Pematuhan Prinsip Kesantunan, Maksim Kearifan dan Pelanggaran

Lain halnya, tuturan des amis mengandung implikasi harapan, yakni harapan agar nenek tua berbicara dan mengatakan siapa dirinya.

4.3.13. Pematuhan Prinsip Kesantunan, Maksim Kearifan dan Pelanggaran

Prinsip Kesantunan, Maksim Kedermawanan. Maksim kearifan ini memberikan petunjuk bahwa pihak lain Pt maupun pihak ketiga yang dibicarakan antara Pn dan Pt di dalam tuturan hendaknya dibebani kerugian sekecil-kecilnya tetapi dengan keuntungan sebesar-besarnya. Di sisi lain, percakapan yang membuat keuntungan diri sendiri sebesar-besarnya dan membuat kerugian diri sendiri sekecil-kecilnya berarti melanggar maksim kedermawanan. Ditemukan 7 wacana dialog yang mematuhi prinsip kesantunan, maksim kearifan dan melanggar prinsip kesantunan, maksim kedermawanan. Untuk lebih jelasnya perhatikan tuturan 17 dan 18 berikut. 17 Konteks : Di ruang pengadilan, tokoh Aku bersama pengacaranya mengharapkan mendapat keputusan yang terbaik dari Ketua Hakim pengadilan yang akan membacakan keputusan sidang pengadilan terkait kasus tokoh Aku. Nrt-38 : Cependant mon avocat arriva. On l’attendait. Il venait de déjeuner copieusement et de bon appétit. Parvenu à sa place, il se pencha vers moi avec un sourire. Avocat : – J’espère, me dit-il. Aku : – N’est-ce pas ? Répondis-je, léger et souriant aussi. Avocat : – Oui, reprit-il, Je ne sais rien encore de leur déclaration, mais ils auront sans doute écarté la préméditation, et alors ce ne sera que les travaux forcés à perpétuité. Aku : – Que dites-vous là, monsieur ? Répliquai-je indigné, - plutôt cent fois la mort Nrt-39 : Oui, la mort , – Et d’ailleurs, me répétait je ne sais quelle voix intérieure, qu’est-ce que je risque à dire cela ? A-t-on jamais prononcé sentence de mort autrement qu’à minuit, aux flambeaux, dans une salle sombre et noire, et par une froide nuit de pluie et d’hiver ? Mais au mois d’août, à huit heures du matin, un si beau jour, ces bons jurés, c’est impossible Et mes yeux revenaient se fixer sur la jolie fleur jaune au soleil. 4LDJC 41 Nrt-38 : Di saat itu pembelaku datang. Orang-orang menunggunya. Ia baru saja makan banyak dan dengan lahap. Sampai di tempatnya, ia mencondongkan tubuhnya ke arahku sambil tersenyum : Avocat : – Mudah-mudahan, katanya kepadaku. Aku : – Harus jawabku ringan, juga sambil tersenyum. Avocat : – Ya, lanjutnya, Aku belum tahu pernyataan mereka, tapi mungkin mereka mengesampingkan unsur ”terencana” hingga jadi kerja paksa seumur hidup. Aku : - Bapak ini bicara apa? tukasku marah, Seratus kali lebih baik mati Nrt-39 : Ya, mati - Dan lagi, kudengar di dalam diriku sendiri, entah suara dari mana, apa yang kukhawatirkan untuk mengatakan hal itu? – Bukankah hukuman mati hanya dijatuhkan di tengah malam saja, di bawah penerangan cahaya obor, di dalam ruangan suram dan gelap, dan di malam hujan serta di musim dingin? Tapi di bulan Agustus, jam delapan pagi, di pagi yang sedemikian indah dan oleh para juri yang baik ini, itu tidak mungkin Dan mataku kembali menatap bunga kuning di sinar matahari itu. Tuturan Oui, reprit-il, Je ne sais rien encore de leur déclaration, mais ils auront sans doute écarté la préméditation, et alors ce ne sera que les travaux forcés à perpétuité ‘Ya, lanjutnya, Aku belum tahu pernyataan mereka, tapi mungkin mereka mengesampingkan unsur ”terencana” hingga jadi kerja paksa seumur hidup’ menyiratkan keuntungan bagi tokoh Aku sebagai Pt, sekaligus tidak merugikan avocat sebagai Pn karena tuturan avocat tersebut memberikan peluang kepada tokoh Aku untuk memilih hasil keputusan sidang yang lain daripada vonis hukuman kerja paksa seumur hidup. Akibatnya avocat memaksimalkan keuntungan pada pihak lain Aku dan tidak merugikan diri sendri avocat. Dengan demikian dapat dinyatakan bahwa tuturan avocat mematuhi prinsip kesantunan, maksim kearifan karena membuat kerugian orang lain Aku sekecil-kecilnyadan membuat keuntungan orang lain Aku sebesar-besarnya. Sementara itu, tokoh Aku yang lebih memilih vonis hukuman mati -plutôt cent fois la mort , ‘Seratus kali lebih baik mati‘ daripada vonis hukuman kerja paksa seumur hidup memaksimalkan keuntungan bagi diri sendiri Aku dan meminimalkan kerugian diri sendiri Aku. Maka, tindakan tokoh Aku tersebut melanggar submaksim pertama membuat keuntungan diri sendiri sekecil- kecilnya dan submaksim kedua membuat kerugian diri sendiri sebesar-besarnya prinsip kesantunan, maksim kedermawanan. Tuturan - plutôt cent fois la mort , ‘Seratus kali lebih baik mati‘ sudah cukup sopan karena pada tuturan tersebut pemerian keuntungan bagi Pt Aku dibatasi dengan tidak menyebutkan secara langsung dirinya Aku, sebagai pihak yang diuntungkan dari hasil tuturan tersebut. Semisal tuturan Pt diganti dengan tuturan 17a berikut ini, maka akan terasa kurang sopan 17a J’aime plus de la condamnation à mort que les travaux forcés à perpétuité. ‘Saya lebih suka hukuman mati daripada kerja paksa seumur hidup‘ Tuturan tokoh Aku kurang sopan karena menyebutkan dirinya sebagai pihak yang diuntungkan atas hasil tuturan 17a di atas. Dengan dasar itu, maka dapat dinyatakan bahwa tokoh Aku melanggar prinsip kesantunan, maksim kedermawanan karena tidak membuat keuntungan diri sendiri Aku sekecil-kecilnya dan tidak membuat kerugian diri sendiri Aku sebesar-besarnya. Tuturan tokoh Aku yang melanggar prinsip kesantunan, maksim kedermawanan itu memiliki fungsi sebagai sumber implikatur percakapan. Hal itu terjadi karena inferensi atas pelanggaran submaksim itu menghasilkan simpulan bahwa tuturan itu mengandung implikatur percakapan. Adapun implikatur percakapan yang dikandung tuturan yang melanggar prinsip kesantunan, maksim kedermawanan itu adalah menyatakan harapan, yaitu harapan tokoh Aku agar tidak mendapatkan vonis hukuman kerja paksa seumur hidup dan lebih memilih vonis hukuman mati. Adapun tuturan avocat mengandung implikasi keraguan, yaitu keraguan apakah Ketua Hakim akan memberikan vonis hukuman bebas, vonis hukuman mati, atau vonis hukuman kerja paksa seumur hidup. Pada konteks lain, tuturan avocat bisa mengimplikasikan harapan, yakni harapan agar kliennya Aku tidak mendapatkan vonis hukuman kerja paksa seumur hidup. Wacana dialog 18 di bawah ini juga mematuhi prinsip kesantunan, maksim kearifan dan melanggar prinsip kesantunan, maksim kedermawanan. 18 Konteks : Di ruang pengadilan, panitera pengadilan telah selesai membacakan keputusan pengadilan, kemudian ketua hakim le président menanyakan kepada pengacara avocat apakah ada pembelaan atau tanggapan, namun tokoh Aku marah pada pembelanya yang melakukan pembelaan atas keputusan pengadilan. Le Président : – Avocat, avez-vous quelque chose à dire sur l’application de la peine? demanda le président. Nrt-40 : J’aurais eu, moi, tout à dire, mais rien ne me vint. Ma langue resta collée à mon palais. Le défenseur se leva. Je compris qu’il cherchait à atténuer la déclaration du jury, et à mettre dessous, au lieu de la peine qu’elle provoquait, l’autre peine, celle que j’avais été si blessé de lui voir espérer. Il fallut que l’indignation fût bien forte, pour se faire jour à travers les mille émotions qui se disputaient ma pensée. Je voulus répéter à haute voix ce que je lui avais déjà dit : Plutôt cent fois la mort Mais l’haleine me manqua et je ne pus que l’arrêter rudement par le bras, en criant avec une force convulsive: Aku : – Non 5LDJC 42 Le Président : – Apakah ada yang ingin disampaikan oleh pembela atas keputusan hukuman ini? Tanya ketua hakim Nrt-40 : Banyak yang ingin kukatakan, tapi tak satu-pun keluar. Lidahku seolah melekat pada langit-langit. Pembela berdiri. Aku mengerti bahwa ia mencoba untuk meringankan pernyataan para juri dengan tujuan agar hukumannya juga diperingan. Menjadi seperti yang ia harapkan, yang telah membuatku sangat sakit hati karena ia berani mengharapkan hal itu. Kemarahanku sedemikian hebatnya sehingga mengalahkan ribuan perasaan lain yang bertengkar memperebutkan pikiranku. Aku ingin mengulang dengan suara keras apa yang telah kukatakan kepadanya : Seratus kali lebih baik mati. Namun nafasku habis, dan aku hanya bisa menghentikannya dengan kasar melalui lengannya, sambil berteriak dengan keras dan tidak terkendali: Aku : – Tidak Tindakan ketua hakim yang menanyakan apakah ada yang ingin disampaikan oleh pembela mengenai keputusan hukuman mati memberikan keuntungan kepada tokoh Aku dengan peluang untuk melakukan pembelaan pada jalur hukum yang lebih tinggi, semisal pengadilan pada tingkat kasasi atau meminta grasi kepada raja. Tindakan ketua hakim tersebut mematuhi prinsip kesantunan, maksim kearifan karena membuat kerugian orang lain Aku sekecil-kecilnya dan membuat keuntungan orang lain Aku sebesar-besarnya. Sementara itu, tokoh Aku menolak pembelaan yang dilakukan oleh pembelanya atas keputusan pengadilan dan dia Aku menegaskan lebih baik seratus kali mati daripada mengharapkan keringan hukuman dengan perdebatan yang dilakukan pembelanya seperti pada Nrt-39. Tindakan tokoh Aku tersebut melanggar prinsip kesantunan, yakni maksim kedermawanan submaksim pertama membuat keuntungan diri sendiri sekecil-kecilnya dan submaksim kedua membuat kerugian diri sendiri sebesar-besarnya karena tokoh Aku telah memaksimalkan keuntungan pada diri sendiri dan meminimalkan kerugian diri sendiri. Namun, tindakan tokoh Aku tersebut bisa jadi dilakukan dalam keadaan terpaksa dan dalam kekalutan sebagai terdakwa yang mendapatkan vonis hukuman mati sehingga ia Aku sudah tidak tahan melihat usaha pembelannya Aku yang berusaha meringankan vonis hukuman yang telah diputuskan oleh ketua hakim. Tokoh Aku merasa tindakan pembelaan yang dilakukan pembelannya Aku akan sia-sia maka tidak perlu mengharapkan adanya keringanan hukuman dari pengadilan seperti pada Nrt-40. Tokoh Aku seharusnya berusaha melakukan pembelaan dengan pernyataan yang lebih santun, walaupun peluang untuk bebas dari hukuman sangat kecil. Ketika tuturan – Non Tidak yang diutarakan oleh tokoh Aku diganti dengan tuturan 18a berikut ini, akan terasa lebih santun. 18a Je voudrais accepter cette condamnation à mort. ‘Saya berkenan menerima hukuman mati tersebut’ Tokoh Aku bisa menunjukkan rasa hormatnya kepada ketua hakim yang telah menawarkan adanya tanggapan mengenai vonis hukuman mati, tanpa harus menolaknya vonis hukuman mati dengan ungkapan langsung – Non, Tidak. Maka, dengan adanya tuturan 18a di atas, tokoh Aku mematuhi prinsip kesantunan, maksim kedermawanan karena memaksimalkan kerugian diri sendiri Aku dan meminimalkan keuntungan diri sendiri Aku, yakni dengan menerima vonis hukuman mati tersebut. Tindakan lain yang bisa dilakukan oleh tokoh Aku mengenai vonis hukuman mati tersebut adalah menolak dan atau membatalkan serta menangguhkan untuk mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung maupun mengajukan grasi kepada raja. Akibatnya tokoh Aku menghormati tindakan yang dilakukan pembelanya yang telah melakukan pembelaan untuk keringanan dari hukuman mati. Maka, Tindakan Aku dapat dinyatakan bahwa dia Aku melanggar prinsip kesantunan, maksim kedermawanan karena tidak membuat keuntungan diri sendiri Aku sekecil-kecilnya dan tidak membuat kerugian diri sendiri Aku sebesar-besarnya. Tuturan tokoh Aku yang melanggar prinsip kesantunan, maksim kedermawanan itu memiliki fungsi sebagai sumber implikatur percakapan. Hal itu terjadi karena inferensi atas pelanggaran submaksim itu menghasilkan simpulan bahwa tuturan itu mengandung implikatur percakapan. Adapun implikatur percakapan yang dikandung tuturan yang melanggar maksim kedermawanan itu adalah menyatakan penolakan, yaitu penolakan terhadap usaha pembelanya Aku yang mengharapkan keringanan dari hukuman mati. Pada konteks lain, tindakan tokoh Aku juga mengimplikasikan penolakan terhadap vonis hukuman mati yang telah diputuskan oleh para hakim. Sementara itu, tuturan Ketua Hakim mengandung implikasi harapan, yaitu harapan agar sang pembela memberikan tanggapan mengenai vonis hukuman mati baik berupa penerimaan, penolakan, atau pembatalan dan penangguhan.

4.3.14. Pematuhan Prinsip Kesantunan, Maksim Kearifan dan Pelanggaran