10
BAB 2 LANDASAN TEORI
Teori-teori yang digunakan untuk mendukung penelitian ini adalah 1 prinsip kesantunan, 2 maksim-maksim prinsip kesantunan, 3 wacana, 4
implikatur. Satu per satu teori-teori tersebut di bahas di bawah ini:
2.5 Prinsip Kesantunan
Grice dalam Rustono 1999:66 mengatakan bahwa prinsip kesantunan politenesse prinsiple itu berkenaan dengan aturan tentang hal-hal yang bersifat
sosial, estetis, dan moral di dalam bertindak tutur. Kebutuhan menjaga dan memelihara hubungan sosial antar peserta tutur dalam percakapan telah
mengakibatkan lahirnya prinsip kesantunan ini. Alasan dicetuskannya prinsip kesantunan adalah bahwa di dalam tuturan penutur tidak cukup hanya dengan
mematuhi prinsip kerjasama. Prinsip kesantunan diperlukan untuk melengkapi prinsip kerjasama dan mengatasi kesulitan yang timbul akibat penerapan prinsip
kerjasama. Secara umum, kesantunan atau sopan santun berkaitan dengan perilaku
yang baik. Larousse 1988:321 mengatakan bahwa politesse, manière d’agir ou de parler conforme à la bienséance. ’kesantunan adalah cara bertindak atau
berbicara yang sesuai dengan tata krama’. Sejalan dengan Larousse, Robert 1990:1475 berpendapat bahwa une politesse : action, parole exigée par les
usages. ’Kesopanan adalah tindakan, tutur kata yang dituntut sesuai dengan norma kesopanan.
Setiap kebudayaan selalu memiliki cara yang khas dalam mengekspresikan kesantunannya. Lakoff 1990:35 dalam Eelen, 2001:3 menganggap bahwa
kebudayaan dalam mematuhi kesantunan selalu memperhatikan i strategi jarak atau distance, ii kaidah kepatuhan atau deference, iii kaidah persahabatan atau
camaraderie. Jarak ditandai sebagai strategi impersonalitas, kepatuhan sebagai keraguan, dan persahabatan sebagai informalitas. Kecenderungan kesantunan di
setiap daerah berbeda-beda. Secara garis besar, kesantunan dalam kebudayaan Eropa cenderung mengambil strategi jarak, kebudayaan-kebudayaan Asia
cenderung mengambil sikap patuh, dan kebudayaan Amerika cenderung ke arah persahabatan.
Untuk mengekspresikan
kesantunan, diperlukan
strategi kesantunan. Strategi kesantunan menurut Lakoff 1973, ada tiga, yakni a jangan
mengganggu, b berikan pilihan, dan c buatlah pilihan menyenangkan atau bersikaplah ramah.
Teori kesantunan menurut Brown dan Levinson 1978 berfokus pada ’rasionalitas’ dan ’muka’. ’Muka’ terdiri atas dua ’keinginan’ yang berlawanan
yaitu 1 muka positif, mengacu ke citra diri seseorang bahwa segala yang berkaitan dengan dirinya itu patut dihargai jika tidak dihargai, orang yang
bersangkutan dapat kehilangan muka, jadi muka positif ini merupakan representasi keinginan untuk dihargai oleh orang lain, 2 dan muka negatif, citra
diri seseorang yang berkaitan dengan tindakan yang ingin bebas atau tidak ingin dihalangi oleh orang lain kalau dihalangi, orang yang bersangkutan dapat
kehilangan muka, jadi muka negatif ini merupakan representasi keinginan untuk tidak ingin dihalangi oleh orang lain. Menurut teori ini, sebagian besar tindak
tutur selalu mengancam keinginan muka para Pn dan atau Pt, dan bahwa kesantunan terlibat dalam upaya untuk memperbaiki ancaman muka tersebut
Brown dan Levinson, 1987 dalam Yule 1996:102-116; Yassi, 1996:6-8; Eelen, 2001:4-6. Untuk mencapai kesantunan positif maka harus mengacu pada strategi
bertutur dengan cara menonjolkan kedekatan, keakraban, hubungan baik di antara Pn dan Pt. Di sisi lain, untuk mencapai kesantunan negatif harus merujuk ke
strategi bertutur dengan cara menunjukkan adanya jarak sosial diantara Pn dan Pt. Sementara itu, Sachiko Ide 1989:230, seorang ahli sosiolinguistik dari
jepang, mengemukakan bahwa kaidah kesantunan erat kaitannya dengan kaidah gramatikal seperti kopula, verba, nomina, ajektiva, dan adverbia. Sachiko Ide
juga menuturkan bahwa seorang Pn harus memilih bentuk tuturan yang santun atau tidak santun, tidak ada tuturan yang netral. Oleh karena itu santun bersifat
absolut, tidak berkaitan dengan kehendak bebas Pn karena secara langsung memperlihatkan karakteristik struktur sosial Pn dan pendengar. Bentuk honorifik
kesantunan dalam bahasa disatukan dengan pandangan kesantunan dalam konvensi masyarakat, yakni i bersikap santun kepada orang yang posisi
sosialnya lebih tinggi, ii bersikap santun kepada orang yang memiliki kekuasaan, iii bersikap santun kepada orang yang lebih tua, dan iv bersikap
santun dalam lingkungan formal yang ditentukan oleh faktor-faktor partisipan, kesempatan, atau topik.
Menyimak pendapat para ahli tersebut di atas tentang kesantunan, maka ada dua hal yang menjadi titik pikirannya, yakni: bahasa teks dipengaruhi oleh
konteks, konteks mempengaruhi bahasa atau teks. Hal tersebut dikuatkan oleh Gunarwan 1999:52 yang menyatakan bahwa di dalam setiap tuturan selalu ada
tambahan makna. Tambahan keterangan yang tidak diujarkan oleh Pn-nya itu tertangkap juga oleh pendengar sebagai Pt-nya. Makna ekstra atau makna
tambahan itu tidaklah timbul karena penerapan kaidah sintaktis atau kaidah semantis, tetapi karena penerapan kaidah atau prinsip percakapan. Prinsip itu oleh
Grice dinamakan prinsip kerjasama atau cooperative principle. Kesantunan pada umumnya berkaitan dengan hubungan antara dua
partisipan yang dapat kita sebut dengan diri sendiri dan orang lain Tarigan 1990:82. Dalam percakapan, diri sendiri biasanya dikenal sebagai pembicara dan
orang lain sebagai penyimak, tetapi para pembicara juga memperlihatkan kesopan- santunan kepada kelompok ketiga, yang mungkin hadir atau tidak dalam
situasi ujar tersebut. Hal itu juga ditegaskan oleh Wijana 1996:65 bahwa prinsip kesopanan itu berhubungan dengan dua peserta percakapan, yakni diri sendiri
self dan orang lain other. Diri sendiri adalah Pn, dan orang lain adalah Pt dan orang ketiga yang dibicarakan Pn dan Pt.
2.6 Maksim-maksim Prinsip Kesantunan