de leur déclaration, mais ils auront sans doute écarté la préméditation, et alors ce ne sera que les travaux forcés à perpétuité.
Aku : – Que dites-vous là, monsieur ? Répliquai-je indigné, - plutôt cent fois la mort !
Nrt-3 : Oui, la mort !, – Et d’ailleurs, me répétait je ne sais quelle voix intérieure, qu’est-ce que je risque à dire cela ? A-t-on jamais prononcé sentence de mort autrement qu’à minuit, aux flambeaux, dans une salle sombre et noire, et par une froide nuit
(44)
de pluie et d’hiver ? Mais au mois d’août, à huit heures du matin, un si beau jour, ces bons jurés, c’est impossible ! Et mes yeux revenaient se fixer sur la jolie fleur jaune au soleil.
(4/LDJC/ 41) Nrt-2 : Di saat itu pembelaku datang. Orang-orang menunggunya. Ia baru saja makan banyak dan dengan lahap. Sampai di tempatnya, ia mencondongkan tubuhnya ke arahku sambil tersenyum :
Avocat : – Mudah-mudahan, katanya kepadaku.
Aku : – Harus ! jawabku ringan, juga sambil tersenyum.
Avocat : – Ya, lanjutnya, Aku belum tahu pernyataan mereka, tapi
mungkin mereka mengesampingkan unsur ”terencana” hingga jadi kerja paksa seumur hidup.
Aku : - Bapak ini bicara apa? tukasku marah, Seratus kali lebih baik mati
Nrt-3 : Ya, mati ! - Dan lagi, kudengar di dalam diriku sendiri, entah suara dari mana, apa yang kukhawatirkan untuk mengatakan hal itu? – Bukankah hukuman mati hanya dijatuhkan di tengah malam saja, di bawah penerangan cahaya obor, di dalam ruangan suram dan gelap, dan di malam hujan serta di musim dingin? Tapi di bulan Agustus, jam delapan pagi, di pagi yang sedemikian indah dan oleh para juri yang baik ini, itu tidak mungkin! Dan mataku kembali menatap bunga kuning di sinar matahari itu.
Implikasi tuturan di atas adalah bahwa kemungkinan mendapatkan vonis kerja paksa seumur hidup atau vonis hukuman mati bagi Aku (sebagai Pn) merupakan konsekuensi yang harus diterima oleh Aku.
2.4.1.2 Implikatur nonkonvensional
Implikatur nonkonvensional atau implikatur percakapan adalah implikasi pragmatis yang langsung tersirat di dalam suatu percakapan. Berikut ini merupakan salah satu contoh implikatur nonkonvensianal
(45)
(23) Konteks : Di ruang pengadilan, panitera pengadilan telah selesai membacakan keputusan pengadilan, kemudian ketua hakim (Le Président) menanyakan kepada pengacara (Avocat) apakah ada pembelaan atau tanggapan, namun tokoh Aku marah pada pembelanya yang melakukan pembelaan atas keputusan pengadilan.
Le Président : – Avocat, avez-vous quelque chose à dire sur l’application de la peine? demanda le président.
Aku : J’aurais eu, moi, tout à dire, mais rien ne me vint. Ma langue resta collée à mon palais.
Nrt-4 : Le défenseur se leva.
Je compris qu’il cherchait à atténuer la déclaration du jury, et à mettre dessous, au lieu de la peine qu’elle provoquait, l’autre peine, celle que j’avais été si blessé de lui voir espérer.
Il fallut que l’indignation fût bien forte, pour se faire jour à travers les mille émotions qui se disputaient ma pensée. Je voulus répéter à haute voix ce que je lui avais déjà dit : Plutôt cent fois la mort ! Mais l’haleine me manqua et je ne pus que l’arrêter rudement par le bras, en criant avec une force convulsive:
Aku : – Non!
(5/LDJC/ 42) Le Président : – Apakah ada yang ingin disampaikan oleh pembela
atas keputusan hukuman ini? Tanya ketua hakim
Aku : Banyak yang ingin kukatakan, tapi tak satu-pun keluar. Lidahku seolah melekat pada langit-langit.
Nrt-4 : Pembela berdiri.
Aku mengerti bahwa ia mencoba untuk meringankan pernyataan para juri dengan tujuan agar hukumannya juga diperingan. Menjadi seperti yang ia harapkan, yang telah membuatku sangat sakit hati karena ia berani mengharapkan hal itu.
Kemarahanku sedemikian hebatnya sehingga mengalahkan ribuan perasaan lain yang bertengkar memperebutkan pikiranku. Aku ingin mengulang dengan suara keras apa yang telah kukatakan kepadanya : Seratus kali lebih baik mati!. Namun nafasku habis, dan aku hanya
(46)
bisa menghentikannya dengan kasar melalui lengannya, sambil berteriak dengan keras dan tidak terkendali:
Aku : – Tidak!
Implikasi tuturan di atas yakni tokoh Aku menolak usaha pembelanya (Aku) yang mengharapkan keringanan dari hukuman mati. Pada konteks lain, tindakan tokoh Aku juga mengimplikasikan penolakan terhadap vonis hukuman mati yang telah diputuskan oleh para hakim.
Tokoh Aku menolak pembelaan yang dilakukan oleh pembelanya atas keputusan pengadilan. Walaupun tindakan tokoh Aku tersebut bisa jadi dilakukan dalam keadaan terpaksa dan dalam kekalutan sebagai terdakwa yang mendapatkan vonis hukuman mati sehingga ia (Aku) sudah tidak tahan melihat usaha pembelannya yang berusaha meringankan vonis hukuman mati yang telah diputuskan oleh ketua hakim. Tokoh Aku merasa tindakan pembelaan yang dilakukan pembelannya akan sia-sia maka tidak perlu mengharapkan adanya keringanan hukuman dari pengadilan (seperti pada Nrt-4).
Selanjutnya Gunarwan dalam Rustono (1999:86) menegaskan bahwa ada tiga hal yang perlu diperhatikan berkenaan dengan implikatur, yaitu
1) implikatur itu tidaklah merupakan bagian dari tuturan
2) implikatur itu bukan merupakan bagian logis dari sebuah tuturan 3) mungkin saja sebuah tuturan memiliki lebih dari satu implikatur dan
(47)
30
BAB 3
METODOLOGI PENELITIAN
Berikut ini diuraikan pendekatan penelitian, objek penelitian, data dan sumber data, metode dan teknik penyediaan data, metode dan teknik analisis data, dan terakhir metode penyajian hasil analisis data.
3.7 Pendekatan Penelitian
Penelitian ini menggunakan dua pendekatan penelitian, yaitu pendekatan secara teoretis dan pendekatan secara metodologis. Pendekatan penelitian secara teoretis dalam penelitian ini menggunakan pendekatan pragmatik artinya peneliti sebagai penganalisis wacana mempertimbangkan gejala kebahasaan yang bersifat progesif. Dengan demikian peneliti menggunakan sudut pandang pragmatis dalam melakukan penelitiannya. Sudut pandang pragmatis berupaya menemukan maksud tuturan baik yang diekspresikan secara tersurat maupun tersirat di balik tuturan (Rustono 1999:18).
Pendekatan pragmatik merupakan pendekatan yang menggunakan pemakaian bahasa sebagai pijakan utama, bagaimana penggunaan bahasa dalam tuturan dan bagaimana tuturan digunakan dalam konteks tertentu (Parker dalam Rustono 1993:3). Pendekatan pragmatik digunakan karena masalah yang dikaji dalam penelitian ini adalah penggunaan bahasa yang berbentuk wacana tuturan di dalam roman Le Dernier Jour d’un Condamné karya Victor Hugo.
(48)
31
Pendekatan penelitian yang kedua dalam penelitian ini adalah pendekatan penelitian secara metodologis yang terbagi menjadi dua, yaitu pendekatan kualitatif dan deskriptif. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan deskriptif kualitatif. Pendekatan kualitatif digunakan karena penelitian ini berkaitan dengan data yang tidak berupa angka-angka, tetapi berupa percakapan pada wacana monolog, wacana dialog, dan wacana polilog di dalam roman Le Dernier Jour d’un Condamné karya Victor Hugo. Perhitungan secara statistikpun tidak dilakukan di dalam penelitian ini karena data penelitian ini tidak dikuantifikasi.
Pendekatan deskriptif juga digunakan dalam penelitian ini. Dengan pendekatan deskriptif, penelitian ini berupaya mendeskripsikan pematuhan dan pelanggaran prinsip kesantunan serta implikasi pragmatisnya pada dalam roman Le Dernier Jour d’un Condamné karya Victor Hugo. Pelanggaran dan pematuhan prinsip kesantunan serta implikasi pragmatisnya yang diungkapkan secara apa adanya di dalam penelitian ini adalah pelanggaran dan pematuhan serta implikasi pragmatisnya atas maksim-maksim prinsip kesantunan di dalam roman Le Dernier Jour d’un Condamné karya Victor Hugo.
Deskripsi dalam penelitian ini merupakan deskripsi kualitas atas pematuhan dan pelanggaran prinsip kesantunan serta implikasi pragmatisnya pada roman Le Dernier Jour d’un Condamné karya Victor Hugo karena penelitian ini tidak berkaitan dengan variabel-variabel terukur. Deskripsi di dalam penelitian ini juga bersifat khas dan verbal.
(1)
Nrt-23 : Ia memandangiku dengan matanya yang indah, dan menjawab : Marie : – Tidak!
Aku : – Lihat baik-baik, ulangku. Bagiamana, kamu tidak tahu siapa aku? Marie : – Tahu, katanya, seorang Tuan.
Nrt-23 : Betapa malangnya ! Mencintai satu makhluk saja di dunia ini, mencintainya dengan sepenuh jiwa, mengasihinya dengan sepenuh cinta, dan kini ia berada di depan Anda, memandangi Anda, tapi tidak mengenal Anda ! Mengharap penghiburan hanya darinya, tapi justru ia satu-satunya yang tidak mengetahui bahwa dirinya merupakan yang paling Anda dambakan, karena sebentar lagi Anda akan mati !.
45. Dialog 32 : Aku : melanggar prinsip kesantunan, maksim kedermawanan,
Marie (putri Aku) : melanggar prinsip kesantunan, maksim kearifan (walaupun merugikan Aku, tetapi jujur).
(44) Konteks : Tokoh Aku bertanya kepada apakah Marie memiliki seorang ayah. Hal itu dilakukan tokoh Aku agar Marie mengenali ayahnya (Aku). Aku : – Marie, ai-je repris, as-tu un papa ?
Marie : – Oui, monsieur, a dit l’enfant. Aku : – Eh bien, où est-il ?
Nrt-23 : Elle a levé ses grands yeux étonnés.
Aku : – Ah ! Vous ne savez donc pas ? Il est mort. Nrt-23 : Puis elle a crié ; j’avais failli la laisser tomber.
Aku : – Mort ! Disais-je. Marie, sais-tu ce que c’est qu’être mort ?
Marie : – Oui, monsieur, a-t-elle répondu. Il est dans la terre et dans le ciel. Nrt-23 : Elle a continué d’elle-même :
Marie : – Je prie le bon Dieu pour lui matin et soir sur les genoux de maman.
(44/LDJC/109)
Aku : – Marie, kataku memulai lagi, kamu punya papa? Marie : – Ya, Tuan, kata anak itu.
(2)
Nrt-23 : Matanya yagng bundar memandangiku dengan heran. Aku : – Ah ! Jadi Anda tidak tahu ? Ia telah meninggal.
Nrt-23 : Ia berteriak. Peganganku hampir saja lepas dan ia hampir jatuh. Aku : – Meninggal! Kataku. Marie, kamu tahu artinya meninggal?
Marie : – Ya, Tuan, ia menjawabku. Ia berada di dalam tanah dan di langit. Nrt-23 : Ia lalu melanjutkannya sendiri :
Marie : – Sambil dipangku ibu, aku berdoa untuknya pagi dan malam kepada Tuhan Yang Maha Pengasih.
46. Dialog 33 : Aku :melanggar prinsip kesantunan, maksim kedermawanan,
Marie (putri Aku) : melanggar prinsip kesantunan, maksim kearifan (tuturan kurang sopan). (45) Konteks : Tokoh Aku bertanya kepada Marie mengenai isi doa yang ditujukan kepada ayahnya (Marie).
Nrt-23 : Je l’ai baisée au front. Aku : – Marie, dis-moi ta prière.
Marie : – Je ne peux pas, monsieur. Une prière, cela ne se dit pas dans le jour. Venez, ce soir dans ma maison; je la dirai.
(45/LDJC/110) Nrt-23 : Kucium keningnya.
Aku : – Marie, katakan kepadaku bagaimana doamu ?.
Marie : – Aku tidak bisa melakukannya, Tuan. Doa itu tidak diucapkan di siang hari. Datanglah malam ini ke rumahku. Nanti kukatakan.
47. Dialog 34 : Aku : melanggar prinsip kesantunan, maksim kedermawanan,
Marie : melanggar prinsip kesantunan, maksim kedermawanan
(46) Konteks : Di ruang jenguk narapidana. Tokoh Aku menegaskan bahwa dirinya adalah ayah dari Marie. Nrt-23 : C’était assez de cela. Je l’ai interrompue.
Aku : – Marie, c’est moi qui suis ton papa. Marie : – Ah ! m’a-t-elle dit.
(3)
Nrt-23 : J’ai ajouté :
Aku : – Veux-tu que je sois ton papa ? Nrt-23 : L’enfant s’est détournée.
Marie : – Non, mon papa était bien plus beau
Nrt-23 : Je l’ai couverte de baisers et de larmes. Elle a cherché à se dégager de mes bras en criant : Marie : – Vous me faites mal avec votre barbe.
(46/LDJC/110) Nrt-23 : Cukup sudah semua itu. Aku memotongnya.
Aku : – Marie, aku papamu. Marie : – Ah ! Katanya kepadaku. Nrt-23 : Kulanjutkan lagi :
Aku : – Apa kamu mau aku jadi papamu? Nrt-23 : Anak itu memalingkan wajahnya. Marie : – Tidak, papaku lebih ganteng.
Nrt-23 : Kuhujani ia dengan ciuman dan air mata. Ia berusaha melepaskan diri dariku sambil berteriak : Marie : – Jenggot anda menyakitiku.
48. Dialog 35 : Aku : melanggar prinsip kesantunan, maksim kedermawanan (mengedepankan kepentingannya), Marie : melanggar prinsip kesantunan, maksim kerendahan hati.
(47) Konteks : Di ruang jenguk narapidana. Tokoh Aku bertanya kepada Marie, apakah dia (Marie) bisa membaca. Nrt-23 : Alors, je l’ai replacée sur mes genoux, en la couvant des yeux, et puis je l’ai questionnée. Aku : – Marie, sais-tu lire ?
Marie : – Oui, a-t-elle répondu. Je sais bien lire. Maman me fait lire mes lettres.
(4)
Nrt-23 : Jadi, ia kembali kutaruh ke pangkuanku, dan kupandanginya lekat-lekat, kemudian kutanya ia. Aku : – Marie, kamu bisa membaca?
Marie : – Ya, jawabnya. Aku pintar membaca. Ibu mengajariku huruf-huruf.
49. Dialog 36 : Aku : melanggar prinsip kesantunan, maksim kedermawanan,
Marie : mematuhi prinsip kesantunan, maksim kerendahan hati (Ah bien ! Je ne sais lire que des fables.)
(48) Konteks : Di ruang jenguk narapidana. Tokoh Aku tidak mampu menahan perasaan sedih ketika mengetahui kertas yang dibaca oleh putrinya adalah kertas keputusan vonis hukuman mati bagi dirinya (Aku). Aku : – Voyons, lis un peu, lui ai-je dit en lui montrant un papier qu’elle tenait chiffonné dans une de ses petites mains.
Nrt-23 : Elle a hoché sa jolie tête.
Marie : – Ah bien ! Je ne sais lire que des fables. Aku : – Essaie toujours. Voyons, lis.
Nrt-23 : Elle a déployé le papier, et s’est mise à épeler avec son doigt : Marie : – A, R, ar, R, Ê, T, rêt, ARRÊT…
Nrt-23 : Je lui ai arraché cela des mains. C’est ma sentence de mort qu’elle me lisait. Sa bonne avait eu le papier pour un sou. Il me coûtait plus cher, à moi. Il n’y a pas de paroles pour ce que j’éprouvais. Ma violence l’avait effrayée ; elle pleurait presque. Tout à coup elle m’a dit :
Marie : – Rendez-moi donc mon papier ; tiens ! C’est pour jouer. Nrt-23 : Je l’ai remise à sa bonne.
Aku : – Emportez-la.
Nrt-23 : Et je suis retombé sur ma chaise, sombre, désert, désespéré. À présent ils devraient venir ; je ne tiens plus à rien ; la dernière fibre de mon cœur est brisée. Je suis bon pour ce qu’ils vont faire.
(48/LDJC/111) Aku : – Coba bacalah sedikit, kataku kepadanya sambil menunjuk kertas lusuh yang berada di tangannya yang mungil.
Nrt-23 : Ia menganggukkan kepalanya yang indah.
Marie : – Ah, aku hanya bisa membaca dongeng tentang binatang. Aku : – Cobalah. Ayo, baca.
(5)
Marie : – K, E, ke, P, U, pu, T, U, tu, S, A, N, san, KEPUTUSAN…
Nrt-23 : Kurebut kertas itu dari tangannya. Yang ia baca itu adalah keputusan eksekusi hukuman matiku. Pengasuhnya membelinya seharga satu kelip. Aku harus membayarnya lebih mahal. Tidak ada kata-kata yang bisa mengungkapkan bagaimana perasaanku saat itu. Kekasaranku membuatnya takut. Ia hampir menangis. Mendadak ia berkata kepadaku :
Marie : – Tolong kembalikan kertasku ! Untuk mainan. Nrt-23 : Kukembalikan anak itu ke pengasuhnya
Aku : – Bawa ia pergi.
Nrt-23 : Dan aku kembali terduduk di kursiku, sedih, sunyi, putus asa. Saat mereka seharusnya tiba. Tidak ada lagi yang kupegangi. Serat terakhir jantungku sudah putus. Sudah pas aku sekarang untuk menjalani apa yang mereka lakukan.
50. Dialog 37 : Mardi : mematuhi prinsip kesantunan, maksim kearifan, Aku : mematuhi prinsip kesantunan, maksim kearifan.
(49) Konteks : Di ruangan gedung Conciergerie. Tokoh Aku didandani oleh algojo sebelum eksekusi mati dilaksanakan. Kemudian Mardi (algojo) menanyakan apakah perlakuan mereka (para algojo) kasar kepada tokoh Aku. Nrt-23 : À cette précaution horrible, au saisissement de l’acier qui touchait mon cou, mes coudes ont tressailli, et j’ai laissé échapper un rugissement étouffé. La main de l’exécuteur a tremblé.
Mardi : – Monsieur, m’a-t-il dit, pardon ! Est-ce que je vous ai fait mal ? Nrt-23 : Ces bourreaux sont des hommes très doux.
La foule hurlait plus haut au dehors.
Le gros homme au visage bourgeonné m’a offert à respirer un mouchoir imbibé de vinaigre. Aku : – Merci, lui ai-je dit de la voix la plus forte que j’ai pu, c’est inutile ; je me trouve bien.
Nrt-23 : Alors l’un d’eux s’est baissé et m’a lié les deux pieds, au moyen d’une corde fine et lâche, qui ne me laissait à faire que de petits pas. Cette corde est venue se rattacher à celle de mes mains. Puis le gros homme a jeté la veste sur mon dos, et a noué les manches ensemble sous mon menton. Ce qu’il y avait à faire là était fait.
(49/LDJC/111)
Nrt-23 : Selama persiapan yang mengerikan ini, pada saat yang mencekam, saat baja menyentuh tengkukku, lenganku tersentak-sentak kaget, dan geraham tertahan terdengar keluar dari mulutku. Tangan yang mengunting itu gemetar.
Mardi : – Maaf, Tuan, katanya kepadaku, sakit ? Nrt-23 : Para algojo ini sangat lembut.
Teriakan orang-orang di luar semakin keras.
Si gendut jerawatan itu menawariku menghirup sapu tangan yang telah dibasahi cuka.
(6)
Nrt-23 : Kemudian salah seorang pembantunya jongkok dan mengikat kedua kakiku dengan seutas tali kecil dan agak longgar, sehingga aku masih bisa berjalan walau dengan langkah-langkah kecil saja. Dan tali ini dihubungkan dengan ikatan di tanganku.
Kemudian orang gendut itu melemparkan jasku tadi untuk menutupi punggungku dan mengikatkan kedua lengan jas itu di depan leherku. Yang perlu dilakukan sudah dilakukan.
51. Dialog 38 : masyarakat : mematuhi prinsip kesantunan, maksim kesimpatian, Aku : melanggar prinsip kesantunan, maksim kesimpatian
(50) Konteks : Tokoh mulai dibawa keluar dari gedung Conciergerie menuju bunderan Grève untuk pelaksanaan eksekusi mati. Pada saat dibawa menuju bunderna Grève, para masyarakat yang melihat memberikan penghormatan kepadanya (Aku).
Nrt-23 : On a franchi la grille. Au moment où la charrette a tourné vers le Pont-au-Change, la place a éclaté en bruit, du pavé aux toits, et les ponts et les quais ont répondu à faire un tremblement de terre. C’est là que le piquet qui attendait s’est rallié à l’escorte.
Masyarakat : – Chapeaux bas ! Chapeaux bas ! Criaient mille bouches ensemble. Nrt-23 : Comme pour le roi.
Alors j’ai ri horriblement aussi, moi, et j’ai dit au prêtre : Aku : – Eux les chapeaux, moi la tête.
(50/LDJC/117-118)
Nrt-23 : Kami melewati pagar. Pada saat kereta membelok ke arah Pont-au-Change, gemuruh meledak di bunderan, dari jalan hingga atap rumah, dan jembatan serta tepian sungai menanggapinya laksana gempa bumi. Di situ regu prajurit piket yang tadi menunggu kini bergabung mengawal kereta.
Masyarakat : – Copot topi ! Copot topi ! Ribuan mulut berteriak serentak. Nrt-23 : Seperti untuk menghormati raja.
Dan aku, aku pun ikut tertawa juga, dengan rasa ngeri, dan aku berkata kepada bapak pendeta : Aku : – Mereka mencopot topi dan aku mencopot kepala.