40LDJC105-106 Nrt-23
: Kutarik pintu itu untuk menutupkannya kembali, tapi ada sesuatu yang menahannya. Dengan heran kutarik lebih kuat lagi. Tiba-tiba pintu itu dilepaskan, dan tampak seorang wanita tua. Kedua tangannya menggantung di kedua sisinya, matanya memejam tidak bergerak sedikitpun, berdiri, dan seolah lekat di pojok dinding.
Ada sesuatu yang mengerikan di sana, dan rambutku berdiri bila memikirnya. Aku bertanya kepada wanita tua itu :
Aku : – Apa yang Anda lakukan disitu ?
Nrt-23 : Ia tidak menjawab.
Aku bertanya kepadanya:
– Anda siapa?
Nrt-23 : Ia tidak menjawab, tidak bergeming, dan tetap memejamkan matanya.
Teman-temanku berkata : Des amis
: – Barangkali teman para pencuri yang tadi masuk ke sini untuk berbuat jahat. Mereka melarikan diri saat mendengar kita datang. Karena tidak sempat melarikan diri, ia bersembunyi di situ. .
Nrt-23 : Aku menanyainya lagi, ia tetap membisu, tidak bergerak, tidak membuka matanya.
Satu diantara temanku mendorongnya ke lantai, ia jatuh. Ia jatuh dengan kaku, seperti sebatang kayu, seperti benda mati.
Kami guncang kakinya, kemudian dua temanku menegakkannya kembali ke pojok dinding. Tidak ada tanda-tanda kehidupan pada diri wanita tua itu. Kami berteriak tepat di telinganya, ia tetap membisu seolah tuli.
Sementara itu kesabaran kami habis, dan ada kemarahan dalam ketakutan kami. Salah seorang teman berkata kepadaku :
Un ami : – Taruh lilinnya di bawah dagunya.
Nrt-23 : Kutaruh lilin yang menyala itu di bawah dagunya. Ia lalu membuka separo matanya, pandangannya kosong, hampar, menakutkan, dan tidak melihat
Kutarik lilin itu dan aku berkata : Aku
: – Ah akhirnya Sekarang mau jawab ? Kamu siapa ?
Nrt-23 : Mata itu menutup lagi seolah secara otomatis.
Des amis : – Keterlaluan, kata teman-tamanku. Lagi, kasih lilin lagi Lagi Ia harus bicara.
Nrt-23 : Kembali kuletakkan lilin menyala di bawah dagu wanita tua itu.
Ia lalu membuka kedua matanya pelahan-lahan, memandangi kami satu demi satu, kemudian tiba-tiba merunduk dan meniup lilin dengan tiupan sedingin es. Dan pada saat itu juga kurasakan tiga gigi runcing menancap di tanganku, dalam kegelapan.
Aku terbangun, gemetar, dan peluh dingin membasahi sekujur tubuhku.
42. Dialog 29 : Amunônier : mematuhi prinsip kesantunan, maksim
kearifan, Aku
: mematuhi prinsip kesantunan, maksim kearifan perintah tanpa kata perintah.
41 Konteks : Di ruangan tepat sebelah ruangan direktur pengadilan. Tokoh Aku terbangun dari mimpinya, tepat pada saat pendeta amunônier di sebelahnya Aku yang mengabarkan bahwa putrinya Aku menjenguknya.
Nrt-23 : Le bon aumônier était assis au pied de mon lit, et lisait des prières.
Aku : Ai-je dormi longtemps ? Lui ai-je demandé.
Amunônier : – Mon fils, m’a-t-il dit, vous avez dormi une heure. On vous a amené votre enfant. Elle est là dans la pièce voisine qui vous attend. Je n’ai pas voulu qu’on vous éveillât.
Aku : – Oh Ai-je crié. Ma fille Qu’on m’amène ma fille
41LDJC107 Nrt-23
: Pendeta yang baik itu duduk di kaki ranjangku, dan membaca doa-doa. Aku
: Apakah aku tidur lama ? Tanyaku kepadanya. Amunônier : – Anakku, katanya kepadaku. Anda tidur satu jam. Putrimu dibawa menjengukmu. Sekarang berada di ruang sebelah, dan menunggumu. Aku tadi melarang orang membangunkanmu.
Aku : – Oh teriakku, putriku, bawa kemari putriku
43. Dialog 30 : Aku
: melanggar prinsip kesantunan, maksim kearifan,
Marie putri Aku : melanggar prinsip kesantunan, maksim kedermawanan.
42 Konteks : Tokoh Aku menemui putrinya, Marie. Namun Marie sudah tidak mengenal tokoh Aku sebagai ayahnya.
Nrt-23 : Elle est fraîche, elle est rose, elle a de grands yeux, elle est belle
On lui a mis une petite robe qui lui va bien. Je l’ai prise, je l’ai enlevée dans mes bras, je l’ai assise sur mes genoux, je l’ai baisée sur ses cheveux.
Pourquoi pas avec sa mère ? Aku
: Sa mère est malade, sa grand’mère aussi. C’est bien.
Nrt-23 : Elle me regardait d’un air étonné. Caressée, embrassée, dévorée de baisers et se laissant faire, mais jetant de temps en temps un coup d’œil inquiet sur sa bonne, qui pleurait dans le coin.
Enfin j’ai pu parler. Aku
: – Marie Ai-je dit, ma petite Marie
Nrt-23 : Je la serrais violemment contre ma poitrine enflée de sanglots. Elle a poussé un petit cri
Marie : – Oh Vous me faites du mal, monsieur, m’a-t-elle dit.
Nrt-23 : Monsieur Il y a bientôt un an qu’elle ne m’a vu, la pauvre enfant. Elle m’a oublié, visage, parole, accent ; et puis, qui me reconnaîtrait avec cette barbe, ces habits et cette pâleur ? Quoi Déjà effacé de cette
mémoire, la seule où j’eusse voulu vivre Quoi Déjà plus père Être condamné à ne plus entendre ce mot, ce mot de la langue des enfants, si doux qu’il ne peut rester dans celle des hommes : papa Et pourtant l’entendre de cette bouche, encore une fois, une seule fois, voilà tout ce que j’eusse demandé pour les quarante ans de vie qu’on me prend.
42LDJC108 Nrt-23
: Ia kelihatan segar, merah jambu, matanya bundar, cantik Ia mengenakan gaun kecil yang sangat cocok sekali buatnya.
Ia kuraih dan kuangkat, lalu kuletakkan di pangkuanku dan kuciumi rambutnya. Mengapa tidak dengan ibunya?
Aku : - Ibunya sakit, neneknya juga. Bagus.
Nrt-23 : Ia memandangiku dengan wajah heran. Ia kubelai, kupeluk, kuciumi, dan ia diam saja. Tapi kadang-kadang ia melemparkan khawatir ke arah pengasuhnya yang menangis di pojok.
Akhirnya aku mampu mengeluarkan suara. Aku
: – Marie kataku, Marie kecilku
Nrt-23 : Kudekap ia kuat-kuat ke dadaku yang penuh isakan. Ia berteriak pelan.
Marie : – Aduh Sakit, Tuan, Katanya kepadaku.
Nrt-23 : Tuan, Hampir setahun anak malang ini tidak bertemu denganku. Ia telah melupankanku, melupakan wajahku, suaraku, logatku. Lagi pula siapa yang akan mengenaliku dengan wajah berewok ini, dengan pakaian
dan wajah pucat ini ? Bagaimana Bagaimana Sudah terhapus dari ingatan ini, satu-satunya tempat dimana aku ingin hidup terus bagaimana Tidak lagi menjadi ayah Dihukum tidak boleh mendengar kata itu dari omongan bocah, yang sedemikian lembutnya sehingga tidak tahan tinggal di dalam kata-kata orang dewasa : papa
Padahal mendengar kata itu diucapkan sekali lagi melalui mulut bibir mungil ini, sekali lagi saja, itu yang kuminta sebagai pengganti empat puluh tahun hidupku yang dirampas.
44. Dialog 31 : Aku